Jumat, Juli 09, 2010

Materialisme Pendidikan

Oleh: Muhammad Kosim

Setiap orang pasti menginginkan kesuksesan. Melalui pendidikan, diyakini kesuksesan tersebut akan dapat diraih. Karena itu, orang tua yang menginginkan anaknya sukses, akan berupaya menyekolahkan anaknya hingga ke tingkat yang tertinggi, sesuai dengan kemampuannya.

Namun, kesuksesan kerapkali dinilai dari materi yang diperoleh. Semakin besar penghasilan—terutama secara financial—seseorang, maka semakin tinggi nilai kesuksesannya. Asumsi semacam ini selanjutnya berpengaruh ke dalam dunia pendidikan itu sendiri. Di perguruan tinggi, misalnya, semakin besar penghasilan yang diperoleh oleh sarjana lulusan dari jurusan tertentu, maka semakin besar pula minat masyarakat untuk memasukinya. Tidak saja minat masyarakat yang meningkat, pengelolaan lembaga pendidikan pun cenderung dikomersilkan.

Ketika lulusan dari jurusan tertentu di perguruan tinggi tersebut lebih menjanjikan masa depannya secara financial, maka semakin mahal pula biaya pendidikannya. Persaingan pun sangat ketat, tidak saja persaingan kemampuan intelektual, tetapi juga kemampuan financial. Bahkan kita masih sering mendengar, ada di antara orang tua yang harus mencari ‘jalan pintas’ mengeluarkan biaya yang relative besar sebagai ‘uang hilang’ untuk menyogok oknum pejabat structural di lembaga pendidikan tersebut agar anaknya diterima pada perguruan tinggi yang diyakini menjanjikan penghasilan yang lebih tinggi.

Akibatnya, ketika mereka menjalani profesinya, tentu lebih berorientasi kepada materi. Mereka akan bekerja dan berkarya jika memperoleh uang yang relative besar jumlahnya. Rasa kemanusiaan (sense of humanity) pun berlahan sirna. Semuanya diukur dengan materi.

Ketika ia menjadi pejabat, hanya melihat rakyatnya sebagai objek kebijakan yang menghasilkan proyek milyaran rupiah. Dia tidak dapat merasakan tetesan air mata kepedihan di balik mata-mata yang cekung dan ungkapan kemiskinan di sela-sela tulang rusuk yang mencuat. Seorang sarjana saintis memang mampu menyaksikan keteraturan alam, tetapi ia tidak menyadari kuasa Tuhan yang menciptakannya, sehingga alam hanya dieksploitasi untuk kepentingan sesaat. Seorang dokter sangat lihai menangani penyakit fisik, namun sayang ia tidak mampu mengenal hakikat manusia sehingga setiap pasien yang datang hanya dipandang laksana mesin ATM yang siap mengeluarkan sejumlah uang. Seorang ahli hukum memahami dan hafal pasal demi pasal yang dibuat oleh tangan-tangan manusia, tetapi ia tidak mengenal ayat-ayat Tuhan sehingga keadilan bisa digadaikan demi beberapa lembaran rupiah. Seorang atasan akan tampil sebagai pimpinan yang memposisikan dirinya sebagai orang yang harus dilayani dan semaunya memotong gaji bawahannya untuk menambah pundi-pundi kekayaannya. Bahkan seorang yang dipandang ustadz pun akan lebih memilih jamaah yang memberikan amplop tebal dibandingkan jamaah di surau kecil yang hanya memberikan ucapan terima kasih.

Contoh di atas bisa terjadi jika proses pendidikan yang dilaluinya lebih berorientasi kepada materi. Sungguh memprihatinkan masa depan bangsa ini jika hanya dihuni oleh manusia yang hanya mementingkan materi. Sebab ketika manusia hanya mementingkan materi, maka ia telah mengabaikan hakikat dirinya yang sesungguhnya, yaitu makhluk yang memiliki dimensi ruhani.

Dalam perspektif psikologi Islam, manusia terdiri dari dimensi ruhani dan jasmani. Psikolog Muslim, Abdul Mudjib, dalam bukunya “Psikologi Kepribadian Islam” berpendapat bahwa secara garis besar manusia terdiri dari dimensi ruh, nafsu dan jasad. Jasad atau jism diciptakan Allah dari unsur tanah, yang pada gilirannya akan mengakibatkan kecenderungan manusia kepada hal-hal yang bersifat materi; seperti uang, harta benda, kendaraan, rumah, pasangan hidup, dan sebagainya. Sedangkan ruhani/psikis diciptakan Allah dari ruh ciptaan-Nya yang membawa kecenderungan kepada ketenangan, kedamaian, bersifat transcendental, nilai-nilai positif, dan sebagainya. Ketika ruh dan jasad bersatu maka muncullah dimensi nafsu atau jiwa sehingga muncul pula potensi akal, nafsu, qalbu, dan sebagainya sehingga manusia menjadi kreatif, inovatif, dan produktif dalam berkarya.

Dengan memahami hakikat struktur kepribadian manusia, maka orang-orang yang lebih mementingkan materi berarti ia hanya mementingkan aspek jasadnya semata. Padahal, jika manusia hanya mementingkan dimensi jasadnya, apa bedanya manusia itu dengan hewan? Bukankah hewan juga hanya mementingkan pemenuhan kebutuhan biologis/jasmaniah semata?

Agaknya inilah yang disinggung oleh Allah dalam al-Qur’an bahwa ketika manusia mengabaikan dimensi ruhaniahnya dalam berperilaku, maka derajatnya disamakan dengan hewan ternak, bahkan lebih rendah dari itu (Qs. Al-A’raf/7: 179). Bukan berarti manusia tidak boleh memenuhi kebutuhan jasmaniah dan menikmati kenikmatan materi yang bersifat duniawi (Qs. Al-Qashah: 77), namun materi bukan tujuan melainkan alat, sarana, atau media untuk mencapai puncak hakikat manusia yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, lembaga pendidikan mesti melakukan reorientasi agar kembali kepada fungsi pendidikan yang sesungguhnya, yaitu upaya sadar untuk memanusiakan manusia yang berdimensi jasmani dan ruhani. Selama ini lembaga pendidikan cenderung lebih memperhatikan aspek kognitif peserta didik. Kognisi anak didik itu pun diangka-angkakan. Peserta didik yang lebih tinggi angka perolehan kognisinya akan diberi penghargaan lebih. Sementara anak yang relatif rendah kemampuan kognitifnya (hard skills), meskipun baik akhlaknya (soft skills) cenderung tidak dihargai dan terabaikan.

Bukan berarti pendidikan ideal tidak menginginkan kecerdasan kognitif (IQ) peserta didik, akan tetapi mesti seimbang antara kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kecerdasan regius. Ketika seseorang memiliki kecerdasan intelektual/kognisi semata, maka kecerdasan yang ia miliki akan membuatnya lebih tertarik dan berorientasi kepada hal-hal yang bersifat materi atau duniawi sebab dimensi ruhaniyahnya telah kehilangan fungsi kontrolnya.

Dewasa ini, lembaga pendidikan, khususnya di tingkat sekolah menengah, telah mengeluarkan kebijakan bahwa siswa yang lulus tidak saja lulus pada ujian nasional (UN), akan tetapi mesti lulus tiga aspek lainnya, yaitu lulus semua program semester, lulus ujian sekolah, dan yang terpenting adalah memiliki kepribadian dan akhlak yang baik. Hanya saja konsistensi dan komitmen sekolah dituntut untuk mengembangkan pendidikan yang berorientasi kepada dimensi ruhaniyah, tanpa mengabaikan dimensi jasmaniyah; berorientasi kepada dimensi qalbiyah, tanpa mengabaikan dimensi aqliyah.

Demikian pula perguruan tinggi, diharapkan tidak saja mementingkan aspek materi. Meskipun kebutuhan masyarakat berbeda antara jurusan yang ada, bukan berarti jurusan yang lebih dibutuhkan lalu dikomersilkan. Sejatinya jurusan yang lebih dibutuhkan masyarakat berkompetesi untuk meningkatkan kualitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

Disamping peran lembaga pendidikan formal, peran lembaga pendidikan informal dalam keluarga sangat penting. Orang tua mesti memotivasi anaknya sejak dini agar menuntut ilmu bukan karena materi, tetapi untuk menjadi manusia yang banyak memberi manfaat bagi orang dan mengabdikan diri kepada Allah SWT. Perubahan paradigma pendidikan dari materialisme kepada pendidikan yang universal-holistik; memanusiakan manusia secara utuh, akan mampu terwujud dengan sinegisitas antara orang tua, sekolah dan masyarakat. Jika tidak, maka materi akan menjadi tujuan, bahkan bisa menjadi ‘tuhan’ bagi kehidupan manusia modern. Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....