Selasa, Juli 22, 2008

Rasionalisasi Peristiwa Israk Mikraj

Oleh: Muhammad Kosim LA

Salah satu pembicaraan yang selalu dikaitkan dengan peristiwa Israk Mikraj Nabi Muham­mad SAW adalah tentang ukuran keimanan umat Muhammad yang mendengar berita ini. Peristiwa Israk Mikraj merupakan peristiwa ketika iman diuji: apakah akal tunduk kepada wahyu, atau justru iman tunduk kepada akal. Kadangkala ada yang berpendapat kalau peristi­wa spektakuler ini hanya bisa diterima oleh iman, karena tidak masuk akal.

Adanya anggapan peristiwa Israk Miraj tidak boleh diterima oleh akal, tetapi cukup diterima oleh iman, sebab ia berkaitan dengan aqidah tampaknya berkaitan dengan munculnya pendapat tentang tiga kelompok yang berbeda ketika menerima berita tentang peristi­wa Israk Miraj ini. Kelompok pertama berprinsip sami’na wa ata’na (Kami dengar dan kami patuhi), tanpa mempertanyakan, begitu mendengar perjalanan segi tiga Nabi Muhammad yaitu melakukan Israk (perjalanan) dari masjid al-Haram Mekah menuju masjid al-Aqsha di Palestina lalu naik (miraj) ke langit yang amat tinggi, bahkan sampai ke Sidratul Muntaha, lalu turun kembali di masjid al-Haram Mekah hanya dalam waktu satu malam. Tokoh dari kelompok ini sering disebut Abu Bakar, sehingga ia digelar ash-Shiddiq (orang yang membenarkan).

Kelompok kedua, begitu mende­ngar berita menggemparkan ini lang­sung mendustakannya, bahkan mengejek Nabi. Tokohnya adalah Abu Jahl dan kawan-kawannya. Sedangkan kelompok ketiga ragu-ragu, tokoh utamanya adalah Abu Thalib. Kelompok pertama disebut mukmin, kedua disebut kafir sedangkan ketiga disebut munafik.

Benarkah peristiwa Israk Miraj cu­kup diterima dengan iman lalu meng-cancel peranan akal? Bukankah akal salah satu faktor yang mengangkat derajat manusia di antara makhluk lainnya? Seharusnya agama harus diuji dengan akal, bukan justru menyingkirkan akal pada hal-hal tertentu, termasuk persoalan kebenaran peristiwa Israk Miraj. Sebab dengan akal manusia dapat mengenal hakikat dirinya hingga akhirnya ia menemukan hakikat Tuhan-Nya.

Ada beberapa pendapat yang muncul dan mencoba merasionalkan peristiwa Israk Miraj. Abdul Gafur misalnya bercerita, seperti cerita Buya Hamka, tentang lalat di lapangan terbang. Ada seekor lalat yang hinggap di minuman seorang penumpang lalu hinggap dibajunya. Pesawat itupun berangkat dari Jakarta menuju Singapura, lalu lalat itupun tetap menempel hingga penumpang itu balik lagi ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, lalat itu menyampaikan kabar itu kepada bangsa lalat. Maka lalat yang lain mengatakan berita itu tidak masuk akal. Sebab jarak terbang lalat hanya beberapa kilometer, tidak mungkin dalam satu hari pulang pergi Jakarta-Singapura. Tampaknya upaya rasional ini masih bersifat analogis.

Kemudian Jalaluddin Rahmat dalam buku ”Kuliah Tasawuf” (2000: 293) juga mencoba merasionalisasikan peristiwa Israk Miraj. Menurutnya, untuk menjawab apakah Israk Miraj masuk akal atau tidak, kita harus menjernihkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan masuk akal. Pada umumnya, orang menyebut sesuatu itu tidak masuk akal untuk tiga hal. Pertama, untuk hal-hal yang tidak empiris—pandangan ini sering muncul dari pemahaman barat yang hanya mengaku suatu kebenaran jika bersifat empiris. Empiris adalah hal-hal yang bisa diukur, diamati dengan panca indera, bisa dilacak dengan materi dan tidak ghaib.

Masih menurut Jalaluddin Rahmat, baik yang lahir maupun yang ghaib, sama-sama masuk akal. la mencontohkan luka seseorang bisa disembuhkan oleh obat merah, lalu secara empiris bisa dilacak kenapa obat merah bisa menumbulkan reaksi sehingga luka tersebut sembuh. Sebaliknya ada juga orang yang menyembuhkan hanya membaca al-fatihah, bahkan luka itu dalam waktu sekejap tertutup sehat kembali. Hal ini bukan tidak masuk akal, hanya saja tidak bisa dilacak secara empiris, sebab termasuk hal yang ghaib.

Kedua, orang sering menganggap tidak masuk akal pada hal-hal yang menyimpang dari rata-rata (kebiasaan). Ada orang yang tidak percaya tentang kisah Ali bin Abi Thalib yang meng­angkat pintu benteng Khaibar sendirian dimana seusai perang pintu itu menjadi jembatan dan beberapa orang mencoba mengangkatnya tetapi mereka tidak sanggup. Padahal hari ini banyak ditemukan orang yang memiliki kemampuan di luar rata-rata kemampuan orang lain seukuran/seberat dengannya. Seperti yang ada dalam catatan Guiness Book of Records, ada orang yang bisa menarik pesawat yang sedang lepas landas dengan kedua tangannya. Lagi-lagi hal ini bukan tidak masuk akal, tetapi hanya menyimpang dari rata-rata. Kalau anda belajar statistik, akan ditemukan kajian tentang kurvabel, yang didalamnya terdapat data yang menyimpang dari rata-rata.

Ketiga, ada orang yang menyebut sesuatu tidak masuk akal, karena dia tidak memahaminya. Inilah cara berpikir yang paling primitif, diantara cara berpikir sebelumnya. Jangan menggeneralisasi, bahwa sesuatu tidak masuk akal, tidak rasional, dan tidak logis, sementara ia tidak paham sama sekali tentang persoalan tersebut. Dengan demikian, peristiwa Israk Miraj memang suatu mujizat yang di luar dari kebia­saan orang dan berhubungan dengan hal-hal yang ghaib, tetapi bukan berarti tidak masuk akal.

Selain dari upaya rasionalisasi yang dilakukan Jalaluddin di atas, bisa juga dilakukan dengan pendekatan kemampuan otak. Hal ini sesuai de­ngan perkembangan ilmu mutakhir yang membagi cara berpikir otak menjadi dua belahan, yaitu otak kanan dan otak kiri. Otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, objektif dan rasional. Walaupun ia berdasarkan realitas, ia mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis, jadi masih ada peluang untuk berfikir dan membenarkan yang abstrak/ghaib, tentunya dengan berbagai upaya suatu proses berpikir, yang bisa disebut rasionalisasi.

Sementara cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, subjektif, dan holistik. Cara berpikir otak kanan inilah yang lebih menerima dan mampu melakukan rasionalisasi tentang adanya Tuhan dan kekuatan-kekuatan yang dimiliki-Nya, termasuk dalam memberangkatkan hamba-Nya, Nabi Muhammad melintasi negeri, bahkan angkasa, mikraj menghadap-Nya. Sebab, cara berpikirnya yang intuitif dan holistik.

Dalam pandangan Kun Nurachadijat (2004: 4-5), dalam Visi Merah Putih-nya, kedua belahan otak ini masing-masing memiliki kitab suci. Otak kiri disebut memiliki kitab suci kauniyah (Hukum-hukum alam semesta), sebab kecenderungan otak kiri kepada konsep-konsep realitas yang dapat disaksikan dan dikaji dalam alam semesta. Sedangkan otak kanan disebut memili­ki kitab suci qauliyah (Wahyu Allah/ Al-Quran), sebab kecenderungan otak kanan kepada hakikat, suara hati, atau bisa juga disebut rasa atau kalbu sehingga ia lebih membutuhkan Tuhan sebagai pelindung dan pemeliharanya.

Menurut trainer NDP/NIK "senior" HMI ini, metode yang dilakukan dalam pengenalan Tuhan secara rasional adalah dengan pengalokasian kitab suci-Nya terhadap masing-masing otak secara proporsional agar pemahaman kedua otak terhadap Tuhan termasuk kekuasaan-Nya yang di luar kebiasaan penglihatan manusia pada umumnya, seperti Israk Mik'raj dapat dilakukan secara utuh.

Dengan demikian, kemampuan kedua belahan otak ini tidak bisa dipisahkan begitu saja, tetapi mesti disatukan sehingga kebenaran yang akan ditemukannya diperoleh secara utuh. Artinya kebenaran itu akan diterima oleh akal dan kalbu secara terpadu. Kaitannya dengan peristiwa Israk Mikraj adalah kemampuan berpikir kedua belah otak ini secara utuh akan mem­benarkan peristiwa yang menakjubkan itu di mana peristiwa itu mengandung pesan berupa kitab kauniyah dan kitab qauliyah. Karena Muhammad dalam Mikrajnya melintasi ruang angkasa, mangandung pesan bahwa manusia memang mampu melintasi ruang ang­kasa sebagai bagian dari ilmu pengetahuan alam/sains modern. Inilah pesan kitab kauniyah. Bahkan dalam perkembangannya, kemampuan manusia terus meningkat dalam menjelajah alam semesta. Jika Nabi Muhammad mampu melintasi angkasa dengan kekuasaan Allah berupa mukjizat, maka manusia mampu melintasinya dengan kekuatan berupa ilmu pengetahuan. Ini sesuai dengan Firman-Nya: Hai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup (mel­intasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menem-busnya melainkan dengan kekuatan (sulthan). (QS. Ar-Rahman/55: 33).

Sedangkan pesan kitab qauliyah, peristiwa ini merupakan tanda kebesaran Allah yang akan menambah keimanan hamba-Nya dan semakin dekat (taqarrub) kehadirat-Nya. Firman-Nya: Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. Al-Israk/17:l).

Untuk memperoleh pengetahuan yang lebih rasional dan dapat diterima oleh kalbu dan akal secara utuh, juga dapat dilakukan dengan cara-cara yang dikemukakan oleh ahli tasawuf, dima­na untuk mencari kebenaran bisa melalui riyadhah, yakni dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Allah akan memberikan pengetahuan kepada seseorang jika ia benar-benar taqarrub kepada-Nya. Jadi ada ilmu yang diberikan Allah kepada seseorang setelah orang itu mendekati-Nya. Semoga kita termasuk ke dalamnya. Wallahu a’lam bissawab.

Zikir, Pikir, Mahir

Baco Tokhus....

Sabtu, Juli 12, 2008

Pendidikan Al-Qur’an di Sumatera Barat; Antara Harapan dan Tantangan

Oleh: Muhammad Kosim LA

Masyarakat Sumatera Barat patut berbangga dengan lahirnya Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pendidikan al-Qur’an. Dengan adanya Perda ini, filosofi ”Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), Syarak Mangato Adat Mamakai” diharapkan dapat tercermin dalam sikap dan tingkah laku generasi yang akan datang. Tidak itu saja, tujuan pendidikan nasional yang menginginkan terwujudnya peserta didik yang beriman dan bertakwa serta berakhlakul mulia (UU Sisdiknas Tahun 2003 pasal 3) akan dapat tercapai.

Oleh karena itu, Perda tersebut langsung ditindaklanjuti oleh Dinas Pendidikan Propinsi Sumatera Barat dengan menyusun draf kurikulum Pendidikan al-Qur’an tingkat SD, SMP, SMA, dan SMK. Draf tersebut telah mulai disusun sejak bulan Nopember 2007 dan baru diseminarkan pada tanggal 4 hingga 6 April 2008. Seminar itu dihadiri oleh beberapa unsur, di antaranya: kepala sekolah, dinas pendidikan kota/kabupaten, Departemen Agama kota/kabupaten, MUI, dan LKAAM. Kemudian Draf tersebut telah selesai dirumuskan oleh tim sekitar bulan Juni lalu dan pada tahun pelajaran 2008/2009 ini akan dilaksanakan satu sekolah piloting pelaksana Kurikulum Pendidikan al-Qur'an tingkat SD, SMP, SMA dan SMK di setiap 19 kota/kabupaten yang ada di seluruh Sumatera Barat.

Masyarakat Sumatera Barat yang mayoritas muslim jelas akan mendukung kebijakan ini. Betapa tidak, budaya ”mangaji di Surau” yang mengakar di masyarakat pada masa lalu kerap kali dirindukan oleh generasi saat ini. Terlebih lagi ketika didorong oleh keimanan terhadap al-Qur’an sebagai pedoman dan kitab petunjuk bagi umat Islam. Firman-Nya: "Al-Qur'an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (Qs. Al-A’raf/7: 203).
Al-Qur’an tidak akan berfungsi jika tidak diamalkan. Untuk mengamalkan al-Qur’an tersebut perlu mempelajarinya. Proses mempelajari al-Qur’an itu akan efektif dilakukan melalui pendidikan yang terstruktur dan terencana. Disinilah perlunya pendidikan al-Qur’an, di mana dalam pendidikan tersebut akan dilakukan proses belajar mengajar dengan harapan peserta didik mampu memahami dan mengamalkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari sehingga kebahagiaan hakiki ia dapatkan baik di dunia maupun di akhirat. Pantaslah Rasulullah SAW menyebutkan: ”Sebaik-baik di antara kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengamalkannnya”.
Namun untuk melaksanakan pendidikan al-Qur’an ini, terdapat beberapa tantangan. Pertama, status pendidikan al-Qur’an sebagai mata pelajaran muatan lokal. Dalam PERDA No. 3 Tahun 2007 tersebut dijelaskan bahwa pendidikan al-Qur’an termasuk ke dalam muatan lokal. Sementara dalam KTSP, muatan lokal hanya dapat dilaksanakan oleh pihak sekolah 2 hingga 4 jam pelajaran. Dalam Buku Saku KTSP untuk SMP yang diterbitkan oleh Dirjend. Manajemen Pendidikan Sekolah Dasar dan Menengah Tahun 2007 memang disebutkan bahwa alokasi waktu muatan lokal yang diizinkan minimal 2 jam pelajaran dan maksimal 6 jam pelajaran (hal. 14).

Namun kenyataannya, kebanyakan sekolah hanya menerapkan 2 hingga 4 jam. Sementara masing-masing sekolah pada umumnya telah memiliki mata pelajaran muatan lokal sesui dengan karakteristik sekolah dan daerah masing-masing. Akibatnya, kehadiran mata pelajaran Pendidikan Al-Qur’an akan menjadi persoalan baru, apakah muatan lokal yang telah ada dihapuskan? Jika tidak dihapuskan, mungkinkah akan menambah beban belajar peserta didik? Bisa jadi persoalan ini akan mengundang perdebatan dan penerapan pendidikan al-Qur’an mendapat sorotan.

Kedua, guru yang bertugas membimbing mata pelajaran pendidikan al-Qur’an. Pendidikan al-Qur’an bukan saja mengajarkan baca-tulis al-Qur’an, akan tetapi lebih dari itu, peserta didik akan dibimbing agar mampu membacanya dengan tartil, memahami arti dan kandungannya, menghafal beberapa surat dari Juz ‘Amma dan beberapa ayat pendek lainnya serta mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, pendidikan al-Qur’an sejatinya lebih menekankan aspek apektif dan psikomotor peserta didik sehingga al-Qur’an bukan tinggal di “kepala” tetapi terintegrasi dalam kepribadiannya. Inilah tugas yang amat berat. Maka guru yang membimbing mata pelajaran ini mesti dipersiapkan secara profesional. Dari segi bacaan dan pemahaman kandungan al-Qur’an, yang paling tepat mengajarkannya adalah guru yang berasal dari dari Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an, seperti STAI-PIQ yang ada di Kota Padang. Namun, untuk mendidik siswa memiliki kepribadian yang Qur’any tentu menjadi tantangan tersendiri bagi guru yang kelak akan mengasuh mata pelajaran ini.
Ketiga, dukungan orang tua dan masyarakat. Meskipun pendidikan al-Qur’an diterapkan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, akan tetapi pendidikan tersebut mesti didukung oleh orang tua dan masyarakat luas. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, pendidikan al-Qur’an lebih menekankan kepada aspek pengamalan, bukan pengetahuan. Pengamalan tersebut tentunya tidak hanya di sekolah saja, tetapi di rumah dan masyarakat sekitar juga harus diamalkan. Maka peran orang tua sangat menentukan. Di rumah, misalnya, orang tua mesti memotivasi anaknya untuk menghidupkan rumah mereka dengan bacaan al-Qur’an. Demikian halnya di tengah-tengah masyarakat, penduduk setempat seyogiyanya mengawal akhlak generasi mudanya untuk berperilaku mulia. Dalam hal ini, pendekatan keteladanan sangat menentukan. Jika orang tua dan masyarakat tidak memperhatikannya, maka keberhasilan pendidikan al-Qur’an pun niscaya akan terhambat.
Menghadapi tantangan tersebut, perlu komitmen bersama dari berbagai pihak, terutama stakeholder pendidikan, agar pendidikan al-Qur’an dapat diterapkan dan menghasilkan sebagaimana yang diharapkan. Pihak pemerintah, terutama dinas pendidikan kota/kabupaten mesti mampu menjelaskan secara logis dan argumentatif kepada para kepala sekolah agar menerapkan kurikulum ini. Meski hanya muatan lokal, tetapi mata pelajaran ini bukanlah sebatas “pelengkap”, tetapi harus mampu “mewarnai” mata pelajaran yang lain. Sulitnya membentuk karakter (caracter building) yang mulia dan sesuai dengan nilai-nilai Islam perlu disadari oleh pihak sekolah sehingga muncul berbagai upaya untuk mencari solusinya. Mata pelajaran ini menjadi salah satu solusi untuk mengatasi persoalan tersebut.
Persoalan statusnya sebagai muatan lokal, perlu juga didiskusikan dengan cara bijak dan objektif. Jika pendidikan al-Qur’an dilaksanakan secara profesional dan didasari oleh motivasi iman, maka mata pelajaran ini bukan menjadi beban, malah kebutuhan yang amat menyenangkan. Untuk itu, mempersiapkan guru secara profesional harus dilakukan, baik melalui pembekalan berupa training atau workshop, maupun melengkapi sarana pendukung.

Oleh karena itu, baik pemerintah, pihak sekolah, orang tua, maupun masyarakat sekitar perlu membangun kesadaran atas dasar iman. Berbagai persoalan yang dihadapi dewasa ini tidak akan dapat diatasi kecuali berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur’an. Lagi-lagi al-Qur’an bukan hanya hiasan lemari, kitab suci ketika acara pernikahan, atau kitab penawar hati ketika datang kematian, akan tetapi al-Qur’an adalah pedoman hidup yang tidak bisa ditawar bagi orang yang menginginkan keselamatan. Jika berbuat atas motivasi iman, berbagai tantangan akan dapat dihadapi dan harapan mewujudkan generasi Qur’any dapat tercapai, Insya Allah.

Zikir, Pikir, Mahir

Baco Tokhus....

Mempertanyakan Eksistensi HMI

Muhammad Kosim LA

Tepat pada tanggal 5 Februari 1947, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta, Lafran Pane memprakarsai berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dari segi internal, setidaknya ada dua hal yang memotivasi Lafran Pane mendirikan organisasi tersebut, yaitu untuk mempertahankan kemerdekaan di mana penjajah Belanda masih bertahan di tanah air dan keinginan untuk memurnikan ajaran Islam dimana masyarakat muslim sangat rentan terserang virus TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat)

Salah satu fenomena yang berkenaan dengan virus tersebut justru mewabah hingga kampus di mana muncul pameo “Bukan mahasiswa jika tidak pandai berdansa”, padahal mereka menganut agama Islam. Dengan kegigihan dan perjuangan yang ikhlas, Lafran Pane beserta kawan-kawan melakukan berbagai aktivitas demi agama dan bangsa sehingga HMI menjadi organisasi yang besar dan melahirkan para aktivis yang handal.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa HMI memiliki peranan besar dalam membangun bangsa yang “religius” ini. Misi ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang mengakar dalam setiap gerakan kader HMI mengantarkan organisasi ini banyak diterima dan diminati oleh kaum intelektual muda. Betapa tidak, dengan kedua misi tersebut, para kader akan terhindar dari fanatisme agama yang berlebihan atau sebaliknya yang cenderung mempertentangkan antara kehidupan berbangsa dan beragama.Namun, kajayaan dan kebesaran HMI nyaris mengalami romantisme sejarah. “Nikmatnya” ber-HMI lebih dirasakan oleh para kader yang kini telah menjadi alumni.

Sanjungan dan pujian terhadap kader-kader HMI acap kali menjadi diskusi menarik di kalangan alumni. Sementara gerakan kader saat ini, lebih menjadi “kerinduan” orang-orang yang bangga terhadap HMI dalam menyikapi perkembangan bangsa dan agama. Tegasnya, eksistensi HMI mulai dipertanyakan di era serba terbuka ini.Agaknya popularitas HMI mulai berkurang pasca Reformasi. Bukan karena reformasinya an sich, akan tetapi banyak hal yang mempengaruhinya. Sebab, krisis multidimensi yang terjadi di masa transisi orde baru-reformasi telah merambat ke berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk perkembangan organisasi kemahasiswaan. Artinya, tidak hanya HMI yang mengalami problema tersebut.

Kemudian, peran alumni, misalnya, meski diakui bahwa alumni berperan penting dalam membangun bangsa tetapi di antara mereka juga ada yang terlibat merusak bangsa ini. Tentunya, fenomena itu lebih terasa pasca reformasi. Selain itu, gerakan mahasiswa pun bermunculan laksana jamur di musim hujan tatkala kran demokrasi dan kebebasan berpendapat terbuka lebar.

Dari tahun ke tahun, perkembangan masing-masing organisasi tersebut yang tentunya memiliki karakteristik tersendiri dan bisa jadi belajar kepada organisasi yang telah ada, tampil populer di kalangan mahasiswa. Dan tidak menutup kemungkinan sistem perkaderannya lebih baik dari HMI. Oleh karena itu, di usia yang ke-61 ini, HMI mesti melakukan reorienstasi terhadap gerakan dan perkaderan HMI. Walaupun HMI telah memiliki tujuan dan misi yang jelas, akan tetapi perlu mengambil langkah yang strategis untuk mencapai tujuan tersebut. HMI ditantang dan dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan umat dalam konteks kekinian dan kedisinian.

Untuk memenuhi harapan tersebut, HMI harus mampu menginterpretasikan spirit perjuangan Lafran Pane sesuai kebutuhan saat ini. Kehidupan beragama umat Islam, misalnya, masih banyak problema yang belum terselesaikan dan malah semakin rumit. Tidak hanya ajaran agama yang terkena virus TBC saja, bahkan penyimpangan akidah yang sangat prinsip dan krusial pun mengancam kehidupan umat. Munculnya aliran-aliran sesat yang mengatasnamakan ajaran Islam merupakan contoh kongkrit yang perlu diperhatikan. Begitu juga degradasi moral yang tidak hanya dialami oleh masyarakat awam, tetapi kalangan intelektual muda di kampus juga bisa terjadi. Jika Lafran Pane gelisah dengan anggapan mahasiswa di masanya yang menganggap modern dengan berdansa, maka kader HMI saat ini sejatinya turut gelisah dengan kondisi kaum muda yang menjadi korban budaya asing dengan meninggalkan ajaran agama hanya karena memuja kebebasan yang kebablasan atau yang serupa dengannya.

Ketika umat tidak konsisten terhadap keyakinannya serta tidak mencintai adat istiadat yang mengandung nilai-nilai luhur di tengah-tengah masyarakatnya, maka kebudayaan asing yang dianggap lebih maju dan beradab akan segera menjajahnya dengan berupaya mengadopsinya secara utuh tanpa filter yang bijak.Persoalan meniru budaya luar yang dianggap lebih maju, juga pernah terjadi di dunia umat Islam-Kristen di masa kejayaan Islam.

Di Sisilia misalnya, Rajanya, Roger II, terpengaruh dengan peradaban Islam. Buktinya pakaian kebesaran yang dipilihnya adalah pakaian Islam sehingga lawan politiknya menyebutnya sebagai "half heathen king" (raja setengah kafir). Gerejanya ia hiasi dengan ukiran dan tulisan Arab. Perempuan Kristen Sisilia meniru saudaranya muslimah dalam soal mode pakaian, mereka mengenakan Jilbab. Ketertarikan terhadap peradaban Islam zaman klasik itu bukan hanya dari orang-orang Eropa yang berada di daerah atau bekas daerah yang dikuasai Islam, melainkan juga dilakukan oleh orang-orang di Inggris, Perancis, Jerman dan Italia.

Kini, suasananya berbalik 180 derajat. Tidak sedikit di antara umat Islam justru meniru Barat. Jika yang dicontoh adalah semangat etos kerjanya, disiplin, atau pengembangan ilmu pengetahuan, tidak masalah!. Tetapi yang dicontoh kadang-kadang adalah budayanya yang bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, seperti cara berpakaian, pergaulan bebas, gaya hidup materialistis, pragmatis, liberal, dan budaya negative lainnya.

Menyikapi persoalan ini, HMI masih memiliki peluang besar untuk tampil sebagai organisasi kader yang dibutuhkan dan dirindukan eksistensinya dalam mengabdi untuk agama dan bangsa ini. Dengan perkaderan yang baik, diharapkan di internal HMI terjalin pembinaan keagamaan yang sesuai dengan ajaran Islam sesungguhnya sehingga akidahnya benar, ibadahnya tekun, dan akhlaknya mulia. Dengan begitu, HMI akan mampu menjalankan misi ke-Islaman dan ke-Bangsaan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas melalui berbagai aktivitas dan gerakan-gerakan yang spektakuler, bukan mencari-cari atau menambah masalah tetapi mencari dan menemukan solusi.

Selain itu, HMI harus berani melakukan berbagai inovasi dan reformasi baik dalam sistem perkaderan, sistem pembinaan organisasi, struktural organisasi, dan hal-hal yang berkaitan lainnya dengan tetap mengacu kepada tujuan yang telah ditetapkan. Jika di masa lalu kader HMI lebih dikenal sebagai kader yang pandai beretorika, kecerdasan intelektual tinggi, mudah bersosialisasi, lihai berpolitik, dan sebagainya, maka saat ini keahlian tersebut tidak hanya sampai di situ saja. Lebih dari itu, kader HMI dituntut untuk memiliki lima kualitas insan cita yang pada dasarnya menginginkan pengembangan kepribadian yang sehat dengan membangun multi kecerdasan. Tanpa ada upaya seperti itu, bisa jadi eksistensi HMI tak lagi bernyali, pengabdian terhadap agama dan bangsa akan terhenti mati dan kebesaran HMI hanya tinggal di prasasti.

Zikir, Pikir, Mahir

Baco Tokhus....

Reformulasi Pola Perkaderan HMI

Oleh: Muhammad Kosim LA

Tanggal 5 Februari 1947 yang lalu, Mahasiswa Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta yang benama Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat dengan HMI. Nama HMI semakin populer tatkala sejumlah alumninya berkiprah di berbagai bidang, terutama di dunia akademik dan pentas politik nasional. HMI memang bukan organisasi politik, tetapi HMI adalah organisasi kader. Agaknya, karena HMI merupakan organisasi kader dengan misi ke-Islaman dan ke-Indonesiaan membuat organisasi ini bisa bertahan melintasi zaman pasca kemerdekaan Indonesia hingga saat ini. Namun seiring dengan perkembangan zaman, gerakan kader HMI nyaris tak bergema dalam membangun bangsa dan menyikapi persoalan agama. Padahal usia 61 seyogyanya membuat organisasi ini semakin dewasa dan berwibawa.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa HMI mengalami idealisasi dan romantisasi masa lalu. Bahkan ada yang berpendapat bahwa kejayaan HMI hanya sebuah mitos. Dan tampaknya, popularitas HMI saat ini lebih dikarenakan kiprah para alumninya. Lalu, bagaimana dengan kader HMI saat ini?

Pada dasarnya merosotnya kualitas kader dipengaruhi oleh banyak faktor. Pasca orde baru, misalnya, krisis multidimensi yang terjadi di masa transisi orde baru-reformasi telah merambat ke berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk perkembangan organisasi kemahasiswaan. Artinya, tidak hanya HMI yang mengalami problema tersebut. Yang jelasnya, kondisi yang dialami oleh kader masa lalu jauh berbeda dengan kondisi yang dihadapi oleh kader saat ini. Oleh karena itu, HMI mesti bersifat adaptif terhadap kebutuhan dan tuntutan zaman. Dalam hal ini, HMI mesti berani untuk melakukan perubahan di berbagai aspek dengan tetap berlandaskan kepada idealisme HMI yang terangkum dalam tujuan dan misi HMI. Adapun cara yang efektif untuk melakukan perubahan itu adalah melalui pola perkaderan. Artinya pola perkaderan yang berlaku selama ini pun perlu mendapat sorotan sebab pola perkaderan tersebut sangat menentukan maju mundurnya HMI.

Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa pola perkaderan HMI—dalam hal ini perkaderan formal—adalah perkaderan terbaik. Seperti yang pernah dikatakan oleh Abdullah Hemahua, aktivis senior dan alumni HMI MPO, bahwa perkaderan formal HMI adalah perkaderan terbaik yang pernah ada di antara perkaderan organisasi kemahasiswaan lainnya. Akan tetapi sebaik apapun suatu perkaderan yang pernah ada, bukan berarti anti perubahan.
Pada hakekatnya, perkaderan adalah pendidikan. Dalam konsep pendidikan, misalnya, dikenal komponen penting yaitu kurikulum. Agar pendidikan tetap relevan dengan kebutuhan zaman dalam mengembangkan potensi peserta didik, kurikulum mesti melakukan evaluasi dan perubahan untuk perbaikan. Setidaknya perubahan tersebut dilakukan lima tahun sekali. Demikian halnya dengan perkaderan, perubahan juga mesti dilakukan, tentunya yang berkenaan dengan sistem atau pola perkaderan yang diterapkan.

Dalam hal perkaderan formal, misalnya, kerap kali muncul stigma bahwa pasca basic training, kader HMI hebat beroterika dan cerdas intelektualnya. Berkenaan dengan stigma ini, acap kali muncul pengakuan dari para senior bahwa pada masa lalu, ketika melihat mahasiswa berbicara di dalam forum, akan mudah mengetahui apakah dia kader atau tidak. Artinya, cara beretorika kader di depan forum memiliki karakteristik tersendiri. Meski tidak sepenuhnya benar, akan tetapi lembaga perkaderan HMI mesti menjadikan stigma tersebut sebagai masukan yang bersifat konstruktif sehingga dilakukan pengkajian ulang terhadap pola perkaderan yang telah diberlakukan.

Idealnya, pola perkaderan diarahkan untuk membantu pengembangan kepribadian kader secara integral dan komprehensif dengan menyentuh berbagai potensi yang dimilikinya. Tegasnya, pola perkaderan mampu memberikan kontribusi yang berharga dalam pembinaan kader sehingga memiliki multi kecerdasan, baik dalam intelektual, sosial, emosional, terutama kecerdasan religius. Dengan kecerdasan seperti itu, akan terlahir kader yang memiliki lima kualitas insan cita yang tidak hanya berilmu tetapi memiliki kepribadian yang berakhlakul karimah. Itulah potret muslim kaffah yang mesti dituju dan berupaya maksimal untuk meraihnya, sebab HMI adalah organisasi yang berasaskan Islam.

Namun untuk mewujudkan pola perkaderan semacam itu, bukanlah perkerjaan yang mudah. Segala komponen perkaderan mesti mendukung terwujudnya kondisi di atas. Instruktur selaku “pendidik” dituntut mampu menjadi teladan dari berbagai aspek, baik dari segi keilmuan, keimanan, maupun pengamalannya sehingga menjadi motivator dan inspiritor bagi calon kader untuk menjadi insan terbaik. Begitu juga materi yang ditawarkan, tidak hanya berkenaan dengan materi keorganisasian semata, tetapi lebih dari itu diharapkan memperkaya wawasan mereka tentang ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah terutama ayat-ayat qauliyah. Hal ini sangat memungkinkan mengingat bahwa kader HMI berasal dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, dari Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan ada pula dari Perguruan Tinggi Umum (PTU).

Sementara dalam perkaderan nonformal, HMI harus membentuk masyarakat pembelajar (learning society) yang berkesinambungan untuk menindaklanjuti perkaderan formal dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip Islam. Interaksi sesama kader hendaknya terjalin dengan penuh rasa persaudaraan sehingga ada kenyamanan dan ketenangan jiwa saat bersama. Antara yang satu dengan yang lainnya saling memberi dan menasehati sehingga setiap kader memiliki iman, ilmu, dan amal secara integral dan berkualitas.

Jika saja pola perkaderan ditata sebaik mungkin sesuai dengan prinsip-prinsip perkaderan (baca: pendidikan) dalam Islam, niscaya HMI tetap dibutuhkan dan dibanggakan. HMI tidak hanya merekrut orang-orang yang sudah pintar dan berkualitas iman dan amalnya. Lebih dari itu, HMI bisa merekrut orang-orang yang lemah secara intelektual, malas beramal, dan mudah goyah keamanannya lalu dengan perkaderan yang berkualitas mereka berubah ke arah yang lebih baik. Beginilah seharusnya HMI, sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam kata “Himpunan”. Lagi-lagi HMI dituntut untuk memiliki strategi yang tepat dalam perkaderannya sehingga perubahan benar-benar terjadi, bukan malah sebaliknya, ketika direkrut anggota kurang berkualitas dan setelah melalui perkaderan tidak terjadi perubahan. Jika hal ini terjadi, jelas akan menambah citra buruk HMI itu sendiri. Semoga saja di usia yang ke-61 ini, HMI tetap berani melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dengan tetap belajar kepada masa lalu untuk menatap hari depan yang lebih cerah. Dengan perubahan itu, formulasi pola perkaderan yang ditawarkan diharapkan mampu mewadahi terbinanya kader sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur dalam keridhaan Allah SWT. Yakin Usaha Sampai, Amin…



Zikir, Pikir, Mahir

Baco Tokhus....

Selasa, Juli 01, 2008

Gempa di Kota Padang; Awan Membentuk Tulisan Allah-Muhammad

Oleh: Muhammad Kosim LA

Subhanallah…! lagi-lagi Allah menunjukkan kekuasaan dan kebenaran-Nya secara nyata. Tepat pada tanggal 6 Maret 2007, sekitar pukul 10.49 kota Padang diguncang gempa berkekuatan 5,8 SR yang diperkirakan berpusat di Padangpanjang dan Batusangkar. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba di langit sebelah tenggara—di kota Padang--yang cerah, terlihat jelas awan membentuk tulisan lafazh “Allah”. Tulisan itu sangat jelas, dan bisa dibaca oleh banyak orang. Sekitar sepuluh menit kemudian, tulisan Allah berubah membentuk tulisan Muhammad dengan tulisan Arab. Dan dilihat lebih nyata, di atas huruf “Dal” dari tulisan Muhammad itu tertulis pula “Allah”. Jika ditelusuri lagi, awan itu pun membentuk tulisan “Muhammad Rasulullah”.


Pengalaman ini tidak akan terlupakan oleh saya. Saya pun merasakan peristiwa ini sebagai anugerah terbesar yang pernah saya rasakan di sepanjang hidup saya. Betapa tidak, apa yang saya tausiyahkan sebelumnya, berkaitan dengan apa yang disaksikan. Tausiyah yang tidak direncanakan sebelumnya itu tampaknya sudah ditakdirkan Allah.


Setidaknya, peristiwa ini disaksikan oleh siswa-siswa dan para guru serta karyawan SMP Negeri 8 Padang hampir 1000 orang. Awalnya, siswa-siswa di sekolah ini mengikuti proses pembelajaran sebagaimana biasanya. Ketika terjadi gempa pertama, spontan saja para siswa yang sedang belajar di kelas segera berhamburan. Atas inisiatif guru, para siswa berkumpul di halaman sekolah untuk berzikir dan berdoa dan sebelumnya mereka diberikan tausiyah. Isi tausiyah itu di awali dengan pertanyaan “apakah anda yakin terhadap al-Qur’an?”. Dengan hati yang tulus para siswa tersebut menjawab “yakin”. Kemudian di bacakan ayat ke-24 dari surat al-Hasyr: “Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-nama Yang Paling Baik. Bertasbih kepada-Nay apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.


Dengan ayat itu diberikan pemahaman kepada para siswa bahwa langit dan bumi bertasbih kepada Allah. Apa yang terjadi di langit dan di bumi adalah atas perintah Allah, karena bumi dan langit tidak pernah membangkang perintah Allah. Hanya kelompok manusia dan jin sajalah yang berpotensi ingkar kepada Allah. Setelah itu, para siswa pun diajak untuk berzikir dengan melafazhkan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil. Kemudian saya memimpin doa. Ketika berdo’a itulah, sebagian siswa menunjuk ke langit arah tenggara. Di sana terlihat dengan jelas awan membentuk tulisan Allah, kemudian berubah sebagaimana yang dijelaskan di atas. Cuaca langit sebelah tenggara tersebut sangat cerah, sementara langit di sebelah lainnya terlihat tertutup awan yang tebal. Salah seorang guru menafsirkan bahwa cuaca seperti ini membuat tulisan “Allah” itu tertulis dengan jelas.


Seluruh siswa menyaksikan akan kebesaran Allah itu. Pemandangan itu disambut dengan suara takbir dari para siswa dan para guru. Allahu akbar, allahu akbar…


Gempa memang membuat panik banyak orang. Ketakutan yang dirasakan itu agaknya bentuk dari ujian Allah yang bernama “khauf” atau “ketakutan” sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 155: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”


Tetapi jika ditelusuri dari ayat-ayat-Nya dalam al-Qur’an, dapat dipahami bahwa gempa itu atas izin Allah. Gempa juga merupakan salah satu bentuk ketaatan bumi kepada Allah. Bisa jadi, gempa itu juga menjadi salah satu bentuk bertasbihnya bumi kepada Allah sebagaimana yang banyak dijelaskan dalam al-Qur’an, bahwa langit dan bumi bertasbih kepada-Nya.


Untuk itu, sebagai seorang hamba yang yakin akan ayat-ayat-Nya, kita mesti taat dan senantiasa bertasbih kepada-Nya. Ingatlah, bumi adalah makhluk Allah, dan manusia juga makhluk-Nya. Bumi senantiasa taat kepada Allah, tetapi manusia kadang-kadang mengingkari-Nya. Jika ingin selamat dari bencana yang ditimbulkan bumi, maka bertasbihlah kepada Allah. Artinya, kita mesti sama-sama bertasbih dan tunduk kepada Allah, dan kita adalah sama-sama makhluk-Nya.


Peristiwa yang terjadi dan disaksikan oleh warga SMP Negeri Padang, merupakan sebagian kecil dari tanda-tanda kebesaran Allah. Allah yang Maha Pencipta lagi Maha Pemelihara (rabb al-‘alamin) senantiasa mendidik para hamba-Nya agar tetap tunduk dan patuh kepada-Nya, tentu melalui ayat-ayat-Nya. Ayat-ayat tersebut bisa melalui ayat yang tertulis, yaitu al-Qur’an atau disebut dengan ayat-ayat qauliyah; maupun ayat yang tersirat dalam alam semesta, atau disebut juga dengan ayat-ayat kauniyah.


Peristiwa di atas juga merupakan bukti Allah mendidik mereka melalui kedua bentuk ayat tersebut. Awalnya, mereka dibacakan ayat Allah berupa ayat qauliyah, yaitu firman-Nya dalam al-Qur’an ayat terakhir dari surat al-Hasyr. Setelah itu, mereka juga menyaksikan fenomena alam yang empiris dengan gerakan awan yang membentuk tulisan “Allah” dan “Muhammad”.


Peristiwa-peristiwa semacam ini juga pernah terjadi di beberapa tempat. Bahkan ada beberapa CD yang beredar dengan menunjukkan gerakan air laut yang membentuk tulisan Allah pada saat peristiwa Tsunami di Aceh pada beberapa waktu yang silam. Sayangnya, media tidak begitu mempublikasikan hal itu. Padahal peristiwa semacam itu sangat berpengaruh akan keimanan orang-orang yang menyaksikan, dan juga orang-orang yang mendengar. Seperti dalam tulisan ini, bukanlah hanya sekedar opini, tetapi sebuah kesaksian dari penulis sendiri di samping kesaksian hampir 1000 orang lainnya yang ada di SMP Negeri 8 Padang. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa berzikir, bertasbih dan bertahmid serta keimanan kita semakin meningkat sehingga selamat dari berbagai ujian-Nya. Amin…



Zikir, Pikir, Mahir

Baco Tokhus....

Kenapa Umat Islam Terbelakang?

Oleh: Muhammad Kosim, LA

Kamu adalah sebaik-baik umat yang diketengahkan di antara sesame manusia, karena kamu menjalankan amar ma’ruf hahi mungkar dan kamu beriman kepada Allah.
(Ali Imran ayat 110)

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa sebagai umat Nabi Muhammad SAW, kaum muslimin adalah umat yang terbaik. Umat terbaik yang dimaksud bukan saja karena keimanannya yang benar, tetapi—mestinya--terbaik juga dalam peradaban masyarakatnya. Namun, hingga saat ini umat Islam masih terbelakang jika dibandingkan dengan kemajuan Barat yang notabene-nya non-muslim. Indicator keterbelakangan tersebut dapat dilihat dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu rendah di kalangan umat Islam.


Padahal, fakta sejarah mencatat bahwa pada awalnya Barat belajar kepada umat Islam. Ketika mereka mengalami masa kegelapan di awal abad pertengahan, umat Islam sedang berada pada masa kejayaannya, baik di Timur, seperti di Baghdad dan Damaskus; maupun di Barat, seperti di Spanyol, Sisilia dan sekitarnya. Ketika itu, orang-orang Barat tertarik dan meniru kebudayaan Arab yang notabene-nya adalah Muslim.


Di Sisilia misalnya, Rajanya, Roger II, terpengaruh dengan peradaban Islam. Buktinya pakaian kebesaran yang dipilihnya adalah pakaian Islam sehingga lawan politiknya menyebutnya sebagai "half heathen king" (raja setengah kafir). Gerejanya ia hiasi dengan ukiran dan tulisan Arab. Perempuan Kristen Sisilia meniru saudaranya muslimah dalam soal mode pakaian, mereka mengenakan Jilbab. Ketertarikan terhadap peradaban Islam zaman klasik itu bukan hanya dari orang-orang Eropa yang berada di daerah atau bekas daerah yang dikuasai Islam, melainkan juga dilakukan oleh orang-orang di Inggris, Perancis, Jerman dan Italia.


Kini, suasananya berbalik 180 derajat. Tidak sedikit di antara umat Islam justru meniru Barat. Jika yang dicontoh adalah semangat etos kerjanya, disiplin, atau pengembangan ilmu pengetahuan, tidak masalah!. Tetapi yang dicontoh kadang-kadang adalah budayanya yang bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, seperti cara berpakaian, pergaulan bebas, gaya hidup materialistis, pragmatis, liberal, dan budaya negative lainnya.


Selain itu, negara-negara yang mayoritas muslim, seperti Indonesia dan beberapa Negara di Timur Tengah, cenderung berkiblat, bahkan mengalami ketergantungan dengan Barat dalam berbagai aspek kehidupan. Lebih ironis lagi, tatkala menyaksikan umat Islam yang tertekan dengan berbagai bentuk penderitaan di bawah bayang-bayang kekuasaan Barat—seperti nasib muslim di Palestina—sementara umat Islam hanya berpangku tangan, diam dan tidak mampu berbuat apa-apa.


Kenapa kondisi yang memilukan ini terus berlanjut? Kenapa umat Islam terbelakang? Akankah fenomena ini segera berakhir? Bukankah umat Islam disebut Allah sebagai umat terbaik?
Salah satu penyebab kenapa umat Islam terus berada pada posisi terbelakang dan tidak mampu mengungguli bangsa lain, atau paling tidak seimbang (balance of power), adalah karena umat Islam mengabaikan ayat-ayat Allah SWT. Secara garis besar, ayat-ayat tersebut ada dua, yaitu ayat-ayat qauliyah, yaitu al-Qur’an, dan ayat-ayat kauniyah, yaitu fenomena alam semesta.

Biasanya ayat-ayat qauliyah melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti tafsir, ilmu fiqh, ‘ulumul qur’an dan sebagainya yang selanjutnya masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan “ilmu agama”. Sedangkan ayat-ayat kauniyah akan melahirkan berbagai disiplin ilmu seperti sains, sosiologi, psikologi, dan sebagainya yang selanjutnya masyarakat sering menyebutnya dengan “ilmu umum”. PadahaL kedua istilah tersebut—ilmu umum dan agama—tidaklah tepat karena dapat menimbulkan dikotomi ilmu. Hal ini berangkat dari pemahaman akan sumber kedua bentuk ilmu tersebut, yaitu sama-sama berasal dari Allah SWT.


Seyogyanya kedua ayat tersebut dikaji dan dikembangkan secara seimbang, sehingga corak ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan dihasilkan oleh umat Islam bersifat teo-antropocentris. Maksudnya ilmu pengetahuan yang dikembangkan tersebut mengandung nilai-nilai keilahiyahaan dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, ilmu tersebut membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia dan dalam keridhaan Allah SWT.

Kenyataannya, umat Islam tidak mampu mengembangkan salah satu di antaranya secara optimal. Al-Qur’an, misalnya, telah diakui sebagai kitab petunjuk dan penyelamat bagi umat Islam. Tetapi banyak di antara umat Islam tidak lagi menelaah kandungannya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. al-Qur’an kadang diperlakukan hanya sebagai hiasan lemari, diakui kesuciaannya tetapi kandungannya tidak menjadi pedoman hidup. Kadungannya yang sarat dengan ilmu pengtahuan tak mampu diangkat kepermukaan, sehinga al-Qur’an bagaikan mutiara yang terpendam di dasar lautan.


Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung motivasi umat Islam agar maju dan berperadaban dengan pengembangan ilmu pengatahuan. Bahkan ayat yang pertama yang diturunkan oleh Allah, menyeru umat Islam agar membaca. (surat al-‘Alaq ayat 1-5). Membaca yang dimaksud tidak hanya ditujukan kepada ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an) an sich, juga membaca ayat-ayat kauniyah (alam). Artinya, ayat-ayat qauliyah turut mendorong manusia untuk membaca dan menelaah ayat-ayat kauniyah. Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah juga mendorong manusia untuk merenungkan ayat-ayat qauliyah. Sebab ketika kita menyaksikan berbagai fenomena alam, dengan sendirinya muncul kesadaran bahwa apa yang disaksikan merupakan sebagian kecil dari bukti kekuasaan Allah SWT. Semua apa yang disaksikan di alam raya ini adalah ciptaan dan dalam pengawasan serta pemeliharaan Allah SWT.


Untuk itu, antara kedua bentuk ayat tersebut jelas merupakan sesuatu yang padu, karena keduanya bersumber dari Allah semata. Paradigma seperti ini selanjutnya melahirkan apa yang disebut dengan konsep “Tauhid Ilmu”.


Selanjutnya, dalam kajian ayat-ayat kauniyah, umat Islam juga tidak mampu berbuat sebagaimana yang diharapkan. Kajian dalam bentuk ayat ini justru lebih banyak dikembangkan oleh bangsa Barat. Bahkan berbagai kemajuan yang mereka peroleh hari ini adalah sebagai hasil kajian mereka terhadap ayat-ayat kauniyah tersebut. Sayangnya, mereka mengabaikan ayat-ayat qauliyah, sehingga ilmu yang mereka kembangkan cenderung bersifat antropocentris, hanya mengandalkan aspek kemampuan manusia saja, maka ilmu itu pun bercorak sekuler-dikotomis. Tidak mengherankan jika ilmu yang berkembang di Barat tidak menjamin kemaslahatan umat. Mereka mengalami kehampaan spiritual sehingga nilai-nilai yang bersifat etis pun kerap kali diabaikan. Akhirnya di antara mereka tumbuh dan berkembang sebagai makhluk “setengah manusia”, karena telah kehilangan dimensi ruhaniyahnya.


Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa selagi umat Islam tidak mampu mengkaji dan mengembangkan kedua bentuk ayat di atas, maka bisa dipastikan umat Islam akan terus terbelakang. Untuk membenahi problema ini, peningkatan kualitas pendidikan mutlak diperlukan. Artinya, pendidikan mesti ditingkatkan dengan membekali peserta didik dengan seperangkat kurikulum yang mampu mengantarkan mereka kepada pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang bersumber dari ayat-ayat qauliyah dan kauniyah secara integral.


Dalam kondisi saat ini, peluang untuk mengembangkan sekolah seperti itu tentulah besar, mengingat system pengelolaan yang bersifat desentralisasi. Sekolah, baik negeri dan swasta, yang nota bene-nya umat Islam di dalamnya, diharapkan berani mengambil kebijakan dalam menciptakan suasana lingkungan belajar yang memungkinkan para peserta didik untuk mampu mempelajari, membaca, dan memahami ayat-ayat qauliyah dan ayat-ayat kauniyah.

Masyarakat, terutama orang tua, juga dituntut kesadarannya untuk membimbing anak-anaknya agar memilih sekolah yang mampu menawarkan paradigma di atas. Jangan tanamkan kepada anak bahwa kemajuan akan diperoleh hanya dengan mengkaji ayat-ayat kauniyah sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa Barat. Tetapi tanamkanlah bahwa kemajuan yang hakiki lagi sempurna akan diperoleh manakala ayat-ayat-Nya dikaji dan diamalkan. Paling tidak, jika salah satu dari kedua bentuk ayat di atas ingin dikembangkan sebagai bentuk dari spesifikasi ilmu, tetapi ayat tersebut tidak diabaikan atau dipisahkan dari bentuk ayat yang lainnya. Jika hal itu dapat direalisasikan, maka akan lahir ilmuan yang ulama atau ulama yang ilmuan. Misalnya, meskipun spesifikasinya kepada sains, tetapi dia adalah saintis yang beriman. Sebaliknya, jika dia ulama, tetapi tidak gagap sanis dan teknologi. Jika demikian, umat Islam tidak akan terbelakang, melainkan akan tetap terdepan. Insya Allah…!

Baco Tokhus....