Minggu, Desember 27, 2009

Semangat Hijrah Mempererat Ukhuwah

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Secara bahasa hijrah berasal dari kata hajara yang artinya berpaling, pindah, atau memutuskan sesuatu. Dalam tarikh perjuangan Nabi Muhamamd SAW, hijrah merupakan salah satu peristiwa penting yang diartikan sebagai pindahnya Nabi Muhammad SAW bersama sahabat dari Mekah ke Habsy, Tha’if dan Madinah. Hijrah ke Madinah—hijrah terbesar sekaligus yang terakhir—merupakan peristiwa yang terpenting dimana peristiwa tersebut dijadikan sebagai awal tahun dalam sistem penanggalan (kalender) umat Islam yang ditetapkan pada kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 17 H/638 M. Tahun ini kemudian dikenal dengan istilah tahun hijriyah yang berpedoman kepada perputaran bulan.

Selain itu, peristiwa hijrah menjadi momen yang penting dalam perjuangan Nabi Muhammad SAW beserta sahabat untuk menyebarkan Islam sehingga mampu membalikkan keseluruhan perjalanan sejarah perjuangan Rasulullah dalam memperoleh kesuksesan yang spektakuler. Salah satu kunci keberhasilan perjuangan Islam dalam peristiwa hijrah adalah kemampuan Rasulullah SAW dalam mempererat persaudaraan umat.

Adapun yang melatarbelakangi Nabi Muhammad SAW beserta sahabat hijrah ke Yatsrib (Madinah) adalah adanya kepercayaan yang diberikan oleh penduduk Yatsrib untuk memimpin mereka dan mendamaikan antara kaum Aus dan Khazraj yang telah bertahun-tahun berselisih, bahkan berperang. Selain itu, Nabi pun menginginkan tempat yang aman untuk memperjuangkan Islam setelah bertahun-tahun berada dalam tekanan, teror, dan permusuhan dari kafir Quraisy.

Meskipun demikian, Yatsrib bukanlah daerah yang berpenduduk homogen, melainkan plural dengan berbagai suku dan kepercayaan. Setidaknya ada tiga kelompok masyarakat yang mendominasi, yaitu penduduk yang telah memeluk agama Islam dengan tulus baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, penduduk yang masih musyrik, serta orang-orang Yahudi yang sangat membenci Nabi dan para sahabat. Menghadapi keberagaman itu, Nabi terlebih dahulu membawa misi persaudaraan yang begitu kuat sehingga mampu menata konflik, mengendalikan permusuhan dan perpecahan.

Oleh karena itu, sesampainya di Yatsrib, hal yang pertama dilakukan oleh Nabi adalah membangun masjid di tempat berhenti onta yang beliau naiki, tepatnya di hamparan tanah di depan rumah Abu Ayyub. Fungsi masjid tidak hanya sebagai tempat beribadah secara mahdhah, akan tetapi masjid juga sarana mempersatukan umat. Kemudian beliau pun mempersatukan antara kaum Muhajirin (sahabat yang hijrah dari Mekah) dengan Anshar (sahabat yang menolong Muhajirin di Madinah) di rumah Anas bin Malik. Dengan mempererat persaudaraan ini, maka mereka diharapkan saling tolong-menolong, bahkan saling mewarisi harta jika ada yang meninggal dunia di samping kerabatnya. Waris-mewarisi ini berlaku hingga perang Badr disertai dengan turunnya Qs. Al-Anfal ayat 75 sehingga hak waris-mewarisi itu gugur, tetapi ikatan persaudaraan masih tetap berlaku.

Upaya mempererat persaudaraan itu pun disambut dengan baik oleh kedua belah pihak. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa tatkala mereka (Muhajirin) tiba di Madinah, maka Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin ar-Rab’. Sa’ad berkata pada Abdurrahman, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separoh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka kawinilah ia!”.

Abdurrahman berkata, “Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian?” Maka orang-orang pun menunjukkan pasar Qainuqa’. Tak berapa lama kemudian ia pun memiliki harta dan menikah (H.R. Bukhari, 1/553).
Dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa suatu ketika orang-orang Anshar ingin memberikan kebun korma kepada Nabi dan sahabat Muhajirin. Namun Nabi berkata: “tidak perlu, cukuplah kalian memberikan bahan makanan pokok saja, dan kami bisa bergabung dengan kalian dalam memaneh buah”.

Sungguh besar pengorbanan kaum Anshar, mereka lebih mementingkan kepentingan saudaranya serta mencintai dan menyayangi. Sebaliknya, sungguh besar pula kehormatan yang dirasakan orang-orang Muhajirin, akan tetapi mereka tidak menerima dari saudaranya Anshar kecuali sekedar makan yang bisa menegakkan tulang punggungnya. Hal ini menunjukkan persaudaraan didasari dengan iman yang kuat sehingga antara yang satu dengan yang lain saling menolong dan meringankan, bukan membebani dan menyusahkan dengan bermalas-malasan.
Upaya mempersaudarakan umat pun tidak sebatas itu saja. Nabi juga membuat perjanjian antar sesama muslim, baik yang berasal dari Quraisy, Yatsrib dan siapa saja yang mengikut mereka. Di antara isi perjanjian itu adalah mereka merupakan umat yang satu, sama-sama melawan orang yang berbuat zalim, tidak boleh saling membunuh karena membela orang kafir, dan sebagainya. Kemudian Nabi juga membuat perjanjian dengan orang-orang Yahudi, di antaranya adalah orang-orang Yahudi merupakan satu umat dengan orang-orang mukmin, namun bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi orang Muslim agama mereka; mereka harus saling menasehati, berbuat baik dan tidak boleh berbuat jahat; mereka harus saling bahu-membahu dalam menghadapi musuh yang membatalkan perjanjian itu, dan sebagainya. Perjanjian itu kemudian dikenal dengan ”piagam Madinah”.

Upaya Nabi SAW dalam mempersatukan sesama muslim dan antara muslim dengan Yahudi akhirnya membuahkan hasil gemilang. Yatsrib yang kemudian dikenal dengan Madinah al-Munawwarah itu menjadi model masyarakat ideal hingga akhir zaman. Di kota ini, Nabi tidak hanya bertindak sebagai pemimpin agama/spiritual (Nabi dan Rasul) seperti di Mekah, akan tetapi beliau juga bertindak sebagai pemimpin politik/negara yang adil, diakui dan diterima oleh semua masyarakat.

Berkaca dari peristiwa tersebut, peringatan tahun baru hijriyah yang selalu dilakukan oleh umat Islam setiap tahun sejatinya mampu mengimplementasikan semangat hijrah tersebut dalam mempererat ukhuwah, baik persaudaraan seiman, maupun persaudaraan sebangsa dan bernegara. Lebih-lebih umat Islam di Indonesia ini, jalinan persaudaraan yang erat antar sesama umat menjadi syarat mutlak untuk membangun bangsa Indonesia agar lebih terhormat dan bermartabat.

Sebagaimana yang kita sadari, akhir-akhir ini benih-benih perpecahan dan permusuhan, rasa saling curiga, serta saling menyalahkan semakin merebak di tengah-tengah masyarakat. Kondisi ini bisa terjadi antara rakyat dengan penguasa, antara rakyat dengan penegak hukum, bahkan antar sesama penguasa dan antar sesama rakyat. Banyak hal yang memicu terjadinya perpecahan tersebut: perbedaan partai/golongan, suku, agama, dan status sosial adalah di antara beberapa alasan.

Demikian pula perilaku amoral, seperti korupsi yang masih kerap terjadi dan disepakati sebagai virus masyarakat yang menghambat kemajuan negara yang subur ini. Terjadinya korupsi sesungguhnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki rasa empati, rasa persaudaraan dan kesatuan serta keengganan dalam berkorban. Mereka tidak memperdulikan rakyat kecil yang kelaparan, bergelimang dalam kemiskinan dan kebodohan sebagai akibat dari perilaku korupsi tersebut. Bukankah persaudaraan antara sahabat Anshar dan Muhajirin tercipta dalam bentuk tolong menolong dan pendestribusian harta secara adil?

Oleh karena itu, hijrah tidak hanya dipahami secara tekstual atau fisik saja, akan tetapi substansi hijrah dapat dipahami dari dimensi spiritual dimana hijrah menghasilkan keimanan umat Islam yang semakin kokoh dan ikatan persaudaraan yang semakin erat sehingga terbentuk tatanan masyarakat yang madany.

Ikatan persaudaraan itu terwujud dalam bentuk rasa empati dan kepedulian yang tinggi terhadap kaum mustadh’afin (lemah), berjihad secara bersama melawan kezaliman, kemiskinan dan kebodohan yang terjadi di kalangan umat, serta menghapus paradigma berpikir yang primordialis, rasis, dan fanatisme terhadap suku atau kelompok tertentu. Prinsip persaudaraan dalam Islam menekankan pada aspek kedamaian, keamanan dan saling tolong-menolong dengan tetap menegakkan nilai-nilai ajaran Islam yang universal sehingga Islam tampil sebagai rahmatan lil-’alamin. Hal ini yang dipraktikkan nabi ketika hijrah ke Madinah dimana kehadiran Islam dapat diterima oleh semua kalangan.

Kondisi ini mengisyaratkan bahwa makna hijrah dalam konteks kekinian dapat dipahami sebagai upaya untuk berpindahnya kondisi mental dan perilaku dari yang angkuh menjadi tawadhu’, dari berpikir yang primordial menjadi universal, dari yang kasar menjadi lembut, dari pola pikir yang su’uzhzhan ke pola pikir yang husnuzhzhan, dari perilaku namimah menjadi perilaku pendamai, dan dari yang ingkar menjadi taat. Semangat itulah yang harus ditumbuhkembangkan.

Baco Tokhus....

Sabtu, Desember 12, 2009

TEOLOGI ANTIKORUPSI

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Korupsi (berasal dari bahasa latin: corruptio dari kata kerja corrumpere, artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, atau menyogok) merupakan penyakit kronis yang berperan besar menggerogoti kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Berbagai upaya dilakukan untuk memberantas korupsi tersebut, mulai dari usaha mewujudkan pemerintah bersih, optimalisasi penegakan supremasi hukum, hingga kepada kutukan rakyat terhadap para koruptor, seperti yang dilakukan para demonstran pada tanggal 9 Desember lalu dalam rangka peringatan hari antikorupsi sedunia.

Upaya pemberantasan korupsi sejatinya dilakukan dari berbagai aspek kehidupan, tidak hanya dari segi politik dan hukum, tetapi dari aspek agama juga patut dikedepankan. Apalagi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius dan mengakui bangsanya dimerdekakan atas rahmat Allah yang Mahakuasa. Maka berbagai persoalan yang menghambat terwujudnya kemerdekaan sejati seyogyanya memotivasi kita untuk berdialog dengan Allah melalui pemahaman terhadap ajaran-Nya.

Setiap agama pasti anti terhadap korupsi, sebab esensi agama adalah mewujudkan kebenaran yang hakiki. Dari perspektif Islam, misalnya, terdapat banyak ajaran yang melarang umatnya melakukan tindak korupsi. Di antara ajaran itu dapat dilihat dari hadis Nabi saw. yang menegaskan: “Barang siapa yang merampok dan merampas, atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami (bukan dari umat Muhammad saw.)” (HR Thabrani dan al- Hakim). Dalam hal ini, korupsi merupakan bagian dari bentuk perampokan dan perampasan.

Lebih tegas lagi, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari ‘Addiy bin ‘Umairah al-Kindy yang bunyinya, “Hai kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti… Siapa yang kami beri tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak diberikan janganlah diambil.” Sabdanya lagi, “Siapa saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga.” Seorang sahabat bertanya,“Wahai Rasul, bagaimana kalau hanya sedikit saja?’ Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun sekecil kayu siwak” (HR Muslim, an-Nasai, dan Imam Malik dalam al-Muwwatha).

Islam juga melarang praktik pemberian hadiah kepada pejabat sebagai upaya preventif terjadinya kasus korupsi. Dalam sebuah hadis dijelaskan: Abu Humaid Assa'id r.a. berkata: Rasulullah SAW mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah selesai ia datang kepada Nabi SAW dan berkata: "Ini untukmu dan ini untuk hadiah yang diberikan orang kepadaku." Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, "Mengapakah Anda tidak duduk saja di rumah ayah atau ibu Anda untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak (oleh orang)?" Kemudian sesudah shalat, Nabi SAW berdiri, setelah tasyahud memuji Allah selayaknya, lalu bersabda, "Amma ba'du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, Ini hasil untuk kamu dan ini aku diberi hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak. Demi Allah! Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tiada seseorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya, jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan." Abu Humaid berkata, 'Kemudian Nabi SAW, mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya." (HR. al-Bukhari dalam kitab "Imam dan Nadzar" bab "Bagaimana cara Nabi SAW Bersumpah.)

Bahkan seseorang yang dianggap oleh pahlawan, jika pernah melakukan korupsi terselubung, kelak Allah akan membuka aibnya sehingga ia tidak lagi memiliki nama baik di hadapan manusia, apalagi di hadapan Allah. Perhatikanlah hadis berikut: Ketika seorang sahabat bernama Kirkirah mati di medan perang, Rasulullah saw. bersabda: “dia masuk neraka”. Para sahabat pun bergegas pergi menyelidiki perbekalan perangnya. Mereka mendapatkan mantel yang ia korup dari harta rampasan perang. (H.R Bukhari dalam kitab Jihad wa al-sair). Demikian kerasnya kecaman Islam terhadap para koruptor.

Selain itu, korupsi juga terjadi akibat dari sebuah pengkhianatan, ketidakjujuran dan kecurangan. Sifat ini disebut sebagai karakter munafik: apabila berbicara bohong, berjanji ingkar, dan diberi kepercayaan berkhianat (HR. Bukhari). Karakter munafiq menunjukkan kepribadian yang inkonsisten, tidak beriman dan bermuka dua. Bisa saja seseorang meneriakkan janji-janji ketika kampanye politik, bersumpah atas nama Tuhan tatkala dilantik, namun setelah memperoleh kursi hanya tinggal janji dan ketika ditagih beribu dalih. Ending-nya, mereka yang munafiq akan kekal dalam api neraka tanpa memperoleh pertolongan sedikit pun (Qs. An-Nisa/4: 145).

Untuk itu, menegakkan hukum secara adil merupakan suatu keniscayaan dalam mewujudkan masyarakat antikorupsi. Rasulullah SAW bersabda: "Sungguh, orang-orang dahulu sebelum kamu telah dihancurkan oleh Allah karena jika ada bangsawan di antara mereka yang mencuri, mereka membiarkannya, tetapi jika orang lemah mencuri, mereka menegakkan had (hukuman) atas orang itu. Demi Allah! Andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Jika dilihat dari beberapa dalil di atas, dapat dipahami bahwa pelaku korupsi sangat dikecam dan pelakunya diancam masuk ke dalam api neraka. Dengan demikian, secara teologis, perlawanan terhadap korupsi membutuhkan keimanan yang kokoh, sebab ancaman terhadap api neraka yang merupakan alam akhirat dan bersifat gaib tersebut sesungguhnya hanya berlaku kepada orang-orang yang beriman.

Selain itu, ancaman terhadapa api neraka diharapkan mampu menjadi sock terapy bagi setiap umat agar benar-benar menjauhi perilaku korupsi. Sebab adzab apa lagi yang lebih tinggi dari neraka? Rusaknya tatanan sosial kehidupan masyarakat sebagai dampak negatif korupsi sesungguhnya masih termasuk adzab yang kecil jika dibandingkan adzab neraka kelak. Firman-Nya: Dan Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar). (Qs. As-Sajadah/32: 21).

Dengan keimanan yang kokoh dan semangat keberagamaan yang antikorupsi tersebut, diharapkan kita mampu melawan korupsi tersebut mulai dari diri sendiri (ibda’ bi nafsy) dan melawannya dari hal-hal yang terkecil, walaupun sebesar dzarrah. Kita memang benci dan mengecam para koruptor yang menghabiskan uang rakyat ratusan juta, bahkan milyaran rupiah. Akan tetapi kita juga patut benci terhadap perilaku diri kita sendiri yang terkadang terjebak pada tindakan korupsi. Ingat, korupsi tidak hanya menyangkut dengan penyelewengan keuangan negara (material benefit), tetapi korupsi mencakup beberapa penyimpangan perilaku, seperti perilaku yang terkait dengan pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), serta semua bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang mendatangkan keuntungan (material benefit) baik untuk dirinya, keluarga, institusi, klan, dan primodial tertentu.

Seorang mahasiswa, misalnya, berorasi dengan lantang mengutuk para koruptor, sementara dirinya bermalas-malasan mengikuti perkuliahan, padahal orang tuanya bersusahpayah mencari biaya kuliah. Bukankah ia telah korup terhadap orang tuanya sendiri?

Seorang pegawai, misalnya, harus disiplin dalam menjalankan tugas, termasuk dalam memanfaatkan waktu. Jika saja gajinya 1,5 juta dalam sebulan, lima hari kerja dalam seminggu dengan delapan jam satu hari, maka setiap menit gajinya Rp 156,25. Jika saja ia terlambat 10 menit setiap hari, maka dia sudah korupsi sekitar Rp 1.500, jika dikalikan 20 hari (dalam sebulan) maka ia telah korupsi 15.000 per bulan. Lalu bagaimana jika berjam-jam tidak melakukan pekerjaan? Jika diperhitungkan bisa jutaan rupiah dalam beberapa tahun akibat korupsi waktu yang ia lakukan.

Dua contoh terakhir memang akan luput dari jeratan hukum manusia, akan tetapi pasti dilihat oleh Allah SWT. Oleh karena itu, peningkatan spiritualitas keagamaan dengan merasakan pengawasan Allah terhadap segala aktivitas kita akan sangat membantu diri ini bersifat jujur dan terjauh dari tindakan korupsi. Bukankah kita semua berasal dari Allah, hidup dalam genggaman dan pengawasan-Nya, serta akan kembali kepada-Nya dengan mempertanggungjawabkan segala apa yang kita lakukan? Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....

Senin, Oktober 19, 2009

Gempa di Sumatera Barat; Ujian atau Siksaan?

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Indonesia kembali menangis, tatkala gempa bumi berkuatan 7,6 SR mengguncang wilayah Sumatera Barat, khususnya kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman dan sebagian daerah Kabupaten Agam dan Pasaman, Rabu 30 September lalu. Rumah dan gedung beruntuhan, korban tewas mencapai seribuan, serta tidak sedikit suami menjadi duda, istri menjadi janda, anak-anak menjadi yatim, dan orang tua kehilangan anak-anaknya. Bahkan hingga kini belum semua korban dapat dievakuasi. Jerit-tangis menyelimuti Ranah Minang. Duka mereka adalah duka Indonesia.

Ketika gempa itu penulis rasakan dan saksikan, pertanyaan subjektifitas sebagai hamba yang awam pun muncul: kenapa harus Sumatera Barat yang ditimpa gempa? Padahal daerah ini mayoritas muslim dan menyatakan diri sebagai masyarakat yang berpegang pada falsafah "Adat basandi syara', syara' basandi kitabullah" (adat berlandaskan kepada syara' [syariat agama] dan syara' berlandaskan kepada al-Qur'an). Penulis pun teringat sekitar lima tahun yang lalu, gempa dan tsunami menghantam Aceh yang juga dikenal sebagai negeri serambi mekah dan menyatakan diri sebagai daerah yang menjalankan syariat Islam. Pertanyaan sederhananya, kenapa daerah yang menyatakan identitas keislamannya justru mendapatkan bencana?

Misteri Angka-angka Jam dan Surat-Ayat Alquran Tiga hari sesudah peristiwa itu, penulis pun menerima sms yang banyak beredar (hingga kini penulis tidak mengetahui secara pasti siapa pertama kali menemukannya) tentang misteri angka-angka pada jam peristiwa gempa tersebut lalu kaitannya dengan angka-angka dalam surat dan ayat Alquran. Gempa yang terjadi di Padang bertepatan pada pukul 17.16, disusul gempa berikutnya pada pukul 17.38, dan esok harinya terjadi pula gempa di Jambi pada pukul 8.52. Jika angka-angka itu disesuaikan dengan nomor surat dan ayat dalam al-Qur'an maka hasilnya sungguh mencengangkan.

Pertama, surat al-Isra' (17) ayat 16 berarti: Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.

Kedua, surat al-Isra' (17) ayat 38: semua itu kejahatannya Amat dibenci di sisi Tuhanmu. Yang dimaksud "semua kejahatan" itu terkait dengan ayat-ayat sebelumnya; yaitu mengadakan tuhan selain Allah (22), durhaka pada orang tua (23), mubadzir (26), bakhil (29), aborsi karena takut miskin (31), zina (32), membunuh tanpa haq (33), memakan harta anak yatim (34), beramal tanpa ilmu (36), dan bersifat sombong (37).

Ketiga, surat al-Anfal (8) ayat 52: (keadaan mereka) serupa dengan Keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. mereka mengingkari ayat-ayat Allah, Maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Amat keras siksaan-Nya.

Lebih lanjut, jika dihubungkan dengan tanggal dan bulan peristiwa gempa tersebut, tanggal 30 dan bulan 9, akan ditemukan pula surat ar-Rum (30) ayat 9: Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebihkuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.

Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat tersebut mengisyaratkan bencana datang sebagai siksaan yang ditimpakan Allah kepada suatu kaum yang durhaka. Jika ditelusuri dari beberapa ayat dalam Alquran memang ditemukan banyak ayat serupa tentang bencana sebagai adzab atau siksaan, seperti dalam surat al-A’raf, diceritakan tentang: umat Nabi Nuh as, yang ditenggelamkan negerinya karena hati merela buta menerima kebenaran Allah; kaum ‘Ad (umat Nabi Hud as) juga ditumpas atas pendustaan mereka terhadap ayat-ayat Allah; kaum Nabi Shaleh as, ditimpakan gempa yang dahsyat atas keingkaran mereka terhadap ajaran Nabi Shaleh; umat Nabi Luth as yang melakukan fahisyah (homoseksual) ditimpa hujan batu; kaum Nabi Syu’aib juga ditimpa gempa karena mendustakan Syu’aib, Firman-Nya: Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, (QS. Al-A’raf/9:91); demikian juga umat Nabi Musa as, Fir’au dan pengikutnya ditenggelamkan di lautan merah, (selengkapnya baca kisah ini dalam surat Al-A’raf/9:65-171). Ternyata dosa yang dilakukan oleh suatu masyarakat, akan dibinasakan Allah beserta negerinya melalui berbagai bencana.

Namun adilkah kita menyimpulkan bahwa gempa di Sumatera Barat berupa siksaan dari Allah SWT? Sedemikian parahkah aqidah dan perilaku masyarakat Sumatera Barat sehingga menimbulkan murka dari Allah? Bukankah masjid/mushalla/surau banyak berdiri, adzan lantang berkumandang, dzikir menghiasi bumi ranah minang?

Ada yang mencoba untuk berspekulasi, "Ya... masjid memang banyak berdiri dan adzan berkumandang tetapi jamaahnya sunyi sepi, dzikir dilantunkan tetapi tidak sedikit yang sekedar acara serimonial, dan Islam pun tampil secara simbolik". Jawaban ini pun tidak pula sepenuhnya dapat diterima, sebab antara ketaatan dan kekafiran akan selalu berdampingan. Benar ada yang berislam secara simbolik, tetapi tidak sedikit pula yang memeluk Islam dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan maksimalnya.

Hemat penulis, tidak sepenuhnya bencana ini karena kedurhakaan manusia, sebab banyak pula ayat dan hadis yang mengisyaratkan bencana sebagai ujian dari Allah. Misteri angka-angka jam peristiwa gempa dan kaitannya dengan angka-angka ayat Alquran di atas memang bukan sesuatu yang mustahil, sebab segala sesuatu tidak ada yang "kebetulan" bagi Allah, melainkan sudah dirancang dan didesain oleh-Nya, termasuk bencana. Firman-Nya: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Qs. al-Hadid/57: 22).


Bala Bencana sebagai Ujian dari Allah Kurang etis/patut/arif dan kurang bijaksana rasanya jika menghakimi daerah Sumatera Barat sebagai sampel siksaan Allah kepada masyarakatnya berupa gempa; apalagi jika dilihat secara kasat mata, sikap keberagamaan daerah ini tidak kalah dengan daerah-daerah lain yang justru terhindar dari bencana serupa. Tidaklah semua bencana itu disebabkan oleh kedurhakaan manusia. Banyak ayat maupun hadis Nabi SAW yang mengisyaratkan bencana (bala') sebagai ujian dari Allah. Ujian Allah itu bisa berupa kelaparan, ketakutan, kemiskinan, kematian, dan kekurangan buah-buahan/paceklik (Qs. al-Baqarah/2: 155). Allah juga akan menguji setiap hamba yang menyatakan keimanannya kepada Allah Ta'ala (Qs. al-Ankabut/29: 2). Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: Besarnya pahala besertaan dengan besarnya bala'/ujian, dan sesungguhnya jika Allah mencintai kaumnya Dia akan menimpakan bala' kepada mereka. Barangsiapa yang ridha, maka Allah akan meridhainya, dan barangsiapa yang marah/benci, maka Allah akan membencinya. (HR. Ahmad).

Dengan meyakini bencana sebagai ujian Allah, sejatinya masyarakat Sumatera Barat yang menjadi korban gempa tidak meratapi diri dan berada dalam kesedihan yang berkepanjangan. Sebaliknya, di balik penderitaan ini ada balasan yang amat luar biasa; dengan catatan dihadapi dengan sifat sabar. Kesabaran itu tersimpul dalam pernyataan dan keyakinan: Innalillahi wa inna ilahi raji'un. Orang yang mengikrarkan dan meyakini penggalan ayat tersebut akan memperoleh balasan berupa shalawat, rahmat, dan hidayah dari Allah SWT (Qs. al-Baqarah/2: 156-157).

Oleh karena itu, perlu memahami hakikat diri kita sebagai hamba Allah yang tidak memiliki apa-apa. Meskipun kita hamba-Nya, kita pun harus meyakini pula bahwa setiap keputusan Allah tidak ada yang menyakiti diri kita. Harta benda bisa saja musnah, jasad sakit dan terluka, akan tetapi aqidah harus tetap terjaga. Berbagai bentuk penderitaan yang diperoleh pada hakikatnya cara Allah untuk menguji keimanan kita sehingga menentukan kita mulia atau hina di hadapan-Nya. Orang bijak menyatakan: "Musibah merupakan cara Allah yang paling efektif untuk meninggikan derajat seorang hamba atau menghinakannya". Kini, kita yang memilih: apakah kita ingin dimuliakan atau justru dihinakan?

Jadi, memahami bencana gempa sebagai ujian Allah atas orang-orang beriman, agaknya mampu menjawab pertanyaan besar di atas. Masyarakat Sumatera Barat yang memiliki identitas yang kuat terhadap Islam dan budaya Minangkabau ditimpa oleh bencana berupa gempa sebagai ujian dari Allah. Tampaknya, identitas keislaman yang mereka tampilkan sengaha diuji oleh-Nya, sebagaimana yang tersirat dalam firman-Nya: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (Qs. al-Ankabut/29: 2). Jika seandainya Allah hanya menimpakan bencana kepada masyarakat yang zalim saja, tentu alam ini tidak lagi bernama "dunia", melainkan "neraka". Bukankah dunia serta hidup dan mati merupakan cara Allah untuk menguji seorang hamba siapa yang terbaik amalnya di antara mereka?

Meskipun demikian, ketika muncul opini dan spekulasi bahwa bencana gempa bisa jadi sebagai bentuk marah-Nya Allah, tidak harus membuat kita marah dan tersinggung, lebih-lebih kita yang menjadi korban bencana. Sebaiknya kita terima sebagai autokritik terhadap diri kita sendiri, bukan saja sebagai individu, melainkan secara kolektif sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia. Sumatera Barat adalah bagian dari NKRI. Jika dikatakan bencana karena kezaliman kita, maka kezaliman itu—agaknya—tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Sumatera Barat, tetapi bangsa ini secara kolektif. Ingatlah firman-Nya: “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Q.S. Al-Anfal/8: 25).

Karena itu, bersabarlah wahai orang yang beriman, beristighfarlah wahai orang yang berlumur dosa, dan perbanyaklah zikir wahai hamba yang berakal. Firman-Nya: Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi. (Qs. al-Mukmin/40: 55). Wallahu a'lam.

Baco Tokhus....

Jumat, Juli 31, 2009

MENGGAGAS PENDIDIKAN BERBASIS SURAU

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Surau merupakan salah satu karya arsitektur tradisional Minangkabau yang memiliki multifungsi, salah satu di antaranya adalah sebagai lembaga pendidikan Islam. Dalam sejarahnya, surau telah menunjukkan peran yang amat penting dalam mendidik sikap keberagamaan masyarakat Minangkabau. Surau juga memberikan kontribusi yang amat besar terhadap pembangunan masyarakat Sumatera Barat, bahkan terhadap bangsa Indonesia secara nasional. Namun, pendidikan surau kerap kali menjadi romantisme sejarah sebab fungsi itu semakin redup seiring dengan arus modernisasi dan globalisasi yang semakin kuat.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa perkembangan surau sebagai lembaga pendidikan pada abad ke-19 laksana pesantren yang ada di tanah Jawa. Beberapa surau di masa itu bukan hanya tempat belajar membaca al-Qur'an saja, akan tetapi lebih dari itu, mereka juga mempelajari kitab-kitab kuning tentang fiqh, tauhid, termasuk gramatika bahasa Arab. Bahkan di antara surau yang menerapkan pelajaran seperti itu ada yang memiliki fasilitas lengkap. Verkerk Pistorious mengkategorikan surau ini sebagai surau besar. Surau besar atau lengkap ini berupa komplek bangunan yang terdiri dari masjid, bangunan-bangunan untuk tempat belajar, dan surau-surau kecil yang sekaligus menjadi pemondokan murid-murid yang belajar di surau. Prototype surau seperti ini adalah surau Ulakan yang didirikan Syekh Burhanuddin dan Surau Batuhampar, dekat Payakumbuh, yang dibangun Syekh 'Abdurrahman (1777-1889) dimana kompleks surau terdiri dari sekitar 30 bangunan, termasuk beberapa bangunan utama, seperti masjid, penginapan bagi pengunjung, surau kecil untuk murid, surau untuk suluk, dan Iain-lain.

Namun sayangnya surau tidak mampu survive seperti pesantren di tanah Jawa. Padahal, keberhasilan surau dalam melahirkan sejumlah tokoh muslim berpengaruh di masa itu tidak diragukan lagi. Oleh karena itu, kerinduan akan peranan surau sebagai lembaga pendidikan Islam sering kali mengemuka dalam wacana "babaliak ka surau".

Mengembalikan fungsi surau persis sama seperti perkembangan awal adalah sesuatu yang mustahil. Pengaruh modernisasi dan semakin berkembangnya urbanisasi tidak memungkinkan lagi anak laki-laki tidur dan belajar di surau. Oleh karena itu, untuk mengimplementasikan gagasan "babaliak ka surau" akan lebih arif dilakukan dengan mengaktualisasikan nilai-nilai surau tersebut ke dalam lembaga pendidikan yang sudah ada, termasuk sekolah.

Perlu pula ditegaskan bahwa meskipun kehadiran madrasah di Minangkabau beralasan positif, di antaranya untuk menandingi sekolah-sekolah Belanda yang bercorak klasikal dan modern, namun awal kehadirannya turut menyebabkan surau mulai ditinggalkan dan kurang diminati masyarakat sebagai lembaga pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, minat masyarakat pun semakin besar, tidak hanya kepada madrasah yang dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam, akan tetapi sekolah pun menjadi lembaga pendidikan yang ramai diminati. Untuk itu, sekolah atau madrasah—baik tingkat dasar maupun menengah—yang ada di daerah Minangkabau sejatinya berupaya untuk melestarikan nilai-nilai surau sebagai lembaga pendidikan tersebut. Upaya ini dapat diwujudkan dalam bentuk "Pendidikan Berbasis Surau".

Selain itu, pentingnya sekolah berbasis surau juga relevan dengan spirit otonomi daerah yang menginginkan setiap daerah memiliki karakteristik tersendiri. Dengan karakter yang khas itu akan menjadikan daerah tersebut dikenal dan diteladani oleh daerah lain.

Adapun bentuk pelaksanaan sekolah berbasis surau tersebut, harus digagas oleh para ahli baik dari kalangan ulama, cendikiawan, tokoh adat, maupun dari masyarakat sendiri. Dalam tulisan ini, ada beberapa gagasan yang patut dipertimbangkan sebagai bentuk pelaksanaan sekolah berbasis surau tersebut. Pertama, menerapkan pendidikan al-Qur'an. Pendidikan al-Qur'an yang dimaksud bukan hanya dalam bentuk mata pelajaran seperti Baca Tulis al-Qur'an, akan tetapi terwujud dalam pembinaan tahsin bagi yang telah mampu membaca, tilawah al-Qur'an bagi yang berbakat, hingga kepada tahfizh (paling tidak tahfizh juz 'Amma), serta tafsir al-Qur'an.

Tegasnya, setiap sekolah, khususnya di tingkat sekolah menengah (SMP/MTs, SMA/MA dan SMK) mesti ada lembaga atau kelompok kajian al-Qur'an yang berisi tentang kegiatan-kegiatan di atas. Diharapkan juga kajian ini dilakukan dengan pendekatan integrited tematik, antara ilmu agama dengan ilmu lainnya, terutama dengan sains dan sosiologi; sebab kajian ini akan menambah minat siswa. Karena tidak semua siswa mengikuti kegiatan ini, maka hasil kajian yang diperoleh dipublikasikan kepada siswa lain melalui MADING khusus tentang Kajian Islam, jika memungkinkan akan lebih baik melalui majalah sekolah.

Bentuk ini perlu dilakukan, sebab ciri utama dari surau sebagai lembaga pendidikan pada masa lampau adalah belajar membaca al-Qur'an. Oleh karena itu, jika sekolah ingin mengaktualisasikan pendidikan surau untuk masa kini, maka penerapan pendidikan al-Qur'an suatu keniscayaan. Selain itu, penerapan pendidikan al-Qur'an di sekolah umum juga mesti diprioritaskan, khususnya dengan lahirnya Perda Prop. Sumbar Nomor 3 tahun 2007 tentang Pendidikan al-Qur'an sebagai kurikulum muatan lokal. Melalui Perda ini, sekolah diharapkan memiliki dasar hukum yang lebih kuat untuk menerapkan gagasan ini.

Kedua, setiap sekolah/madrasah harus memiliki masjid/mushalla, paling tidak memanfaatkan masjid/mushalla masyarakat di sekitar sekolah. Perlu pula meningkatkan fungsi masjid/mushalla, tidak hanya sebagai tempat ibadah seperti shalat, tetapi bisa dilengkapi dengan alat-alat yang berkenaan dengan pembelajaran agama, sehingga mushalla/masjid bisa menjadi "labor" pembelajaran yang terkait dengan mata pelajaran PAI.

Ketiga, sekolah/madrasah harus melaksanakan pendidikan ibadah secara praktis, yang meliputi: Shalat fardhu secara berjamaah bagi siswa muslim. Sejarah pendidikan surau masa lampau menunjukkan bahwa dalam surau tersebut dilakukan pembinaan ibadah, khususnya shalat Maghrib, Isya, dan Shubuh, sebab surau lebih berfungsi ketika malam hari. Dalam konteks madrasah, maka pelaksanaan shalat berjamaah dilakukan sesuai dengan shift-nya, yang pagi shalat zhuhur, sedangkan yang siang/sore pada shalat Ashar. Bagi siswa yang melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler di sore hari, maka guru bersama siswa melaksanakan shalat Ashar secara berjamaah. Lalu Shalat dhuha. Siswa harus dimotivasi melaksanakan shalat dhuha ketika jam istirahat pertama. Paling tidak, setiap siswa diwajibkan oleh sekolah melaksanakan shalat dhuha sekali dalam seminggu. Dalam hal ini wali kelas membagi siswa ke dalam enam kelompok dimana masing-masing kelompok memilih salah satu hari (Senin s.d. Sabtu) sebagai jadwal melaksanakan shalat dhuha. Dengan demikian, setiap hari akan terdapat siswa melaksanakan shalat dhuha di masjid/mushalla sekolah.

Keempat, setiap sekolah/madrasah harus memiliki karakter Islam dalam satu bidang tertentu, dengan memprioritaskan pembinaan kegiatan keislaman, seperti tahfiz juz 'amma, qari' (tilawah), syahril qur'an, pidato Islami, seni Islami, kaligrafi al-Qur'an, Puisi Islami, ROHIS, dan sebagainya, yang turut mewarnai sekolah bersangkutan. Pembentukan karakter ini bisa dilakukan melalui program pengembangan diri atau ekstrakurikuler. Hal ini relevan dengan perkembangan surau masa lalu dalam sosial sejarah Islam di Minangkabau dimana beberapa surau terkenal di berbagai daerah memiliki ciri tersendiri. Seperti Surau Koto Tuo (Tuanku Nan Tuo) Agam yang memiliki distingsi dalam bidang tafsir; Surau Kotogadang yang terkenal sebagai pusat ilmu mantiq dan ma'ani; Surau Sumanik, tersohor kuat dalam tafsir dan fara'id; Surau Kamang, terkenal karena kuat dalam ilmu-ilmu bahasa Arab; Surau Talang, dan Surau Salayo, yang keduanya terkenal dalam bidang Nahu-Sharaf. Keseluruhan surau ini mencapai puncak kejayaannya dalam masa pra-Padri.

Kelima, setiap guru mesti meningkatkan perannya sebagai teladan bagi siswa. Keteladanan itu dapat dilakukan dengan kedisiplinan, sikap yang santun, terutama keterlibatan guru dalam melaksanakan shalat berjamaah.

Keenam, sekolah/madrasah sebaiknya memberikan reward kepada perilaku positif siswa. Madrasah tidak hanya mencatat kesalahan siswa; akan tetapi perlu disiapkan semacam dokumen/portofolio untuk merekam perilaku positif yang terukur, seperti turut melaksanakan shalat, datang paling cepat, prestasi intra atau ekstra kurikuler, mendapat tugas tertentu dalam kegiatan upacara bendera atau lainnya, menjadi utusan lomba, dan sebagainya. Reward ini bisa meningkatkan motivasi siswa untuk melakukan perbuatan yang positif.

Masih banyak bentuk lain yang berkenaan dengan nilai-nilai pendidikan surau untuk diterapkan dalam pelaksanaan sekolah berbasis surau. Beberapa gagasan dalam tulisan ini diharapkan dapat memberika inspirasi bagi kalangan akademisi dan praktisi pendidikan Islam untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam di Sumatera Barat, termasuk melalui sekolah, sehingga melahirkan generasi yang berilmu dan mampu melestarikan adat serta mengamalkan syari'at sesuai falsafah ABS-SBK. Insya Allah.

Baco Tokhus....

Sabtu, Juli 04, 2009

PERDA SUMBAR NO 3 THN 2007


PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT
NOMOR 3 TAHUN 2007
TENTANG
PENDIDIKAN AL-QUR'AN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT
DAN
GUBERNUR SUMATERA BARAT

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN: PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT TENTANG PENDIDIKAN AL-QUR'AN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Propinsi Sumatera Barat;
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi Sumatera Barat;
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Sumatera Barat;
4. Gubernur adalah Gubernur Sumatera Barat;
5. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Propinsi Sumatera Barat;
6. Pendidikan al-Qur'an adalah upaya sistematis untuk menumbuhkan kemampuan membaca, menulis, memahami dan mengamalkan kandungan al-Qur'an;7. Pendidikan Nasional adalah sistem pendidikan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Perundang-undangan Negara;
8. Peserta Didik Pendidikan Al-Qur'an adalah warga masyarakat Sumatera Barat yang beragama Islam;
9. Tenaga Kependidikan Al-Qur'an adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan Pendidikan Al-Qur'an;
10. Tenaga pendidik Al-Qur'an adalah tenaga kependidikan Al-Qur'an yang secara profesional bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan bimbingan, dan pelatihan serta menilai hasil pembelajaran pendidikan Al-Qur'an;
11. Jalur pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan;
12. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan;
13. Jenis pendidian adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan;
14. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan;
15. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar dan pendidikan menengah;
16. Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang oleh masyarakat;
17. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelengaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu;
18. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan selanjutnya disingkat KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan;
19. Penyelenggaraan Pendidikan Al-Qur'an adalah Pemerintah dan masyarakat;
20. Departemen Agama adalah Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat dan perangkatnya di seluruh Daerah Kabupaten/Kota se Sumatera Barat.

BAB II
MAKSUD, SASARAN DAN TUJUAN
Pasal 2
Pendidikan Al-Qur'an dimaksudkan sebagai upaya strategis dan sistematis dalamm membangun dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia seutuhnya, sebagai wujud percapaian cita-cita pendidikan nasional.

Pasal 3
Pendidikan Al-Qur'an bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, pandai baca tulis Al-Qur'an, berakhlak mulia, mengerti dan memahami serta mengamalkan kandungan Al-Qur'an.

Pasal 4
Sasaran Pendidikan Al-Qur'an adalah peserta didik yang beragama Islam pada semua jalur dan jenjang pendidikan.

Pasal 5
(1) Pemerintah Daerah dan masyarakat menyelenggarakan Pendidikan Al-Qur'an
(2) Penyelenggaraan Pendidikan Al-Qur'an oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat dilakukan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
(3) Penyelengaraan Pendidikan Al-Qur'an pada semua jenjang pendidikan formal merupakan bagian dari kurikulum pendidikan nasional yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Propinsi, Kabupaten/Kota.
(4) Penyelenggaraan Pendidikan Al-Qur'an pada semuan jenjang pendidikan non formal diselenggarakan oleh masyarakat.

Pasal 6
(1) Pendidikan Al-Qur'an adalah merupakan muatan lokal dan bagian dari struktur kurikulum pada semua jenjang pendidikan formal.
(2) Kurikulum Pendidikan Al-Qur'an pada jenjang pendidikan non formal disusun oleh masing-masing satuan pendidikan non formal dengan berpedoman kepada materi yang disusun dalam KTSP.
(3) Kurikulum muatan Pendidikan Al-Qur'an diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 7
(1) Penyelenggaraan Pendidikan Al-Qur'an pada jalur pendidikan non formal, disetarakan dengan penyelenggaraan Pendidikan Al-Qur'an melalui jalur pendidikan formal.
(2) Tata cara penyelenggaraan Pendidikan Al-Qur'an pada jalur pendidikan non formal, diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB IV
TENAGA KEPENDIDIKAN AL-QUR'AN
Pasal 8
(1) Tenada kependidikan Al-Qur'an bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses Pendidikan Al-Qur'an pada satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan formal maupun pada jalur pendidikan non formal.
(2) Tenaga pendidik Al-Qur'an merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, melakukan bimbingan, dan pelatihan serta menilai hasil pembelajaran Pendidikan Al-Qur'an.
(3) Tenaga pendidik Al-Qur'an dapat berasal dari guru agama Islam atau tenaga kependidikan yang khusus diangkat untuk melaksanakan Pendidikan Al-Qur'an.

Pasal 9
(1) Pengadaan Tenaga Kependidikan Al-Qur'an pada jalur pendidikan formal diselenggarakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan kepegawaian.
(2) Pengadaan Tenaga Kependidikan Al-Qur'an pada jalur pendidikan non formal diselenggarakan berdasarkan kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan.
(3) Pengadaan Tenaga Kependidikan Al-Qur'an dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi atau Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.

BAB V
SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN AL-QUR'AN
Pasal 10
(1) Setiap satuan pendidikan pada semua jalur dan jenjang pendidikan wajib menyediakan sarana dan prasarana pendidikan Al-Qur'an
(2) Ketentuan tentang penyediaan sarana dan prasarana pendidikan Al-Qur'an diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.

BAB VI
EVALUASI DAN SERTIFIKASI PENDIDIKAN AL-QUR'AN
Pasal 11
(1) Untuk menentukan tingkat keberhasilan peserta didik, dilakukan evaluasi pendidikan Al-Qur'an berdasarkan teori teknik evaluasi
(2) Tingkat keberhasilan peserta didik dilakukan oleh satuan penyelenggara evaluasi pendidikan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
(3) Tata cara pelaksanaan evaluasi pendidikan Al-Qur'an ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 12
(1) Peserta didik yang berhasil mengikuti pendidikan Al-Qur'an pada jalur pendidikan formal, dievaluasi sesuai dengan ketentuan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan (3).
(2) Peserta didik yang telah mengikuti pendidikan Al-Qur'an pada jalur pendidikan non formal, dievaluasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) dan (3) dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh satuan penyelenggara pendidikan tersebut.
(3) Sertifikasi pendidikan Al-Qur'an berbentuk sertifikat kompetensi yang dipergunakan untuk mengikuti jenjang pendidikan berikutnya atau untuk memenuhi persyaratan tertentu, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.
(4) Tata cara pemberian sertifikat pendidikan Al-Qur'an diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

Pasal 13
Kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan jenjang pendidikan sebagai berikut:
a. Tamat sekolah dasar pandai membaca, menulis dan memahami ayat Al-Qur'an, mengenal tajwid dasar serta hafal 10 (sepuluh) surat juz 'Amma.
b. Tamat sekolah lanjutan tingkat pertama pandai membaca, menulis dan memahami ayat Al-Qur'an serta mengenal ilmu tajwid, irama dasar dan hafal 15 (lima belas) surat juz 'Amma dan ditambah beberapa ayat al-Qur'an lainnya.
c. Tamat sekolah lanjutan tingkat atas fasih membaca, menulis dan memahami ayat Al-Qur'an serta menéenla ilmu tajwid, irama dasar, hafal 20 (dua puluh) surat juz 'Amma dan ditambah beberapa ayat al-Qur'an lainnya.

Pasal 14
(1) Setiap anggota masyarakat yang akan melangsungkan pernikahan harus pandai membaca ayat al-Qur'an
(2) Ketentuan dan tata cara pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

BAB VII
PENDANAAN PENDIDIKAN AL-QUR'AN
Pasal 15
(1) Pendanaan pendidikan al-Qur'an merupakan tanggungjawab bersama antara Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan masyarakat.
(2) Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan Al-Qur'an sebagai bagian dari anggaran pendidikan nasional.
(3) Penyediaan anggaran pendidikan Al-Qur'an dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Ketentuan tentang pertanggungjawaban pendanaan pendidikan Al-Qur'an diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 16
Pemerintah Daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota melalui Dinas Pendidikan, Kantor Departemen Agama, Unit Kerja Terkait, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pendidikan al-Qur'an pada semua jalur dan jenjang pendidikan, baik formal maupun non formal.

Pasal 17
(1) Pemerintah Daerah melaui Dinas Pendidikan, Kantor Departemen Agama, Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan Al-Qur'an pada semua jalur dan jenjang pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
(3) Ketentuan tentang tata cara dan teknis pengawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.

BAB IX
S A N K S I
Pasal 18
(1) Bagi peserta didik tamatan SD dan SLTP yang akan melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan berikutnya, apabila tidak mampu membaca dan menulis ayat al-Qur'an sesuai dengan kompetensi dasar sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 13 dan/atau tidak memiliki sertifikat pandai membaca dan menulis ayat Al-Qur'an, maka yang bersangkutan tidak/belum dapat diterima pada jenjang pendidikan lanjutan tersebut.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah apabila yang bersangkutan yang diketahui oleh orang tua atau walinya menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti program khusus belajar membaca dan menulis ayat Al-Qur'an, baik yang diadakan di sekolah tersebut maupun penyelenggara lainnya.
(3) Apabila sertifikat yang dikeluarkan berdasarkan rekomendasi dari sekolah dan pengawas pendidikan agama Islam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) ternyata mengandung kepalsuan, maka kepada yang mengeluarkan rekomendasi diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) Apabila calon penganten belum dapat membaca ayat al-Qur'an sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), maka proses pernikahannya ditunda sampai yang bersangkutan dapat memenuhi kompetensi dasar yang telah ditetapkan.

BAB X
KETENTUAN UMUM
Pasal 19
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan dan/atau memberikan sertifikat yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan hukuman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda paling banyak Rp.30.000.000,- (Tiga Puluh Juta Rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah merupakan pelanggaran.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 20
(1) Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan Al-Qur'an, sebelum ditetapkan Peraturan Daerah ini tetap diakui.
(2) Sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan Al-Qur'an sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diakui.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur dalam Peraturan Gubernur.

Pasal 22
Peraturan Daeran ini berlaku pada tanggal diundangkan, dan berlaku efektif Tahun 2008.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Sumatera Barat

Ditetapkan di Padang
pada tanggal, 15 Februari 2007


GUBERNUR SUMATERA BARAT


GAMAWAN FAUZI

Diundangkan di Padang
pada tanggal 15 Februari 2007
SEKRETARIS DAERAH

TTD

Drs. H. YOHANNES DAHLAN
Pembina Utama Madya
NIP. 410003662

LEMBARAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT
TAHUN 2007 NOMOR : 3

Baco Tokhus....

Selasa, Juni 23, 2009

Al-Qur'an, Karakter Pendidikan Sumbar

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Membangun karakter (character building) suatu daerah merupakan keniscayaan bagi daerah yang ingin tampil terdepan dan menjadi teladan bagi daerah lain di era otonomi ini. Sementara upaya yang paling efektif untuk mewujudkan pembangunan karakter tersebut adalah melalui pendidikan. Dengan demikian, setiap daerah sejatinya memiliki karakter pendidikan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah itu sendiri.

Daerah tingkat dua (kota/kabupaten) di lingkungan Propinsi Sumatera Barat juga dituntut untuk mempertegas karakter pendidikan yang ingin diterapkan. Karakter pendidikan yang ingin diterapkan tentu memiliki nilai positif, tidak hanya pada saat ini, akan tetapi tetap dibutuhkan untuk masa mendatang. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam membentuk karakter pendidikan di daerah ini—khususnya daerah yang berpenduduk mayoritas muslim—adalah al-Qur'an.

Empat Alasan yang Melatarbelakangi


Setidaknya ada empat aspek yang menjadi alasan untuk menerapkan gagasan ini. Pertama, aspek dogmatis. Secara dogmatis diyakini bahwa al-Qur'an adalah pedoman hidup manusia. Al-Qur'an tidak hanya berbicara tentang kehidupan spiritual an sich, akan tetapi mengandung ajaran yang komprehensif, holistik dan universal. Bahkan al-Qur'an juga mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang tetap relevan sepanjang zaman sehingga tatanan kehidupan masyarakat memiliki peradaban yang tinggi. Hanya saja, perlu pengembangan metodologi dalam pemahaman al-Qur'an sehingga ia lebih "membumi" dan mampu menjawab tantangan dan kebutuhan umat. Jadi, jika muncul anggapan dewasa ini umat Islam terbelakang bukan berarti al-Qur'an yang bermasalah, akan tetapi manusia itu sendirilah yang tidak mampu memahami pesan al-Qur'an tersebut.

Kedua, aspek sosio-cultural. Secara sosio-cultural, masyarakat Sumatera Barat yang notabenenya bersuku Minangkabau dan beragama Islam memiliki kultur yang menyatu dengan al-Qur'an. Bahkan ketika orang berbicara tentang sosio-cultural Sumatera Barat, maka key word yang ada dalam persepsinya hanya ada dua kata: adat dan agama (Islam). Hal ini beralasan mengingat falsafah Adat Basandi Syara'; Syara' basandi Kitabullah (ABS-SBK) begitu mengakar dalam budaya mereka. Untuk melestarikan dan mewujudkan falsafah yang selalu didengungkan ini dalam kehidupan nyata, perlu menggagas karakter pendidikan yang mampu menerapkan Kitabullah (al-Qur'an) tersebut. Jika tidak, maka falsafah ABS-SBK hanya menjadi buah bibir semata.

Ketiga, aspek historis. Berbicara tentang historis atau sejarah pendidikan Minangkabau di Sumatera Barat tentu tidak terlepas dari pendidikan surau. Sistem pendidikan Surau masih tetap menarik untuk dikaji dan diteliti hingga saat ini. Sebab, pendidikan surau telah memberikan kontribusi yang amat besar terhadap pembangunan daerah Sumatera Barat, bahkan terhadap bangsa Indonesia secara nasional dengan tampilnya beberapa ulama dan cendikiawan terkemuka yang merupakan produk dari pendidikan surau tersebut. Dan perlu ditegaskan bahwa setiap surau yang berperan sebagai lembaga pendidikan pasti didalamnya terdapat pendidikan al-Qur'an. Namun, pendidikan surau tidak mampu tampil sebagai lembaga pendidikan survive seperti pesantren di tanah Jawa. Kini, masyarakat Sumatera Barat banyak yang mengalami romantisme sejarah, lalu mempopulerkan gagasan "babaliak ka surau" karena surau telah dianggap berhasil pada zamannya. Cara yang paling bijak untuk menerapkan gagasan itu adalah dengan menerapkan kembali ciri khas sistem pendidikan surau itu sendiri, yaitu al-Qur'an.

Keempat, aspek politik. Secara politik, gagasan al-Qur'an sebagai karakter pendidikan juga sangat beralasan. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 4, misalnya, disebutkan bahwa pada tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kata-kata iman dan takwa jelas terinspirasi dari isi al-Qur'an. Dalam perspektif Islam, mustahil seseorang mampu beriman dan bertakwa tanpa mengamalkan kandungan al-Qur'an. Karenanya, mempelajari al-Qur'an merupakan keniscayaan bagi yang ingin mengamalkan al-Qur'an secara baik.


Perda Nomor 3 tahun 2007 tentang Pendiidkan al-Qur'an
Selain alasan undang-undang di atas, secara politik, pemerintah propinsi Sumatera Barat sebenarnya juga memberikan perhatian yang amat tinggi terhadap pendidikan al-Qur'an. Hal ini dapat dilihat dari Peraturan Darah (Perda) Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pendidikan al-Qur'an yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Prop. Sumbar. Dalam Perda itu ditegaskan bahwa Pendidikan al-Qur'an menjadi salah satu kurikulum muatan lokal yang dapat diterapkan sekolah tingkat dasar (SD) dan menengah (SMP, SMA, dan SMK). Bahkan Perda ini telah ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah raga Prop. Sumbar dengan membentuk sekolah piloting kurikukum Pendidikan al-Qur'an di setiap 19 kota/kabupaten di lingkungan Prop. Sumatera Barat mulai dari SD, SMP, SMA, dan SMK sejak TP. 2008/2009.

Kebijakan dan niat baik pemerintah ini seyogyanya mendapat dukungan penuh dari masyarakat, khususnya yang beragama Islam demi membentuk kepribadian generasi muda yang kelak menjadi pemimpin di negeri ini. Dukungan itu sangat dibutuhkan terutama dari sekolah dan orang tua. Sekolah-sekolah di semua jenjang (SD, SMP, SMA, dan SMK) yang memiliki siswa mayoritas muslim seharusnya memandang kurikulum pendidikan al-Qur'an sebagai kebutuhan mendasar. Sebab beberapa survey yang dilakukan oleh tim perumus kurikulum pendidikan al-Qur'an menemukan banyak siswa dari beberapa sekolah tertentu tidak pandai membaca dan menulis al-Qur'an. Jika tidak pandai membaca al-Qur'an, bagaimana dengan pengamalan mereka? Lalu bagaimana pula cara yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang beriman dan bertakwa?

Demikian pula orang tua, di era demokrasi yang semakin berkembang ini sesungguhnya membutuhkan peran orang tua yang lebih besar lagi dalam peningkatan kualitas sekolah sebagai tempat belajar putra-putri mereka. Maka orang tua diharapkan memberikan saran dan dukungan kepada sekolah untuk menerapkan kurikulum pendidikan al-Qur'an. Dengan begitu, ada kerja sama yang harmonis antara orang tua, sekolah, dan pemerintah untuk membentuk karakter generasi muda sebagai pemimpin masa datang yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang berlandaskan iman dan takwa melalui al-Qur'an.

Bahkan orang tua sebaiknya selektif terhadap sekolah dalam memasukkan putra-putri mereka dengan memilih sekolah yang peduli terhadap pembentukan karakter Qur'ani di sekolah tersebut. Apa artinya memiliki putra-putri yang cerdas secara intelektual tetapi mengalami kehampaan spiritual? Kaya pengetahuan tapi miskin iman?
Sudah saatnya masyarakat Sumatera Barat memiliki visi yang sama untuk membentuk karakter pendidikan yang memberikan perhatian terhadap kualitas ilmu dan iman secara integral sehingga mereka mampu beramal secara kreatif dan produktif. Dalam hal ini, al-Qur'an menjadi alternatif yang solutif.

Baco Tokhus....

Sabtu, Mei 23, 2009

Makalah Konseling Islam

AKHLAK KONSELOR DALAM ISLAM

Oleh: Muhammad Kosim, MA

A. Pendahuluan
Konselor merupakan orang yang melakukan proses konseling kepada kliennya. Keberhasilan seorang konselor tidak hanya ditentukan oleh kemampuannya dalam memahami konsep-konsep konseling an sich, akan tetapi sangat ditentukan akhlak seorang konselor. Hal ini juga tidak terlepas dari keberhasilan Rasulullah SAW dalam menerapkan dakwah islamiyyah—yang di dalamnya juga terdapat proses konseling—amat didukung oleh kemuliaan akhlaknya.

Dengan demikian, akhlak seorang konselor sangat dibutuhkan dalam menentukan keberhasilan proses konseling yang ia lakukan, terutama dalam pendidikan Islam. Oleh karena itu, makalah yang sederhana ini akan berupaya untuk menguraikan akhlak konselor dalam kajian Islam.

B. Akhlak Konselor dalam Islam Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa seorang konselor harus memiliki akhlak yang mulia. Seorang konselor harus memiliki kepribadian yang baik, sebab pelayanan bimbingan dan konseling berkaitan dengan pembentukan perilaku dan kepribadian klien. Melalui konseling diharapkan terbentuk perilaku positif (akhlak baik) dan kepribadian yang baik pula pada diri klien. Upaya ini akan efektif apabila dilakukan oleh seseorang yang memiliki kepribadian dan akhlak yag baik pula. Selain itu, praktik bimbingan dan konseling berlandaskan atas norma-norma tertentu. Dengan kepribadian yang baik, diharapkan tidak terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang bisa merusak citra pelayanan bimbingan dan konseling.

Dalam keadaan tertentu seorang konselor bisa menjadi model atau contoh yang baik bagi penyelesaian masalah siswa (klien). Dalam konteks ini ada teori counselling by modeling, yaitu konseling melalui percontohan. Konselor bisa menjadi contoh yang efektif bagi pemecahan masalah kliennya. Konselor tidak akan dapat menjalankan fungsi ini apabila dirinya tidak memiliki kepribadian yang baik. Misalnya konselor akan sulit mengubah perilaku siswa yang tidak disiplin apabila ia sendiri tidak dapat menunjukkan perilaku disiplin kepada para siswa. Konselor akan sulit mengubah sifat siswa yang emosional apabila ia sendiri adalah orang yang emosional dan seterusnya.

Dalam praktik bimbingan dan konseling di lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, syarat ini menjadi lebih urgen. Sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang dalam praktik pendidikan dan pembelajarannya dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam, maka praktik pelayanan bimbingan dan konselingnya pun harus dijiwai dan dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam. Salah satu nilainya adalah pembimbing atau konselornya harus berakhlak baik (memiliki akhlak al karimah).

Praktik bimbingan konseling harus dijiwai dan dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam yang mengacu kepada praktik bimbingan dan kon¬selingnya Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. adalah sosok pemecah masalah umat yang paling efektif. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw. merupakan konselor pertama dalam Islam yang membimbing, mengarahkan, menuntun dan menasihati umat agar beriman kepada agama Tauhid (Islam). Melalui bimbingan, arahan, tuntunan dan nasihatnya, manusia memperoleh kebahagiaan hidup baik di dunia dan akhirat Kepribadiannya mantap dapat menjadi contoh teladan yang baik bagi pemecahan masalah para sahabat ketika itu. Hal ini relevan dengan firman Allah SWT:

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Qs. al-Ahzab/33: 21)

Kepribadian yang baik dalam konteks Islam ditandai dengan kepemilikan iman, ma'rifah, dan tauhid. Dengan demikian seorang pembimbing atau konselor terutama yang berpraktik di lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memiliki keimanan, kemakrifatan, dan ketauhidan yang berkualitas. Kemakrifatan penting dimiliki dalam kaitannya untuk bersimpati dan berempati terhadap klien (siswa). Kepribadian yang baik juga ditandai dengan dimilikinya aspek moralitas yang baik pada diri pembimbing (konselor) seperti nilai-nilai, sopan santun, adab, etika, dan tata krama yang dilandaskan pada ajaran agama Islam. Intinya tanpa kepribadian yang baik dari guru pembimbing (konselor), tujuan pelayanan bimbingan dan konseling akan sulit dicapai secara efektif.

Selain keterangan di atas, akhlak seorang konselor dapat dirumuskan dengan melihat asas-asas yang ada dalam proses konseling tersebut. Thohari Musnamar menyebutkan bahwa asas-asas dalam konseling adalah:
1. Asas kebahagiaan dunia dan akhirat
2. Asas komunikasi dan musyawarah
3. Asas manfaat
4. Asas kasih sayang
5. Asas menghargai dan menghormati
6. Asas rasa aman
7. Asas ta'awun (tolong menolong) atau kerja sama konstruktif
8. Asas toleransi
9. Asas keadilan

Dari beberapa asas di atas, dapat dikembangkan dan dirumuskan bahwa seorang konselor Islami harus mememiliki akhlak sebagai berikut.

a. Berkomunikasi secara baik Dalam melakukan konseling, perlu dilakukan dengan komunikasi yang baik. Tanpa komunikasi yang baik, niscaya pesan yang diinginkan sulit menimbulkan efek yang positif terhadap klien. Dalam al-Qur'an, terdapat beberapa isyarat tentang pola-pola komunikasi yang ditunjukkan dalam beberapa istilah seperti tabel berikut ini:

1 Qawlan ma'rufan (Al-Baqarah: 263; An-Nisa': 8; Al-Ahzab: 32) maksudnya Perkataan yang baik Bahasa yang sesuai dengan tradisi, bahasa yang pantas atau cocok untuk tingkat usianya; bahasa yang dapat diterima akal untuk tingkat usia.

2 Qawlan kariman (Al-Isra': 23) maksudnya Perkataan yang mulia Bahasa yang memiliki arti penghormatan, bahasa yang enak didengar karena terdapat unsur-unsur kesopanan.

3 Qawlan maysuran (Al-Isra': 28) maksudnya Perkataan yang pantas Bahasa yang dimengerti, bahasa yang dapat menyejukkan perasaan.

4 Qawlan balighan (An-Nisa: 63) maksudnya Perkataan yang mengena/ mendalam Bahasa yang efektif, sehingga tepat sasaran dan tujuannya, bahasa yang efisien, sehingga tidak membutuhkan banyak biaya, waktu dan tempat.

5 Qawlan layyinan (Thaha: 44) maksudnya Perkataan lemah lembut Bahasa yang halus, sehingga menembus relung kalbu, bahasa yang tidak menyinggung perasaan orang lain, bahasa yang baik dan enak didengar.

6 Qawlan sadid (An-Nisa': 9) maksudnya Al-Ahzab: 70 Perkataan benar dan berimbang Bahasa yang benar, bahasa yang berimbang (adil) dari kedua belah pihak.

7 Qawlan azhima (Al-Isra': 80) maksudnya Perkataan yang berbobot Bahasa yang mendalam materinya, bahasa yang berbobot isinya.

8 Qawlan min rabb rahim (Yasin: 58) maksudnya Perkataan rabbani Bahasa yang isinya bersumber dari Tuhan, bahasa yang yang mengandung pesan Tuhan.

9 Qawlan tsaqila (Al-Muzammil: 5) maksudnya Perkataan yang berat Bahasa yang berbobot yang mengandung informasi kewajiban manusia, syariah, halal-haram, hukum pidana-perdata.

Bahasa di atas dapat digunakan melihat kondisi dan psikologi klien sehingga tujuan dari proses konseling dapat tercapai dengan baik.

b. Kasih Sayang Kasih sayang (rahmah) adalah sifat yang wajib dimiliki oleh setiap konselor. Karenanya orang yang hatinya keras tidak layak menjadi konselor. Sebab, kasih sayang yang merupakan gerakan kalbu adalah modal perasaan yang secara otomatis bisa mendorong pendidik, dan menolak untuk tidak suka meringankan beban orang yang didik.
Dari beberapa literatur sejarah, banyak ditemukan kisah Rasulullah SAW yang menyayangi keluarga dan para sahabatnya. Rasulullah SAW pernah memendekkan shalatnya hanya karena kasih sayang beliau kepada seorang ibu yang merasakan kepedihan atas tangisan bayinya ketika shalat sedang berlangsung. Hadis ini diriwayatkan Anas bin Malik r.a., dia bekata:
مَاصَلَّيْتُ وَرَاءَ اِمَامٍ قَطُّ اَخَفَّ صَلاَةً وَلاَ اَتَمَّ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاِنْ كَانَ يَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِىِّ فَيُخَفِّفَ مَخَافَةَ اَنْ تُفْتَنَ اُمُّهُ.
Artinya: "Saya tidak pernah shalat di belakang iman yang lebih ringan dan lebih sempurna dari pada Nabi SAW. Dan pernah beliau mendengar tangis seorang bayi lalu mempercepatnya karena khawatir ibunya terganggu." (H.R. Bukhari)

Begitu pula dalam mendidik, Rasulullah SAW senantiasa mendidik para sahabatnya dengan penuh kasih sayang. Dalam suatu majlis, umpamanya, jika ada sahabat yang tidak datang, maka beliau akan mempertanyakannya. Hal ini pernah terjadi dengan sahabatnya Tsabit bin Qays. Suatu ketika Tsabit bin Qays tidak mau datang ke majlis Nabi SAW karena merasa bersalah dimana beliau pernah meninggikan suaranya di hadapan Nabi, sementara beliau mempertanyakan ketidakhadiran Tsabit. Rasulullah SAW tidak berhenti bertanya di situ saja, tetapi ia mengutus sahabat lain untuk menanyakan keadaannya. Setelah di utus, Tsabit pun menolak lalu menjelaskan rasa bersalahnya. Mendengar jawaban itu, Nabi pun kembali menyuruh sahabat untuk kedua kalinya dengan membawa kabar gembira yang luar biasa, dan Rasulullah SAW:
إِذْهَبْْ إِلَيْهِ فَقُلْ: إِنَّكَ لَسْتَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلَكِنْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Artinya: ”Pergilah kepadanya dan katakan, 'Sesungguhnya anda bukan termasuk penghuni neraka, tetapi termasuk penghuni surta". (H.R. Bukhari)

Sikap kasih sayang dalam mendidik ini, juga diakui oleh para pemuda yang pernah ia ajari, seperti Malik bin Huwairits r.a., ia berkata:
أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُوْنَ, فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِيْنَ يَوْمًا وَلَيْلَةً, وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيْمًا رَفِيْقًا, فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا, أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا, سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ, قَالَ: (إِرْجِعُوْا إِلَى اَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ). وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا: (وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُُصَلِّي, فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ).
Artinya: "Kami mendatangi Rasulullah SAW dan kami pemuda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama 20 malam. Rasulullah SAW adalah seorang penyayang. Ketika beliau menduga kami telah menghendaki ingin pulang dan rindu keluarga, beliau menanyakan tentang orang-orang yang kami tinggalkan dan kami memberitahukannya. Beliau bersabda: 'Kembalilah kepada keluargamu dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan suruhlah mereka.' Beliau menyebutkan hal-hal yang saya hafal dan tidak saya hafal. 'Dan shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. Bila (waktu) shalat tiba, maka hendaklah salah satu dari kalian adzan dan yang paling dewasa menjadi iman." (H.R. Bukhari)

Perilaku kasih sayang turut menentukan keberhasilan seorang konselor dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada klien sehingga ditemukan problem solving yang efektif.

c. Lemah Lembut Sikap lemah lembut merupakan sikap yang tidak bisa dipisahkan dari sikap kasih sayang yang harus dimiliki oleh seorang konselor. Demikian halnya Rasulullah SAW, sebagai konselor umat sepanjang zaman, juga memiliki akhlak yang lemah lembut. Akhlak ini memang telah dianugerahkan Allah kepada para Nabi-Nya, firman-Nya:

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka...

Dalam mendidik para sahabatnya, Rasulullah SAW senantiasa memperlihatkan sikap yang lemah lembut ini. Hal ini diakui oleh Umar bin Abi Salamah r.a., ia berkata: "Saya masih kecil dan berada di dalam asuhan Rasulullah SAW. Tanganku mengambil dengan acak (makanan) di nampan (piring besar yang cukup untuk lima orang). Maka Rasulullah SAW bersabda kepadaku:
يَاغُلاَمُ سَمِّ اللهِ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
Artinya: 'Wahai anak, bacalah Bismillah. Makanlah dengan tangan kanan dan makanlah yang dekat denganmu."

Jika dilihat dari bahasa yang ucapkan Rasulullah SAW, begitu santun dan lemah lembutnya bahasa itu. Ucapan itu pun amat berpengaruh pada diri Umar bin Abi Salamah dengan pengakuannya:
فَمَازَالَتْ تِلْكَ طُعْمَتِيْ بَعْدُ
Artinya: Senantiasa seperti inilah cara makanku setelah itu" (H.R. Bukhari)

d. Sabar (patience) Sabar adalah bekal setiap konselor. Seorang pendidik (konselor) yang tidak berbekal kesabaran, ibarat musafir yang melakukan perjalanan tanpa bekal. Bisa jadi dia akan gagal, atau kembali sebelum sampai ke tempat tujuan.

Melalui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat memban-lu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukkan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku yang tidak tergesa-gesa.
Mengenai kesabaran nabi SAW juga, al-Qarni menyebutkan bahwa beliau menjadi contoh yang ideal dalam kelapangan dada, kesabaran yang agung, ketabahan yang besar, dan ketegaran hati. Begitu juga dalam mendidik dan memberikan konseling kepada para sahabatnya, Nabi Muhammad SAW senantiasa bersabar dalam menghadapi mereka.

e. Tawadhu’ Untuk menggugah simpati klien, sifat tawadhu' dari seorang konselor juga diperlukan. Dengan sifat tawadhu' akan menambahkan keakraban antara keduanya. Sifat ini juga tampak dalam diri Rasulullah SAW sehingga ia dikenal sebagai guru yang tawadhu’. Hal itu dapat dilihat dari sikap ketika memasuki suatu majlis, beliau tidak suka disambut atau dihormati dengan cara berdiri. Dari Anas bin Malik r.a. dijelaskan:
لَمْ يَكُنْ شَخْصُ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَكَانُوْا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُوْمُوا لِمَا يَعْلَمُوْنَ مِنْ كَرَاهَتِهِ لِذَلِكَ
Artinya: Tidak ada yang paling dicintai oleh para sahabat melebihi Rasulullah SAW. Lalu Anas berkata: "Walau demikian ketika melihat Rasulullah SAW mereka tidak berdiri, karena mengetahui bahwa beliau (Rasulullah) tidak menyukai hal itu”. (H.R. Imam at-Tirmidzi)

Dalam arti yang lebih luas, hadis ini menggambarkan bahwa sikap yang ditampilkan Rasulullah SAW tersebut juga perlu diaktualisasikan dalam proses konseling.

f. Toleransi Dalam melaksanakan konseling, seorang konselor juga dituntut untuk bersikap toleran terhadap kliennya. Hal ini selalu dilakukan oleh Rasulullah SAW. Misalnya, toleransi nabi terlihat dalam hadis tentang orang yang bersetubuh di siang hari Ramadhan dalam keadaan puasa. Hadis ini diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَارَسُولَ اللهِ, هَلَكْتُ. قَالَ: مَالَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِيْ وَأنَا صَائِمٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟ قَالَ: َلا. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لا. فَقَالَ: فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لا, قَالَ: فَمَكُثَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَبَينَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهَا تَمْرٌ, قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ؟ فَقَالَ: أنَا. قَالَ: خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ. فَقَالَ الَّرجُلُ: أَعَلَ أَفْقََر مِنِّي يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَوَ اللهِ مَابَيْنَ َلابَتَيْهَا, يُرِيْدُ الْحَرَّتَيْنِ, أَهْلُ بَيْتِ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي. فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ.
Artinya: "Ketika kami duduk di sisi Nabi SAW, tiba-tiba datanglah seseorang lalu berkata: 'Ya Rasulullah, celakalah aku'. Rasul bertanya: 'Apa yang mencelakakanmu?' Ia menjawab: 'Saya menggauli istri Saya, sedangkan Saya berpuasa (Ramadhan). Rasulullah SAW bertanya: 'Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?' Ia menjawab: 'Tidak', Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah kamu bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?', Ia menjawab: 'Tidak', Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?' Ia pun menjawab: 'Tidak'. Berkata Abu Hurairah, 'Maka pergi Nabi SAW, sesaat kemudian kami melihat Nabi SAW datang membawa sekerangjang kurma', Nabi bertanya: 'Manakah orang yang bertanya tadi?' Maka dia menjawab: 'Saya', Bersabda Nabi: 'Ambillah olehmu kurma ini, maka sedekahkanlah' Maka bertanya laki-laki itu: 'Apakah ada orang yang lebih faqir dariku wahai Rasulullah? Maka demi Allah, tidak ada orang di antara dua bukit (kota Madinah) yang lebih faqir dari pada keluargaku'. Maka tertawalah Nabi SAW sehingga kelihatan giginya, lalu ia bersabda: 'Berilah makan keluargamu dengannya'". (H.R. Bukhari)

Dua hadis di atas menunjukkan kebijaksanaan sekaligus sikap toleransi Nabi kepada para sahabatnya yang sedang bermasalah dan meminta agar Rasul membantunya untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Kemudian Nabi SAW memahami kondisi dan kemampuan masing-masing sahabat dan tidak menerapkan hukum yang kaku tanpa melihat persoalan yang sesungguhnya. Begitulah Rasulullah SAW membina kepribadian sahabat sehingga mereka taat melaksanakan risalah yang dibawanya dengan suka hati, tanpa merasa terpaksa.

g. Demokratis dan Terbuka Sebagai seorang konselor yang bijaksana, juga diperlukan sikap toleransi yang tinggi kepada klien. Perlu pula keterbukaan antara keduanya sehingga berbagai persoalan yang dihadapi oleh klien dapat diselesaikan.

h. Jujur (honesty) Yang dimaksud jujur di sini adalah bahwa konselor itu bersikap transparan (terbuka), autentik, dan asli (genuine). Sikap jujur ini penting dalam konseling, karena alasan-alasan berikut.

1) Sikap keterbukaan memungkinkan konselor dan klien untiik menjalin hubungan psikologis yang lebih dekat satu sama lainnya di dalam proses konseling; Konselor yang menutup atau menyembunyikan bagian-bagian dirinya terhadap klien dapat menghalangi terjadinya relasi yang lebih dekat. Kedekatan hubungan psikologis sangat penting dalam konseling, sebab dapat menimbulkan hubungan yang langsung dan terbuka antara konselor dengan klien. Apabila terjadi ketertutupan dalam konseling dapat menyebabkan merintangi perkembangan klien.

2) Kejujuran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif kepada klien.

d. Dapat Dipercaya (Trustworthiness/amanah) Kualitas ini berarti bahwa konselor itu tidak menjadi ancaman atau penyebab kecemasan bagi klien. Kualitas konselor yang dapat dipercaya sangat penting dalam konseling, karena beberapa alasan, yaitu sebagai berikut:

1) Esensi tujuan konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan masalah dirinya yang paling dalam. Dalam hal ini, klien harus merasa bahwa konselor itu dapat memahami dan mau menerima curahan hatinya (curhatnya) dengan tanpa penolakan. Jika klien tidak memiliki rasa percaya ini, maka rasa prustasilah yang menjadi hasil konseling.

2) Klien dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor. Artinya klien percaya bahwa konselor mempunyai motivasi untuk membantunya.

3) Apabila klien mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor, maka akan berkembang dalam dirinya sikap percaya tnrhadap dirinya sendiri.

Hal ini relevan dengan ajaran al-Qur'an yang menuntut manusia untuk bersifat amanah.
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh, (Qs. al-Ahzab/33: 72)

e. Adil Seorang konselor harus bersikap adil dalam melakukan proses konseling kepada kliennya. Prinsip keadilan ini sangat penting memahami masalah yang dihadapi klien lalu memperlakukannya sesuai dengan prinsip keadilan itu sendiri.

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. surat al-Maidah/5 ayat 8)

C. Penutup Demikianlah uraian makalah ini tentang akhlak seorang konselor dalam kajian Islam. Akhlak ini perlu dimiliki oleh setiap konselor sehingga pelaksanaan konseling dalam berjalan dengan baik dan masalah yang dihadapi oleh klien teratasi secara efektif dan efisien.
Akhlak konselor tentunya berlandaskan kepada ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur'an dan hadis. Dalam al-Qur'an dan hadis, ditemukan beberapa akhlak yang perlu dimiliki oleh seorang konselor, seperti berkomunikasi dengan baik, kasih sayang, jujur, amanah, adil, sabar, tawadhu', toleransi, dan sebagainya. Hal ini juga relevan dengan asas-asas dalam konseling itu sendiri.





DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdurrahman, Hafidz, Membangun Kepribadian Pendidik Umat, Ketauladanan Rasulullah SAW di Bidang Pendidikan, Jakarta: Wadi Press, 2005
al-Qarni, ‘Aidh bin Abdullah, Visualisasi Kepribadian Muhammad SAW, Penj. Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006
Mudjib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006
Munro, E.A., dkk, Counselling: A Skill Approach, Penj. Erman Amti, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), cet. ke-2
Musnamar, Thohari, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami, Yogyakarta: UII Press, 1992
Qal'ah, Rawwas, Dirāsah Tahlīliyah li Syakhsiyyah ar-Rasūl SAW, Beirut: Dar an-Nafāis, 1996, cet. ke-2
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007

Baco Tokhus....

Jumat, April 17, 2009

Makalah Manajemen Pendidikan Islam

KONSEP DASAR ORGANISASI
(Kajian Manajemen Pendidikan Islam)
Oleh: Muhammad Kosim

A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial (al-insānu madaniyyun bi at- thab’i atau zoon politicon). Karenanya, setiap manusia akan saling memerlukan dalam memenuhi kebutuhannya. Antara sesama manusia juga dituntut untuk saling bekerja sama, saling menghargai dan menghormati untuk mempertahankan hidupnya di muka bumi ini.

Adanya alasan sosial (social reasons) di atas menjadi salah satu pendorong bagi manusia untuk membentuk suatu perkumpulan yang biasa disebut "organisasi". Organisasi ini amat dibutuhkan untuk mewujudkan setiap cita-cita yang disepakati oleh anggota organisasi secara bersama. Oleh karena itu, organisasi tumbuh dan berkembang begitu pesat di tengah-tengah masyarakat. Organisasi itu juga dibentuk dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pemerintahan, perusahaan, politik, hukum, ekonomi, dan termasuk bidang pendidikan.

Dalam perkembangannya, organisasi telah menjadi disiplin ilmu tersendiri seiring dengan berkembangnya pemikiran dan pengetahuan manusia. Teori-teori organisasi yang terbangun dalam kajiannya sebagai suatu disiplin ilmu tertentu, selanjutnya akan dibutuhkan oleh masyarakat dalam membentuk suatu organisasi sesuai dengan bidang yang diinginkan. Demikian halnya di bidang pendidikan Islam, teori-teori organisasi turut dibutuhkan untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang lebih profesional dan berkualitas.
Makalah yang sederhana ini akan mencoba menguraikan konsep-konsep organisasi. Adapun persoalan-persoalan yang akan diuraikan di bawah ini akan berusaha untuk menjawab beberapa hal, yaitu:
1. Bagaimanakah pengertian organisasi dan perbedaannya dengan pengorganisasian?
2. Bagaimanakah sejarah pertumbuhan dan perkembangan organisasi?
3. Bagaimanakah prinsip-prinsip, fungsi, dan urgensi organisasi?
4. Bagaimanakah bentuk-bentuk organisasi?
5. Bagaimana pula organisasi dalam lembaga pendidikan Islam?

Untuk menjawab lima pertanyaan di atas, penulis akan menguraikan beberapa teori organisasi lalu mencoba menganalisisnya dengan kacamata pendidikan Islam. Karena keterbatasan kemampuan dan referensi yang digunakan, khususnya yang berkenaan dengan konsep pendidikan Islam tentang organisasi, maka dibutuhkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari forum diskusi ini.

B. Pengertian Organisasi dan Pengorganisasian
Organisasi (organization) dan pengorganisasion (organizing) memiliki hubungan yang erat dengan manajemen. Organisasi merupakan alat dan wadah atau tempat manejer melakukan kegiatan-kegiatannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sementara Pengorganisasian merupakan salah satu fungsi organik dari manajemen dan ditempatkan sebagai fungsi kedua setelah perencanaan (planning). Dengan demikian, antara organisasi dan pengorganisasian memiliki pengertian yang berbeda.

James L. Gibson c.s., sebagaimana yang dikutip oleh Winardi, berpendapat bahwa:
"...organisasi-organisasi merupakan entitas-entitas yang memungkinkan masyarakat mencapai hasil-hasil tertentu, yang tidak mungkin dilaksanakan oleh individu-individu yang bertidak secara sendiri"

Organisasi-organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang pada dasarnya menginginkan terwujudnya suatu hasil atau tujuan tertentu. Tujuan yang diinginkan tersebut tidak dapat diperoleh secara individu tetapi perlu dilakukan upaya secara bersama dan terpadu.
Stephen R. Robbins memberikan rumusan pengertian organisasi sebagai berikut:
"... An organization is a consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary, that functions on a relatively continuous basis to achieve a common goal or set of goals".

Entitas sosial yang dikemukakan dalam definisi di atas berarti bahwa kesatuan tersebut terdiri dari orang-orang atau kelompok orang yang saling berinteraksi. Pola-pola interaksi yang diikuti orang-orang di dalam suatu organisasi tidak muncul begitu saja, akan tetapi mereka dipertimbangkan sebelumnya. Mengingat bahwa organisasi-organisasi merupakan entitas-entitas sosial, maka pola-pola interaksi para anggotanya perlu dipertimbangkan pula serta diharmonisasi guna tercapainya tujuan yang diinginkan.

Prajudi Atmosudirdjo menyatakan bahwa organisasi adalah struktur tata pembagian kerja dan struktur hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu.

Barnad, seperti yang dikutip Asnawir, organisasi adalah suatu sistem mengenai usaha kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa organisasi adalah tempat atau wadah berkumpulnya beberapa orang yang secara sadar berinteraksi dan saling bekerja sama untuk mewujudkan tujuan yang telah disepakati bersama. Meskipun terdapat perbedaan definisi tentang organisasi, akan tetapi secara umum organisasi itu memiliki ciri-ciri yang sama. Edgar H. Schein, seorang psikolog keorganisasian terkemuka berpendapat bahwa semua organisasi memiliki empat macam ciri atau karakteristik sebagai berikut.

1. Koordinasi Upaya; Para individu yang bekerja sama dan mengkoordinasi upaya mental atau fisikal mereka dapat mencapai banyak hal yang hebat dan yang menakjubkan.
2. Tujuan Umum Bersama; Koordinasi upaya tidak mungkin terjadi, kecuali apabila pihak yang telah bersatu, mencapai persetujuan untuk berupaya mencapai sesuatu yang merupakan kepentingan bersama. Sebuah tujuan umum bersama memberikan anggota organisasi sebuah rangsangan untuk bertindak.
3. Pembagian Kerja; Dengan jalan membagi-bagi tugas-tugas kompleks menjadi pekerjaan-pekerjaan yang terspesialisasi, maka sesuatu organisasi dapat memanfaatkan sumber-sumber daya manusianya secara efisien. Pembagian kerja memungkinkan para anggota organisasi-organisasi menjadi lebih terampil dan mampu karena tugas-tugas terspesia¬lisasi dilaksanakan berulang-ulang.
4. Hierarki Otoritas; Para teoretisi organisasi telah merumuskan otoritas sebagai hak untuk mengarahkan dan memimpin kegiatan-kegiatam pihak lain. Tanpa hierarki otoritas yang jelas, koordinasi upaya akam mengalami kesulitan, bahkan kadang-kadang tidak mungkin diilaksanakan. Akuntabilitas juga dibantu apabila orang-orang be kerja dalam rantai komando ((he chain of command).

Lebih lanjut, Malayu S.P. Hasibuan menyimpulkan bahwa aspek-aspek penting dari berbagai definisi organisasi adalah:
1. adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai;
2. adanya sistem kerja sama yang terstruktur dari sekelompok orang;
3. adanya pembagian kerja dan hubungan kerja antara sesama karya wan;
4. adanya penetapan dan pengelompokan pekerjaan yang terintegrasi;
5. adanya keterikatan formal dan tata tertib yang harus ditaati;
6. adanya pendelegasian wewenang dan koordinasi tugas-tugas;
7. adanya unsur-unsur dan alat-alat organisasi;
8. adanya penempatan orang-orang yang akan melakukan pekerjaan.

Untuk lebih memahami hakikat organisasi, perlu diketahui pula unsur-unsurnya, yaitu:
1. Manusia (human factor), artinya organisasi baru ada jika ada unsur manusia yang bekerja sama, ada pemimpin dan ada yang dipimpin (bawahan).
2. Tempat Kedudukan, artinya organisasi baru ada, jika ada tempat kedudukannya.
3. Tujuan, artinya organisasi baru ada jika ada tujuan yang ingin dicapai.
4. Pekerjaan, artinya organisasi baru ada, jika ada pekerjaan yang akan dikerjakan serta adanya pembagian pekerjaan.
5. Struktur, artinya organisasi baru ada, jika ada hubungan dan kerja sama antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
6. Teknologi, artinya organisasi baru ada, jika terdapat unsur teknis.
7. Lingkungan (Environment External Social System), artinya organi¬sasi baru ada, jika ada lingkungan yang saling mempengaruhi mi-salnya ada sistem kerja sama sosial.

Adapun pengorganisasian, juga didefinisikan oleh para pakarnya. Asnawir mengemukakan bahwa istitah "organizing mempunyai arti yaitu berusaha untuk menciptakan suatu struktur dan bagian untuk dapat berinteraksi dan saling pengaruh-mempengaruhi antara satu sama lainnya. Pengorganisasian tersebut juga dapat diartikan sebagai penyusunan tugas dan tanggung jawab para personil dalam organisasi.

George R. Terry, seperti yang dikutip Malayu S.P. Hasibuan, menuliskan: Organizing is the establishing of effective behavioral relationships among persons so that they may work together efficiently and gain personal satisfaction in doing selected tasks under given environmental conditions for the purpose of achieving some goal or objective.

Dari dua definisi di atas jelaslah bahwa pengorganisasian merupakan salah satu fungsi manajemen setelah fungsi perencanaan sehingga masing-masing anggota organisasi mendapat tugas dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Kemudian, proses pengorganisasian juga mencakup kegiatan-kegiatan berikut:
1. Pembagian kerja yang harus dilakukan oleh individu atau kelompok-kelompok tertentu.
2. Pernbagian aktivitas menurut level kekuasaan dan tanggungjawab.
3. Pengelompokan tugas menurut tipe dan jenisnya.
4. Penggunaan mekanisme koordinasi kegiatan individu /kelompok.
5. Pengaturan hubungan kerja antara anggota organisasi.

Adapun langkah-langkah pengorganisasian dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Tujuan, manajer harus mengetahui tujuan organisasi yang ingin dicapai; apa profit motive atau service motive.
2. Penentuan kegiatan-kegiatan, artinya manajer harus mengetahui, merumuskan dan mengspesifikasikan kegiatan-kegiatan yang diper¬lukan untuk mencapai tujuan organisasi dan menyusun daftar kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan.
3. Pengelompokan kegiatan-kegiatan, artinya manajer harus mengelompokkan kegiatan-kegiatan ke dalam beberapa kelompok atas dasar tujuan yang sama; kegiatan-kegiatan yang bersamaan dan berkaitan erat disatukan ke dalam satu departemen atau satu bagian.
4. Pendelegasian wewenang, artinya manajer harus menetapkan besarnya wewenang yang akan didelegasikan kepada setiap departemen.
5. Rentang kendali, artinya manajer harus menetapkan jumlah karya¬wan pada setiap departemen atau bagian.
6. Perincian peranan perorangan, artinya manajer harus menetapkan dengan jelas tugas-tugas setiap individu karyawan, supaya tumpang-tindih tugas terhindarkan.
7. Tipe organisasi, artinya manajer harus menetapkan tipe organisasi apa yang akan dipakai, apakah "line organization, line and staff organization ataukah function organization".
8. Struktur organisasi (organization chart = bagan organisasi), artinya manajer harus menetapkan struktur organisasi yang bagaimana yang akan dipergunakan, apa struktur organisasi "segitiga vertikal, segitiga horizontal, berbentuk lingkaran, berbentuk setengah lingkaran, berbentuk kerucut vertikal/horizontal ataukah berbentuk oval".

Jika proses pengorganisasian dalam suatu organisasi di atas dilakukan dengan baik dan berdasarkan ilmiah, maka organisasi yang disusun akan baik, efektif, efisien dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam mencapai tujuannya.

Dengan demikian, antara organisasi (organization) dengan pengorganisasian (organizing) memiliki hubungan yang sangat erat. Pengorganisasian yang baik akan menghasilkan organisasi yang baik pula. Pengorganisasian diproses oleh organisator (manajer) sehingga pengorganisasian itu bersifat dinamis dan hasilnya adalah organisasi yang bersifat statis.

Akan tetapi, hakikat organisasi juga bisa dipandang sebagai statis dan dinamis. Statis bila organisasi sebagai wadah, tempat kegiatan administrasi dan manajemen. Sedangkan dinamis ketika organisasi sebagai suatu proses, interaksi hubungan, formal (nampak di bagan organisasi) dan informal (tidak diatur, tidak nampak dalam struktur). Hubungan informal timbul, karena hubungan pribadi, kesamaan kepentingan, dan kesamaan interest dengan kegiatan di luar.

Berangkat dari pengertian di atas maka dalam perkembangannya dan karena tuntutan globalisasi muncul berbagai hal berkenaan dengan pengorganisasian, seperti struktur organisasi yaitu pola formal bagaimana orang dan pekerja dikelompokkan dalam suatu organisasi yang biasa digambarkan dengan bagan organisasi. Perilaku organisasi, yang ditekankan pada perilaku manusia dalam kelompok, iklim organisasi yaitu serangkaian sifat lingkungan kerja, kultur organisasi yaitu sistem yang dapat menembus nilai-nilai, kepercayaan dan norma-norma di setiap organisasi, desain organisasi yaitu struktur organisasi spesifik yang dihasilkan dari keputusan dan tindakan manajer, pengembangan organisasi, politik organisasi, proses organisasi yaitu aktivitas yang member! nafas pada kehidupan struktur organisasi, dan profil organisasi yaitu suatu diagram yang menunjukkan respons anggota organisasi.

Berkaitan dengan pengertian organisasi, dalam Alquran dicontohkan beberapa surat yang berkaitan dengan organisasi, sebagaimana Firman Allah SWT yang berkaitan dengan:
a. perlunya persatuan, dalam surat: 2:43, 4:71, 37:1,
b. perlunya berbangsa-bangsa, dalam surat: 5:48, 22:34,67, 49:13
c. perlunya bersatu dan mengikuti jalan yang lurus, dalam surat: 30:31,32, 2:103,105, 6:59, 8:46 dan
d. perlunya saling tolong-menolong dan kerja sama, dalam surat: 5:2, 8:74, 9:71.
Jadi, organisasi ada karena untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu ini merupakan tujuan organisasi.

Demikian pula dalam pendidikan Islam, organisasi juga dibutuhkan. Organisasi pendidikan Islam dapat dipahami sebagai wadah berkumpulnya beberapa orang yang saling bekerja sama dan beriteraksi dalam menerapkan dan mewujudkan tujuan pendidikan Islam dengan tetap berlandaskan kepada nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.

C. Sejarah Perkembangan Organisasi
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa manusia adalah makhluk sosial. Hal ini turut mendorong manusia membentuk organisasi untuk mewujudkan cita-citanya. Karena itu, organisasi muncul ketika manusia itu berkumpul dua orang atau lebih.

Bahkan, sebelum manusia terlahir ke muka bumi ini, benih-benih organisasi juga telah tersirat sejak awal proses penciptaan manusia di alam rahim. Seperti yang dijelaskan oleh ilmu kedokteran, sel sperma seorang laki-laki dikatakan normal apabila berjumlah minimal 20 juta sel sperma. Padahal, hanya satu sel yang dibutuhkan untuk melakukan pembuahan dengan sel telur milik sang istri. Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa manusia memang ditakdirkan untuk berorganisasi dalam mencapai tujuan.

Demikian pula kisah nabi Adam as sebagai manusia pertama yang diungkap dalam al-Qur'an, ia juga membentuk kelurga bersama istrinya Hawa. Ketika mereka memiliki anak, maka anak-anak tersebut mereka dididik dan diorganisir sedemikian rupa dengan pekerjaan yang berbeda sesuai dengan bakat dan minat mereka. Seperti Qabil bekerja sebagai petani, sedangkan Habil sebagai peternak. Hal ini terungkap dalam firman Allah SWT:

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa". (Qs. al-Maidah/5: 27)

Sepanjang sejarah perkembangan manusia, juga ditemukan bukti-bukti bahwa organisasi itu telah muncul di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan orang-orang Yunani, kerajaan-kerajaan yang telah dibangun pada masa Romawi juga menunjukkan bahwa mereka telah membentuk dan membangun organisasi yang baik.

Dengan demikian, manusia dan organisasi serta aktivitasnya telah berlangsung lama sejak ribuan tahun silam, tapi yang dibutuhkan dan perlu untuk diketahui adalah akar perkembangan organisasi pada abad ke-18 dan ke-19, yaitu:

1. Masa Praktik Awal
Ada tiga nama penting yang mempunyai pengaruh besar dalam menentukan arah dan batasan dari perilaku organisasi, mereka itu adalah Adam Smith, Charles Babbage, dan Robert Owen.

a. Adam Smith, 1776; Adam Smith telah memberikan kontribusi yang sangat penting dengan doktrin ekonominya, yaitu spesialisasi bidang kerja atau pembagian tugas dengan berbagai argumentasi yang sangat dalam. Adam Smith memberikan contoh pembagian tugas dengan spesialisasi bidang kerja tertentu dalam pabrik pembuatan peniti. Ada sepuluh orang pekerja dalam pabrik tersebut, setiap orang mempunyai tugas tertentu dengan mengerjakan suatu bagian kerja tertentu. Sepuluh orang pekerja tersebut dapat membuat 48.000 buah peniti tiap harinya. Selanjutnya, jika setiap pekerja mengambil kawat sendiri-sendiri kemudian meluruskannya, membuatkan ujung batangnya, hasilnya setiap pekerja mampu membuat satu peniti dalam satu hari. Kalau ada sepuluh pekerja maka dapat membuat sepuluh peniti setiap hari. Dan spesialisasi bidang pekerjaan tertentu pada masa sekarang ini sudah barang tentu termotivasi oleh keuntungan yang berlipat ganda dari doktrin Adam Smith pada 2 abad silam.

b. Charles Babbage, 1832; Charles Babbage adalah seorang profesor matematika dari Inggris yang telah mengembangkan sistem pembagian tugas yang telah diartikulasikan pertama kali oleh Adam Smith. Babbage menambahkan beberapa keuntungan dengan sistem pembagian tugas, yang telah dikemukakan oleh Adam Smith. Selain keterampilan, menghemat waktu yang terkadang sering disia-siakan terbuang ketika penggantian tugas satu ke tugas yang lain.

Keuntungan tersebut yaitu:
a) Mempersingkat waktu yang diperlukan untuk belajar suatu pekerjaan.
b) Menghemat pemborosan material yang diperlukan dalam pelajaran pada tiap tingkatan.
c) Memungkinkan untuk menghasilkan tingkat keteram¬pilan yang tinggi.
d) Memungkinkan kemampuan untuk membandingkan keterampilan seseorang dan bakat fisik dengan tugas-tugas tertentu.

c. Robert Owen, 1825; Robert Owen adalah orang periling dan berjasa dalam sejarah perilaku organisasi karena ia adalah seorang industrialis pertama yang mengingatkan bagaimana sistem pabrik yang sedang tumbuh dan berkembang telah merendahkan para pekerja. Ia menolak praktik-praktik kekerasan yang ia lihat di pabrik-pabrik, seperti anak yang bekerja di bawah umur 10 tahun, 13 jam kerja tiap hari dengan kondisi kerja yang menyedihkan. Owen menjadi seorang reformer, ia mencek para pemilik pabrik yang memperlakukan peralatan lebih baik dibandingkan dengan para karyawannya, ia mengkritik mereka yang membeli mesin dengan harga mahal sementara membayar para pekerja yang menjalankan mesin tersebut dengan harga sangat murah. Owen mengatakan bahwa mempergunakan uang untuk meningkatkan para pekerja merupakan salah satu investasi terbaik yang menjadi pilihan para eksekutif bisnis, ia mengklaim bahwa memperlihatkan concern kepada para karyawan akan sangat menguntungkan untuk manajemen dan membebaskan kesengsaraan manusia. Untuk ukuran zaman Owen ia tentu sangat idealis tapi seratus tahun setelah tahun 1825 ditetapkan jam kerja untuk semua, undang-undang perburuhan anak, pendidikan untuk umum, perusahaan memberikan makan pada waktu kerja.

2. Masa Klasik
Masa Klasik meliputi tahun 1900-1930. Selama periode ini, untuk pertama kali teori-teori manajemen secara umum mulai dikembangkan, pada masa ini yang banyak kontribusi dalam perilaku organisasi, mereka itu adalah Frederick W. Taylor, Henry Fayol, Max Weber, Mary Panther Follet, dan Chester Bernard telah meletakkan dasar praktik-praktik manajemen sekarang.

Manajemen secara Ilmiah
a. Frederick W Taylor; Frederick W Taylor menggambarkan prinsip-prinsip manajemen secara ilmiah menampilkan tiga bab sebagai tujuan dari gerakannya:
a) Untuk menegaskan bahwa Amerika Serikat telah dirugi-kan karena tidak adanya efisiensi.
b) Maka solusi terletak pada manajemen yang sistematis bukan pada usaha mencari orang yang istimewa.
c) Untuk membuktikan bahwa manajemen yang baik ada¬lah suatu ilmu yang tepat yang berdasarkan pada hukum-hukum yang jelas, aturan-aturan, dan prinsip-prinsip. Awal penggunaan manajemen yang ilmiah membuahkan hasil yang gemilang. Perusahaan motor Ford berusaha melaksanakan prinsip-prinsip manajemen ilmiah di tahun 1908 dan berhasil merakit suatu mobil hanya dalam waktu 14 menit. Dari pandangan ilmu perilaku, pelaksanaan manajemen ilmiah mencoba memadukan asumsi-asumsi mekanik terhadap ilmu-ilmu perilaku organisasi.

b. Teori Administratif dari Henry Fayol; Henry Fayol seorang industriawan Perancis menerbitkan bukunya pada tahun 1919 yakni General and Industrial Administration. Yang banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran manajemen di Eropa. Pandangan-pandangannya dianggap sebagai suatu pemikiran tentang organisasi adminis¬tratif. Fayol berpendapat bahwa semua organisasi terdiri dari unit atau subsistem sebagai berikut:
a) Aspek teknik dan komersial dan dari kegiatan pembelian, produksi dan penjualan.
b) Kegiatan-kegiatan keuangan.
c) Unit-unit keamanan dan perlindungan
d) Fungsi perhitungan
e) Fungsi administratif dari perencanaan, organisasi, pengarahan, koordinasi, dan pengendalian.
c. Teori Struktural dari Max Weber; Max Weber adalah pemikir dalam ilmu sosial dari Jerman. Dua aspek kerja Weber yang relevan dengan perilaku organisasi yaitu:
Pcrtama, seorang ahli ilmu sosial, ia tertarik untuk menjelas-kan preskripsi dari pertumbuhan organisasi yang besar.

Kedua, ia terkesan akan kelemahan-kelemahan manusia dan pertimbangan yang kadang-kadang tidak realistis bahwa manusia mempunyai rasa emosi.
Teori Max Weber memiliki sifat:
a) Adanya spesialisasi atau pembagian kerja
b) Adanya hierarki yang berkembang
c) Adanya suatu sistem atau aturan dari suatu prosedur
d) Adanya hubungan kelompok yang impersonalitas
e) Adanya promosi dan jabatan yang berdasarkan kecakapan.

3. Gerakan Hubungan Kemanusiaan
Raymond Miles menyatakan bahwa pendekatan hubungan kemanusiaan secara sederhana menempatkan karyawan sebagai manusia, tidak sebagai mesin yang dipergunakan dalam berproduksi. Pada sejarah hubungan kemanusiaan ini terdapat tiga kejadian yang memberikan kontribusi dalam penelaahan ilmu perilaku organisasi. Tiga kejadian itu antara lain sam masa-masa depresi yang hebat, gerakan kaum buruh, dan basil penemuan Howthorne.
a. Masa depresi; depresi yang terjadi pada tahun 1930-an menyebabkan goncangan yang hebat di bidang keuangan. dan perekonomian pada umumnya. Penyebab depresi pada umumnya antara lain:
a) Akumulasi stok barang yang baru yang besar di tangan konsumen
b) Konsumen menolak naiknya harga
c) Jarang investasi dalam skala usaha
d) Melemahnya kepercayaan dan harapan-harapan
e) Akumulasi yang besar dari kemampuan produksi sebagai basil pengembangan teknologi.

Ledakan depresi menyadarkan manajemen untuk menghayati bahwa produksi tidak akan bertahan lama sebagai unsur yang bertanggung jawab dalam manajemen. Di saat itu lalu timbul gagasan untuk meletakkan unsur manusia sebagai unsur yang amat dominan dalam manajemen, sebagai basil dari depresi hubungan kemanusiaan dan perilaku organisasi mendapatkan tempat yang dominan dan perhatian yang seksama.

b. Gerakan Serikat Buruh; di tahun 1935 serikat buruh secara sah diakui (legally entranced), banyak para manajer menjadi sadar dan mulai banyak memberikan perhatiannya kepada buruh. Gerakan serikat buruh ini secara langsung ataupun tidak langsung memberikan dampak yang besar terhadap studi perilaku organisasi individu-individu yang mendukung kerja sama dalam suatu organisasi tertentu. Gerakan serikat buruh tercatat dalam sejarah pengembangan studi perilaku organisasi, sebagai titik awal dalam masa embrio berkembang gerakan kemanusiaan.

c. Penemuan Howthorne; Howthome mengadakan penelitian dengan tujuan untuk mencari sampai di mana pengaruh hubungan antara kondisi fisik lingkungan kerja dengan produktivitas karyawan. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa langkah. Langkah pertama, percobaan tentang cahaya lampu antara tahun 1924-1927, hasilnya bahwa cahaya penerangan lampu pada tempat kerja hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil kerja dan pengaruhnya kecil sekali. Langkah kedua, Howthorne menyediakan ruang istirahat bagi karyawan. Hasilnya dari fase ini hampir sama dengan fase pertama. Langkah ketiga, studi tentang ruang bank tilgram. Tujuannya untuk melakukan analisis pengamatan terhadap kelompok pekerja informal.
Ternyata dalam fase ketiga ini tidak ada kenaikan pro¬duktivitas yang tinggi. Implikasi penemuan Howthorne terhadap pengembangan tentang ilmu perilaku organisasi ternyata amat besar dan penting sekali. Usaha-usaha penemuan ini merupakan satu dasar yang amat berharga terhadap pendekatan perilaku di dalam segala aspek manajemen.

4. Organisasi Modern
Asumsi dasar tentang sifat manusia menurut ilmu organisasi modern adalah bukan baik dan bukan buruk. Beberapa orang beranggapan bahwa manusia mempunyai keunikan dalam perilaku hal yang terarah, lainnya beranggapan bahwa perilaku manusia dalam banyak hal menunjukkan sebagai sasaran yang tidak teratur.
Pendekatan yang dipakai untuk menganalisis perilaku ma¬nusia menurut ahli perilaku organisasi modern, yaitu pada hakikatnya juga menggunakan metode eksperimen, dengan memberi¬kan penekanan pada observasi terkendali dan generalisasi data. Pengharapan-pengharapan pada manajemen modern, yaitu pemahaman-pemahaman dari perilaku manusia yang selalu bertambah dengan pemahaman ilmiah yang akan membawa ke arah penyempurnaan kerja.

Selain dari sejarah perkembangan organisasi sebagai suatu ilmu yang terjadi di kalangan ilmu barat, jauh sebelumnya juga ditemukan tokoh-tokoh dari Timur (baca: Islam) dalam mengemukakan berbagai teori yang berkenaan dengan organisasi. Salah satu di antaranya yang terkenal adalah Ibn Khaldun (1332 – 1406 M/732 – 808 H) diakui oleh para sarjana baik muslim maupun non-muslim di Barat sebagai seorang sosiolog ternama. Dalam kitab magnum opusnya, Muqaddimah, Ibn Khaldun banyak berbicara tentang teori masyarakat, peradaban, perkembangan profesi, serta pentingnya berkumpul (organisasi) dalam mewujudkan cita-cita bersama. Dalam Muqaddimah-nya, Ibn Khaldun mengutip pendapat para filosof—di sini Ibn Khaldun tidak menyebutkan nama-nama filosof tersebut—“manusia adalah makhluk sosial” (al-insānu madaniyyun bit thab’i). Pernyataan ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Lebih lanjut, ia menuliskan;

Pernyataan ini mengandung makna bahwa seorang manusia tidak bisa hidup sendirian, dan eksistensinya tidaklah terlaksana kecuali dengan kehidupan bersama. Dia tidak akan mampu menyempurnakan eksistensi dan mengatur kehidupannya dengan sempurna secara sendiri. Benar-benar sudah menjadi wataknya, apabila manusia butuh bantuan dalam memenuhi kebutuhannya. Mula-mula, bantuan itu berupa konsultasi, lalu kemudian berserikat serta hal-hal lain sesudahnya. Berserikat dengan orang lain, bila ada kesatuan tujuan, akan membawa kepada sikap saling membantu. Tapi jika tujuannya berbeda, akan menimbulkan perselisihan dan pertengkaran, sehingga muncullah sikap saling membenci, saling berselisih. Ini yang membawa peperangan atau perdamaian di kalangan bangsa-bangsa.

Dalam pernyataan di atas, Ibn Khaldun menyebutkan sebagai makhluk sosial, manusia selala berserikat (berorganisasi) jika memang ada kesatuan tujuan. Tampak jelas bahwa Ibn Khaldun—yang hidup sekitar empat abad sebelum Adam Smith (1776)—telah memahami teori organisasi. Dengan demikian, konsep organisasi sebenarnya telah dikemukakan oleh para tokoh intelektual Islam ketika masa kejayaannya sebelum berkembangnya peradaban Barat. Semua itu tidak terlepas dari isyarat-isyarat yang dikemukakan dalam al-Qur'an maupun Hadis sehingga melahirkan berbagai pemikiran yang brilliant dari generasi muslim pada masa-masa selanjutnya.

D. Prinsip-prinsip, Fungsi dan Manfaat Organisasi
Agar terwujudnya suatu organisasi yang baik, efektif, efisien serta sesuai dengan kebutuhan, secara selektif harus didasarkan pada prinsip-prinsip organisasi sebagai berikut.

1. Principle of Organizational Objective (prinsip tujuan organisasi). Menurut prinsip ini tujuan organisasi harus jelas dan rasional, apakah bertujuan untuk mendapatkan laba (business organization) ataukah untuk memberikan pelayanan (public organization). Hal ini merupakan bagian penting dalam menentukan struktur organisasi.
2. Principle of Unity of Objective (prinsip kesatuan tujuan). Menurut prinsip ini, di dalam suatu organisasi harus ada kesatuan tujuan yang ingin dicapai. Organisasi secara keseluruhan dan tiap-tiap bagiannya harus berusaha untuk mencapai tujuan tersebut. Organisasi akan kacau, jika tidak ada kesatuan.
3. Principle of Unity of Command (prinsip kesatuan perintah) Menurut prinsip ini, hendaknya setiap bawahan menerima perintah ataupun memberikan pertanggungjawaban hanya kepada satu orang atasan, tetapi seorang atasan dapat memerintah beberapa orang bawahan.
4. Principle of the Span of Management (prinsip rentang kendali). Menurut prinsip ini, seorang manajer hanya dapat memimpin secara efektif sejumlah bawahan tertentu, misalnya 3 sampai 9 orang. Jumlah bawahan ini tergantung kecakapan dan kemampuan manajer bersangkutan.
5. Principle of Delegation of Authority (prinsip pendelegasian wewenang) Menurut prinsip ini, hendaknya pendelegasian wewenang dari seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain jelas dan efektif, sehingga ia mengetahui wewenangnya.
6. Principle of Parity of Authority and Responsibility (prinsip keseimbangan wewenang dan tanggung jawab) Menurut prinsip ini, hendaknya wewenang dan tanggung jawab harus seimbang. Wewenang yang didelegasikan dengan tanggung jawab yang timbul karenanya harus samabesarnya, hendaknya wewenang yang didelegasikan tidak meminta pertanggungja wabany ang lebih besar dari wewenang itu sendiri atau sebaliknya. Misalnya, jika wewenang sebesar X, tanggung jawabnya pun harus sebesar X pula.
7. Principle of Responsibility (prinsip tanggung jawab). Menurut prinsip ini, hendaknya pertanggungjawaban dari bawahan terhadap atasan harus sesuai dengan garis wewenang (line autho¬rity) dan pelimpahan wewenang; seseorang hanya bertanggung jawab kepada orang yang melimpahkan wewenang tersebut.
8. Principle of Departmentation (principle of devision of work-prinsip pembagian kerja). Menurut prinsip ini, pengelompokan tugas-tugas, pekerjaan-pekerjaan atau kegiatan-kegiatan yang sama ke dalam satu unit kerja (departemen) hendaknya didasarkan atas eratnya hubungan pekerjaan tersebut.
9. Principle of Personnel Placement (prinsip penempatan personalia). Menurut prinsip ini, hendaknya penempatan orang-orang pada setiap jabatan harus didasarkan atas kecakapan, keahlian dan keterampilannya (the right men, in the right job); mismanajemen penempatan harus dihindarkan. Efektivitas organisasi yang optimal memerlukan penempatan karyawan yang tepat. Untuk itu harus dilakukan seleksi yang objektif dan berpedoman atas job specification dari jabatan yang akan diisinya.
10. Principle of Scalar Chain (prinsip jenjang berangkai). Menurut prinsip ini, hendaknya saluran perintah/wewenang dari atas ke bawah harus merupakan mata rantai vertikal yang jelas dan tidak terputus-putus serta menempuh jarak terpendek. Sebaliknya pertanggungjawaban dari bawahan ke atasan juga melalui mata rantai vertikal, jelas dan menempuh jarak terpendeknya. Hal ini penting, karena dasar organisasi yang fundamental adalah rangkaian wewenang dari atas ke bawah; tindakan dumping hen¬daknya dihindarkan.
11. Principle of Efficiency (prinsip efisiensi). Menurut prinsip ini, suatu organisasi dalam mencapai tujuannya harus dapat mencapai hasil yang optimal dengan pengorbanan yang minimal.
12. Principle of Continuity (prinsip kesinambungan). Organisasi harus mengusahakan cara-cara untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
13. Principle of Coordination (prinsip koordinasi). Prinsip ini merupakan tindak lanjut dari prinsip-prinsip organisasi lainnya. Koordinasi dimaksudkan untuk mensinkronkan dan mengintegrasikan segala tindakan, supaya terarah kepada sasaran yang ingin dicapai.

Dalam konteks pendidikan Islam, prinsip-prinsip ini haruslah berlandaskan kepada landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur'an dan Sunnah. Di antara prinsip organisasi yang tersirat dalam al-Qur'an dan Hadis adalah sebagai berikut:
1. Tujuan organisasi secara umum harus mencari dan menemukan keridhaan Allah SWT. Meskipun tujuan lain dibangun bernuansa duniawi, akan tetapi hal-hal yang bersifat duniawi tersebut adalah sesuatu yang diridhai oleh Allah SWT. Firman-Nya:

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Qs. al-Jumuah: 9-10)

2. Kerja sama yang dilakukan dalam suatu organisasi—termasuk segala proses yang dijalankan—hanya dalam kebaikan, bukan dalam hal kemaksiatan, keburukan, atau kemungkaran. Firman-Nya:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Qs. Al-Maidah/5: 2)
3. Pemberian tugas dan wewenang kepada anggota organisasi berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. Dalam ajaran Islam, banyak hal hukum yang diterapkan berdasarkan kemampuannya, seperti shalat duduk atau berbaring bagi orang yang sakit, mengganti puasanya dengan fidyah bagi yang sakit dan sulit akan sembuh, dan sebagainya. Demikian pula perintah memberi nafkah, juga berdasarkan kemampuan seseorang, sebagaimana firman-Nya:

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Qs. ath-Thalaq/65: 7)

Dalam hal ini, juga diperlukan penyerahan tugas sesuai dengan keahliannya. Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا وُسِّدَ اْلأَمْرُ اِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Apabila suatu perkara/urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. (HR. Bukhari).

4. Masing-masing anggota organisasi harus menjalankan tugasnya dengan baik dan mempertanggungjawabkan setiap tugas yang diembannya. Rasulullah SAW bersabda:
كُلَُكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ...
Kalian semua adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya… (muttafaq 'alaih).

Mengenai tanggung jawab ini, juga dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat ar-Ra’du/13 ayat 11:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) satu kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka.

5. Seluruh anggota organisasi secara kolektif bertanggung jawab terhadap individu-individu yang ada dalam organisasi tersebut sehingga diperlukan adanya pembinaan (supervisi), pendidikan, dan perhatian kepada mereka. Jika tidak, maka kesalahan yang dilakukan oleh individu tertentu bisa merusak citra organisasi. Hal ini tersirat dalam firman Allah SWT dalam surat al-Anfal/8 ayat 25:
Artinya: dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.

6. Komunikasi yang digunakan dalam organisasi hendaklah dengan lemah lembut, tegas, perkataan yang benar serta mengandung keselamatan, sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Mengenai pentingnya berkomunikasi dengan baik dan lemah lembut ini Allah SWT berfirman:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (Qs. Ali Imran/3: 159)

Dalam al-Qur'an juga ditemukan beberapa istilah komunikasi seperti:
a. qaulan sadida/perkataan yang benar (Qs. an-Nisa'/4: 9 dan al-Ahzab/33: 70);
b. qaulan karima/perkataan yang mulia (Qs. al-Isra'/17: 23);
c. qaulun ma'rufun atau qaulan ma'rufa/perkataan yang baik (Qs. al-Baqarah/2: 2235 dan 263; Muhammad/47: 21 juga al-Ahzab/33: 32 dan an-Nisa'/4: 8);
d. qaula al-haq/perkataan yang benar (Qs. Maryam/19: 34); dan
e. qaulan baligha/perkataan yang sampai berbekas pada jiwa mereka (Qs. an-Nisa'/4: 63).

Berbagai bentuk kata yang menunjukkan etika dan cara komunikasi tersebut dilakukan sesuai dengan kondisi lawan bicara dan materi yang dibicarakan. Penerapan komunikasi seperti ini akan sangat efektif dalam membangun organisasi yang profesional dan menyenangkan.

7. Selain menggunakan kata-kata yang baik, hendaklah saling memberi nasehat di jalan yang benar, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-'Ashr ayat 1-3:
وَالْعَصْرِ ١ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ٢ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati (saling berwasiat) supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati (saling berwasiat) supaya menetapi kesabaran.

8. Dalam pengambilan kebijakan dan keputusan, hendaklah dilakukan dengan prinsip musyawarah dan diiringi dengan sifat tawakal. Sebagaimana firman-Nya:
Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Qs. Ali Imran/3: 159)

9. Menegakkan prinsip keadilan. Islam sangat menekankan pentingnya menegakkan keadilan, termasuk dalam urusan kemasyarakat dan berorganisasi. Bahkan Ali ibn Abi Thalib kw. pernah berkata: "Tuhan akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir dan akan menghancurkan negara yang zhalim meskipun Islam". Al-Qur'an juga banyak membicarakan tentang prinsip keadilan, salah satu di antaranya adalah:

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. surat al-Maidah/5 ayat 8)

10. Jabatan dan tugas yang diberikan dalam organisasi pada hakikatnya sebagai amanah yang harus dijalankan dengan sifat amanah (dapat dipercaya) pula. Pentingnya sifat amanah ini juga ditegaskan dalam al-Qur'an bahwa watak manusia memang suka menerima amanah, akan tetapi agar tidak termasuk orang yang zalim lagi bodoh, harus mampu mengemban amanah tersebut sebagaimana mestinya. Dalam konteks berorganisasi, maka setiap anggota organisasi harus menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing sesuai dengan job description yang diberikan. Firman-Nya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh, (Qs. al-Ahzab/33: 72)

11. Dalam menjalankan organisasi pendidikan Islam hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, jujur, tranparan, dan sifat-sifat terpuji lainnya sebagaimana yang dituntun dalam ajaran Islam, khususnya yang berkenaan dengan ajaran akhlaqul Islam.
Adapun yang menjadi fungsi dari sasaran organisasi tersebut antara lain:
1. Dapat merumuskan serta memusatkan perhatian atau mengarahkan para manajer dalam usaha memperoleh dan mempergunakan sumber daya organisasi.
2. Dapat digunakan sebagai dasar dan alasan peng-orgairisasian.
3. Sebagai suatu standar penilaian terhadap organisasi, dan daprt dijadikau sebagai ukuran terhadap derajat efektivitas dan efisiensi organisasi dalam mencapai tujuannya.
4. Sebagai sumber legitimasi yang membenarkan kegi¬atan dan eksistensinya terliadap kelornpok-kelompok yang beraneka ragam seperti para penanaman modal, anggota, pelanggan dan masyarakat secara keseluruhan dan sebagainya.
5. Dapat membantu organisasi untuk memperoleh suinberdaya manusia yang dibutuhkan.

Fungsi yang menjadi sasaran bagi para anggota perseorangan dalam suatu organisasi adalah:
1. Dapat memberikan pengarahan kerja sehingga mendorong para pekerja untuk memusatkan perhatian dan usahanya secara lebih ielas ke arah tujuan yang telah ditetapkan.
2. Memberikan alasan sebagai dasar untuk bekerja dan dapat memberikan arti pada pekerjaan yang kelihatannya tidak terarah.
3. Dapat dijadikan sebagai sasaran pencapaian keinginan pribadi.
4. Dapat membantu individu merasa terjarnin bahwa Organisasi akan tenis berjalan untuk masa selanjut-nya.
5. Dapat memberikan identifikasi dan status bagi para pekerjanya

Sementara manfaat dari adanya organisasi adalah:
1. Organisasi sebagai penuntun pencapaian tujuan. Pencapaian tujuan akan lebih efektif dengan adanya organisasi yang baik.
2. Organisasi dapat mengubah kehidupan masyarakat. Jika organisasi itu di bidang pendidikan, maka akan turut mencerdaskan masyarakat serta membimbing masyarakat agar tetap menerapkan nilai-nilai ajaran Islam.
3. Organisasi menawarkan karier. Karier berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan. Jika kita menginginkan karier untuk kemajuan hidup, berorganisasi dapat menjadi solusi.
4. Organisasi sebagai cagar ilmu pengetahuan. Organisasi selalu berkembang seiring dengn munculnya fenomena-fenomena organisasi tertentu. Peran penelitian dan pengembangan sangat dibutuhkan sebagai dokumentasi yang nanti akan mengukir sejarah ilmu pengetahuan.

Dalam ajaran Islam, juga diperlukan organisasi. Rasulullah SAW bersabda bahwa Shalat berjama'ah lebih utama daripada shalat sendirian 27 derajat. Hadis ini mengisyaratkan tentang:
a. Keutamaan shalat berjamaah
b. Aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat bahwa hidup secara berjamaah atau berorganisasi dengan dipimpin oleh seorang pemimpm/imam lebih besar keuntungannya dari¬pada tanpa berorganisasi atau berjamaah.

Begitu pula pernyataan Ali bin Abi Thalib: "al-haqqu bila nizhamin sayaghlibuhu al-bathil bi nizhamin", (Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir). Pernyataan ini menunjukkan begitu pentingnya organisasi untuk mewujudkan suatu tujuan, termasuk dalam menerapkan kebenaran.

E. Bentuk-bentuk Organisasi

Bentuk-bentuk organisasi dapat dilihat dari beberapa segi, di antaranya:
1. Berdasarkan tipe-tipe strukturnya.
2. Berdasarkan proses pembentukannya;
3. Berdasarkan kaitan hubungannya dengan pemerintah;
4. Berdasarkan skala (ukuran) besar-kecilnya;
5. Berdasarkan tujuannya;
6. Berdasarkan organization chartnya;

Bentuk-bentuk organisasi di atas akan dijelaskan berikut ini:
1. Berdasarkan Tipe-tipe Struktur Organisasi
Jika dilihat dari strukturnya, organisasi dapat dibagi kepada beberapa tipe, yaitu: (1) organisasi dalam bentuk lini (line organization), (2) organisasi dalam bentuk lini dan staf (line and staf organization), (3) organisasi dalam bentuk fungsional {functional, organization), dan (4) organisasi dalam bentuk panitia (committe organization). Untuk lebih jelasnya pemahaman mengenai bentuk-bentuk orgaisasi tersebut dapai dilihat pada uraian berikut ini.

a. Organisasi dalam bentuk lini (line Organization)
Bentuk lini juga disebut "bentuk lurus", "bentuk jalur", atau "bentuk militer". Bentuk ini adalah bentuk yang dianggap paling tua dan digunakan secara luas pada masa perkembangan industri pertama. Organisasi Lini ini diciptakan oleh Henry Fayol dan biasanya orga¬nisasi ini dipakai oleh militer dan perusahaan-perusahaan kecil saja.

Dalam organisasi lini ini pendelegasian wewenang dilakukan secara vertikal melalui garis terpendek dari seorang atasan kepada bawahannya. Pelaporan tanggung jawab dari bawahan kepada atasannya juga dilakukan melalui garis vertikal yang terpendek. Perintah-perintah hanya diberikan seorang atasan saja dan pelaporan tanggung jawab hanya kepada atasan bersangkutan.

Adapun ciri-ciri dari organisasi dalam bentuk ini adalah:
1) Garis komando langsung dari atasan ke bawahan atau dari pimpinan tertinggi kepada berbagai tingkat operasional.
2) Masing-masing pekerja bertanggungjawab penuh terhadap semua kegiatannya.
3) Otoritas dan tanggung jawab tertinggi terletak pada pimpinan puncak (top Management).
4) Ruang lingkup Organisasinya lebih kecil dan jumlah anggota juga sedikit.
5) Hubuilgan kerja antara atasan dan bawahan berbsifat langsung.
6) Tujuan. alat-alat yang digunakan dan struktur organisasi bersifat sederhana.
7) Pemilik organisasi biasanya menjadi pimpinan yang tertinggi.
8) Tingkat spesialisasi yang dibiltuhkan masih sangat rendah.
9) Semua anggota organisasi masih kenal antara satu sama lainnya.
10) Produksi yang dihasilkatt belum beraneka ragam (defersified).

Organisasi bentuk lini ini mengandung beberapa keuntungan, di samping itu juga mengandung beberapa kelemahan. Di antara keuntungan dari organisasi dalam bentuk lini ini antara lain:
1) Kekuatan dan tanggung-jawab dapat ditetapkan secara pasti.
2) Orang-orang yang mempunyai kekuasaan dan tanggung-jawab diketahui oleh semua pihak.
3) Proses pengambilan kepuiusan berjalan dengan tepat karena jumlah orang yang perlu diajak berkonsultasi tidak banyak.
4) Disiplin kerja mudah dipertahankan dan penga-wasan dari pimpinan mudah dilaksanakan.
5) Besarnya solidaritas para anggota karena satu sa¬ma lainnya saling kenal-mengenal.
6) Tersedianya kesempatan yang banyak bagi pim¬pinan organisasi untuk melatih bakat-bakat yang dipunyai bawahan.
7) Kesempatan bagi para anggota organisasi untuk mengembangkan spesialisasinya sangat terbatas.

Di samping itu beberapa kelemahan dari organisasi dalam bentuk lini tersebut antara lain:
1) Tujuan organisasi cenderung sama, atau paling ti¬dak didasarkan atas tujuan pribadi pimpinan ter¬tinggi dari organisasi dimaksud.
2) Pimpinan organisasi cenderung bertindak otoriter, karena organisasi dipandang milik pribadi.
3) Seluruh kegiatan organsasi tertalu tergantung ke¬ pada seseorang, dan kelangsungan hidup organisasi sangat ditentukan oleh orang bersangkutan.
4) Kesempatan bagi para anggota organisasi untuk mengembangkan spesialisasinya sangat terbatas.









b. Organisasi dalam bentuk staf (Staff Organization)
Organisasi dalam bentuk staf hanya mempunyai hubungan dengan pucuk pimpinan dan berfungsi memberikan bantuan baik berupa pikiran maupun bantuan lain demi kelancaran tugas pimpinan dalam mencapai tujuan secara keseluruhan. Bentuk ini tidak mempunyai garis komando ke bawah.




c. Organisasi dalam bentuk lini dan staf (tine and staf or¬ganization)
Organisasi Lini dan Staf (Line and Staff Organization) ini pada dasarnya merupakan kombinasi dari organisasi lini dan organisasi fungsional. Kombinasi ini dilakukan dengan cara memanfaatkan kebaikan-kebaikannya dan meniadakan keburukan-keburukannya.
Biasanya organisasi bentuk lini dan staf ini terjadi pada organisasi yang lebih besar, di mana penyediaan tenaga spesialis sudah semakin dirasakan untuk memberikan nasehat- nasehat atau saran-saran teknis dan memberikan jasa-jasa kepada unit-unit operasional. Tenaga semacam itu biasanya disebut "staff personnel" yaitu orang yang melaksanakan fungsi staf (staff function), yang dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu: para penasehat (advisor) dan personil yang melakukan kegiatan penunjang (auxiliary personnel) demi lancarnya mekanisme organisasi. Ada beberapa karakteristik atau ciri utama; dari organisasi yang berbentuk lini dan staf ini adalah:
1) Pucuk pimpinannya hanya satu orang dan dibantu oleh para staf.
2) Terdapat dua kelompok wewenang, yaitu wewenang lini dan wewenang staf.
3) Kesatuan perintah tetap dipertahankan, setiap atasan mempunyai bawahan tertentu dan setiap bawahan hanya mempunyai seorang atasan langsung.
4) Organisasinya besar, karyawannya banyak dan pekerjaannya bersifat kompleks.
5) Hubungan antara atasan dengan para bawahan tidak bersifat langsung.
6) Pimpinan dan para karyawan tidak semuanya saling kenal-mengenal.
7) Spesialisasi yang beraneka ragam diperlukan dan digunakan secara optimal.

Organisasi yang berbentuk lini dan staf ini memberikan bebe¬rapa keuntungan/kebaikan antara lain:
1) Adanya pembagian tugas yang jelas antara kelompok lini yang melakukan tugas pokok organisasi dan ke¬lompok staf yang melakukan kegiatan penunjang.
2) Asas spesialisasi yang ada dapat dilanjutkan menurut bakat bawahan masing-masing.
3) Prinsip "the right man on the right place" dapat diterapkan dengan mudah.
4) Koordinasi dalam setiap unit kegiatan dapat diterapkan dengan mudah.
5) Dapat digunakan dalam organisasi yang lebih besar.

Perintah lini dan perintah staf sering membingungkan anggota organisasi, karena kedua jenis hirarki ini sering tidak seirama dalam memandang sesuatu Sedangkan kelemahan-kelemahan dari orgainsasi dalam bentuk lini dan staf ini adalah:
1) Pimpinan lini sering mengabaikan nasehat atau saran dari staf.
2) Pimpinan staf sering mengabaikan gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh pimpinan lini.
3) Adanya kemungkinan pimpinan staf melampaui'batas kewenangannya.
4) Perintah lini dan perintah staf sering membingungkan anggota organisasi karena kedua jenis hirarki sering tidak seirama dalam memandang sesuatu.






Gambar di atas menunjukkan bahwa kekuasaan pimpinan diharapkan secara lurus, penuh dan vertikal kepada pejabat yang memimpin satuan-satuan di bawahnya, yaitu orang-orang lini yang melaksanakan tugas pokok organisasi dalam rangka pencapaian tujuan. Begitu juga orang-orang staf yang sifat tugasnya menunjang tugas-rugas pokok, sesuai dengan keahliannya baik bersifat menasehati, maupun yang memberikan jasa-jasa kepada unit-unit operasional dalam bentuk "auxilary service", misalnya dalam bidang kepegawaian, keuangan, ketatalaksanaan, perlengkapan kantor dan lain sebagainya.

Tegasnya, wewenang lini (line authority) adalah kekuasaan, hak dan tanggung jawab langsung bagi seseorang atas tercapainya tujuan; ia berwenang mengambil keputusan, kebijaksanaan dan berkuasa serta harus bertanggung jawab langsung tercapainya tujuan perusahaan. Sedangkan wewenang staf (staff authority) adalah kekuasaan dan hak hanya untuk memberikan data, informasi, pelayanan dan pemikiran untuk membantu kelancaran tugas-tugas manajer lini.

d. Organisasi dalam bentuk fungsional
Organisasi fungsional adalah bentuk organisasi di mana kekuasaan pimpinan dilimpahkan kepada para pejabat yang memimpin satuan di bawahnya dalam satuan bidang pekerjaan tertentu. Setiap kepala dari satuan mempunyai kekuasaan untuk memerintah dan mengawasi semua pejabat bawahan sepanjang mengenai bidangnya. Organisasi tidak terlalu menekankan pada struktural akan tetapi lebih banyak berdasarkan pada sifat dan macam fungsi yang harus dijalankan.

Pada tipe organisasi fungsional ini masalah pembagian kerja men¬dapat perhatian yang sungguh-sungguh. Pembagian kerja didasarkan pada "spesialisasi" yang sangat mendalam dan setiap pejabat hanya mengerjakan suatu tugas/pekerjaan sesuai dengan spesialisasinya. F. W. Taylor yang menciptakan organisasi fungsional ini.

Adapun ciri-ciri tipe ini adalah sebagai berikut:
1) Pembidangan tugas secara tegas dan jelas dapat dibedakan.
2) Bawahan akan menerima perintah dari beberapa orang atasan.
3) Penempatan pejabat berdasarkan spesialisasinya.
4) Koordinasi menyeluruh biasanya hanya diperlukan pada tingkat atas.
5) Terdapat dua kelompok wewenang, yaitu wewenang lini dan wewenang fungsi.

Ada beberapa kebaikan dari organisasi yang berbentuk fungsional ini antara lain:
1) Adanya pembagian tugas antara kerja pikir (mental) dan fisik,
2) Dapat dicapai tingkat spesialisasi yang baik.
3) Solidaritas antara orang-orang yang menjalankan fungsi yang sama umuinirya tinggi.
4) Moral serta disiplin keija yang tinggi.
5) Koordinasi antara orang-orang yang ada daiam satu fungsi mudah dijalankan.

Sedangkan yang menjadi kelemahan dari organisasi berbentuk fungsional antara lain:
1) Insiatif perorangan sering tertekan karena sudah dibatasi pada satu fungsi.
2) Sulit mengadakan pertukaran tugas, karena terlalu menspesialisasikan diri dalam satu bidang saja.
3) Koordinasi yang sifatnya menyeluruh sulit diadakan karena orang-orang yang bergerak dalam satu bidang mementingkan fungsinya saja.






e. Organisasi dalam bentuk panitia (committee)
Organisasi panitia/komite adalah suatu organisasi yang masing-masing anggota mempunyai wewenang yang sama dan pimpinannya kolektif. Organisasi Komite (Panitia = Committee Organization) mengutamakan pimpinan, artinya dalam organisasi ini terdapat pimpinan "kolektif/ presidium/plural executive" dan komite ini bersifat manajerial. Komite dapat juga bersifat formal atau informal; komite-komite itu dapat dibentuk sebagai suatu bagian dari struktur organisasi formal, dengan tugas-tugas dan wewenang yang dibagi-bagikan secara khusus.
Jadi, organisasi dalam bentuk panitia ini adalah organisasi di mana para pelaksana dibentuk dalam kelompok-kelompok yang bersifat panitia. Di sini ada unsur pimpinan dan ada unsur pelaksana yang disebut dengan "task force" atau "satgas". Adapun ciri-ciri dari organisasi dalam bentuk panitia ini adalah:
1) Strukutur organisasi tidak begitu kompleks. Biasanya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, ketua-ketua seksi, dan para perugas.
2) Struktur organisasi secara relatif tidak permanea. Or¬ganisasi ini hahya dipakai sesuai kebutuhan atau kegiatan.
3) Tugas pimpinan dilasanakan secara kolektif.
4) Semua anggota pimpinan mempunyai hak, wewenang dan tanggung jawab yang sama.
5) Para pelaksana dikelompokkan menurut tugas-tugas tertentu dalam bentuk satgas.
Para pelaksana dikelompokkan menurut tugas-tugas tertentu dalam bentuk satgas Ada beberapa keuntungan dari orgaai-sasi yang berbentuk panitia ini, antara lain:
1) Keputusan dapat diambil dengan baik dan tepat
2) Kecil kemungkinan penggunaan kekuasaan secara berlebihan dari pimpinan.
3) Usaha kerjasama bawahan mudah digalang.

Adapun yang menjadi kelemahan dari organisasi da¬lam bentuk panitia ini adalah:
1) Proses pengambilan keputusan agak larnban karena harus dibicarakan terlebih dahulu dengan anggota or¬ganisasi.
2) Kalau terjadi kemacetan kerja, tidak seorang pun yang mau bertanggung jawab melebihi yang lain.
3) Para pelaksana sering bingung, karena perintah datangnya tidak dari satu orang saja
4) Kreativitas nampaknya sukar dikembangkan, karena perintah pelaksanaan didasarkan pada kolektivitas.
Organisasi panitia biasanya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara, dan beberapa seksi.




2. Berdasarkan Proses Pembentukannya
Jika dilihat dari proses pembentukannya, organisasi terbagi kepada dua bentuk, yaitu organisasi formal dan organisasi informal.
a. Organisasi Formal adalah organisasi yang dibentuk secara sadar dan dengan tujuan-tujuan tertentu yang disadari pula yang diatur dengan ketentuan-ketentuan formal, dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya. Kegiatan-kegiatan/hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya adalah kegiatan (hubungan) jabatan sebagaimana diatur dalam keten-tuan-ketentuan tertulis. Ikatan-ikatan yang terdapat dalam organisasi adalah berdasarkan ikatan-ikatan formal.
b. Organisasi Informal adalah organisasi yang terbentuk tanpa disadari sepenuhnya, tujuan¬nya juga tidak jelas, anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya tidak ada dan hubungan-hubungan terjalin secara pribadi saja (per¬sonal/private relationship bukan formal relationship).
Lebih lanjut Chester I Barnard mengemukakan bahwa organisasi informal adalah sejumlah hubungan yangbersifat pribadi. Dalam organisasi formal sering terdapat organisasi informal dari para karyawannya; organisasi formal sering terbentuk dari organisasi in¬formal. Sedangkan G.R. Terry berpendapat bahwa "Organisasi Non-Formal" yaitu organisasi yang terbentuk di dalam suatu organisasi formal yang anggota-anggotanya terdiri dari para karyawan perusahaan bersangkutan. Misalnya: organisasi arisan karyawan, koperasi karyawan, organisasi olahraga karyawan, organisasi kesenian karyawan dan lain-lainnya. Organisasi nonformal ini akan membahayakan organisasi formal, jika bidang kegiatannya sama dengan organisasi formalnya. Misalnya: Bank di dalam bank, koperasi di dalam koperasi.

Dengan demikian, setiap anggota dari kedua bentuk organisasi ini sejatinya melaksanakan aktivitasnya masing-masing tanpa harus mengganggu pihak lain, tetapi sebaliknya saling melengkapi.

2. Berdasarkan Kaitan Hubungannya dengan Pemerintah
Dalam hubungannya dengan pemerintah, organisasi dibagi kepada dua bentuk, yaitu:
a. Organisasi resmi, adalah organisasi yang dibentuk oleh (ada hubungannya) dengan pemerintah dan atau harus terdaftar pada Lembaran Negara. Misalnya: Jawatan-jawatan, lembaga-lembaga pemerintahan, yayasan-yayasan, dan perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum.
b. Organisasi tidak resmi, adalah organisasi yang tidak ada hubungannya dengan pemerintah dan atau tidak terdaftar padaLembaran Negara, seperti organisasi-organisasi swasta; mungkin juga suatu organisasi yang dibentuk oleh pemerintah,
tetapi organisasi ini merupakan unit-unit yang sifatnya swasta. Misalnya: Klub Bola Voli, Klub Sepak Bola, Group Kesenian, Organisasi pendaki gunung, Kelompok belajar dan lain-lain¬nya.

3. Berdasarkan Skala (Ukuran) Besar-Kecilnya
Jika dilihat dari skala (ukuran) organisasi tersebut secara kuantitas, maka organisasi dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Organisasi Besar;
b. Organisasi Sedang (Menengah); dan
c. Organisasi Kecil.
Tolok ukur (skala) besar-kecilnya organisasi ini sifatnya relatif, karena ditentukan oleh banyak faktor. Tetapi besar-kecilnya organisasi perlu diketahui, karena akan mempengaruhi pilihan manajemen yang akan diterapkan.

4. Berdasarkan Tujuannya
Berdasarkan tujuannya, organisasi dapat dilihat dari dua bentuk, yaitu:
a. Public Organization (organisasi sosial), adalah organisasi yang (nonprofit) yang tujuan utamanya untuk melayani kepentingan umum, tanpa perhitungan rugi-laba. Tujuannya adalah memberikan pelayanan dan bukan memperoleh laba (nonprofit
motive). Misalnya: Pemerintah, yayasan-yayasan sosial dan lain-lain¬nya.
b. Business Organization (organisasi perusahaan) adalah organi¬sasi yang didirikan untuk tujuan komersial (mendapatkan laba) dan semua tindakannya selalu bermotifkan laba (profit motive). Jika organisasi perusahaan tidak memberikan laba/keuntungan lagi, maka tidak rasional untuk melanjutkannya lagi. Dilihat dari bidang usaha organisasi perusahaan ini dikenal perusahaan-perusahaan produksi, perdagangan dan pemberi jasa. Namun jika dilihat dari sudut hukum, organisasi dapat dibedakan perusahaan perseorangan (single proprietorship), dan perusahaan milik bersama (part¬nership). Misalnya: "Firma, CV, PT, Koperasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)."

5. Berdasarkan Organization Chart/Bagan Organisasinya
Apabila dilihat dari bentuk bagan organisasi yang digunakan, maka organisasi dapat dikelompokkan menjadi lima bentuk, yaitu:

a. Berbentuk segitiga vertikal (Arrangement Chart);
Puncak segitiga (A) merupakan kedudukan Top Manager
Kebaikannya:
1) Tingkatan manajer dan kedudukan setiap karyawan jelas dan mudah diketahui.
2) Garis perintah dan tanggung jawab jelas dan mudah kelihatan.
3) Rentang kendali setiap bagian jelas dan mudah diketahui.
4) Posisi kedudukan setiap karyawan (manajerial/operasional) jelas dan mudah diketahui.
5) Jenis wewenang yang dimiliki setiap pejabat jelas dan mudah diketahui.
6) Pimpinan organisasi (Top Manager), jelas kelihatan.
7) Berapa tingkat (golongan) organisasi mudah diketahui.
Kelemahannya:
1) Pimpinan kolektif (presidium) tidak dapat digambarkan.
2) Top Manager kelihatan hanya mempunyai authority ke dalam organisasi saja.
3) Bentuk struktur organisasi segitiga ini paling banyak dipergunakan oleh organisasi/perusahaan.

b. Berbentuk Lingkaran
Keterangan:
1) Top Manager berada pada titik pusat lingkaran (A).
2) Kedudukan yang mempunyai jarak yang sama dari pusat lingkaran punya posisi (golong¬an) yang sama.
3) Semakin dekat kedudukan pada pusat lingkaran maka semakin tinggi kedudukannya dan se-baliknya.
4) Top Manajer, C = Middle Mana¬ger dan B = Lower Manager, padahal B itu bawahan dari C.
Kebaikannya:
1) Top Manager kelihatan mempunyai wewenang ke setiap penjuru.
2) Top Manager, kelihatan sebagai sentral keputusan dan kebijaksanaan.

Kelemahannya:
1) Untuk mengetahui kedudukan atasan dan bawahan agak sulit dan kurang jelas.
2) Pendelegasian wewenang dan pertanggung jawab tidak jelas ke¬lihatan.
3) Kedudukan seorang bawahan dapat kelihatan sebagai atasan (B) terhadap C, sebab ia lebih dekat pada A.
4) Demikian juga misalnya bawahan B, bisa lebih dekat pada A, jadi seperti bawahannya B.
5) Kedudukan (posisi) staf sulit digambar dalam bentuk struktur ini. Struktur organisasi yang berbentuk lingkaran ini jarang dipergunakan dan kurang populer.

c. Berbentuk lingkaran dan atau setengah lingkaran;

Struktur organisasi yang berbentuk setengah lingkaran ini, pada prinsipnya samadenganyangberbentuk lingkaran.Perbedaannya hanya terletak,bahwa bawahan Middle Manager terletak di luar lingkaran pertama. Bentuk ini kurang populer dan jarang digunakan orang.
Keterangan:
1) A. Top Manager 1,2,3,4, dan 5 Middle Manager (B), sedangkan (C) Lower Manager.
2) Kedudukan yang jaraknya sama dari (A), mempunyai posisi yang sama.
3) Semakin dekat kepada (A), maka semakin tinggi kedudukannya dan sebaliknya.
Kelemahan bentuk struktur ini pada dasarnya sama dengan bentuk struktur lingkaran, seperti untuk menggambar posisi staf sulit.

d. Berbentuk kerucut vertikal/horizontal

Struktur organisasi yang berbentuk "kerucut vertikal ataupun hori¬zontal" ini pada prinsipnya sama dengan struktur organisasi yang berbentuk "segitiga vertikal atau horizontal". Perbedaannya terletak pada struktur yang berbentuk segitiga, menunjukkan bahwa "pimpinan puncak (Top Manager)-nya tunggal atau seorang". Sedang struktur organisasi yang berbentuk kerucut, menunjukkan bahwa "pimpinan puncak (Top Manager)-nya kolektif (presidium = beberapa orang)".

Pimpinan kolektif ini sering d ilakukan pada organisasi "komi te atau perusahaan FIRMA", Karena perusahaan Firma, diharuskan bahwa semua kekayaan pribadi anggota ikut dipertaruhkan untuk membayar utang-utang Firma, jika Firma tersebut dilikuidasi. Hal inilah yang men-dorong anggota Firma menganut "pimpinan kolektif" pada "puncak pimpinannya" untuk menghindari tindakan-tindakan negatif jika Firma pimpinan puncaknya tunggal (seorang).
Pada organisasi komite tujuannya pimpinan puncak kolektif untuk menghindari kepemimpinan "otoriter" atau diktator jika pimpinan puncaknya seorang.

Keterangan:
1) A dan B merupakan pimpinan puncak kolektif.
2) Tingkatan-tingkatan lain dari departemen seorang/tunggal.
3) Posisi yang semakin dekat ke A-B, kedudukan semakin tinggi dan sebaliknya.
4) Jarak yang sama dari A dan B punya kedudukan (golongan) yang sama pula.

e. Berbentuk bulat telor (Oval).
Keterangan:
1) Yang duduk pada lingkaran I (A-B-C-D-E) punya posisi sama.
2) Yang duduk pada lingkaran II punya posisi yang sama.
3) Yang duduk pada lingkaran III, juga posisi yang sama.

Struktur organisasi berbentuk "OVAL atau BULAT TELUR" ini sering dipergunakan dalam perundingan-perundingan politik. Dalam perundingan politik antara negara yang berselisih, biasanya soal meja tempat berunding digunakan meja yang berbentuk oval. Hal ini mencerminkan bahwa setiap negara punya kedudukan (posisi) yang sama tinggi derajatnya. Barisan depan (dekat) meja duduk wakil-wakil tertinggi dari negaranya (lingkaran I), lingkaran II, lingkaran III dan seterusnya. Jadi setiap tempat duduk pada lingkaran yang sama punya peranan yang sama pula dalam perundingan bersangkutan. Semakin dekat tempat duduknya ke meja perundingan, semakin besar peranannya (posisi)-nya dalam perundingan tersebut. Struktur organisasi bentuk ini kurang populer dan jarang dipakai dalam perusahaan.
Bentuk-bentuk organisasi di atas dapat diterapkan dalam organisasi pendidikan Islam, baik dalam satu bentuk saja atau mengkombinasikan antara beberapa bentuk lalu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Jelasnya, bentuk-bentuk di atas menjadi pertimbangan dalam merumuskan jenis organisasi yang akan diterapkan dalam pelaksanaan pendidikan Islam dalam suatu lembaga organisasi.

F. Organisasi Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan, dalam bahasa Inggris disebut institute (berbentuk fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam bentuk fisik disebut juga bangunan, sedangkan non-fisik disebut pranata.

Secara terminologi, lembaga pendidikan Islam menurut Hasan Langgulung adalah sustu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, idiologi-idiologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah: masjid, sekolah kuttab dan sebagainya.
Dengan demikian, untuk menerapkan pendidikan Islam perlu suatu lembaga dan lembaga tersebut harus terorganisir sedemikian rupa sehingga tujuan pendidikan Islam dapat dicapai secara efektif dan efisien. Tegasnya, diperlukan organisasi lembaga pendidikan yang profesional.
Berbicara tentang lembaga pendidikan Islam, dapat dilihat dari segi proses pembentukannya, yaitu formal, nonformal, dan informal. Akan tetapi, lembaga pendidikan Islam dalam bentuk institute biasanya dikelola oleh lembaga Departemen Agama dimana di dalamnya terdapat lembaga pendidikan formal dan nonformal.

1. Lembaga Pendidikan Islam di Lingkungan Departemen Agama
Pendidikan Islam dipetakan ke dalam tiga jenis pendidikan, yaitu pendidikan agama Islam pada satuan pendidikan, pendidikan umum berciri Islam, dan pendidikan keagamaan Islam. Pendidikan Islam pada satuan pendidikan dilakukan melalui koordinasi antara Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Ditjen Pendidikan islam bertangg/ung jawab.'aias!: pengembangan kurikulum dan pembinaan guru. Sedangkan Depdiknas atas pelaksanaahnya. pada tingkat satuan pendidikan.

Pendidikan umum berciri Islam, pada jalur formal diselenggarakan oleh satuan pendidikan Raudhatul/Busthanul Athfal (RA/BA) pada anak usia dini, Madrasah Ibtidaiyah (Ml) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada pendidikan dasar. Madrasah Aliyah (MA) dan MA Kejuruan pada pendidikan menengah, dan Perguruan Tinggi Islam (PTI) pada jenjang pendidikan tinggi.
Pada jalur non-formal, diselenggarakan melalui Program Paket A dan Program Paket B pada pendidikan dasar serta Program Paket C setara pendidikan menengah. Pendidikan keagamaan Islam diselenggarakan dalam bentuk pendidikan diniyah dan pendidikan pesantren yang melingkupi berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren pada berbagai jenjang dan jalur pendidikan.

Pada jalur formal, pendidikan diniyah mencakup Pendidikan Diniyah Dasar (PDD) dan Pendidikan Diniyah Menengah Pertama PDMP pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan Diniyah Menengah Atas (PDMA) pada jenjang pendidikan menengah, dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) pada jenjang pendidikan tinggi. Pada jalur non-formal, pendidikan diniyah diselenggarakan secara berjenjang mulai dari pendidikan anak usia dini pada Taman Kanak-kanak al-Qur'an (TKQ), jenjang dasar oleh lembaga pendidikan Diniyah Takmiliyah Awaliyah (DTA) dan Diniyah Takmiliyah Wustha (DTW) dan jenjang pendidikan menengah oleh Diniyah Takmiliyah Ulya (DTU), DT Aly untuk jenjang pendidikan tinggi, serta non-jenjang pada lembaga pendidikan al-Qur'an dan Majlis Taklim.

Dengan demikian, organisasi lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun non-formal seperti pesantren, pada dasarnya dikelola oleh Departemen Agama. Sementara lembaga pendidikan umum, seperti SD, SMP, dan SMA Swasta yang dimiliki oleh organisasi Islam juga dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam, namun tetap berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional.

Di tingkat daerah, Pesantren sebagai lembaga pendidikan formal biasanya menerapkan kurikulum madrasah sehingga tingkatan dalam pesantren juga meliputi madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah. Dalam struktur organisasi, pesantren ini berada di bawah departemen agama, tepatnya di bagian Pekapontren. Madrasah juga meliputi jenjang madrasah ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA). Ketiga jenjang ini juga berada dalam departemen agama tepatnya di bagian Mapenda. Sedangkan sekolah yang diidentikkan dengan lembaga pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan yang biasanya dimiliki oleh organisasi Islam, seperti Sekolah Dasar Islam (SDI), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), dan Sekolah Menengah Atas Islam (SMAI) atau nama-nama lain yang sejenis dengannya, termasuk SD Islam Terpadu.

Sekolah/Madrasah, sebagai lembaga pendidikan formal yang di dalamnya terdapat kepala sekolah, guru-guru, pegawai tata usaha, siswa, dan sebagainya memerlukan adanya organisasi yang baik agar tujuannya dapat dicapai. Menurut sistem persekolah di negeri kita, pada umumnya Kepala Sekolah/Madrasah merupakan jabatan yang tertinggi di sekolah itu sehingga dengan demikian kepala sekolah memegang peranan dan pimpinan segala sesuatunya yang berhubungan dengan tugas sekolah/medrasah ke dalam maupun ke luar. Maka dari itu dalam struktur organisasi lembaga ini pun kepala sekolah biasanya selalui ditempatkan yang paling atas.

Faktor lain yang menyebabkan perlunya organisasi sekolah/madrasah yang baik ialah karena tugas guru-guru tidak hanya mengajar saja, juga pegawai-pegawai tata usaha, pesuruh sekolah, dan sebagainya semuanya harus bertanggung jawab dan diikutsertakan dalam menjalankan roda organisasi itu secara keseluruhan. Dengan demikian, agar tidak overlapping dalam memegang/menjalankan tugasnya masing-masing, diperlukan organisasi sekolah/madrasah yang baik dan teratur.

Sebagai organisasi, sekolah atau madrasah tersebut tentu memiliki visi dan misi tertentu dengan mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam. Kemudian di dalamnya terdapat struktur organisasi yang dipimpin oleh seorang kepala sekolah/madrasah dan dibantu oleh beberapa orang wakil, seperti wakil bidang kurikulum, wakil bidang sarana prasarana, dan wakil bidang kesiswaan. Para guru juga diorganisir sesuai dengan kebutuhan, seperti wali kelas, koordinator masing-masing mata pelajaran, pembina OSIS, dan sebagainya.

Adapun sistem penanggung jawab lembaga tersebut awalnya bersifat sentralistik. Namun dewasa ini, seiring dengan otonomi daerah, sistem sentralistik secara berlahan mulai berubah ke arah desentralistik, meskipun belum sepenuhnya, khususnya di lingkungan Departemen Agama. Sedangkan sekolah umum yang dimiliki oleh organisasi Islam cenderung lebih desentralisasi karena mereka berada di bawah departemen pendidikan nasional.

Mengenai pengelolaan madrasah/pesantren di lingkungan Departemen Agama yang masih bersifat sentralistik memiliki kelebihan dan kekurangan. Lembaga pendidikan formal di bawah Departemen Agama seperti Madrasah cenderung hanya memperoleh anggaran biaya dari Departemen Agama pusat dan terkesan kurang perhatian dari pemerintah daerah. Padahal madrasah juga berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat lokal di tingkat daerah tersebut. Meskipun demikian, ada juga pemerintah daerah yang menganggarkan biaya untuk madrasah tersebut, sesuai dengan kebijakan masing-masing pemerintah daerah. Kebijakan ini tentu terkait dengan besarnya APBD yang dimilikinya.

Di sisi lain, pembiayaan madrasah—khususnya yang berstatus negeri—yang dianggarkan dari DIPA Departemen Agama justru memperoleh anggaran yang lebih besar jika dibandingkan dengan sekolah di lingkungan dinas pendidikan, sebab jumlah lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum yang ada. Terutama di daerah yang memiliki APBD relatif kecil, jangankan menganggarkan biaya yang cukup untuk madrasah yang masih bersifat sentralistik ke departemen Agama, untuk menganggarkan dana pengelolaan sekolah umum yang berada di bawah lingkungan dinas pendidikan kota/kabupaten saja akan mengalami kesulitan mengingat jumlah sekolah umum yang lebih besar dari pada jumlah madrasah.

Namun, yang menjadi persoalan berikutnya adalah madrasah yang memperoleh dana cukup dari departemen agama tersebut justru lebih terfokus kepada madrasah negeri, sementara madrasah swasta kurang mendapat perhatian. Padahal, jumlah madrasah swasta jauh lebih banyak dari pada madrasah negeri. Akhirnya, madrasah swasta yang memperoleh "penghidupan" dari masyarakat setempat cenderung mengalami kesulitan dalam merancang dan melaksanakan program pendidikan yang berkualitas.

Mengenai perbandingan madrasah negeri dengan swasta dapat dilihat pada tabel ini:
No Jenis Lembaga Jumlah Jumlah Total Porsentase Sebaran
Negeri (%) Swasta (%)
1 Madrasah Ibtidaiyah (MI) 1.567 19.621 21.188 36%
(7.4%) (92,6%)
2 Madrasah Tsanawiyah (MTs) 1.259 11.624 58.288 22%
(9,8%) (90,2%)
3 Madrasah Aliyah (MA) 644 4.754 5.398 9%
(11,9%) (88,1%)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa MI yang negeri hanya 7.4 % dari 21.188 MI yang ada, MTs berstatus negeri sebanyak 9,8% dari 58.288 dan MA berstatus negeri hanya 11,9% dari 5.398 dari total MA yang ada. Data ini diperoleh pada T.P. 2007/2008. Dengan demikian, persentase madrasah swasta jauh lebih besar jumlahnya dari pada madrasah negeri.

Besarnya jumlah madrasah swasta ini memang berkaitan dengan sejarah pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan Islam; di mana peran serta masyarakat dalam pengembangan madrasah dan pesantren sangat besar. Anggota masyarakat karena motivasi agama, banyak yang menyediakan tanah wakaf atau dana pembangunan madrasah dan pesantren, sehingga jumlah madrasah swasta demikian banyak seperti terlihat pada data di atas. Prakarsa dan peran serta masyarakat yang demikian besar dalam bidang pendidikan tersebut, khususnya madrasah dan pesantren, memang patut dihargai dan perlu terus dibantu pengembangannya.

Namun, dan yang dapat dikumpulkan oleh masyarakat muslim dalam pengembangan pendidikan modern dewasa ini sangat terbatas, sementara biaya pendidikan semakin mahal, sehingga tuntutan untuk terus-menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan madrasah terus-menerus ketinggalan dengan dunia pendidikan yang lain. Pada umumnya, madrasah swasta berada dalam keadaan serba kekurangan karena menampung siswa-siswa dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Akibatnya, biaya untuk menunjang kegiatan proses belajar-mengajar kurikulum yang tinggi tingkat relevansinya dengan jenis-jenis pekerjaan yang berkembang di dunia bisnis dan di masyarakat dewasa ini yang mengarah ke masyarakat industri, masih sangat terbatas.

Di sisi lain, karena kemampuan dalam penyelenggaraan pendidikan masih terbatas, Pemerintah masih mengutamakan strategi pengembangannya pada sekolah-sekolah negeri, khususnya dalam penyediaan tenaga guru dan pembagian alokasi dana pembiayaan pendidikan lainnya. Padahal, berbeda dengan Diknas, proses penegerian madrasah di Departemen Agama berjalan sangat lambat, sehingga jumlah madrasah negeri masih sangat kecil. Kelambatan itu disebabkan karena Departemen Agama dianggap bukan sebagai unit yang memeriukan perhatian dan prioritas untuk memperoleh dukungan dana dan dukungan kelembagaan seperti Diknas. Masalah kecilnya jumlah madrasah-madrasah negeri tersebut menjadi salah satu kendala dalam menyusun langkah-langkah pembinaan madrasah.

Lebih besarnya perhatian pemerintah terhadap madrasah negeri dari pada swasta juga dapat dilihat dari persentase madrasah penerima bantuan dari Program Bantuan Direktorat Pendidikan pada Madrasah tahun 2007, sebagaimana yang terlihat dalam tabel berikut ini:
No Jenis Lembaga Jumlah Lembaga
Negeri (%) Swasta (%)
1 Madrasah Ibtidaiyah (MI) 1.567 19.621
(11,5 %) (4.3 %)
2 Madrasah Tsanawiyah (MTs) 1.259 11.624
(10,6 %) (7.3 %)
3 Madrasah Aliyah (MA) 644 4.754
(15,5 %) (10,5 %)

Jika diperhatikan pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa secara kuantitas, jumlah madrasah negeri memang lebih besar dari pada madrasah negeri. Namun, jika dilihat dari persentase jumlah madrasah secara keseluruhan, maka madrasah swasta jauh lebih kecil dari pada yang negeri. Itu artinya, masih banyak madrasah negeri yang tidak memperoleh bantuan, akan tetapi jauh lebih banyak madrasah swasta yang tidak memperoleh bantuan tersebut. Oleh karena itu, madrasah swasta sulit mengembangkannya sebagai lembaga pendidikan yang bermutu dengan sistem pengelolaan seperti ini, apalagi jika kurang mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah daerah setempat.

Demikian pula dengan lembaga pendidikan pesantren dan diniyah yang nota benenya tumbuh dari masyarakat, juga semakin berkembang dan butuh perhatian dari pemerintah dan masyarakat sendiri. Berdasarkan tipe pondok pesantren, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
No Tipe Pondok Pesantren Jumlah Persentase
1 Salafiyah 8.001 37,2 %
2 Ashriyah 3.881 18,0 %
3 Kombinasi 9.639 44, 8 %
Jumlah 21.521 100%

Tabel: Jumlah Pondok Pesantren berdasarkan tipenya pada T.P. 2007/2008

Sementara jumlah madrasah diniyah pada tahun pelajaran 2007/2008 terdapat sebanyak 37.102. Jika dilihat dari lokasinya, terdapat 8.485 (22,9%) merupakan madrasah diniyah yang berada di dalam Pondok Pesantren, dan 28.617 (77,1%) merupakan madrasah diniyah yang berada di luar Pondok Pesantren.

Menyikapi persoalan di atas, seharusnya pemerintah daerah mengambil kebijakan yang proporsional (adil) terhadap pembangunan dan pengembangan lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan pesantren. Sebab, madrasah dan pesantren juga berperan besar dalam mencerdaskan masyarakat di tingkat daerah tersebut. Meskipun madrasah dikelola secara sentralistik, akan tetapi pemerintah daerah perlu menganalisis perbandingan antara anggaran yang diperoleh madrasah dengan anggaran yang diperoleh sekolah umum. Jika APBD di tingkat daerah memang relatif kecil, maka diharapkan pemerintah dapat memotivasi masyarakat untuk berperan aktif dalam membangun lembaga pendidikan di daerah tersebut, baik umum maupun lembaga pendidikan Islam. Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi yang baik lagi harmonis antara departemen agama dengan dinas pendidikan dari pusat hingga di tingkat daerah kota/kabupaten, termasuk dengan pemerintah daerah. Dengan begitu diharapkan pengelolaan organisasi lembaga pendidikan Islam dilakukan secara profesional sehingga bermutu dan mampu bersaing di tingkat global.

2. Lembaga Pendidikan Masyarakat (Nonformal)
Selain dari bentuk lembaga pendidikan di atas, masyarakat juga melahirkan beberapa lembaga pendidikan nonformal sebagai bentuk tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan Islam. Masyarakat merupakan kumpulan individu dan kelompok yang terikat oleh kesatuan bangsa, negara, kebudayaan, dan agama. Setiap masyarakat, memiliki cita-cita yang diwujudkan melalui peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu. Islam tidak membebaskan manusia dari tanggungjawabnya sebagai anggota masyarakat, dia merupakan bagian yang integral sehingga harus tunduk pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Begitu juga dengan tanggungjawabnya dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan.

Adanya tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan, maka masyarakat akan menyelanggarakan kegiatan pendidikan yang dikategorikan sebagai lembaga pendidikan nonformal. Sebagai lembaga pendidikan non formal, masyarakat menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Meskipun demikian, lembaga-lembaga tersebut juga memerlukan pengelolaan yang profesional dalam suatu organisasi dengan manajemen yang baik.

Menurut an-Nahlawi, tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikoitan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.

Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka lahirlah berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, TPA, wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.
Berpijak dari tanggung jawab masyarakat di atas, lahirlah lembaga pendidikan Islam yang dapat dikelompokkan dalam jenis ini adalah:
a. Masjid, Mushalla, Langgar, Surau atau Rangkang.
b. Madrasah Diniyah yang tidak mengikuti ketetapan resmi.
c. Majlis Ta'lim, Taman Pendidikan al-Qur'an, Taman Pendidikan Seni Al-Qur'an, Wirid Remaja/Dewasa.
d. Kursus-kursus Keislaman.
e. Badan Pembinaan Rohani.
f. Badan-badan Konsultasi Keagamaan.
g. dan lain-lain.
Lembaga-lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat ini sangat berperan dalam mendidik umat, sejak kanak-kanak hingga dewasa, bahkan lansia. Oleh karena itu, lembaga pendidikan ini harus terorganisir dengan baik sehingga tujuan dari masing-masing lembaga tersebut dapat tercapai dengan baik pula.

3. Lembaga Pendidikan Keluarga (informal)
Perlu pula dijelaskan bahwa dalam literatur pendidikan Islam, keluarga juga dipandang sebagai lembaga pendidikan dalam bentuk informal. Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah dan nasb. Karenanya, keluarga juga dapat diperoleh melalui persusuan dan pemerdekaan. Pentingnya keluarga sebagai lembaga pendidikan Islam diisyaratkan dalam al-Qur'an:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (Qs. al-Tahrim/66: 6)

Pada dasarnya, kegiatan pendidikan dalam lembaga ini tanpa ada suatu organisasi yang ketat, tanpa ada program waktu dan evaluasi. Namun, Islam memberikan tuntunan kepada orang tua untuk membina keluarga dan mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu, keluarga juga merupakan organisasi yang dipimpin oleh seorang ayah untuk membina keluarga dan mendidik anak-anaknya sehingga diridhai oleh Allah SWT dengan terlebih dahulu pasangan suami-istri berupaya mewujudkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Sebagaimana firman-Nya:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs. ar-Rum/30: 21)

Dengan demikian, sebagai organisasi, keluarga memiliki tujuan tertentu. Secara umum tujuan tersebut adalah memelihara keluarganya dari api neraka dan mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, sebagaimana yang telah disinggung di atas. Kemudian, keluarga juga mengorganisir anggota keluarganya untuk melaksanakan tugas sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dan mereka bertanggung jawab terhadap tugas tersebut. Dalam konteks suami istri, Rasulullah SAW menegaskan:
كُلَُكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, فَاْلاِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, وَاْلمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا...
Kalian semua adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin kelak dia akan diminta pertanggungjawabannya tentang kepemimpinannya. Seorang lelaki pemimpin istrinya, kelak dia akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang perempuan (istri) pemimpin dalam rumah suaminya, kelak dia akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya… (muttafaq 'alaih).

Sementara anak harus dididik sesuai dengan petunjuk Islam sehingga mereka potensi yang dimilikinya berkembang secara optimal dan mengantarkannya sebagai anak yang shaleh. Lagi-lagi dalam hal ini diperlukan manajemen yang baik dari kedua orang tuanya dan keluarga sebagai organisasi atau wadah untuk melaksanakan tujuan tersebut.

G. Penutup
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan, di antaranya sebagai berikut:
1. Organisasi dalam artian statis merupakan wadah berkumpulnya beberapa orang yang saling bekerja sama dan berinteraksi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan secara dinamis, organisasi merupakan proses mewujudkan tujuan dengan adanya kerja sama, tugas-tugas tertentu yang jelas dengan tanggung jawab yang kuat untuk mewujudkan tujuan yang telah disepakati bersama. Sementara organisasi pendidikan Islam dapat dipahami sebagai wadah berkumpulnya beberapa orang yang saling bekerja sama dan beriteraksi dalam menerapkan dan mewujudkan tujuan pendidikan Islam dengan tetap berlandaskan kepada nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.
2. Pada dasarnya organisasi merupakan sesuatu yang alamiah bagi manusia, sebab ia ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu sama lain. Hanya saja secara teoritis, organisasi lebih berkembang dan muncul sejak abad ke 19 hingga saat ini dengan berbagai teori yang muncul, mulai dari klasik, ilmiah, hingga kepada perkembangannya di masa modern.
3. Prinsip-prinsip organisasi pendidikan Islam tersirat dalam al-Qur'an, seperti tujuannya harus mencari dan menemukan keridhaan Allah, proses yang dilakukan dengan cara yang baik, kerja sama dalam konteks kebaikan/ketakwaan bukan kemaksiatan, komunikasi dilakukan dengan cara yang baik/santun, adanya tanggung jawab masing-masing anggota organisasi, dan pengambilan keputusan sebaiknya dilakukan dengan cara musyawarah dan tawakal. Semua itu relevan dengan temuan-temuan pakar organisasi modern.
4. Bentuk-bentuk organisasi, jika dilihat dari strukturnya ada beberapa bentuk, seperti tipe line, staf, line and staf, fungsional, dan panitia (committee). Semua itu dapat digunakan berdasarkan kebutuhan organisasi tersebut.
5. Secara garis besar lembaga pendidikan Islam dapat dikelompokkan kepada tiga bagian, yaitu formal (sekolah/madrasah/pesantren), informal (keluarga), dan nonformal (masyarakat). Namun dari segi pengelolaannya, lembaga pendidikan Islam itu bisa dikategorikan dalam bentuk lembaga pendidikan Islam di lingkungan Departemen Agama yang terdiri dari formal (seperti MI, MTs, dan MA) dan nonformal (seperti TQ, pengajian Kitab, Paket C, dll). Semua bentuk lembaga ini merupakan suatu organisasi yang harus dijalankan dengan profesional sehingga tujuan pendidikan Islam dapat dicapai secara efektif dan efisien.


BIBLIOGRAFI

Asnawir, Manajemen Pendidikan, Padang: IAIN IB Press, 2006
_______, Bagian I Manajemen Pendidikan, Kumpulan Print Out Slide Power Point, Padang: PPS IAIN IB Padang
Akkas, M. Amin, "Potret Kepemimpinan dalam Masyarakat Madani", dalam Nurcholish Madjid et.al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Jakarta: Mediacita, 2000
Atmosudirdjo, Prajudi, Dasar-dasar Ilmu Administrasi Umum, Jakarta: Galia Indonesia, 1982
Ditjen Pendidikan Islam Depag RI, Booklet, Jakarta: Dirtjen PI Depag RI, 2007
_____________, Statistik Pendidikan Agama dan Keagamaan T.P. 2007/2008, Jakarta: Ditjen PI Depag RI, 2008
Hasibuan, Malayu S.P., Organisasi dan Motivasi; Dasar Peningkatan Produktivitas, Jakarta: Bumi Aksara, 2007, cet. ke-5
al-Hasyimi, Sayid Ahmad, Mukhtarul Ahadits an-Nabawiyah, Penj. Mahmud Zaini, Jakarta: Pustaka Amani, 1995
Hick, Herbert G. dan G. Ray Gullet, Organization: Theory and Behavior, Penj. G. Kartasapoetra, Jakarta:Bumi Aksara, 1995, cet. ke-2
Khaldun, Abdurrahman Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldūn; wa Hiya Muqaddimah al-Kitāb al-Musamma Kitāb al-Ibar wa Dīwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Ayyām al-Arb wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Āsharahum min Dzawī al-Sulthān al-Akbar, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993
Langgulung, Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988
An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Penj. Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Ndraha, Taliziduhu, Budaya Organisasi, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Poerwanto, Ngalim, Administrasi Pendidikan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1988
Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006
Rivai, Veithzal, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2003
Schein, Edgar H., Organizational Psychology, Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, 1980
Siagian, Sondang P., Teori Pengembangan Organisasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2007 cet. ke-5
Suyantoro, Darwis, organisasi, manajemen, dan manfaat organisasi, www.suryantara. wordpress. com
Terry, George R., Guide to Management, Penj. J. Smith D.F.M., Jakarta: Bumi Aksara, 2006, cet. ke-8
Winardi, J., Teori Organisasi dan Pengorganisasian, Jakarta: Rajawali Press, 2006
_______, Manajemen Perilaku Organisasi, Jakarta: Kencana, 2007, cet. ke-2, edisi revisi

Baco Tokhus....