Selasa, November 16, 2010

Meneladani Kesabaran Nabi Ibrahim AS

Oleh: Muhammad Kosim, MA

“Sabar itu pahit melebihi empedu; tetapi hasilnya manis melebihi madu”. Demikian pernyataan bijak memotivasi kita untuk bersabar dalam hidup ini. Kata sabar memang semakin populer ketika bangsa ini dihimpit oleh berbagai bencana. Banjir bandang di Wasior, gempa dan tsunami di Mentawai serta letusan gunung merapi di perbatasan Yogyakarta dan Jateng menjadi duka nasional yang memprihatinkan.

Rentetan musibah yang datang menjelang hari raya besar umat Islam, Idul Adha, mengingatkan kita kembali kepada sosok Nabi Ibrahim As sebagai sang teladan. Ada dua Nabi yang ditegaskan Allah sebagai uswatun hasanah dalam al-Qur’an, yaitu Nabi Muhammad SAW (al-Ahzab/33: 21) dan Nabi Ibrahim as (Qs. Al-Mumtahanah/60: 4). Banyak hal yang dapat diteladani dari Nabi Ibrahim, salah satu di antaranya adalah sifat sabar.

Paling tidak ada tiga fase perjuangan dalam hidup Nabi Ibrahim as yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Pertama, upaya menemukan keyakinan yang benar (tauhid). Awalnya, Ibrahim dibesarkan dalam keluarga yang menyembah berhala. Bahkan ayahnya pemahat patung yang disembah oleh masyarakat setempat. Ibrahim pun melakukan pemberontakan terhadap apa yang disembah oleh ayah dan kaumnya.

Pencarian awal masih bersifat empiris di mana ketika malam tiba, ia menyaksikan bintang-bintang yang gemerlapan. Muncullah ketakjuban dalam dirinya sehingga ia menyangka jika bintang itu adalah tuhan. Namun tatkala bintang-bintang itu sirna ia bergumam, “Aku tidak suka kepada Tuhan yang tenggelam”. Lalu ia melihat bulan dengan sinarnya yang indah dan cemerlang. Lantas ia pun berpikir inilah tuhanku. Akan tetapi bulan itu pun tenggelam lalu ia berkata “Sungguh jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Keesokan harinya ia melihat matahari bersinar terang, dia pun berkata “inilah tuhanku, sebab ini lebih besar”. Lagi-lagi benda yang ia anggap tuhan itu tenggelam di ufuk Barat.

Pencarian Tuhan yang ia lakukan berakhir dengan adanya petunjuk (hidayah) dari Allah. Ia pun menyimpulkan dan berikrar, “Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mentaati) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik”. (lihat kisah ini dalam QS. Al-An’am/6: 76-78).

Inilah awal perjuangan yang berat dialami oleh Nabi Ibrahim. Suatu perjuangan yang mendobrak tradisi bahkan keyakinan yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakatnya. Konsekuensinya adalah Ibrahim dibenci, termasuk oleh ayah yang dikasihinya. Bahkan sang ayah mengancam akan merajam dan akhirnya mengusir Ibrahim pada waktu yang lama (QS. Maryam/19: 42-46).

Suatu perjuangan yang amat pahit, dengan kesabaran dalam menemukan hakikat kebenaran, akhirnya membuahkan hasil yang gemilang; itulah hidayah dari Allah. Bahkan, ia pun diangkat sebagai Rasulullah (QS. Al-Baqarah/2: 124).

Kedua, memperjuangkan akidah dan berhadapan dengan Namrud. Sebagai seorang Nabi, Ibrahim pun mengajak kaumnya untuk menyembah Allah yang menciptakan langit dan bumi. Ia tetap melakukan dialog yang argumentatif untuk meyakinkan kaumnya. Akan tetapi kebanyakan dari mereka tetap berpegang teguh kepada ajaran nenek moyangnya.

Menyikapi kondisi itu, Nabi Ibrahim AS membuat siasat untuk menyadarkan kaumnya. Suatu ketika ia memasuki biara tempat patung-patung dikumpulkan dan dipuja. Ia menghancurkan patung-patung itu berkeping-keping, kecuali yang terbesar dibiarkan tetap utuh untuk memancing mereka agar bertanya.

Namun upaya yang terkesan dengan cara “kekerasan” itu tidak membuahkan hasil yang gemilang. Ibrahim yang telah dicurigai sebagai pelaku penghancuran berhala itu menjawab pertanyaan mereka: “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara”. Awalnya, jawaban itu memang membuat mereka terpana dan menundukkan kepala. Mereka pun berkata: “Engkau pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara?”. Ibrahim menjawab: “Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu?”

Akan tetapi mereka bukan tunduk, malah sebaliknya semakin berang dan berteriak: “Bakar Ibrahim, bantulah tuhan kalian.” Mereka pun membakar tubuh Ibrahim di antara tumpukan kayu bakar. Kesabaran yang begitu kuat di dada Ibrahim tidak membuatnya surut menegakkan kebenaran, meskipun nyawa taruhannya. Lagi-lagi sifat sabar yang pahit itu berbuah hasil yang manis. Api yang sifatnya membakar tiba-tiba keluar dari hukumnya; api panas dan membakar kayu, tetapi tidak membakar tubuh Ibrahim (QS. Al-Anbiya’/21: 52-70). Api yang merupakan makhluk Allah yang senantiasa tunduk kepada hukum Allah segera mematuhi perintah Allah agar dingin dan menyelamatkan tubuh Ibrahim, sebab Ibrahim adalah makhluk Allah yang taat.

Ketiga, Nabi Ibrahim as menginginkan seorang anak. Hampir seabad usia Nabi Ibrahim, namun ia belum juga dianugerahkan seorang anak. Karena besarnya keinginan itu, ia pun mengikuti keinginan istrinya, siti Sarah, agar menikahi pembantunya, Siti Hajar. Bagi Ibrahim, beristri dua bukan karena syahwat, tetapi menginginkan keturunan yang shaleh, yang diharapkan kelak melanjutkan perjuangannya dalam menegakkan agama tauhid.

Allah pun menganugerahkan seorang anak yang berkarakter halim (QS. Al-Shaffat 101), yang diberi nama Isma’il. Namun, anak yang berpuluh tahun dinanti kelahirannya, ketika tampak sifatnya yang mulia lagi cerdas, Allah malah menguji cinta Nabi Ibrahim; apakah lebih mencintai Isma’il atau tuhannya? Allah pun memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ibrahim melalui mimpinya (QS. Al-Shaffat/37: 102).

Suatu ujian yang sangat mengguncang batin; sulit dilakukan oleh orang tua dimana pun. Dengan sabar, Ibrahim menjalankan perintah itu demi cintanya kepada Allah. Tapi cintanya kepada Allah tidaklah sia-sia. Sebelum penyembelihan itu terjadi, Allah mengganti tubuh Isma’il dengan seekor sembelihan (kibas/kambing). Peristiwa ini menjadi amal yang disyari’atkan kepada umat Muhammad berupa penyembelihan hewan kurban di bulan haji.

Tiga fase perjuangan Nabi Ibrahim as di atas sesungguhnya ujian yang berat ditimpakan Allah kepadanya. Namun, dengan keimanan dan kesabaran yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim, perjuangan itu berbuah hasil yang menggembirakan. Inilah yang dijanjikan Allah kepada orang yang beriman lagi sabar, mereka dilimpahkan keselamatan, kasih sayang (rahmat), dan hidayah (Qs. Al-Baqarah/2: 157).

Jika kita merujuk pendapat Imam al-Ghazali, ada tiga bentuk kesabaran yang mesti dimiliki oleh setiap muslim, yaitu: sabar dalam ketaatan, sabar dalam kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi musibah. Tampaknya ketiga bentuk kesabaran ini dimiliki oleh Nabi Ibrahim. Sabar dalam ketaatan, ia siap menyembelih putra kesayangannya demi mematuhi peraturan Allah. Sabar dalam kemaksiatan, ia terhindar dari penyembahan terhadap berhala meski dibenci dan dimusuhi oleh banyak orang. Begitu pula sabar dalam musibah, ia tetap sabar menunggu berpuluh tahun kelahiran putranya hingga di usia relatif senja.

Sebagai umat Nabi Muhammad SAW; kita patut meneladani kesabaran Nabi Ibrahim as. Sudah seberapa besar tingkat kesabaran kita dalam menghadapi berbagai musibah/ujian yang diberikan Allah. Sudah seberapa pula pengorbanan yang kita lakukan untuk memperjuangkan aqidah dan menebarkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat?

Sepahit apa pun musibah yang menimpa kita, terutama berbagai bencana alam yang ada; maka kesabaran menjadi kunci utama. Sabar bukan berarti pasrah tanpa ikhtiar. Sabar hendaknya menjadi muatan nurani, kekuatan batin yang memotivasi hidup agar tetap optimis dan punya semangat juang yang tinggi dalam menjalani hidup ini sesuai petunjuk Ilahi. Perkuat keimanan, perdalam ilmu pengetahuan, perbanyak menebar kabaikan, insya Allah ada hikmah besar di balik bencana bagi bangsa ini. Ingatlah, kesabaran tidak akan disia-siakan oleh Allah Yang Maha Sabar (ash-Sabur). Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....

Selasa, November 09, 2010

TEOLOGI BENCANA ALAM

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Indonesia menangis lagi. Banjir bandang di Wasior, letusan gunung merapi di Yogyakarta, serta gempa yang disertai tsunami di Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai menjadi duka nasioanal. Seakan musibah yang berentetan itu ingin menghentikan kita dari perdebatan tiada henti tentang kasus-kasus korupsi, mafia hukum serta fenomena kemiskinan dan kebodohan yang terus melanda negeri ini.

Sebagai bangsa yang religius, kearifan kita menyikapi musibah sangat dibutuhkan. Aqidah kita diuji, apakah musIbah ini hanya sekedar fenomena alam? Atau takdir tuhan?
Secara teologis, diyakini bahwa alam ini tidak terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi, alam ini adalah makhluk yang diciptakan oleh sang Khaliq. Lebih tegas, dalam Islam disebutkan bahwa Khaliq itu adalah Allah SWT. Dan Allah tidak saja berperan sebagai al-Khaliq atau pencipta pertama (causa prima), akan tetapi Dia juga sebagai Rabbun.

Allah sebagai rabbun, berarti Allah senantiasa memelihara alam semesta ini. Tuhan bukan seperti tukang jam (clock maker) yang membuat jam sebagus mungkin tanpa mengetahui nasib jam di kemudian hari. Akan tetapi Allah yang menciptakan (al-khaliq) dari tidak ada menjadi ada (al-Bari’) lalu memberi bentuk yang sempurna (al-Mushawwir) sekalian makhluk-Nya kemudian Dia senantiasa mengurusi dan memeliharanya (al-Muhaimin) serta berkuasa penuh terhadapnya (al-Qadir).

Di antara sekalian makhluk-Nya, manusia ditakdirkan sebagai khalifah-Nya di muka bumi (Qs. Al-Baqarah/2: 30). Namun tidak semua manusia mampu menjadi khalifah, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh (an-Nur/24: 55). Dalam konteks ini, maka manusia tidak saja diperintahkan untuk berhubungan baik dengan Allah secara khusus (hablun minallah) dan kepada sesama manusia (hablun minannas), akan tetapi juga dituntut untuk mampu berinteraksi dengan alam semesta (hablun minal alam).

Muncul pertanyaan mendasar, kenapa terjadi bencana? Yang pasti, bencana terjadi dalam pengetahuan, kekuasaan dan kehendak Tuhan. Bencana tidak sekedar fenomena alam. Namun “kehendak Tuhan” itu bukanlah semena-mena tanpa alasan. Oleh karena itu, setiap musibah yang ditimpakan Allah, hendaklah manusia itu tetap berpikir positif (husnuzhzhan) kepada-Nya.

Di antara bentuk husnuzhzhan kita kepada keputusan Allah itu adalah dengan meyakini bahwa ada nilai positif yang terkandung di balik itu semua. Allah sedang mendidik kita untuk menanggapi bencana tersebut. Ada beberapa nilai pendidikan yang patut kita renungkan atas terjadinya bencana tersebut.

Pertama, mendidik aqidah kita untuk merasakan dan menyaksikan keperkasaan dan kekuatan Allah. Al-Qur’an banyak bercerita tentang hakikat alam semesta agar manusia mampu mengenal dan berinteraksi dengannya (hablun minal alam). Misalnya, Allah yang menciptakan alam semesta dengan enam masa (Hud/11: 7), alam itu senantiasa dinamis, bergerak dan meluas (al-Anbiya’/21: 30) dan Allah berkuasa penuh atasnya (adz-Dzariyat/51: 47). Al-Qur’an juga menegaskan bahwa alam itu senantiasa tunduk kepada Allah (al-A’raf/7: 54) dan bertasbih kepada-Nya (al-Isra’/17: 44).

Jadi, alam semesta bukanlah sesuatu yang pasif. Alam semesta, termasuk bumi, langit, gunung yang menjulang dan lautan yang terbentang adalah makhluk Allah. Satu sisi ia ditundukkan untuk kepentingan manusia (Luqman/31: 20). Akan tetapi, alam bisa berubah menjadi bencana bagi manusia, seperti gempa (al-A’raf/7: 78, 91, 155, dan al-Ankabut/29: 37); banjir bandang (al-Ankabut/29: 14; dan Saba’/34: 16); hujan batu (al-A’raf/7: 84; an-Naml/27: 58); angin kencang lagi dingin (al-Haaqqah/69:6).

Jika terjadi bencana alam, sejatinya mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, sebab alam jagad ini memang milik-Nya dan tunduk patuh kepada perintah-Nya. Untaian hikmah menyebutkan: "Musibah merupakan cara Allah yang paling efektif untuk meninggikan derajat seorang hamba atau menghinakannya"

Karena itu, setiap muslim diajarkan apabila mendapat musibah, segeralah mengucapkan kalimat istirja’, yaitu Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un; Sungguh, kita berasal dari Allah dan pasti kembali kepada-Nya. Kalimat istirja’ ini mengajarkan kepada kita untuk sadar diri bahwa kita memang berada dalam genggaman dan kehendak-Nya.

Aqidah yang kita miliki terkadang bertambah (yazid) dan terkadang pula berkurang (yanqus). Karena itu, iman mesti tetap diperbaharui dengan memperhatikan kekuasaan Allah. Ketika manusia itu lupa dengan tuhannya, maka rasa kemanusiaan pun semakin menurun. Karena kekayaan, kepintaran, jabatan dan kedudukan terkadang membuat orang merasa berkuasa atas apa yang dimilikinya. Ia lupa diri. Lupa dengan tuhannya. Akibatnya kesombongan pun meliputi dirinya.

Maka ketika gunung meletus, bumi berguncang, air bergelombang tinggi lalu menghempas daratan (tsunami), tak seorang pun yang berdaya. Semuanya pasrah. Berharap pertolongan-Nya.

Bencana alam juga mendidik kita untuk mengingat kematian dan meyakini hari berbangkit. Mati pasti datang. Kiamat pasti menjelang. Dan keyakinan/keimanan terhadap hari kiamat akan berimplikasi kepada perilaku seseorang dalam hidup ini agar banyak melakukan perbuatan amal shaleh sebagai bekal abadi di akhirat nanti.

Kedua, bencana lam juga mendidik kita untuk lebih meningkatkan kemampuan kita dalam membaca ayat-ayat kauniyah. Karena itu Allah menyeru manusia agar arif dan cerdas mengenal, memperhatikan, membaca, menelaah, menganalisis dan memikirkan alam semesta (Qs. Yunus/10: 101; (Al-Ghaasiyah/88: 17-21); dan (Ali Imran/3: 189-191).

Bencana alam sejatinya menjadi motivator bagi umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang alam sebagai bagian dari ayat-ayatNya. Dengan ilmu itu, manusia mampu berinteraksi dengan alam sehingga mampu menghindari bencana alam sekecil mungkin. Namun, ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia mesti tunduk kepada keyakinan/keimanan pada kekuasaan Allah. Artinya, setinggi apa pun ilmu yang dimiliki oleh manusia tidak akan mampu mencapai ilmu Tuhan.

Bisa saja para ilmuan memprediksikan kapan terjadinya bencana, akan tetapi keputusan mutlak ada di Tangan Allah. Karena itu, hasil kajian ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia hanya menambah kewaspadaan kita tanpa harus mengalami ketakutan yang berlebihan. Di sinilah dibutuhkan keimanan dan sikap tawakal seorang hamba.

Ketiga, bencana alam mendidik kita untuk meningkatkan rasa social yang tinggi terhadap sesama. Bencana alam adalah persoalan kemanusiaan, tanpa membedakan ras, suku, bahkan agama sekalipun. Maka bergegaslah memberikan bantuan kepada saudara-saudara kita yang menjadi korban. Bantuan yang ikhlas ini diharapkan mampu mengikis rasa permusuhan, benci, iri, dendam, dan keangkuhan pada sesama yang terkadang menyelip di dalam dada ini.

Keempat, bencana alam mendidik kita untuk senantiasa melakukan intropeksi diri (muhasabah). Paling tidak, ada tiga penyebab terjadinya bencana/bala’, yaitu: 1) sebagai ujian, 2) sebagai teguran [Qs. Ar-Rum/30: 41], dan 3) sebagai adzab/siksaan [asy-Syu’araa/42: 30; al-Isra’/17: 16 dan as-Sajadah/32: 21].

Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah, maka bencana merupakan ujian atas keimanannya. Maka bersabarlah karena Allah akan meninggikan derajatnya. Bagi orang-orang yang melakukan kebaikan tetapi juga gemar melakukan kemaksiatan, bencana hadir sebagai teguran. Maka tetaplah istiqamah untuk tetap melaksanakan kebaikan, meskipun mendapat banyak rintangan dan godaan.

Sementara orang-orang yang kerapkali melakukan kemaksiatan dan kezaliman yang berlebih-lebihan, maka bencana alam telah menjadi siksaan Allah baginya. Hal ini yang diperlihatkan Allah kepada umat-umat sebelumnya, umat Nabi Nuh as ditenggelamkan dengan banjir yang amat besar; umat Nabi Hud as, kaum ‘Ad, juga ditumpas atas pendustaan mereka terhadap ayat-ayatNya; kaum Nabi Shaleh as dibinasakan dengan gempa yang begitu dahsat; umat Nabi Luth yang melakukan fahisyah (homoseksual) ditimpa hujan batu; kaum Syu'aib juga ditimpa gempa dahsyat; demikian juga Fir'aun dan para pengikutnya ditenggelamkan di lautan merah akibat permusuhan yang mereka sebarkan terhadap Musa dan pengikutnya yang setia (Qs. al-A'raf/7: 65-171). Maka orang-orang yang masuk kepada kelompok terakhir ini, segeralah bertaubat kepada Allah, selagi masih ada kesempatan hidup.

Muhasabah ini hendaknya mampu menyadarkan kita sedang dimana posisi keimanan kita di hadapan Allah? Sudah sebesar apa kontribusi kita di tengah-tengah masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya? sebab perkampungan yang dihuni oleh penduduk yang beriman dan bertaqwa tidak akan ditersentuh oleh bencana (Qs. Al-A’raf/7: 96). Atau jangan-jangan kita termasuk penyebab datangnya bencana? Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....

Sabtu, September 04, 2010

Materi Khutbah Idul Fitri 1431

Khutbah Idul Fitri 1431 H
Mempertahankan Kesucian

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Allahu akbar 3x, wa lillahil hamd
Bulan Ramadhan, dengan segala keberkahan dan keutamaannya telah berlalu. Tak seorang pun yang tahu apakah kita bisa menemui Ramadhan di tahun depan, atau Allah mentaqdirkan kita untuk mengahadap-Nya sehingga Ramadhan di tahun ini merupakan yang terakhir bagi kita.
Perhatikanlah saudara-sadara di sekeliling kita, pada tahun yang lalu, kita masih bersama mereka shalat Idul Fitri berjamaah di masjid ini, akan tetapi saat ini, mereka tidak lagi bersama kita. Mungkin di antara mereka ada yang sedang sakit, sekarat di rumah, atau sedang berjuang mencari nafkah di rantau orang, atau justru mereka telah dahulu menghadap Ilahi.


Allahu akbar 3x, wa lillahil hamd
Maka beruntunglah kita yang memperoleh kesehatan dan kesempatan melaksanakan shalat Idul Fitri di hari nan suci ini. Berbahagialah orang-orang yang hari ini melaksanakan shalat Idul Fitri dan mampu menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan kesungguhan hati dan ikhlas karena Allah. Mereka ibarat bayi yang baru lahir, suci dari dosa karena diampuni oleh Allah SWT.
Akan tetapi, amat merugilah orang-orang yang pura-pura bergembira di hari ini, sementara ia mengabaikan perintah berpuasa tanpa alasan yang dibenarkan. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ اَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ وَلَامَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ وَإِنْ صَامَهُ
Dari Abu Hurairah: Barangsiapa yang berbuka/tidak puasa bukan karana ada keringanan (udzur) dan sakit, maka puasa setahun penuh pun tidak akan bisa menggantikannya, sekalipun ia melakukan puasa itu. (HR. Turmidzi).
Bahkan Rasulullah mengancam orang-orang yang tidak shalat dan tidak berpuasa sebagai orang kafir dan dihalalkan darahnya.
اُسُسُ الْإِسْلَامِ مَنْ تَرَكَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ فَهُوَ بِهَا كَافِرٌ حَلَالُ الدَّمِ شَهَادَةُ اَنْ لَااِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَالصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَصَوْمُ رَمَضَانَ
Dasar/pondasi/sendi agama Islam ada tiga perkara, dimana dasar-dasar Islam berdiri di atasnya, barangsiapa meninggalkan salah satu daripadanya maka ia menjadi kafir, halal darahnya, yaitu: menyaksikan bahwa tiada Tuhan selan Allah, shalat yang difardhukan dan puasa Ramadhan. (HR. Abu Ya’la).
Demikian besarnya ancaman Rasul bagi orang-orang yang melalaikan perintah puasa di bulan Ramadhan.

Allahu akbar 3x, wa lillahil hamd
Namun bagi setiap muslim yang telah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan sungguh-sungguh karena Allah Ta’ala, janganlah puas dan berhenti di situ saja. Sebab, mempertahankan kesucian dan kemenangan jauh lebih sulit dari pada meraihnya.
Kita sering menyaksikan di tahun-tahun yang lalu, ketika di bulan Ramadhan, nuansa keislaman begitu terasa. Masjid menjadi ramai dengan shalat isya dan tarawih. Jumlah Orang-orang dermawan meningkat drastic dengan sedekah mereka kepada fakir miskin. Lisan cenderung terpelihara dari kata-kata kotor, ghibah, dan fitnah.
Namun, sesudah Ramadhan, masjid kembali sepi dan ditinggalkan jamaahnya, orang-orang miskin menjerit menahan rasa lapar, lisan pun lagi-lagi tak terkendali mengeluarkan kata-kata kotor, mencaci maki, menggunjing, mengupat, hingga kepada menyebar fitnah dan namimah (adu domba).
Padahal, sesudah bulan Ramadhan, kita memasuki bulan Syawal yang artinya peningkatan. Artinya, ketika kita memasuki bulan Syawal, hendaklah terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas ibadah yang disebabkan oleh latihan yang kita lakukan di bulan Ramadhan.

Allahu akbar 3x, wa lillahil hamd
Salah satu keutamaan Ramadhan adalah ia hadir sebagai syahruttarbiyah, atau bulan pendidikan/latihan. Banyak hal yang menjadi pendidikan bagi kita selama bulan Ramadhan. Di antaranya adalah:
1. Mengendalikan nafsu perut dan nafsu syahwat
Secara syariat, puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, terutama makan dan minum serta berhubungan badan bagi suami-istri. Hal ini menunjukkan bahwa Ramadhan mendidik kita agar mampu mengendalikan nafsu perut dan syahwat. Jangankan makanan yang haram, yang halal pun tidak boleh di makan. Jangankan selingkuh dan berzina, berhubungan dengan suami istri yang sah saja dilarang.
Banyak kasus yang menunjukkan bahwa keinginan perut untuk menikmati makanan yang lezat dan nikmat membuat orang gelap mata, mencari jalan pintas, dan menghalalkan segala cara, termasuk dengan cara yang haram. Padahal, Allah merintahkan agar memakan makanan yang halal lagi baik. Firman-Nya:

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Qs. Al-Baqarah/2: 168)

Seseorang yang mengkonsumsi makanan haram, baik haram karena zatnya ataupun cara memperolehnya, akan berdampak kepada kepribadian dirinya sendiri, termasuk orang-orang yang menikmatinya, seperti anak, istri dan anggota keluarga lainnya. Patut kita merenungkan apa yang ditulis oleh Hamka dalam tafsirnya, Al-Azhar. Ia mengisahkan tentang kita Abu Muhammad al-Juwaini, permuda yang taat beribadah kepada Allah dan sangat berhati-hati kepada suata perkara yang subhat. Sehari-hari ia bekerja menyalin kitab-kitab ilmu pengetahuan dan menerima upah. Dengan mengumpulkan upah dari hasil pekerjaannya itu ia menikahi seorang perempuan yang shalehah, taat beribadah kepada Allah SWT. Dari hasil pernikahan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdulmalik. Setelah anak itu lahir, al-Juwaini berpesan sangat kepada istrinya jangan sampai ada perempuan lain yang menyusukan anak itu.

Namun, suatu ketika istrinya sakit sehingga air susunya kering, sementara Abdilmalik yang masih bayi itu menangis kehausan. Lalu datanglah seorang perempuan yang merupakan tetangganya dan merasa kasihan mendengar tangisan anak itu. Perempuan itu pun mengambil dan menyusukan anak tersebut. Tiba-tiba datanglah Abu Muhammad al-Juwaini. Melihat anaknya disusui oleh perempuan lain, dia pun tidak senang sehingga perempuan tersebut merasakan suasana ketidaknyamanan al-Juwaini karena ia menyusukan anak itu. Akhirnya perempuan tetangga itu pun bergegas pergi.

Kemudian al-Juwaini mengambil anak itu lalu menonggengkan kepalanya dan mengorek mulutnya, sehingga anak itu memuntahkan air susu perempuan tetangga tadi. Beliau pun berkata: “Bagiku tidak keberatan jika anak ini meninggal di waktu kecilnya, dari pada rusak perangainya karena meminum susu perempuan lain, yang tidak aku kenal ketaatannya kepada Allah.” Anak yang bernama Abdulmalik itu kemudian terkenal dengan nama Imamul Haramain Abdulmalik al-Juwaini, ia adalah seorang ulama mazhab Syafi’i yang masyhur, guru dari madrasah-madrasah Naisabur dan salah seorang guru Imam al-Ghazali, sampai menjadi ulama besar pula. Kadang-kadang sedang mengajarkan ilmunya, pernah beliau marah-marah. Ketika itu, berkatalah dia setelah sadar dari kemarahannya, “ini barangkali adalah dari bekas sisa susu perempuan lain itu, yang tidak sempat aku muntahkan.”

Ternyata, meminum air susu dari seorang ibu yang tidak dikenal ketaatannya kepada Allah saja, berpengaruh terhadap perilaku seseorang, dan itu diakui oleh ulama besar, Abdul Malik, guru dari Imam al-Ghazali tersebut. Bagaimana jika kita memberi makan anak istri kita dengan hasil pekerjaan yang haram, berjudi, mencuri, korupsi, menipu dan cara-cara haram lainnya?
Begitu pula nafsu syahwat. Banyak kasus perselingkuhan, pertengkaran hebat antara suami-istri, hingga berakhirnya hubungan keluarga dengan perceraian yang mengakibatkan anak-anaknya teraniaya hanya karena dorongan nafsu syahwat. Kita juga takut dan khawatir kepada anak-anak kita, baik laki-laki, terutama perempuan, yang rela membuka auratnya, berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya, hanya didorong oleh keinginan syahwatnya. Beberapa survey di kota-kota besar menunjukkan perilaku di kalangan remaja telah di luar batas.

Komisi Nasional Perlindungan Anak merilis data di tahun ini bahwa 62,7 persen remaja SMP di Indonesia sudah tidak perawan. Hasil lain dari survei itu, ternyata 93,7 persen siswa SMP dan SMA pernah melakukan ciuman, 21,2 persen remaja SMP mengaku pernah aborsi, dan 97 persen remaja SMP dan SMA pernah melihat film forno. Sebelumnya, pada tahun 2008 lalu, Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN), M. Masri Muadz pernah menyampaikan bahwa 63% remaja usia SMP dan SMA di 33 propinsi di Indonesia telah berzina.

Suatu data yang menyedihkan dan menakutkan, khususnya bagi kita selaku orang tua. Maka Ramadhan sesungguhnya mendidik kita untuk mampu mengendalikan diri dan memelihara anak dan keluarga kita agar terhindar dari perbuatan tersebut.

Jangan bangga melepas anak-anak kita berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya, tetapi takut dan cegahlah. Jangan bangga menyaksikan anak-anak perempuan kita membuka auratnya di keramaian, tetapi cegah dan marahlah. Jangan berdiam diri menyaksikan anak-anak kita berperilaku bebas tanpa aturan dan mengabaikan posisi kita sebagai orang tuanya.

peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (Qs. At-Tahrim: 6)

Allahu akbar 3x, wa lillahil hamd


2. Melatih kejujuran
Ketika kita berpuasa Ramadhan, kejujuran mewarnai kehidupan kita sehingga kita tidak berani makan dan minum meskipun tidak ada orang yang mengetahuinya. Hal ini karena kita yakin Allah swt yang memerintahkan kita berpuasa selalu mengawasi diri kita dan kita tidak mau membohongi Allah swt dan tidak mau membohongi diri sendiri karena hal itu memang tidak mungkin, inilah kejujuran yang sesungguhnya. Karena itu, setelah berpuasa sebulan Ramadhan semestinya kita mampu menjadi orang-orang yang selalu berlaku jujur, baik jujur dalam perkataan, jujur dalam berinteraksi dengan orang, jujur dalam berjanji dan segala bentuk kejujuran lainnya.

Dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita sekarang ini, banyak hal yang kita miliki, sumber daya alam yang kaya, orang-orang pintar pun sudah banyak. Namun, yang belum dimiliki oleh bangsa ini adalah kejujuran. Banyak kasus di negeri kita yang tidak cepat selesai bahkan tidak selesai-selesai karena tidak ada kejujuran, orang yang bersalah sulit untuk dinyatakan bersalah karena belum bisa dibuktikan kesalahannya dan mencari pembuktian memerlukan waktu yang panjang, padahal kalau yang bersalah itu mengaku saja secara jujur bahwa dia bersalah, tentu dengan cepat persoalan bisa selesai. Sementara orang yang secara jujur mengaku tidak bersalah tidak perlu lagi untuk diselidiki apakah dia melakukan kesalahan atau tidak. Tapi karena kejujuran itu tidak ada, yang terjadi kemudian adalah saling curiga mencurigai bahkan tuduh menuduh yang membuat persoalan semakin rumit. Ibadah puasa telah mendidik kita untuk berlaku jujur kepada hati nurani kita yang sehat dan tajam, bila kejujuran ini tidak mewarnai kehidupan kita sebelas bulan mendatang, maka tarbiyyah (pendidikan) dari ibadah Ramadhan kita menemukan kegagalan, meskipun secara hukum ibadah puasanya tetap sah.

3. Mempererat hablun minallah dan hablun minannas

Di hari yang suci ini, kita patut merenung, berapa banyak dosa-dosa dan pengkhianatan yang kita lakukan kepada Allah. Renungkanlah, sedemikian besar nikmat Allah sehingga kita tidak dapat menghitungnya. Akan tetapi nikmat itu kita balas dengan dosa-dosa yang tidak dapat kita hitung jumlahnya.

Allah menganugerahkan kita mata, tetapi berapa banyak dosa yang ditimbulkan oleh mata ini dengan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Ia anugerahkan kita lidah, tetapi lidah kita gunakan untuk menyakiti perasaan orang lain. Tangan kita pergunakan untuk menzalimi dan mengambil hak-hak orang lain. Telinga pun lebih kita gunakan memperdengarkan berita-berita berbau ghibah, fitnah, dan namimah, sementara nasehat-nasehat bijak sulit di dengarkan. Begitu pula hati, lebih condong kepada duniawi, sementara Allah terusir dari qalbu kita. Padahal, orang-orang yang tidak mempergunakan qalbu, penglihatan, dan pendengarannya di jalan Allah tak obahnya seperti binatang, bahkan lebih hina darinya.

Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (Qs. Al-A’raf: 179)
Begitu pula anggota tubuh lain. Ketika adzan berkumandang, kaki kita tidak bersegera menuju rumah Allah, tetapi melalaikan bahkan mengabaikannya.
Padahal, meskipun beberapa ulama berpendapat bahwa shalat berjamaah di masjid hukumnya sunnah muakkad, akan tetapi ditemukan beberapa hadis yang mengecam orang-orang yang tidak mau shalat berjamaah ke masjid tanpa ada halangan. Perhatikanlah beberapa hadis berikut ini:
يَارَسولَ اللهِ إِنِّى رَجُلٌ ضَرِيْرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِى قَائِدٌ لَا يُلَاوِمُنِى فَهَلْ لِى رُخْصَةً أَنْ اُصَلِّىَ فِى بَيْتِيْ؟ قَالَ: هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ؟ قال: نعم, قال: لَااَجِدُ لَكَ رُخْصَةً
Wahai Rasulullah, aku adalah seorang laki-laki yang buta. Rumahku jauh dan aku tidak memiliki orang yang menuntun. Apakah aku mempunyai keringanan untuk shalat di rumah? Rasul bertanya: apakah kamu mendengar seruan (adzan)?, ia berkata: Ya, Rasul bersabda: AKu tidak mendapatkan keringanan untukmu”. (HR. Abu Daud)

لَيْسَ صَلَاةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِيْنَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِيْهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain shalat shubuh dan isya. Seandainya mereka mengetahui keutamaan di dalamnya, niscaya mereka mendatanginya meskipun dengan merangkak. (HR. Bukhari)

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ اَمُرَ فِتْيَتِي فَيَجْمَعُوا حَزْمًا مِنْ حَطَبِ ثُمَّ اَتِيَ قَوْمًا يُصَلُّونَ فِي بُيُوتِهِمْ لَيْسَتْ بِهِمْ عِلَّةٌ فَأَحْرِقَ عَلَيْهِمْ
Aku ingin menyuruh para pemuda lalu mereka mengumpulkan seikat kayu bakar lalu aku datangi kaum yang mereka shalat di rumah mereka sendiri yang mereka tidak memiliki alasan. Lalu aku bakar mereka. (HR. Abu Daud).

Marilah kita tingkatkan ibadah shalat berjamaah di masjid sekaligus mempererat ukhuwah di antara kita.

Demikian pula dosa-dosa kita terkait dengan hablun minnas. Orang yang paling banyak berjasa dalam hidup kita adalah kedua orang tua. Sudahkah kita mampu berbakti kepada keduanya di bulan suci Ramadhan dan bulan-bulan sesudahnya?
Ingatlah betapa besarnya pengorbanan mereka. Sebelum kita lahir, ayah dan ibu telah berdoa penuh harap kelahiran anaknya. Jika saja beberapa tahun belum diberi anak oleh Allah, mereka akan cemas dan berobat ke sana ke mari agar dianugerahkan seorang anak. Ketika anak dikandung, mereka kembali cemas sambil berdoa agar anaknya terlahir dalam keadaan normal, tanpa cacat. Siang malam mereka berdoa.
Ayah, dengan semangat yang membara, banting tulang, peras keringat, bersusah payah mencari nafkah demi kelahiran anaknya. Sementara ibu yang mengandung Sembilan bulan sepuluh hari yang susah payah dan kian bertambah.

Dan jika telah sampai masanya, sang ibu pun bertarung nyawa antara hidup dan mati, melahirkan anak yang dikasihinya.
Tidak jarang kita menyaksikan, ibu selamat anak pun sehat. Namun ada pula ibu selamat, tetapi anaknya meninggal. Sebaliknya, anak selamat, tetapi ibunya wafat. Dan yang memilukan, ibu dan anaknya tidak selamat; keduanya wafat menghadap Ilahi.
Bagi yang keduanya selamat, ketika sang ibu mendengarkan tangisan anaknya, seakan rasa sakit yang dideritanya sirna sambil berkata “mana bayiku”? ia pun memeluk dan menciumnya dengan harapan kelak sang anak menjadi shaleh, berbakti kepada ayah ibu, merawat mereka jika sudah tua.
Maka hari-hari berikutnya pun mereka didik anak itu dengan penuh kasih sayang. Sang ibu menyusui, menyuapkan makanan, memandikan, dan memberi pakaian. Ia tidak pernah rela jika anaknya disakiti, walau hanya gigitan seekor nyamuk.
Namun, tatkala si anak menjadi dewasa, kita sudah sanggup mencari nafkah, apa yang kita lakukan kepada kedua orang tua kita??? Mampukah kita memenuhi harapan mereka sebagai anak yang shaleh dan berbakti kepada mereka, sanggup merawat mereka di usia senja???
Dulu, ketika kita kecil mereka memandikan kita dengan penuh kasih sayang. Kini, jika mereka sakit, pernahkah dan maukah kita memandikan mereka???
Dulu, jika kita sakit, mereka akan cemas lalu mengobatkan kita, namun sebelum berobat ia akan berkata: “nak, pakailah baju….. makanlah dulu…. Biar kita pergi berobat, agar kamu cepat sumbuh!!” namun jika mereka sakit, pernahkah kita berkata: “Ayah, Ibu, pakailah baju, makanlah dulu, biar ku antar ayah/ibu berobat agar cepat sembuh”???
Dulu, ketika kita butuh biaya hidup, sekolah, dan kebutuhan lainnya, mereka rela berhutang ke sana kemari bahkan menjual harta kesayangannya… kini, ketika mereka membutuhkan sesuatu dari kita, bersegerakah kita memenuhi kebutuhan mereka????
Kasih sayang mereka memang tanpa batas. Agaknya benarlah pepatah lama: “kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan”.

Karena itu, jika ada di antara kita yang masih hidup kedua orang tuanya; bersegeralah minta maaf di hari nan suci ini. Berjanjilah untuk melakukan yang terbaik bagi mereka, selagi mereka masih hidup, selagi ada waktu, selagi penyelesan belum terlambat. Jadilah kehadiran kita menyejukkan pandangan mereka, bukan malah membuat mereka malu, gelisah, apalagi menyesal memiliki anak seperti kita.

Namun, bagi orang-orang yang tidak lagi bersama orang tuanya di dunia ini, karena Allah telah lebih dahulu memanggil mereka; maka masih ada waktu untuk berbuat baik pada mereka dengan cara mendoakan mereka. Namun perlu diingat, doa yang sampai dan menolong mereka di alam sana adalah DOA ANAK YANG SHALEH (وَلَدٌ صَالِح يَدْعُولَهُ). Maka buktikanlah, jika kita cinta dan sayang pada mereka, salehkanlah diri ini dengan taat kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya; maka berdoalah… Insya Allah doa itu akan menolong mereka di alam sana….


Tidak saja kepada ayah dan ibu, juga kepada mertua kita. Pernahkah kita sadari, 20, 30, atau puluhan tahun silam seorang anak perempuan yang mereka lahirkan, mereka rawat dengan kasih sayang. Namun ketika anak perempuan itu menginjak dewasa, mereka rela melepasnya dan kini menjadi istri kita. Lalu apa bentuk terima kasih yang telah kita lakukan kepada ayah dan ibu mertua kita yang telah membesarkan dan mendidik istri kita??? Begitu pula dengan istri kita yang banyak membantu, terkadang mereka seperti pembantu, kasih sayang apa yang telah kita berikan kepada mereka??? Sebaliknya, suami yang mencari nafkah, bertindak sebagai kepala keluarga, pelindung dan penanggungjawab, sebesar apa bakti seorang istri kepada suaminya???

Ingatlah betapa besar kutukan Allah kepada istri yang durhaka kepada suaminya. Demikian pula sebaliknya seorang suami yang menyia-nyiakan anak dan istrinya.
Allah -Subhanahu wa Ta’la- telah mengancam istri yang durhaka kepada suaminya melalui lisan Rasul-Nya ketika Beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِيْ عَنْهُ
“Allah tidak akan melihat seorang istri yang tidak mau berterima kasih atas kebaikan suaminya padahal ia selalu butuh kepada suaminya” . [HR. An-Nasa'i)
أُرِيْتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ . قِيْلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللهِ ؟ , قال: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ , لَوْ أَحْسَنْتَ إَلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ , ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا, قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْراً قَطُّ
“Telah diperlihatkan neraka kepadaku, kulihat mayoritas penghuninya adalah wanita, mereka telah kufur (ingkar)!” Ada yang bertanya, “apakah mereka kufur (ingkar) kepada Allah?” Rasullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menjawab, “Tidak, mereka mengingkari (kebaikan) suami. Sekiranya kalian senantiasa berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang tidak berkenan, ia (istri durhaka itu) pasti berkata, “Saya sama sekali tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu”. [HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (29), dan Muslim dalam Shohih-nya (907)]
Begitu pula tanggungjawab kita kepada anak-anak kita. Mereka adalah amanah yang dititipkan Allah.

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengi-ngat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka merekalah orang-orang yang merugi. (al-Munafiqun: 9)
Pertanyaannya adalah: Sudahkah kita mendidik mereka menjadi anak yang tahu siapa tuhan yang mereka sembah? Atau kehadiran mereka justru memperbanyak tabungan dosa-dosa kita karena kita tidak menjalankan tugas sebagai orang tuanya. Manakah yang paling kita utamakan, berpikir untuk kekayaann mereka atau aqidah mereka???
Atau kita hanya membesarkan fisik mereka saja tanpa mempedulikan perkembangan ruhaniyah dan akhlaknya?
Jika seandainya hari ini kita mati, sanggupkah anak-anak kita menjadi imam ketika menyolatkan jenazah kita??? Maukah mereka mendoakan kita yang sedang berada di alam kubur??? Bisakah mereka menjaga harta-harta yang kita tinggalkan di dunia ini??? Atau hanya karena harta itu mereka saling berburuk sangka dan bermusuhan satu sama lain???
Jika itu terjadi, maka sangat rugilah kita sebagai orang tuanya.
Allahu akbar 3x, wa lillahil hamd
Oleh karena itu, sesudan Ramadhan, mari kita tingkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kita kepada Allah. Shalatlah di awal waktu, secara berjamaah, dan bertempat di masjid atau mushalla. Perbanyaklah ibadah sunnah; shalat dhuha, tahajud, dan selalulah berzikir kepada-Nya.

Begitu pula kepada sesama manusia; berbuat baiklah. Jadilah orang yang senantiasa memberi rasa aman dan keselamatan bagi orang lain; bukan sebaliknya menjadi orang yang merusak kerukunan hidup yang membuat orang gelisah akan kehadiran kita.

Jika saja kita mampu mengendalikan nafsu kita, mempertahankan kejujuran dalam bertindak, banyak beribadah kepada Allah, berbuat baik kepada sesama; maka Insya Allah kita akan termasuk hamba yang senantiasa mempertahankan kesucian.

dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 7-10)
Semoga Allah senantiasa memberikah hidayah-Nya kepada kita sehingga kita termasuk orang-orang yang beruntung, bahagia, dan selamat di dunia dan akhirat….

*dari berbagai sumber...

Baco Tokhus....

Jumat, Juli 09, 2010

Materialisme Pendidikan

Oleh: Muhammad Kosim

Setiap orang pasti menginginkan kesuksesan. Melalui pendidikan, diyakini kesuksesan tersebut akan dapat diraih. Karena itu, orang tua yang menginginkan anaknya sukses, akan berupaya menyekolahkan anaknya hingga ke tingkat yang tertinggi, sesuai dengan kemampuannya.

Namun, kesuksesan kerapkali dinilai dari materi yang diperoleh. Semakin besar penghasilan—terutama secara financial—seseorang, maka semakin tinggi nilai kesuksesannya. Asumsi semacam ini selanjutnya berpengaruh ke dalam dunia pendidikan itu sendiri. Di perguruan tinggi, misalnya, semakin besar penghasilan yang diperoleh oleh sarjana lulusan dari jurusan tertentu, maka semakin besar pula minat masyarakat untuk memasukinya. Tidak saja minat masyarakat yang meningkat, pengelolaan lembaga pendidikan pun cenderung dikomersilkan.

Ketika lulusan dari jurusan tertentu di perguruan tinggi tersebut lebih menjanjikan masa depannya secara financial, maka semakin mahal pula biaya pendidikannya. Persaingan pun sangat ketat, tidak saja persaingan kemampuan intelektual, tetapi juga kemampuan financial. Bahkan kita masih sering mendengar, ada di antara orang tua yang harus mencari ‘jalan pintas’ mengeluarkan biaya yang relative besar sebagai ‘uang hilang’ untuk menyogok oknum pejabat structural di lembaga pendidikan tersebut agar anaknya diterima pada perguruan tinggi yang diyakini menjanjikan penghasilan yang lebih tinggi.

Akibatnya, ketika mereka menjalani profesinya, tentu lebih berorientasi kepada materi. Mereka akan bekerja dan berkarya jika memperoleh uang yang relative besar jumlahnya. Rasa kemanusiaan (sense of humanity) pun berlahan sirna. Semuanya diukur dengan materi.

Ketika ia menjadi pejabat, hanya melihat rakyatnya sebagai objek kebijakan yang menghasilkan proyek milyaran rupiah. Dia tidak dapat merasakan tetesan air mata kepedihan di balik mata-mata yang cekung dan ungkapan kemiskinan di sela-sela tulang rusuk yang mencuat. Seorang sarjana saintis memang mampu menyaksikan keteraturan alam, tetapi ia tidak menyadari kuasa Tuhan yang menciptakannya, sehingga alam hanya dieksploitasi untuk kepentingan sesaat. Seorang dokter sangat lihai menangani penyakit fisik, namun sayang ia tidak mampu mengenal hakikat manusia sehingga setiap pasien yang datang hanya dipandang laksana mesin ATM yang siap mengeluarkan sejumlah uang. Seorang ahli hukum memahami dan hafal pasal demi pasal yang dibuat oleh tangan-tangan manusia, tetapi ia tidak mengenal ayat-ayat Tuhan sehingga keadilan bisa digadaikan demi beberapa lembaran rupiah. Seorang atasan akan tampil sebagai pimpinan yang memposisikan dirinya sebagai orang yang harus dilayani dan semaunya memotong gaji bawahannya untuk menambah pundi-pundi kekayaannya. Bahkan seorang yang dipandang ustadz pun akan lebih memilih jamaah yang memberikan amplop tebal dibandingkan jamaah di surau kecil yang hanya memberikan ucapan terima kasih.

Contoh di atas bisa terjadi jika proses pendidikan yang dilaluinya lebih berorientasi kepada materi. Sungguh memprihatinkan masa depan bangsa ini jika hanya dihuni oleh manusia yang hanya mementingkan materi. Sebab ketika manusia hanya mementingkan materi, maka ia telah mengabaikan hakikat dirinya yang sesungguhnya, yaitu makhluk yang memiliki dimensi ruhani.

Dalam perspektif psikologi Islam, manusia terdiri dari dimensi ruhani dan jasmani. Psikolog Muslim, Abdul Mudjib, dalam bukunya “Psikologi Kepribadian Islam” berpendapat bahwa secara garis besar manusia terdiri dari dimensi ruh, nafsu dan jasad. Jasad atau jism diciptakan Allah dari unsur tanah, yang pada gilirannya akan mengakibatkan kecenderungan manusia kepada hal-hal yang bersifat materi; seperti uang, harta benda, kendaraan, rumah, pasangan hidup, dan sebagainya. Sedangkan ruhani/psikis diciptakan Allah dari ruh ciptaan-Nya yang membawa kecenderungan kepada ketenangan, kedamaian, bersifat transcendental, nilai-nilai positif, dan sebagainya. Ketika ruh dan jasad bersatu maka muncullah dimensi nafsu atau jiwa sehingga muncul pula potensi akal, nafsu, qalbu, dan sebagainya sehingga manusia menjadi kreatif, inovatif, dan produktif dalam berkarya.

Dengan memahami hakikat struktur kepribadian manusia, maka orang-orang yang lebih mementingkan materi berarti ia hanya mementingkan aspek jasadnya semata. Padahal, jika manusia hanya mementingkan dimensi jasadnya, apa bedanya manusia itu dengan hewan? Bukankah hewan juga hanya mementingkan pemenuhan kebutuhan biologis/jasmaniah semata?

Agaknya inilah yang disinggung oleh Allah dalam al-Qur’an bahwa ketika manusia mengabaikan dimensi ruhaniahnya dalam berperilaku, maka derajatnya disamakan dengan hewan ternak, bahkan lebih rendah dari itu (Qs. Al-A’raf/7: 179). Bukan berarti manusia tidak boleh memenuhi kebutuhan jasmaniah dan menikmati kenikmatan materi yang bersifat duniawi (Qs. Al-Qashah: 77), namun materi bukan tujuan melainkan alat, sarana, atau media untuk mencapai puncak hakikat manusia yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, lembaga pendidikan mesti melakukan reorientasi agar kembali kepada fungsi pendidikan yang sesungguhnya, yaitu upaya sadar untuk memanusiakan manusia yang berdimensi jasmani dan ruhani. Selama ini lembaga pendidikan cenderung lebih memperhatikan aspek kognitif peserta didik. Kognisi anak didik itu pun diangka-angkakan. Peserta didik yang lebih tinggi angka perolehan kognisinya akan diberi penghargaan lebih. Sementara anak yang relatif rendah kemampuan kognitifnya (hard skills), meskipun baik akhlaknya (soft skills) cenderung tidak dihargai dan terabaikan.

Bukan berarti pendidikan ideal tidak menginginkan kecerdasan kognitif (IQ) peserta didik, akan tetapi mesti seimbang antara kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kecerdasan regius. Ketika seseorang memiliki kecerdasan intelektual/kognisi semata, maka kecerdasan yang ia miliki akan membuatnya lebih tertarik dan berorientasi kepada hal-hal yang bersifat materi atau duniawi sebab dimensi ruhaniyahnya telah kehilangan fungsi kontrolnya.

Dewasa ini, lembaga pendidikan, khususnya di tingkat sekolah menengah, telah mengeluarkan kebijakan bahwa siswa yang lulus tidak saja lulus pada ujian nasional (UN), akan tetapi mesti lulus tiga aspek lainnya, yaitu lulus semua program semester, lulus ujian sekolah, dan yang terpenting adalah memiliki kepribadian dan akhlak yang baik. Hanya saja konsistensi dan komitmen sekolah dituntut untuk mengembangkan pendidikan yang berorientasi kepada dimensi ruhaniyah, tanpa mengabaikan dimensi jasmaniyah; berorientasi kepada dimensi qalbiyah, tanpa mengabaikan dimensi aqliyah.

Demikian pula perguruan tinggi, diharapkan tidak saja mementingkan aspek materi. Meskipun kebutuhan masyarakat berbeda antara jurusan yang ada, bukan berarti jurusan yang lebih dibutuhkan lalu dikomersilkan. Sejatinya jurusan yang lebih dibutuhkan masyarakat berkompetesi untuk meningkatkan kualitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

Disamping peran lembaga pendidikan formal, peran lembaga pendidikan informal dalam keluarga sangat penting. Orang tua mesti memotivasi anaknya sejak dini agar menuntut ilmu bukan karena materi, tetapi untuk menjadi manusia yang banyak memberi manfaat bagi orang dan mengabdikan diri kepada Allah SWT. Perubahan paradigma pendidikan dari materialisme kepada pendidikan yang universal-holistik; memanusiakan manusia secara utuh, akan mampu terwujud dengan sinegisitas antara orang tua, sekolah dan masyarakat. Jika tidak, maka materi akan menjadi tujuan, bahkan bisa menjadi ‘tuhan’ bagi kehidupan manusia modern. Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....

Selasa, Juni 22, 2010

Mendidik Generasi Antipornografi

Oleh: Muhamammad Kosim

Beredarnya video porno “mirip” artis papan atas Ariel dan Luna Maya, baik di internet maupun via handphone, menyita banyak perhatian pembaca media akhir-akhir ini. Tidak saja di Indonesia, perilaku memalukan itu justru menjadi “pergunjingan” di Negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.

Banyak yang mengecam, bahkan mencekal aktivitas keduanya. Meskipun banyak yang mengecam, anehnya tidak sedikit di antara mereka yang penasaran untuk melihat adegan mesum itu, bahkan tidak menutup kemungkinan mereka yang melihat juga turut menikmatinya. Lalu, apa bedanya antara si pelaku, si pengedar, dengan orang yang melihat dan menikmatinya?

Yang jelasnya, ketiganya telah terjerumus ke dalam perbuatan zina; si pelaku menjadi pezina, yang dalam hukum Islam jika masih pemuda (belum pernah menikah) dicambuk 100x, jika sudah pernah menikah dirajam sampai mati. Sementara si pengedar turut mengembangkan perzinahan, sedangkan orang yang melihat dan menikmatinya telah melakukan zina mata dan zina hati. Maka sepatutnya setiap orang tua yang memiliki anak, tentu merasa khawatir terhadap anaknya bila terjerumus kepada perilaku zina tersebut.

Sebenarnya kasus perzinahan semakin meningkat dari tahun ke tahun di negeri ini. Beberapa hasil penelitian menunjukkan kondisi yang memprihatinkan tersebut. Komisi Nasional Perlindungan Anak merilis data di tahun ini bahwa 62,7 persen remaja SMP di Indonesia sudah tidak perawan. Hasil lain dari survei itu, ternyata 93,7 persen siswa SMP dan SMA pernah melakukan ciuman, 21,2 persen remaja SMP mengaku pernah aborsi, dan 97 persen remaja SMP dan SMA pernah melihat film forno.

Sebelumnya, pada tahun 2008 lalu, Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN), M. Masri Muadz pernah menyampaikan bahwa 63% remaja usia SMP dan SMA di 33 propinsi di Indonesia telah berzina. Tiga tahun sebelumnya (2005), sebuah survey yang diselenggarakan sebuah perusahaan kondom, mengungkapkan data sekitar 40-45% remaja berusia antara 14-24 tahun menyatakan bahwa mereka telah berhubungan seks bebas (berzina) di luar pernikahan. Survey tersebut dilaksanakan di hampir semua kota besar di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Jika dibandingkan dari angka statistik yang ada, begitu signifikan perkembangannya dalam jarak 3 tahun.

Demikian pula dari penelitian yang dilakukan Doktor Rita Damayanti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) pada tahun 2006. Beliau meneliti perilaku "pacaran" sebanyak 8.941 pelajar dari 119 SMA sederajat di Jakarta. Hasilnya, pacaran dengan cara: 1) ngobrol/curhat dilakukan laki-laki (Lk) 97,1% dan perempuan (Pr) 94,5%, total 95,7%; 2) pegangan tangan: 70,5% Lk dan 65,8% Pr, total 67,9%; 3) berangkulan: 49,8% Lk, 48,3% Pr, total 49,0%; 4) berpelukan, 37,3% Lk, dan 38,6% Pr, total 38,0%; 5) berciuman pipi: 43,2% Lk, 38,1% Pr, total 40,4%; 6) berciuman bibir: 27,0% Lk, 31,8% Pr, total 20,5%; 7) meraba-raba dada: 5,8% Lk, 20,3% Pr, total 13,5%; 8) meraba alat kelamin: 3,1% Lk, 10,9% Pr, total 7,2%; 9) menggesek kelamin: 2,2% Lk, 6,5% Pr, total 4,5%; 10) melakukan seks oral: 1,8% Lk, 4,5% Pr, total 3,3; serta 11) hubungan seks: 1,8 Lk, dan 4,3% Pr, total 3,2%.

Dari hasil penelitian di atas dapat dilihat peningkatan kasus perzinahan sangat meningkat dari tahun ke tahun. Ironis dan sangat memprihatinkan. Semua itu merupakan praktik perzinahan. Bukankah Allah memperingatkan: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk (Qs. Al-Isra’/17: 32).
Terjadinya praktik perzinahan di kalangan remaja ini tentu disebabkan oleh banyak factor. Di antara factor utama adalah mudahnya mengakses video, atau gambar-gambar porno. Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait dalam konferensi pers di Sekretariat Komnas Perlindungan Anak, Sabtu (12/6/2010) lalu, menjelaskan: "Kami yakin hal tersebut akan lebih meningkat lagi dengan adanya video yang sekarang ini beredar."

Jadi, pengaruh film dan sinetron yang beradegan pornografi, secara perlahan tapi pasti, turut membentuk paradigma remaja bahwa perilaku pacaran yang mendekati zina tersebut merupakan sesuatu yang wajar, tidak tabu lagi, meskipun mereka tahu jika perbuatan itu dilarang dalam agama.

Maka pertanyaan yang patut kita renungkan adalah, apa jadinya bangsa ini jika generasi mudanya telah terjerumus pada praktik perzinahan? Bagaimana nasib bangsa yang berbudaya lagi religius ini jika dipimpin oleh orang-orang yang terbiasa melakukan perzinahan?
Untuk mendidik dan mempersiapkan generasi antipornografi perlu usaha yang terpadu antara orang tua, sekolah, pemerintah dan masyarakat. Genarasi antipornografi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah generasi muda yang tidak melakukan perzinahan dan tidak mendekatinya, meskipun peluang untuk melakukannya atau mendekatinya sedemikian besar.

Pertama, pendidikan dari orang tua. Orang tua hendaknya selalu berdoa agar diberi anak yang shaleh, terhindar dari perbuatan-perbuatan yang mendekati perzinahan. Dalam hal ini Islam mengajarkan agar seorang pria menikahi perempuan yang tidak pezina, begitu pula sebaliknya (Qs. An-Nuur ayat 3). Pernikahan itu hendaknya dilakukan secara sah, sesuai dengan tuntunan Islam. Bahkan, di atas ranjang pun, Islam membimbing agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan dibarengi dengan doa agar selamat dari godaan syetan.

Lebih edukatif lagi, pasangan suami istri tidak boleh membayangkan pasangannya seperti orang lain, apalagi melakukan hubungan suami istri sambil menonton film porno. Jika ini terjadi, kemungkinan besar anak yang lahir kemudian akan cenderung kepada perzinahan. Maka bagi orang yang pernah melakukannya, bersegeralah bermohon ampun kepada Allah SWT.
Selanjutnya, ketika anak sudah bisa berpikir, orang tua mesti mendidik dan memberikan pemahaman kepada anaknya agar menghindari perzinahan. Orang tua dapat melakukan pendekatan targhib dan tarhib dengan cara senantiasa memberikan pujian di hadapan anaknya kepada remaja yang sopan, menutup aurat, tidak terjerumus pada pergaulan bebas yang ada di sekitarnya. Sebaliknya, orang tua juga mencela perilaku remaja yang membuka auratnya, bergaul bebas, dan perilaku-perilaku yang mendekati zina. Pendekatan ini diharapkan membentuk mindset anak bahwa perbuatan yang mendekati zina tersebut mesti dihindari.

Dalam hal ini, orang tua dituntut untuk memiliki hubungan yang komunikatif dan harmonis dengan anaknya. Jangan seperti yang dikatakan oleh Marilyn Maxwell, dokter anak dari Universitas Saint Louis, "Kadang orangtua takut mengatakan harapan mereka kepada anak-anak karena mereka merasa munafik. Mungkin di masa mudanya, mereka pun nakal." Padahal, jika pun mereka pernah melakukannya, bukan berarti ia berdiam diri, sebab jika ia diam sesungguhnya ia telah mewariskan kejahatannya kepada anak-anaknya. Maka jalan terbaik adalah bermohon ampun kepada-Nya lalu berupaya mendidik anak-anaknya agar tidak melakukan seperti apa yang pernah ia lakukan.

Di samping usaha di atas, orang tua juga diharapkan tidak memberikan fasilitas kepada anak yang membuka peluang untuk mendekati perzinahan tersebut. Misalnya, jangan pernah membelikan HP atau Laptop yang connect internet, sebelum orang tua bisa memastikan anaknya tidak mengakses situs-situs porno. Begitu pula computer yang connect internet, jika memang ada sebaiknya jangan diletakkan di kamar pribadi si anak, akan tetapi diletakkan di ruang tengah yang dapat diawasi oleh orang tua.

Penting juga peran orang tua untuk mendidik anak-anaknya dalam memilih teman. Sebab perbuatan yang mendekati zina tersebut juga besar dipengaruhi oleh teman-teman yang ada di sekelilingnya. Tegasnya, seorang anak/remaja harus memilih teman akrabnya yang taat dan berakhlak mulia. Imam al-Ghazali menegaskan: “lebih baik punya musuh yang pintar dari pada teman yang jahil (berperilaku buruk).”

Kedua, sekolah mesti membuat regulasi atau tata tertib bagi peserta didik yang menghambat terjadinya kasus pornografi. Misalnya, menetapkan sanksi berat bagi siswa yang menyimpan, melihat, atau mengedarkan video/gambar porno; menggelar razia secara berkala dan insidentil terhadap konten HP siswa; tidak membolehkan membawa HP connect internet ke sekolah; dan sebagainya. Melalui sekolah juga diharapkan remaja memahami bahaya perzinahan, baik dari segi agama maupun dari kesehatan, social, dan sebagainya, sesuai dengan mata pelajaran terkait. Peraturan-perturan yang telah ditetapkan mesti dijalankan secara konsisten, tanpa membedakan antara siswa yang satu dengan lainnya.

Ketiga, pemerintah mesti pro-aktif mendidik generasi muda antipornografi. Banyak kebijakan pemerintah yang sebenarnya ditunggu oleh masyarakat terkait pornografi tersebut, misalnya: memberikan sanksi berat kepada pezina—bukan sekedar ditangkap, dibina, lalu dibebaskan dan kembali melakukan perbuatan yang sama—sehingga menimbulkan efek jera. Selain itu, pemerintah juga diharapkan tidak memberi tempat bagi penjaja seks, termasuk peredaran VCD porno. Dibutuhkan pula kebijakan melarang warnet (warung internet) yang bersekat/dinding penutup antara satu computer dengan computer lainnya. Sebab hal ini akan memberi peluang bagi pengunjung untuk bebas mengakses situs-situs porno. Bahkan lebih dari itu, pemerintah juga diharapkan memblokir situs-situs porno sehingga mengurangi penyebab terjadinya perzinahan tersebut, terutama di kalangan remaja yang masih muda belia.

Keempat, peran masyarakat sangat dibutuhkan pula dalam mengawal anggota masyarakatnya terbebas dari praktik perzinahan. Tokoh-tokoh masyarakat, baik dari perangkat kelurahan/desa, RT/RW, ulama, pendidik, pemuda, dan tokoh adat, mesti bersatu dalam memberantas penyakit masyarakat tersebut.

Dengan usaha bersama dan komitmen yang tinggi, diharapkan mampu menekan perilaku yang mendekati perzinahan. Tegasnya, penanaman nilai-nilai agama kepada generasi muda sejak dini mesti dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Jika tidak ada upaya serius dalam menangani hal ini, maka ingatlah pesan Rasulullah SAW: Apabila zina dan riba telah nampak di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri-diri mereka (ditimpa) adzab Allah ‘Azza wa Jalla. (HR At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi). Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....

Minggu, Juni 20, 2010

Makanan Halal dan Kesehatan Mental

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Dikisahkan bahwa Abu Muhammad al-Juwaini adalah seorang permuda yang taat beribadah kepada Allah dan sangat berhati-hati kepada suata perkara yang subhat. Sehari-hari ia bekerja menyalin kitab-kitab ilmu pengetahuan dan menerima upah. Dengan mengumpulkan upah dari hasil pekerjaannya itu ia menikahi seorang perempuan yang shalehah, taat beribadah kepada Allah SWT. Dari hasil pernikahan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdulmalik. Setelah anak itu lahir, al-Juwaini berpesan sangat kepada istrinya jangan sampai ada perempuan lain yang menyusukan anak itu. Namun, suatu ketika istrinya sakit sehingga air susunya kering, sementara Abdilmalik yang masih bayi itu menangis kehausan. Lalu datanglah seorang perempuan yang merupakan tetangganya dan merasa kasihan mendengar tangisan anak itu. Perempuan itu pun mengambil dan menyusukan anak tersebut. Tiba-tiba datanglah Abu Muhammad al-Juwaini. Melihat anaknya disusui oleh perempuan lain, dia pun tidak senang sehingga perempuan tersebut merasakan suasana ketidaknyamanan al-Juwaini karena ia menyusukan anak itu. Akhirnya perempuan tetangga itu pun bergegas pergi.

Kemudian al-Juwaini mengambil anak itu lalu menonggengkan kepalanya dan mengorek mulutnya, sehingga anak itu memuntahkan air susu perempuan tetangga tadi. Beliau pun berkata: “Bagiku tidak keberatan jika anak ini meninggal di waktu kecilnya, dari pada rusak perangainya karena meminum susu perempuan lain, yang tidak aku kenal ketaatannya kepada Allah.”
Anak yang bernama Abdulmalik itu kemudian terkenal dengan nama Imamul Haramain Abdulmalik al-Juwaini, ia adalah seorang ulama mazhab Syafi’i yang masyhur, guru dari madrasah-madrasah Naisabur dan salah seorang yang mendidik Imam al-Ghazali, sampai menjadi ulama besar pula. Kadang-kadang sedang mengajarkan ilmunya pernah beliau marah-marah. Ketika itu, berkatalah dia setelah sadar dari kemarahannya, bahwa “ini barangkali adalah dari bekas sisa susu perempuan lain itu, yang tidak sempat aku muntahkan.”
Demikian kira-kira yang dikisahkan oleh Hamka dalam tafsir al-Azhar, ketika menafsirkan surat al-Baqarah/2 ayat 233. Meskipun kisah ini berhubungan dengan air susu ibu, tetapi hikmah terbesar yang patut dipetik adalah adanya hubungan antara makanan, termasuk minuman, dengan kesehatan mental.

Makanan Ideal dalam Islam
Al-Qur’an sebagai pedoman bagi manusia, tentu memberikan petunjuk secara komprehensif dan universal sehingga menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam aspek makanan. Konsep makanan dalam al-Qur’an yang harus dikonsumsi adalah makanan yang halal lagi baik (halalan tayyiban). Hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat di berbagai surat dalam al-Qur’an, di antaranya adalah surat al-Baqarah/2 ayat 168: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
Ayat ini menyeru semua manusia di muka bumi, tidak hanya khusus kepada orang-orang yang beriman saja, agar memakan makanan yang halal lagi baik. Larangan makanan yang haram sesungguhnya ada tujuan yang baik untuk menghindari suatu penyakit dan untuk menjauhkan bahaya dari manusia. Makanan halal adalah makanan yang tidak haram, yakni memakannya tidak dilarang oleh ajaran agama. Makanan yang haram ini ada dua macam, yaitu haram dari segi zatnya, seperti babi, anjing, bangkai, darah dan khamr; serta ada pula haram karena sesuatu yang bukan dari zatnya, misalnya makanan yang dicuri, hasil korupsi, dan sebagainya. Dalam ayat lain, disebutkan: “…dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.s. al-Jumu’ah/62 ayat 10). Ayat ini menunjukkan bahwa mencari rezeki dengan mengingat Allah harus dilakukan agar usaha pencarian itu tidak terjerumus kepada perbuatan yang haram. Jadi, makanan yang halal dimaksud adalah makanan yang tidak termasuk ke dalam dua kategori tersebut.
Namun, tidak semua makanan yang halal dikategorikan baik. Karena dinamai halal terdiri dari empat macam: wajib, sunnah, mubah, dan makruh. Dan tidak semua yang halal sesuai dengan kondisi masing-masing. Bisa jadi makanan jenis X sesuai untuk kesehatan si A, tetapi kurang cocok dengan si B. Makanan yang sesuai itulah yang baik. Artinya, di antara makanan itu ada yang lebih cocok sesuai dengan kondisi tubuh seseorang pada saat itu. Jadi al-Qur’an mengajarkan makanlah yang ideal itu adalah halal lagi baik.

Makanan Haram adalah Racun Rohani
Manusia sangat membutuhkan makanan, sebab makanan sangat berdampak kepada kesehatan jasmani. Ketika seseorang kurang makan, maka tubuhnya akan lemas, tidak bertenaga dan mudah terserang penyakit. Bahkan jika seseorang tidak makan maka kelangsungan hidupnya di dunia ini akan terancam. Oleh karenanya, manusia bekerja keras dengan mengerahkan segala kemampuannya, baik tenaga maupun pikiran untuk mendapatkan makanan.
Namun, perlu disadari bahwa makanan tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan jasmani. Makanan juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental (ruhaniyah) seseorang. Kisah al-Haramain di awal tulisan ini turut memperkuat pandangan tersebut. Makanan haram yang disebabkan oleh zatnya, memang lebih terkesan mengakibatkan sakitnya jasmani seseorang. Daging babi, misalnya, ternyata mengandung berbagai virus yang dapat mengakibatkan tubuh seseorang sakit secara fisik. Bahkan dalam suatu penelitian—sebagaimana yang ditulis oleh Ahmad Syauqi al-Fanjari dalam bukunya “Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam” (1996)—bahwa seperempat dari penderita kangker otak disebabkan oleh pengkonsumsi daging babi. Begitu pula minuman haram, seperti khamr, termasuk Narkoba, jelas mengakibatkan penyakit jasmani.
Jadi, makanan haram dari segi zat-nya juga bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental. Hal ini juga diakui oleh ilmuan kenamaan, Alexis Carrel, pemenang hadiah Nobel Kedokteran, dalam bukunya Man the Unknown dengan menuliskan: ”Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum lagi diadakan eksperimen secara memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan.” Pernyataan ini ditulis disinggung oleh Quraish Shihab dalam buunya “Wawasan al-Qur’an”.
Sebaliknya, makanan haram yang disebabkan oleh non-zat, atau haram karena cara mendapatkannya dilarang oleh syari’at, seperti mendapatkan makanan hasil curian, atau uang yang membelinya diperoleh dari cara yang haram, cenderung dipahami tidak berdampak terhadap kesehatan. Memang dampaknya tidak begitu jelas terhadap kesehatan jasmani, tetapi pada hakikatnya sangat berpengaruh terhadap kesehatan menal seseorang.
Seseorang yang memakan makanan dari hasil uang haram tidak akan memperoleh keberkahan dari makanan tersebut. Ruhaninya akan rusak, rapuh, dan mudah digoda dan disesatkan oleh setan. Agaknya inilah yang diperingatkan Allah di akhir surat al-Baqarah/2: 168 di atas, “..dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Tegasnya, makanan yang haram adalah racun bagi ruhaniah seseorang. Akibatnya, ruhaniah/mentalnya akan sakit sehingga melahirkan perilaku-perilaku yang negatif; mudah marah, cenderung anarkis, mudah menzhalimi orang lain, kurang peka terhadap lingkungan, tipis rasa kasih-sayang, dan tidak perduli terhadap penderitaan orang lain. Ketika hatinya berpenyakit, maka kebenaran akan sulit diterima, nasehat atau saran yang bersifat konstruktif pun cenderung ditolak.
Agaknya berbagai perilaku negatif yang akhir-akhir ini semakin menjamur, baik dalam bentuk tindakan kriminal, seperti pembunuhan secara mutilasi, perampokan, perzinahan; begitu pula dalam bentuk penipuan, menjual ayat-ayat Tuhan demi kepentingan pribadi, dan tindakan-tindakan lain yang meresahkan serta jauh dari nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan patut menjadi renungan; apa akar penyebabnya. Banyak pakar, sesuai dengan disiplin keilmuannya, mencoba menganalisis akar penyebab dari fenomena prilaku masyarakat yang cenderung negatif tersebut. Ahli ekonomi memandang bahwa kejahatan itu disebabkan oleh kemiskinan, ahli hukum bisa memandang karena disebabkan oleh keadilan hukum tidak ditegakkan, pakar pendidikan juga bisa berargumen dikarenakan oleh kebodohan; dan seterusnya. Namun, faktor makanan seharusnya menjadi bahan pemikiran.
Artinya, masyarakat juga harus menyadari bahwa makanan yang dikonsumsi berdampak terhadap perilaku yang ditampilkan oleh masyarakat itu sendiri. Tentu perhatian ini dimulai dari tingkat keluarga sebagai kelompok terkecil dari masyarakat itu sendiri. Orang tua, yang mencari nafkah bagi keluarganya harus mencari makanan yang halal lagi baik, dari segi zat maupun cara memperolehnya. Jika tidak, maka diri dan perilaku anak-anaknya akan sulit didik, karena ruhani mereka telah mengalami gangguan kesehatan. Ingatlah, tidak mudah menyembuhkan jasmani dari penyakit; tetapi jauh lebih sulit lagi menyembuhkan seseorang dari penyakit mental. Sebab, ketika jasmani seseorang sakit, jelas terasa dampaknya sehingga muncul motivasi yang tinggi untuk menyembuhkannya; sebaliknya ketika rohani yang sakit, terkandang tidak disadari sehingga upaya penyembuhan pun tidak dilakukan.
Oleh karena itu, lakukanlah diognasa terhadap diri sendiri, apa saja penyakit mental yang sedang menggorogoti diri kita. Jika memang ada, maka lakukanlah pengobatan (kuratif) secara tepat sesuai dengan tuntunan agama: perbanyak istighfar dan berzikir, serta makanlah makanan/minuman yang halal. Sebaliknya, bagi yang belum kronis penyakit mentalnya, tetap melakukan upaya prepentif, salah satu di antaranya adalah dengan mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah serta melimpahkan rezeki yang diridhai-Nya kepada kita sehingga kita tetap sehat jasmani dan rohani, amin.



Politik dan Agama; Antara Idealis dan Simbolis

Oleh: Muhammad Kosim, MA
(Guru PAI SMP Negeri 8 Padang)

Politik itu kotor; penuh tipu-muslihat, berbaju kemunafikan (hipokrisi), berbungkus kebohongan dan berhias kepalsuan. Begitu adagium yang melekat bagi sekelompok orang yang kecewa, pesimis dan skeptis terhadap perjuangan lewat politik. Bagi mereka, politik adalah dunia kepura-puraan, di sana tidak ada kesejatian dan kesetiaan; yang ada cuma kepentingan. Tidak ada teman dan lawan yang abadi; yang ada hanyalah kepentingan itu sendiri. Jika kepentingan sama maka lawan bisa menjadi kawan, begitu pula sebaliknya. Ketika berbeda kepentingan, maka dalam menghadapi lawan berlakulah prinsip “to kill or to be killed” (membunuh atau dibunuh).
Di sisi lain, terdapat pula kalangan yang optimis terhadap politik. Kelompok ini malah beranggapan dan meyakini bahwa tanpa perjuangan politik, maka penindasan dan kezaliman akan merajalela. Politik merupakan media untuk memperjuangan kebenaran, mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan.
Politik memang bermata dua; satu sisi bisa mewujudkan kebahagiaan dan keselamatan, di sisi lain dapat membawa bencana dan penderitaan. Terlepas dari dampak/efek yang ditimbulkannya, maka banyak orang yang berkorban dan menyatakan dirinya berjuang lewat jalur politik. Apalagi ketika politik berkaitan erat dengan jabatan, maka politik selalu dijadikan alat untuk merebut kekuasaan.
Kekuasaan memang suatu kenikmatan duniawi, di samping kekayaan dan perempuan. Hal ini pula yang pernah ditawarkan oleh para pembesar kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad SAW agar menghentikan dakwahnya. Tawaran atau bujukan ini biasanya dikenal dengan 3TA, yaitu tahTA, harTA, dan waniTA. Namun kepribadian sang nabi yang mulia itu justru menolak ketiganya seraya berkata: “seandainya matahari diletakkan di tangan kananku, bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah kecuali dua hal: aku mati atau aku berhasil memenangkan dakwahku”.
Sadar akan besarnya pengaruh kekuasaan/jabatan, maka tidak sedikit di antara manusia yang berjuang sekuat tenaga untuk merebut kekusaan. Fenomena itu pula yang kerap kita saksikan di negeri ini. Terlebih lagi ketika diberlakukannya Pilkada untuk memilih pemimpin (legislatif dan eksekutif) di tingkat propinsi, kabupaten dan kota; perjuangan meraih kekuasaan semakin jelas terlihat.

Politik Atas Nama Agama
Berbagai upaya dan trik dilakukan untuk meraih jabatan/kekuasaan. Ada yang menghabiskan uang ratusan juta bahkan miliyaran rupiah untuk modal kampanye meraih simpati rakyat, ada pula yang berpolitik mengatasnamakan agama.
Agama memang persoalan keyakinan. Agama juga menjadi pandangan hidup manusia yang diyakini mampu mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan sejati. Agama bukanlah fatamorgana yang menjanjikan kebahagiaan semu; seperti yang dianggap oleh Karl Marx dimana agama hanyalah candu masyarakat. Agama memang menuntun pemeluknya kepada kondisi keselematan dan kebahagiaan.
Begitu kuatnya pengaruh agama dalam kehidupan manusia, maka agama bisa menjadi kekuatan bagi praktisi politik untuk meraih cita-citanya. Oleh karena itu visi, misi, materi kampanye, bahkan nama partai politik pun kerap kali mengangkat nama agama. Terutama Islam, sebagai agama yang dianut oleh kelompok mayoritas di negeri ini. Ketika kelak mereka duduk di singgasana kekuasaan, ada yang komitmen menerapkan kebijakan bernuansa agama (Islamy); tetapi ada pula yang mengabaikannya.
Dengan demikian ajaran agama bisa menjadi landasan idiologi politik suatu partai, tetapi tidak menutup kemungkinan pula agama hanya dijadikan sebagai alat untuk meraih tujuan politik. Kondisi seperti ini menggoda kita untuk bertanya: mana yang lebih dipilih; minyak Samin cap Babi atau minyak Babi cap Samin? Idealnya yang patut dipilih adalah minyak Samin cap Samin. Dalam kaitannya dengan politik dan agama, salahkah jika nama agama dibawa-bawa dalam dunia politik?

Basis Politik Islami
Agama (baca: Islam) memang harus diperjuangkan dan ditegakkan; salah satunya melalui politik. Jika saja umat Islam meninggalkan dunia politik, bisa dibayangkan apa jadinya umat Islam di negeri ini. Setiap kebijakan pemimpin pasti berpengaruh terhadap kehidupan rakyatnya. Begitu pula di Indonesia ini, ketika negeri ini dipimpin oleh pemimpin yang zalim, maka penindasan dan penderitaan akan dirasakan oleh umat Islam itu sendiri.
Oleh karena itu belajarlah dari Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW memiliki integritas kepribadian yang sempurna dan multikeahlian. Salah satu di antaranya adalah keahlian dalam berpolitik. Terbukti dalam periode Madinah, Muhammad tidak hanya sebagai nabi (pemimpin spiritual), tetapi ia juga sebagai pemimpin masyarakat. Kepemimpinan beliau pun diakui mampu mengayomi seluruh anggota masyarakat yang beragam, majemuk dan pluralis. Kondisi ini membuktikan bahwa nabi memang sukses dalam berpolitik.
Kegiatan politik yang dilakukan oleh nabi itu kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabatnya (khulafaurrasyidin) serta umatnya hingga akhir zaman. Kegiatan politik tersebut tentu tidak terpisah dari agama; tetapi politik justru dilakukan dengan landasan agama yang sesungguhnya.
Dengan demikian, politik dan agama jangan dipertentangkan. Agama bukan sekedar simbolis atau formalitas saja; tetapi agama harus menjadi ruh, spirit, dasar dan landasan idealisme dalam kegiatan politik. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga basis politik yang perlu dilakukan untuk mewujudkan politik berlandaskan kepada agama Islam. Pertama, politik berbasis tauhid. Islam adalah agama tauhid. Itu artinya bahwa segala yang ada di alam ini berasal dari Allah, berada dalam pengawasan dan pemeliharaan-Nya, dan pasti kembali kepada-Nya. Dengan paradigma semacam ini, maka keseimbangan (keadilan) harus ditegakkan, termasuk dalam kepemimpinan. Politik berbasis tauhid adalah politik yang berlandaskan kepada kehendak Tuhan. Politik ini juga menegakkan prinsip keadilan, bukan membeda-bedakan antar golongan yang satu dengan lainnya dan bukan menyelematkan kelompok tertentu lalu menzalimi yang lainnya.
Kedua, politik berbasis akhlak. Segala aktivitas politik harus menampilkan akhlak yang mulia. Dalam hal ini, kepribadian Rasulullah SAW harus menjadi teladan utama, baik dalam mengambil keputusan, memperlakukan kawan, menghadapi lawan, dan mengayomi bawahan. Rasulullah selalu mendengarkan aspirasi rakyatnya lalu memperjuangkannya; dia selalu tawadhu’ bukan malah sombong di setiap tindakan dan ucapannya; kedatangannya menggembirakan dan menyenangkan orang di sekitarnya; dia sangat dekat dengan kalangan mustadh’afin dan para anak Yatim. Tegasnya, kepribadian Rasulullah itu sendiri adalah al-Qur’an, seperti firman Allah: “wa innaka la ‘ala khuluqin azhim”, Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung/mulia (Q.s. Qalam/68: 4). Jadi, politik berbasis akhlak adalah pelaku politisi yang menerapkan ajaran al-Qur’an yang anti kezaliman, anti penindasan, anti penipuan, anti keangkuhan, dan anti segala bentuk kejahatan. Dengan pola seperti ini, maka imej negatif tentang politik itu kotor dengan sendirinya akan terbantahkan.
Ketiga, politik berbasis amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas setiap mukmin, paling tidak di lingkungan keluarga dan dirinya sendiri. Tugas itu bisa dilaksanakan lewat berbagai bidang, sesuai dengan kapasitas dan otoritas kita masing-masing dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Salah satu upaya yang efektif untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar adalah melalui aktivitas politik. Oleh karena itu, politik sesungguhnya adalah sebagai metode untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sehingga setiap perjuangan yang dilakukannya dalam rangka menegakkan kebenaran dan memerangi kezaliman.
Keempat, politik berbasis perjuangan yang istiqamah. Dalam dunia politik memang sering didengar pernyataan: “Di setiap jam dan detik sesuatu itu bisa berubah, itulah politik”. Dalam hal-hal tertentu pernyataan itu ada bisa diterapkan; tetapi dalam konteks perilaku yang berakhlak mulia dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan secara istiqamah (sikap teguh pendirian, ada komitmen, dan dilakukan secara kontiniu dan konsisten). Tugas itu tidak hanya dilakukan pada saat-saat yang menguntungkan secara politis, lalu mengabaikannya di saat tidak sesuai dengan kepentingan kelompok dan atau pribadinya. Jika perlu, seorang pemimpin harus berani mempetaruhkan jabatannya dalam menegakkan keadilan dan kebenaran sebatas kemampuan maksimalnya dalam kondisi kapan dan dimanapun, bukan dalam hal-hal tertentu saja.
Keempat hal di atas bisa dijadikan sebagai landasan penerapan politik yang Islami. Dengan begitu maka aktivitas politik dalam Islam bukanlah sesuatu yang kotor dan kepura-puraan seperti disinggung di atas; tetapi politik sebagai metode, jalan, atau media untuk memperjungkan kebenaran yang pada intinya menerapkan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Tegasnya, politik digunakan untuk memperjuangkan dan menegakkan agama Islam yang mengajarkan kebenaran hakiki.
Inilah politik yang sejati: kebenaran adalah teman abadi. Sementara kebenaran mutlak itu berasal dari Allah: “al-haqqu mirrabika“, kebenaran itu dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (Q.s. al-Baqarah/2: 147).
Ketika idealisme seperti ini diperjuangkan dan dipertahankan, maka politik akan membawa kesejahteraan, kebahagiaan, dan keselamatan. Sebaliknya, ketika agama digunakan untuk kepentingan politik, maka nama agama hanya sekedar simbol untuk mengelabui rakyat banyak; laksana musang berbulu domba. Semoga Allah melindungi kita dari kehadiran pemimpin yang menggunakan agama demi kepentingan politik kelompok dan pribadinya; sebaliknya kita berdoa dikaruniai pemimpin yang idealis dalam menerapkan nilai-nilai Islam di setiap gerak politiknya. Amin...

Baco Tokhus....

Sabtu, Mei 15, 2010

PENDIDIKAN BERNUANSA SURAU DI SEKOLAH

Oleh: Muhammad Kosim
(Tim Penyusun Pedoman PKPBS Prop. Sumbar)

Peningkatan Kualitas Pendidikan Bernuansa Surau (PKPBS) merupakan salah satu program unggulan dan kebijakan lokal pemerintah daerah propinsi Sumatera Barat. Melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Sumbar, pedoman PKPBS telah disusun untuk diterapkan di sekolah-sekolah umum. Rencananya, pada tahun pembelajaran 2010/2011 mendatang akan ditetapkan satu sekolah piloting PKPBS SMP dan SMA di setiap kota/kabupaten di lingkungan propinsi Sumatera Barat.

Setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan ini. Pertama, adanya kegelisahan dan kekhawatiran masyarakat Sumatera Barat tentang kemampuannya dalam melahirkan tokoh-tokoh kenamaan sekaliber Hamka, Moh. Hatta, ST. Syahrir, M. Natsir, M. Yamin, Agus Salim, dan lainnya di masa mendatang.

Dalam hal ini, Kepala Dispora Sumbar, Drs. Burhasman, MM sering menyampaikan di beberapa kesempatan tentang pernyataan yang pernah disampaikan mantan wakil presiden, M. Jusuf Kalla: “Pahlawan nasional asal Sumatera Barat dikenal bukan karena kelihaiannya di medan perang, melainkan karena keilmuan dan keulamaannya”. Sementara tokoh-tokoh tersebut mengakui dan diakui oleh banyak orang sebagai hasil dari pendidikan surau di masa lampau. Kini terasa ada yang “hilang” dari ranah Minang.

Kedua, kondisi pendidikan di lembaga pendidikan formal tampaknya lebih berorientasi kepada aspek kognitif peserta didik. Akibatnya, tidak terjadi korelasi positif yang signifikan antara ilmu pengetahuan yang didapat dengan akhlak mulia yang ditampilkan. Mestinya, semakin tinggi ilmu seseorang semakin baik akhlaknya baik kepada Sang Khaliq maupun sesama makhluk-Nya. Padahal surau sebagai lembaga pendidikan Islam pada masa lalu unggul dalam pembinaan akhlak peserta didiknya.

Ketiga, lahirnya otonomi daerah sejak tahun 1999 sesungguhnya memotivasi setiap daerah untuk menonjolkan keunggulan daerahnya masing-masing sebagai karakter daerah yang membedakannya dengan yang lain. Hal ini semakin kuat dengan adanya kurikulum 2006 yang menginginkan adanya keunggulan dari setiap pendidikan yang ada di daerah. Wilayah Sumatera Barat sangat kuat dengan adat (Minangkabau) dan agama (Islam) sehingga dikenal falsafah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”.

Sejarah membuktikan, surau sebagai lembaga pendidikan telah memainkan peranan besar dalam melestarikan dan mewujudkan falsafah tersebut. Namun sejak awal tahun 1970-an, fungsi surau secara lambat laun mulai mengalami pergeseran fungsi dan peran dalam mendidik dan melahirkan sumber daya mansia yang berkualitas iman, ilmu, dan amal. Bahkan A.A. Navis pun menulis “robohnya surau kami” sebagai bentuk kegelisahan terhadap kondisi tersebut.

Berangkat dari masalah tersebut, maka muncul gagasan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai surau ke sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Gagasan ini kemudian diistilahkan dengan “Peningkatan Kualitas Pendidikan Bernuansa Surau” atau disingkat dengan PKPBS.

Jadi, PKPBS bukanlah menjadikan sekolah sebagai surau yang persis dengan surau masa lalu yang tidak saja berfungsi sebagai tempat menuntut ilmu, tetapi juga tempat tidurnya laki-laki baligh dan duda. Akan tetapi, PKPBS adalah upaya mengadopsi nilai-nilai pendidikan bernuansa surau dalam pengembangan logika dan dialektika dalam pembelajaran keilmuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai Islam dan budaya adat Minangkabau kepada peserta didik.

Kata kunci PKPBS ini adalah “internalisasi nilai-nilai Islam dan budaya Minangkabau” sebagaimana yang pernah dilakukan di surau pada masa lalu. Nilai-nilai tersebut tentu bersifat universal yang dapat diterapkan dan dinikmati oleh banyak orang, meskipun non-muslim atau tidak bersuku Minang. Dalam hal ini, peran guru dan dukungan warga sekolah sangat menentukan keberhasilan program ini.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, paling tidak ada tujuh pendekatan yang dapat dilakukan guru dalam proses pembelajaran. Pertama, pendekatan qalbiyah, yaitu pendakatan yang berorientasi terhadap qalbu peserta didik. Pendekatan ini dapat dilaksanakan dengan melatih qalbu untuk berzikir dan berma'rifat kepada Allah SWT. Misalnya, peserta didik melaksanakan zikir setiap saat, kapan dan dimana pun berada, terutama di awal (seperti membaca basmalah) atau di akhir PBM (seperti membaca hamdalah).

Esensi zikir dalam pendekatan qalbiyah adalah mendidik peserta didik untuk mengingat Allah dalam setiap memahami materi pembelajaran. Sebab semua ilmu sesungguhnya berasal dari Allah SWT. Pada hakikatnya Allah-lah yang mengajarkan ilmu kepada setiap makhluk-Nya. Dengan upaya seperti ini, maka ilmu yang diperoleh tidak membawa sikap arogansi, akan tetapi dengan ilmu yang ia kuasai menjadikannya semakin tawadhu’ (jadilah seperti padi, semakin barisi semakin marunduak).

Kedua, pendekatan internalisasi nilai yang berupaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai (internalitation of values) keislaman dan budaya Minangkabau ke dalam sebuah tema tertentu di setiap mata pelajaran tanpa mengabaikan kompetensi yang terdapat pada kurikulum. Pendekatan ini sejalan dengan pendektan integralistik-tematik yang merelevansikan materi ajar dengan nilai-nilai agama dan budaya. Dengan begitu, diharapkan pembelajaran mampu membentuk paradigma integral-holistik peserta didik terhadap ilmu, agama dan budaya dalam kehidupan.

Ketiga, pendekatan kultural, yaitu pendekatan yang digunakan untuk menciptakan lingkungan sekolah sebagai lingkungan pembelajar (learning society) yang berbudaya. Diharapkan keunggulan budaya lokal dapat diterapkan di sekolah sehingga terwujud proses pembelajaran yang bernuansa keislaman, iptek dan budaya. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memahami dan menguasai keunggulan budaya lokal yang ada di lingkungan masyarakat tersebut.

Keempat, pendekatan pembiasaan, yaitu upaya membiasakan nilai-nilai positif yang dikembangkan dalam sistem pendidikan surau. Pendekatan pembiasaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah melakukan kebiasaan yang baik (good habbit). Proses pembiasaan ini dapat diterapkan oleh guru, baik dalam pembelajaran di kelas maupun di lingkungan sekolah. Disini reward dan punishment perlu diberikan.

Kelima, pendekatan keteladanan yang merupakan pendekatan paling berpengaruh dalam mendidik peserta didik, khususnya dalam hal pembentukan kepribadian. Pendidikan surau masa lalu menunjukkan bahwa Tuanku Syekh sebagai pendidik sekaligus pemimpin surau menjadi figur central bagi murid-muridnya sehingga terjadi proses pembentukan karakter yang begitu kuat. Oleh karena itu, pimpinan sekolah, guru, dan karyawan mesti menjadi teladan bagi peserta didiknya (tokoh identifikasi). Keteladanan itu mulai dari hal-hal terkecil, seperti kebersihan dan kerapian, bahasa yang sopan, tepat waktu, hingga kepada pelaksanaan shalat berjamaah di sekolah.

Keenam, pendekatan logika-dialektika Islami, yaitu pendekatan pembelajaran yang menyentuh logika peserta didik untuk mampu berpikir kritis dan problem solving sebagai pengembangan diri dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta melestasikan budaya berlandaskan ajaran Islam.

Esensi pendekatan logika-dialektika Islami adalah ketika peserta didik memahami setiap mata pelajaran mesti berorientasi kepada peningkatan kualitas pendidikan yang disertai pemberian kesempatan kepada para peserta didik untuk memahami argumentasi tentang materi tersebut, sehingga terhindar dari mengikuti secara buta (taklid). Penerimaan materi yang hanya didasarkan taklid dapat mengakibatkan split personality atau frustrasi bila berhadapan dengan perubahan sosial dan realita kehidupan yang bertentangan dengan pemahaman dan keyakinannya. Bentuk split personality antara lain terlihat pada keadaan yang tidak sesuai antara pengalaman ritual-seremonial dengan perilakunya.

Ketujuh, pendekatan emosional yang menekankan kepada aspek raso (rasa) peserta didik. Diharapkan peserta didik berperilaku atas dorongan dari dalam (internal motivation). Dalam istilah lain, pendekatan ini relevan dengan pendekatan instrinsik yang akan melahirkan keikhlasan (do more expect less) dalam setiap aktivitas.

Dari ketujuh pendekatan yang dikembangkan dalam PKPBS tersebut tampaknya lebih menekankan kepada kompetensi kepribadian guru dalam mendidik akhlak peserta didik, disamping kompetensi professional, paedagogik dan social. Hal ini beralasan menginat Tuanku Syekh yang ada di surau selalu menjadi teladan bagi murid-muridnya sehingga pengaruhnya begitu kuat dalam membimbing dan mendidik akhlak mereka.

Sementara dalam mendidik kualitas keilmuan peserta didik sangat dibutuhkan skill guru yang mengajar dengan qalbu serta mampu menerapkan logika-dialektika yang Islami. Dengan upaya seperti ini, diharapkan peserta didik memiliki daya kritis yang tajam dalam menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang ia peroleh.

Jika program ini konsisten dilaksanakan dengan sikap yang optimis dan kerja sama yang baik antara guru, pimpinan daerah, tokoh-tokoh masyarakat, dan orang tua, Insya Allah beberapa tahun ke depan Sumatera Barat akan tetap melahirkan sumber daya manusia yang berkarakter, cerdas dan kompetitif berlandaskan iman, ilmu dan amal secara integral. Amin…

Baco Tokhus....

Kamis, Mei 13, 2010

Reorientasi Madrasah Tarbiyah Islamiyah


(Refleksi 82 Tahun PERTI)

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Pada tanggal 5 Mei 1928, Syekh Sulaiman Arrasuli mensponsori pertemuan besar para ulama Minangkabau bermazhab Syafi’i di Candung. Pertemuan besar tersebut juga dihadiri oleh beberapa orang wakil siswa dari tiga Madrasah Tarbiyah Islamiyah terbesar saat itu, yaitu MTI Candung, MTI Tabek Gadang Payakumbuh, dan MTI Jaho Padang Panjang (kini masuk dalam wilayah Kab. Tanah Datar). Setelah pertemuan besar itu, maka perkembangan MTI semakin pesat dan memainkan perannya dalam membina umat, khususnya di bidang pendidikan.

Dalam pertemuan itu, lahirlah organisasi Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI) sebagai organisasi yang bertanggung jawab untuk membina, memperjuangkan, dan mengembangkan Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah yang ada. Kehadiran PMTI turut mendorong berkembangnya Madarasah-madarasah Tarbiyah Islamiyah di beberapa tempat. Selanjutnya, muncul pula gagasan di kalangan ulama Kaum Tua untuk menjadikan PMTI tidak hanya sebagai organisasi yang mengurus madrasah an sich, akan tetapi mampu mempersatukan dan menghimpun segenap ulama tradisional dan bergerak di bidang sosial lainnya. Maka pada tanggal 19-20 Mei 1930 dilangsungkan Konfrensi Besar di Candung, dan salah satu keputusannya adalah mengubah PMTI menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang disingkat PTI.

Kemudian pada konfrensi tanggal 11-16 Februari 1935, disusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Jika sebelumnya organisasi ini disingkat dengan PTI, maka dalam AD dan ART yang baru ini singkatan PTI diganti menjadi PERTI. Dalam perkembangan selanjutnya, PERTI memaikan peran penting, baik dalam bidang dakwah, sosial, terutama bidang pendidikan dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)-nya. Namun hingga kini, setiap tanggal 5 Mei disepakati sebagai tanggal kelahiran PERTI.
Khusus bidang pendidikan, MTI semakin berkembang pesat. Hingga pada tahun 1937, tercatat sebanyak 137 MTI di Minangkabau, dan di beberapa tempat luar Minangkabau. Pada tahun 1938, didirikan pula sebua madrasah khusus untuk putri, yaitu MTI putri di Bengkawas, Bukittinggi yang dipimpin Ummi Hj. Syamsiah Abbas dimana pada tahun 1940 tercatat memiliki murid sekitar 250 orang. Bahkan pada tahun 1937, misalnya, jumlah murid di MTI Jaho mencapai sekitar 700 orang, kemudian MTI Candung dengan jumlah murid sebanyak 500 orang, dan pada tahun 1938 mencapai 500 orang murid. Sedangkan pada tahun 1942, sudah terdapat 300 MTI di berbagai daerah dengan 45.000 murid.

Kini, nama besar MTI tampaknya lebih didominasi oleh kejayaannya pada masa lampau. Meskipun beberapa MTI masih bertahan dan cukup diminati oleh masyarakat--seperti MTI Candung, MTI Pasir, MTI Jaho, dan lainnya--akan tetapi secara umum MTI mulai kehilangan nama. Tak bisa dipungkiri, banyak MTI yang kualitasnya di bawah standar, kurang terurus, kondisi fisik serta tenaga pendidik dan kependidikan demikian memprihatinkan. Padahal, dari MTI telah banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh, baik di tingkat lokal maupun nasional. Hingga kini, kiprah alumni MTI pun cukup terasa baik di bidang akademisi, maupun social-politik.

Menyikapi persoalan ini, hemat penulis MTI mesti melakukan reorientasi sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap mempertahankan karakteristiknya sebagai lembaga pendidikan yang menekankan tafaqqahu fi al-din dan memelihara mazhab Imam Syafi’i. Dalam hal ini, MTI mesti melakukan reorientasi kurikulum. Orientasi MTI adalah mengajarkan ilmu-ilmu yang bersifat tafaqqahu fi al-din, sebagaimana pesantren lain yang berkembang di tanah Jawa. Hanya saja, tafaqqahu fi al-din yang dikembangkan berpahamkan ahlussunnah wal-jamaah dengan fiqh Imam Syafi’i, teologi al-Asy’ari dan al-Maturidhi serta tasawuf al-Ghazali. Untuk itu, setiap MTI mesti memiliki bidang-bidang tertentu, seperti tafsir, hadis, fiqh, atau gramatika bahasa Arab (Nahu, Sharaf, dll.). Namun, saat ini kurikulum yang diterapkan di MTI terlalu banyak. Paling tidak ada tiga bentuk mata pelajaran yang diajarkan kepada santri; (1) mata pelajaran umum yang biasa diterapkan di sekolah umum, (2) mata pelajaran agama yang biasa diterapkan di MTs atau MA, dan (3) mata pelajaran khusus pesantren. Akibatnya, setumpuk mata pelajaran tersebut membebani santri sehingga mereka sulit menguasai ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori tafaqqahu fi al-din secara mendalam.
MTI—termasuk pesantren yang juga mengalami persoalan ini—mesti memperjuangkan ke tingkat pusat agar MTI dan pesantren yang sejenis diberikan kebebasan untuk mendesain kurikulum yang bersifat tafaqqahu fi al-din tersebut. Jika mata pelajaran umum harus ada sebagaimana yang diatur dalam Permendiknas no 22, 23, dan 24 hendaklah mendasar saja. Sementara mata pelajaran yang diterapkan di MTs dan MAS tidak perlu lagi diberlakukan, karena substansi mata pelajaran yang bercorak tafaqqahu fi al-din tersebut tentu melebihi dari yang diharapkan.

Hanya saja, MTI juga dituntut untuk mampu beradaptasi dengan perkembangan dunia modern, tanpa harus menghilangkan karakteristik dasarnya. Dalam hal ini, MTI perlu mendesain kurikulkum yang bercorak tafaqqahu fi al-din tersebut secara lebih terstruktur, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diberlakukan dalam KTSP. Artinya, setiap guru/ustadz/syekh juga diharapkan terampil mendesain kurikulum mulai dari merencanakan, menerapkan hingga mengevaluasi dan menindaklanjuti setiap materi yang diberikan. Selain itu, perkembangan IT yang demikian pesat juga perlu dikuasai oleh setiap santri sehingga MTI tidak terkesan tradisional-konvensional yang ketinggalan zaman.

Lalu ada pula yang beranggapan MTI sebagai lembaga pendidikan formal mesti mampu menyiapkan lulusannya ke PTU. Karenanya telah dibuka pula jurusan umum, seperti IPA dan IPS di tingkat Madrasah Aliyah. Kebijakan itu bisa diteruskan dan dikembangkan. Akan tetapi, jurusan keagamaan yang bercorak tafaqqahu fi al-din tersebut mesti lebih besar dan diutamakan, sehingga MTI tidak mengalami pergeseran dari orientasi semula.

Selain dari orientasi kurikulum, aspek manajerial MTI pun mesti ditingkatkan, baik secara internal maupun eksternal. Pengelola MTI hendaklah berjiwa ikhlas sebagaimana yang telah diajarkan para pendiri terdahulu. Bukankah Syekh Sulaiman ar-Rasuli pernah mengkhawatirkan perubahan dari halaqah kepada klasikal akan berdampak kepada ketidakikhlasan guru dalam mengajar karena gaji yang mulai ditetapkan? Meskipun akhirnya ia menyetujui dan memotori perubahan itu, akan tetapi nilai-nilai keikhlasan tersebut haruslah dipertahankan.
Di samping syarat keikhlasan, para pemimpin/pengelola MTI diharapkan memiliki skill leadership yang unggul dan mampu beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Mereka dituntut membuka tangan terhadap perubahan-perubahan sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman, tanpa harus mengorbankan ciri khasnya sebagai lembaga pendidikan Islam yang berorientasi kepada tafaqqahu fi al-din.

Kemudian, peran alumni perlu pula dioptimalkan. Alumni MTI saat ini banyak ditemukan di berbagai instansi dan profesi, mulai dari guru, politisi, pegawai, akademisi, bahkan guru besar pun banyak lahir dari MTI. Lalu kontribusi apa yang telah mereka berikan untuk peningkatan kualitas MTI? Bukankah mereka besar juga turut disebabkan oleh MTI?

Optimalisasi peran alumni juga dapat diorganisir melalui organisasi PERTI yang nota-benenya diduki oleh alumni MTI. Persoalannya adalah kemanakah orientasi PERTI? Sebaiknya orientasi PERTI lebih menekankan pada aspek pendidikan dari pada aspek politik. Konsekuensinya, pengurus PERTI pun dituntut memiliki pemahaman yang lebih terhadap urusan pendidikan dari pada urusan politik sehingga visi-misi serta program strategis PERTI lebih banyak mengurus dan memperhatikan pendidikan dibanding politik. PERTI harus realistis, umat memang butuh peran PERTI dalam sosial-masyarakat, termasuk politik, akan tetapi bidang pendidikan melalui MTI lebih membutuhkan lagi. Melalui pendidikanlah perjuangan PERTI akan tetap berkelanjutan.

Tanpa adanya perubahan dan kepedulian orang-orang yang dibesarkan dari MTI, agaknya MTI akan mengalami mati suri dan kejayaannya hanya menjadi prasasti di kemudian hari. Maka Milad PERTI ke-82 ini hendaknya menjadi momentum bagi alumni dan masyarakat Sumatera Barat terhadap peningkatan kualitas Madrasah Tarbiyah Islamiyah. MTI adalah aset Sumatera Barat, lembaga pendidikan yang lahir di ranah Minangkabau yang sarat dengan agama dan adat serta terkenal dengan filosofis Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.

Baco Tokhus....