Selasa, November 09, 2010

TEOLOGI BENCANA ALAM

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Indonesia menangis lagi. Banjir bandang di Wasior, letusan gunung merapi di Yogyakarta, serta gempa yang disertai tsunami di Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai menjadi duka nasioanal. Seakan musibah yang berentetan itu ingin menghentikan kita dari perdebatan tiada henti tentang kasus-kasus korupsi, mafia hukum serta fenomena kemiskinan dan kebodohan yang terus melanda negeri ini.

Sebagai bangsa yang religius, kearifan kita menyikapi musibah sangat dibutuhkan. Aqidah kita diuji, apakah musIbah ini hanya sekedar fenomena alam? Atau takdir tuhan?
Secara teologis, diyakini bahwa alam ini tidak terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi, alam ini adalah makhluk yang diciptakan oleh sang Khaliq. Lebih tegas, dalam Islam disebutkan bahwa Khaliq itu adalah Allah SWT. Dan Allah tidak saja berperan sebagai al-Khaliq atau pencipta pertama (causa prima), akan tetapi Dia juga sebagai Rabbun.

Allah sebagai rabbun, berarti Allah senantiasa memelihara alam semesta ini. Tuhan bukan seperti tukang jam (clock maker) yang membuat jam sebagus mungkin tanpa mengetahui nasib jam di kemudian hari. Akan tetapi Allah yang menciptakan (al-khaliq) dari tidak ada menjadi ada (al-Bari’) lalu memberi bentuk yang sempurna (al-Mushawwir) sekalian makhluk-Nya kemudian Dia senantiasa mengurusi dan memeliharanya (al-Muhaimin) serta berkuasa penuh terhadapnya (al-Qadir).

Di antara sekalian makhluk-Nya, manusia ditakdirkan sebagai khalifah-Nya di muka bumi (Qs. Al-Baqarah/2: 30). Namun tidak semua manusia mampu menjadi khalifah, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh (an-Nur/24: 55). Dalam konteks ini, maka manusia tidak saja diperintahkan untuk berhubungan baik dengan Allah secara khusus (hablun minallah) dan kepada sesama manusia (hablun minannas), akan tetapi juga dituntut untuk mampu berinteraksi dengan alam semesta (hablun minal alam).

Muncul pertanyaan mendasar, kenapa terjadi bencana? Yang pasti, bencana terjadi dalam pengetahuan, kekuasaan dan kehendak Tuhan. Bencana tidak sekedar fenomena alam. Namun “kehendak Tuhan” itu bukanlah semena-mena tanpa alasan. Oleh karena itu, setiap musibah yang ditimpakan Allah, hendaklah manusia itu tetap berpikir positif (husnuzhzhan) kepada-Nya.

Di antara bentuk husnuzhzhan kita kepada keputusan Allah itu adalah dengan meyakini bahwa ada nilai positif yang terkandung di balik itu semua. Allah sedang mendidik kita untuk menanggapi bencana tersebut. Ada beberapa nilai pendidikan yang patut kita renungkan atas terjadinya bencana tersebut.

Pertama, mendidik aqidah kita untuk merasakan dan menyaksikan keperkasaan dan kekuatan Allah. Al-Qur’an banyak bercerita tentang hakikat alam semesta agar manusia mampu mengenal dan berinteraksi dengannya (hablun minal alam). Misalnya, Allah yang menciptakan alam semesta dengan enam masa (Hud/11: 7), alam itu senantiasa dinamis, bergerak dan meluas (al-Anbiya’/21: 30) dan Allah berkuasa penuh atasnya (adz-Dzariyat/51: 47). Al-Qur’an juga menegaskan bahwa alam itu senantiasa tunduk kepada Allah (al-A’raf/7: 54) dan bertasbih kepada-Nya (al-Isra’/17: 44).

Jadi, alam semesta bukanlah sesuatu yang pasif. Alam semesta, termasuk bumi, langit, gunung yang menjulang dan lautan yang terbentang adalah makhluk Allah. Satu sisi ia ditundukkan untuk kepentingan manusia (Luqman/31: 20). Akan tetapi, alam bisa berubah menjadi bencana bagi manusia, seperti gempa (al-A’raf/7: 78, 91, 155, dan al-Ankabut/29: 37); banjir bandang (al-Ankabut/29: 14; dan Saba’/34: 16); hujan batu (al-A’raf/7: 84; an-Naml/27: 58); angin kencang lagi dingin (al-Haaqqah/69:6).

Jika terjadi bencana alam, sejatinya mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, sebab alam jagad ini memang milik-Nya dan tunduk patuh kepada perintah-Nya. Untaian hikmah menyebutkan: "Musibah merupakan cara Allah yang paling efektif untuk meninggikan derajat seorang hamba atau menghinakannya"

Karena itu, setiap muslim diajarkan apabila mendapat musibah, segeralah mengucapkan kalimat istirja’, yaitu Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un; Sungguh, kita berasal dari Allah dan pasti kembali kepada-Nya. Kalimat istirja’ ini mengajarkan kepada kita untuk sadar diri bahwa kita memang berada dalam genggaman dan kehendak-Nya.

Aqidah yang kita miliki terkadang bertambah (yazid) dan terkadang pula berkurang (yanqus). Karena itu, iman mesti tetap diperbaharui dengan memperhatikan kekuasaan Allah. Ketika manusia itu lupa dengan tuhannya, maka rasa kemanusiaan pun semakin menurun. Karena kekayaan, kepintaran, jabatan dan kedudukan terkadang membuat orang merasa berkuasa atas apa yang dimilikinya. Ia lupa diri. Lupa dengan tuhannya. Akibatnya kesombongan pun meliputi dirinya.

Maka ketika gunung meletus, bumi berguncang, air bergelombang tinggi lalu menghempas daratan (tsunami), tak seorang pun yang berdaya. Semuanya pasrah. Berharap pertolongan-Nya.

Bencana alam juga mendidik kita untuk mengingat kematian dan meyakini hari berbangkit. Mati pasti datang. Kiamat pasti menjelang. Dan keyakinan/keimanan terhadap hari kiamat akan berimplikasi kepada perilaku seseorang dalam hidup ini agar banyak melakukan perbuatan amal shaleh sebagai bekal abadi di akhirat nanti.

Kedua, bencana lam juga mendidik kita untuk lebih meningkatkan kemampuan kita dalam membaca ayat-ayat kauniyah. Karena itu Allah menyeru manusia agar arif dan cerdas mengenal, memperhatikan, membaca, menelaah, menganalisis dan memikirkan alam semesta (Qs. Yunus/10: 101; (Al-Ghaasiyah/88: 17-21); dan (Ali Imran/3: 189-191).

Bencana alam sejatinya menjadi motivator bagi umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang alam sebagai bagian dari ayat-ayatNya. Dengan ilmu itu, manusia mampu berinteraksi dengan alam sehingga mampu menghindari bencana alam sekecil mungkin. Namun, ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia mesti tunduk kepada keyakinan/keimanan pada kekuasaan Allah. Artinya, setinggi apa pun ilmu yang dimiliki oleh manusia tidak akan mampu mencapai ilmu Tuhan.

Bisa saja para ilmuan memprediksikan kapan terjadinya bencana, akan tetapi keputusan mutlak ada di Tangan Allah. Karena itu, hasil kajian ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia hanya menambah kewaspadaan kita tanpa harus mengalami ketakutan yang berlebihan. Di sinilah dibutuhkan keimanan dan sikap tawakal seorang hamba.

Ketiga, bencana alam mendidik kita untuk meningkatkan rasa social yang tinggi terhadap sesama. Bencana alam adalah persoalan kemanusiaan, tanpa membedakan ras, suku, bahkan agama sekalipun. Maka bergegaslah memberikan bantuan kepada saudara-saudara kita yang menjadi korban. Bantuan yang ikhlas ini diharapkan mampu mengikis rasa permusuhan, benci, iri, dendam, dan keangkuhan pada sesama yang terkadang menyelip di dalam dada ini.

Keempat, bencana alam mendidik kita untuk senantiasa melakukan intropeksi diri (muhasabah). Paling tidak, ada tiga penyebab terjadinya bencana/bala’, yaitu: 1) sebagai ujian, 2) sebagai teguran [Qs. Ar-Rum/30: 41], dan 3) sebagai adzab/siksaan [asy-Syu’araa/42: 30; al-Isra’/17: 16 dan as-Sajadah/32: 21].

Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah, maka bencana merupakan ujian atas keimanannya. Maka bersabarlah karena Allah akan meninggikan derajatnya. Bagi orang-orang yang melakukan kebaikan tetapi juga gemar melakukan kemaksiatan, bencana hadir sebagai teguran. Maka tetaplah istiqamah untuk tetap melaksanakan kebaikan, meskipun mendapat banyak rintangan dan godaan.

Sementara orang-orang yang kerapkali melakukan kemaksiatan dan kezaliman yang berlebih-lebihan, maka bencana alam telah menjadi siksaan Allah baginya. Hal ini yang diperlihatkan Allah kepada umat-umat sebelumnya, umat Nabi Nuh as ditenggelamkan dengan banjir yang amat besar; umat Nabi Hud as, kaum ‘Ad, juga ditumpas atas pendustaan mereka terhadap ayat-ayatNya; kaum Nabi Shaleh as dibinasakan dengan gempa yang begitu dahsat; umat Nabi Luth yang melakukan fahisyah (homoseksual) ditimpa hujan batu; kaum Syu'aib juga ditimpa gempa dahsyat; demikian juga Fir'aun dan para pengikutnya ditenggelamkan di lautan merah akibat permusuhan yang mereka sebarkan terhadap Musa dan pengikutnya yang setia (Qs. al-A'raf/7: 65-171). Maka orang-orang yang masuk kepada kelompok terakhir ini, segeralah bertaubat kepada Allah, selagi masih ada kesempatan hidup.

Muhasabah ini hendaknya mampu menyadarkan kita sedang dimana posisi keimanan kita di hadapan Allah? Sudah sebesar apa kontribusi kita di tengah-tengah masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya? sebab perkampungan yang dihuni oleh penduduk yang beriman dan bertaqwa tidak akan ditersentuh oleh bencana (Qs. Al-A’raf/7: 96). Atau jangan-jangan kita termasuk penyebab datangnya bencana? Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: