Selasa, Juli 22, 2008

Rasionalisasi Peristiwa Israk Mikraj

Oleh: Muhammad Kosim LA

Salah satu pembicaraan yang selalu dikaitkan dengan peristiwa Israk Mikraj Nabi Muham­mad SAW adalah tentang ukuran keimanan umat Muhammad yang mendengar berita ini. Peristiwa Israk Mikraj merupakan peristiwa ketika iman diuji: apakah akal tunduk kepada wahyu, atau justru iman tunduk kepada akal. Kadangkala ada yang berpendapat kalau peristi­wa spektakuler ini hanya bisa diterima oleh iman, karena tidak masuk akal.

Adanya anggapan peristiwa Israk Miraj tidak boleh diterima oleh akal, tetapi cukup diterima oleh iman, sebab ia berkaitan dengan aqidah tampaknya berkaitan dengan munculnya pendapat tentang tiga kelompok yang berbeda ketika menerima berita tentang peristi­wa Israk Miraj ini. Kelompok pertama berprinsip sami’na wa ata’na (Kami dengar dan kami patuhi), tanpa mempertanyakan, begitu mendengar perjalanan segi tiga Nabi Muhammad yaitu melakukan Israk (perjalanan) dari masjid al-Haram Mekah menuju masjid al-Aqsha di Palestina lalu naik (miraj) ke langit yang amat tinggi, bahkan sampai ke Sidratul Muntaha, lalu turun kembali di masjid al-Haram Mekah hanya dalam waktu satu malam. Tokoh dari kelompok ini sering disebut Abu Bakar, sehingga ia digelar ash-Shiddiq (orang yang membenarkan).

Kelompok kedua, begitu mende­ngar berita menggemparkan ini lang­sung mendustakannya, bahkan mengejek Nabi. Tokohnya adalah Abu Jahl dan kawan-kawannya. Sedangkan kelompok ketiga ragu-ragu, tokoh utamanya adalah Abu Thalib. Kelompok pertama disebut mukmin, kedua disebut kafir sedangkan ketiga disebut munafik.

Benarkah peristiwa Israk Miraj cu­kup diterima dengan iman lalu meng-cancel peranan akal? Bukankah akal salah satu faktor yang mengangkat derajat manusia di antara makhluk lainnya? Seharusnya agama harus diuji dengan akal, bukan justru menyingkirkan akal pada hal-hal tertentu, termasuk persoalan kebenaran peristiwa Israk Miraj. Sebab dengan akal manusia dapat mengenal hakikat dirinya hingga akhirnya ia menemukan hakikat Tuhan-Nya.

Ada beberapa pendapat yang muncul dan mencoba merasionalkan peristiwa Israk Miraj. Abdul Gafur misalnya bercerita, seperti cerita Buya Hamka, tentang lalat di lapangan terbang. Ada seekor lalat yang hinggap di minuman seorang penumpang lalu hinggap dibajunya. Pesawat itupun berangkat dari Jakarta menuju Singapura, lalu lalat itupun tetap menempel hingga penumpang itu balik lagi ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, lalat itu menyampaikan kabar itu kepada bangsa lalat. Maka lalat yang lain mengatakan berita itu tidak masuk akal. Sebab jarak terbang lalat hanya beberapa kilometer, tidak mungkin dalam satu hari pulang pergi Jakarta-Singapura. Tampaknya upaya rasional ini masih bersifat analogis.

Kemudian Jalaluddin Rahmat dalam buku ”Kuliah Tasawuf” (2000: 293) juga mencoba merasionalisasikan peristiwa Israk Miraj. Menurutnya, untuk menjawab apakah Israk Miraj masuk akal atau tidak, kita harus menjernihkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan masuk akal. Pada umumnya, orang menyebut sesuatu itu tidak masuk akal untuk tiga hal. Pertama, untuk hal-hal yang tidak empiris—pandangan ini sering muncul dari pemahaman barat yang hanya mengaku suatu kebenaran jika bersifat empiris. Empiris adalah hal-hal yang bisa diukur, diamati dengan panca indera, bisa dilacak dengan materi dan tidak ghaib.

Masih menurut Jalaluddin Rahmat, baik yang lahir maupun yang ghaib, sama-sama masuk akal. la mencontohkan luka seseorang bisa disembuhkan oleh obat merah, lalu secara empiris bisa dilacak kenapa obat merah bisa menumbulkan reaksi sehingga luka tersebut sembuh. Sebaliknya ada juga orang yang menyembuhkan hanya membaca al-fatihah, bahkan luka itu dalam waktu sekejap tertutup sehat kembali. Hal ini bukan tidak masuk akal, hanya saja tidak bisa dilacak secara empiris, sebab termasuk hal yang ghaib.

Kedua, orang sering menganggap tidak masuk akal pada hal-hal yang menyimpang dari rata-rata (kebiasaan). Ada orang yang tidak percaya tentang kisah Ali bin Abi Thalib yang meng­angkat pintu benteng Khaibar sendirian dimana seusai perang pintu itu menjadi jembatan dan beberapa orang mencoba mengangkatnya tetapi mereka tidak sanggup. Padahal hari ini banyak ditemukan orang yang memiliki kemampuan di luar rata-rata kemampuan orang lain seukuran/seberat dengannya. Seperti yang ada dalam catatan Guiness Book of Records, ada orang yang bisa menarik pesawat yang sedang lepas landas dengan kedua tangannya. Lagi-lagi hal ini bukan tidak masuk akal, tetapi hanya menyimpang dari rata-rata. Kalau anda belajar statistik, akan ditemukan kajian tentang kurvabel, yang didalamnya terdapat data yang menyimpang dari rata-rata.

Ketiga, ada orang yang menyebut sesuatu tidak masuk akal, karena dia tidak memahaminya. Inilah cara berpikir yang paling primitif, diantara cara berpikir sebelumnya. Jangan menggeneralisasi, bahwa sesuatu tidak masuk akal, tidak rasional, dan tidak logis, sementara ia tidak paham sama sekali tentang persoalan tersebut. Dengan demikian, peristiwa Israk Miraj memang suatu mujizat yang di luar dari kebia­saan orang dan berhubungan dengan hal-hal yang ghaib, tetapi bukan berarti tidak masuk akal.

Selain dari upaya rasionalisasi yang dilakukan Jalaluddin di atas, bisa juga dilakukan dengan pendekatan kemampuan otak. Hal ini sesuai de­ngan perkembangan ilmu mutakhir yang membagi cara berpikir otak menjadi dua belahan, yaitu otak kanan dan otak kiri. Otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, objektif dan rasional. Walaupun ia berdasarkan realitas, ia mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis, jadi masih ada peluang untuk berfikir dan membenarkan yang abstrak/ghaib, tentunya dengan berbagai upaya suatu proses berpikir, yang bisa disebut rasionalisasi.

Sementara cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, subjektif, dan holistik. Cara berpikir otak kanan inilah yang lebih menerima dan mampu melakukan rasionalisasi tentang adanya Tuhan dan kekuatan-kekuatan yang dimiliki-Nya, termasuk dalam memberangkatkan hamba-Nya, Nabi Muhammad melintasi negeri, bahkan angkasa, mikraj menghadap-Nya. Sebab, cara berpikirnya yang intuitif dan holistik.

Dalam pandangan Kun Nurachadijat (2004: 4-5), dalam Visi Merah Putih-nya, kedua belahan otak ini masing-masing memiliki kitab suci. Otak kiri disebut memiliki kitab suci kauniyah (Hukum-hukum alam semesta), sebab kecenderungan otak kiri kepada konsep-konsep realitas yang dapat disaksikan dan dikaji dalam alam semesta. Sedangkan otak kanan disebut memili­ki kitab suci qauliyah (Wahyu Allah/ Al-Quran), sebab kecenderungan otak kanan kepada hakikat, suara hati, atau bisa juga disebut rasa atau kalbu sehingga ia lebih membutuhkan Tuhan sebagai pelindung dan pemeliharanya.

Menurut trainer NDP/NIK "senior" HMI ini, metode yang dilakukan dalam pengenalan Tuhan secara rasional adalah dengan pengalokasian kitab suci-Nya terhadap masing-masing otak secara proporsional agar pemahaman kedua otak terhadap Tuhan termasuk kekuasaan-Nya yang di luar kebiasaan penglihatan manusia pada umumnya, seperti Israk Mik'raj dapat dilakukan secara utuh.

Dengan demikian, kemampuan kedua belahan otak ini tidak bisa dipisahkan begitu saja, tetapi mesti disatukan sehingga kebenaran yang akan ditemukannya diperoleh secara utuh. Artinya kebenaran itu akan diterima oleh akal dan kalbu secara terpadu. Kaitannya dengan peristiwa Israk Mikraj adalah kemampuan berpikir kedua belah otak ini secara utuh akan mem­benarkan peristiwa yang menakjubkan itu di mana peristiwa itu mengandung pesan berupa kitab kauniyah dan kitab qauliyah. Karena Muhammad dalam Mikrajnya melintasi ruang angkasa, mangandung pesan bahwa manusia memang mampu melintasi ruang ang­kasa sebagai bagian dari ilmu pengetahuan alam/sains modern. Inilah pesan kitab kauniyah. Bahkan dalam perkembangannya, kemampuan manusia terus meningkat dalam menjelajah alam semesta. Jika Nabi Muhammad mampu melintasi angkasa dengan kekuasaan Allah berupa mukjizat, maka manusia mampu melintasinya dengan kekuatan berupa ilmu pengetahuan. Ini sesuai dengan Firman-Nya: Hai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup (mel­intasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menem-busnya melainkan dengan kekuatan (sulthan). (QS. Ar-Rahman/55: 33).

Sedangkan pesan kitab qauliyah, peristiwa ini merupakan tanda kebesaran Allah yang akan menambah keimanan hamba-Nya dan semakin dekat (taqarrub) kehadirat-Nya. Firman-Nya: Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. Al-Israk/17:l).

Untuk memperoleh pengetahuan yang lebih rasional dan dapat diterima oleh kalbu dan akal secara utuh, juga dapat dilakukan dengan cara-cara yang dikemukakan oleh ahli tasawuf, dima­na untuk mencari kebenaran bisa melalui riyadhah, yakni dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Allah akan memberikan pengetahuan kepada seseorang jika ia benar-benar taqarrub kepada-Nya. Jadi ada ilmu yang diberikan Allah kepada seseorang setelah orang itu mendekati-Nya. Semoga kita termasuk ke dalamnya. Wallahu a’lam bissawab.

Zikir, Pikir, Mahir

Tidak ada komentar: