Senin, Oktober 19, 2009

Gempa di Sumatera Barat; Ujian atau Siksaan?

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Indonesia kembali menangis, tatkala gempa bumi berkuatan 7,6 SR mengguncang wilayah Sumatera Barat, khususnya kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman dan sebagian daerah Kabupaten Agam dan Pasaman, Rabu 30 September lalu. Rumah dan gedung beruntuhan, korban tewas mencapai seribuan, serta tidak sedikit suami menjadi duda, istri menjadi janda, anak-anak menjadi yatim, dan orang tua kehilangan anak-anaknya. Bahkan hingga kini belum semua korban dapat dievakuasi. Jerit-tangis menyelimuti Ranah Minang. Duka mereka adalah duka Indonesia.

Ketika gempa itu penulis rasakan dan saksikan, pertanyaan subjektifitas sebagai hamba yang awam pun muncul: kenapa harus Sumatera Barat yang ditimpa gempa? Padahal daerah ini mayoritas muslim dan menyatakan diri sebagai masyarakat yang berpegang pada falsafah "Adat basandi syara', syara' basandi kitabullah" (adat berlandaskan kepada syara' [syariat agama] dan syara' berlandaskan kepada al-Qur'an). Penulis pun teringat sekitar lima tahun yang lalu, gempa dan tsunami menghantam Aceh yang juga dikenal sebagai negeri serambi mekah dan menyatakan diri sebagai daerah yang menjalankan syariat Islam. Pertanyaan sederhananya, kenapa daerah yang menyatakan identitas keislamannya justru mendapatkan bencana?

Misteri Angka-angka Jam dan Surat-Ayat Alquran Tiga hari sesudah peristiwa itu, penulis pun menerima sms yang banyak beredar (hingga kini penulis tidak mengetahui secara pasti siapa pertama kali menemukannya) tentang misteri angka-angka pada jam peristiwa gempa tersebut lalu kaitannya dengan angka-angka dalam surat dan ayat Alquran. Gempa yang terjadi di Padang bertepatan pada pukul 17.16, disusul gempa berikutnya pada pukul 17.38, dan esok harinya terjadi pula gempa di Jambi pada pukul 8.52. Jika angka-angka itu disesuaikan dengan nomor surat dan ayat dalam al-Qur'an maka hasilnya sungguh mencengangkan.

Pertama, surat al-Isra' (17) ayat 16 berarti: Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.

Kedua, surat al-Isra' (17) ayat 38: semua itu kejahatannya Amat dibenci di sisi Tuhanmu. Yang dimaksud "semua kejahatan" itu terkait dengan ayat-ayat sebelumnya; yaitu mengadakan tuhan selain Allah (22), durhaka pada orang tua (23), mubadzir (26), bakhil (29), aborsi karena takut miskin (31), zina (32), membunuh tanpa haq (33), memakan harta anak yatim (34), beramal tanpa ilmu (36), dan bersifat sombong (37).

Ketiga, surat al-Anfal (8) ayat 52: (keadaan mereka) serupa dengan Keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. mereka mengingkari ayat-ayat Allah, Maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Amat keras siksaan-Nya.

Lebih lanjut, jika dihubungkan dengan tanggal dan bulan peristiwa gempa tersebut, tanggal 30 dan bulan 9, akan ditemukan pula surat ar-Rum (30) ayat 9: Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebihkuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.

Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat tersebut mengisyaratkan bencana datang sebagai siksaan yang ditimpakan Allah kepada suatu kaum yang durhaka. Jika ditelusuri dari beberapa ayat dalam Alquran memang ditemukan banyak ayat serupa tentang bencana sebagai adzab atau siksaan, seperti dalam surat al-A’raf, diceritakan tentang: umat Nabi Nuh as, yang ditenggelamkan negerinya karena hati merela buta menerima kebenaran Allah; kaum ‘Ad (umat Nabi Hud as) juga ditumpas atas pendustaan mereka terhadap ayat-ayat Allah; kaum Nabi Shaleh as, ditimpakan gempa yang dahsyat atas keingkaran mereka terhadap ajaran Nabi Shaleh; umat Nabi Luth as yang melakukan fahisyah (homoseksual) ditimpa hujan batu; kaum Nabi Syu’aib juga ditimpa gempa karena mendustakan Syu’aib, Firman-Nya: Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, (QS. Al-A’raf/9:91); demikian juga umat Nabi Musa as, Fir’au dan pengikutnya ditenggelamkan di lautan merah, (selengkapnya baca kisah ini dalam surat Al-A’raf/9:65-171). Ternyata dosa yang dilakukan oleh suatu masyarakat, akan dibinasakan Allah beserta negerinya melalui berbagai bencana.

Namun adilkah kita menyimpulkan bahwa gempa di Sumatera Barat berupa siksaan dari Allah SWT? Sedemikian parahkah aqidah dan perilaku masyarakat Sumatera Barat sehingga menimbulkan murka dari Allah? Bukankah masjid/mushalla/surau banyak berdiri, adzan lantang berkumandang, dzikir menghiasi bumi ranah minang?

Ada yang mencoba untuk berspekulasi, "Ya... masjid memang banyak berdiri dan adzan berkumandang tetapi jamaahnya sunyi sepi, dzikir dilantunkan tetapi tidak sedikit yang sekedar acara serimonial, dan Islam pun tampil secara simbolik". Jawaban ini pun tidak pula sepenuhnya dapat diterima, sebab antara ketaatan dan kekafiran akan selalu berdampingan. Benar ada yang berislam secara simbolik, tetapi tidak sedikit pula yang memeluk Islam dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan maksimalnya.

Hemat penulis, tidak sepenuhnya bencana ini karena kedurhakaan manusia, sebab banyak pula ayat dan hadis yang mengisyaratkan bencana sebagai ujian dari Allah. Misteri angka-angka jam peristiwa gempa dan kaitannya dengan angka-angka ayat Alquran di atas memang bukan sesuatu yang mustahil, sebab segala sesuatu tidak ada yang "kebetulan" bagi Allah, melainkan sudah dirancang dan didesain oleh-Nya, termasuk bencana. Firman-Nya: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Qs. al-Hadid/57: 22).


Bala Bencana sebagai Ujian dari Allah Kurang etis/patut/arif dan kurang bijaksana rasanya jika menghakimi daerah Sumatera Barat sebagai sampel siksaan Allah kepada masyarakatnya berupa gempa; apalagi jika dilihat secara kasat mata, sikap keberagamaan daerah ini tidak kalah dengan daerah-daerah lain yang justru terhindar dari bencana serupa. Tidaklah semua bencana itu disebabkan oleh kedurhakaan manusia. Banyak ayat maupun hadis Nabi SAW yang mengisyaratkan bencana (bala') sebagai ujian dari Allah. Ujian Allah itu bisa berupa kelaparan, ketakutan, kemiskinan, kematian, dan kekurangan buah-buahan/paceklik (Qs. al-Baqarah/2: 155). Allah juga akan menguji setiap hamba yang menyatakan keimanannya kepada Allah Ta'ala (Qs. al-Ankabut/29: 2). Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: Besarnya pahala besertaan dengan besarnya bala'/ujian, dan sesungguhnya jika Allah mencintai kaumnya Dia akan menimpakan bala' kepada mereka. Barangsiapa yang ridha, maka Allah akan meridhainya, dan barangsiapa yang marah/benci, maka Allah akan membencinya. (HR. Ahmad).

Dengan meyakini bencana sebagai ujian Allah, sejatinya masyarakat Sumatera Barat yang menjadi korban gempa tidak meratapi diri dan berada dalam kesedihan yang berkepanjangan. Sebaliknya, di balik penderitaan ini ada balasan yang amat luar biasa; dengan catatan dihadapi dengan sifat sabar. Kesabaran itu tersimpul dalam pernyataan dan keyakinan: Innalillahi wa inna ilahi raji'un. Orang yang mengikrarkan dan meyakini penggalan ayat tersebut akan memperoleh balasan berupa shalawat, rahmat, dan hidayah dari Allah SWT (Qs. al-Baqarah/2: 156-157).

Oleh karena itu, perlu memahami hakikat diri kita sebagai hamba Allah yang tidak memiliki apa-apa. Meskipun kita hamba-Nya, kita pun harus meyakini pula bahwa setiap keputusan Allah tidak ada yang menyakiti diri kita. Harta benda bisa saja musnah, jasad sakit dan terluka, akan tetapi aqidah harus tetap terjaga. Berbagai bentuk penderitaan yang diperoleh pada hakikatnya cara Allah untuk menguji keimanan kita sehingga menentukan kita mulia atau hina di hadapan-Nya. Orang bijak menyatakan: "Musibah merupakan cara Allah yang paling efektif untuk meninggikan derajat seorang hamba atau menghinakannya". Kini, kita yang memilih: apakah kita ingin dimuliakan atau justru dihinakan?

Jadi, memahami bencana gempa sebagai ujian Allah atas orang-orang beriman, agaknya mampu menjawab pertanyaan besar di atas. Masyarakat Sumatera Barat yang memiliki identitas yang kuat terhadap Islam dan budaya Minangkabau ditimpa oleh bencana berupa gempa sebagai ujian dari Allah. Tampaknya, identitas keislaman yang mereka tampilkan sengaha diuji oleh-Nya, sebagaimana yang tersirat dalam firman-Nya: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (Qs. al-Ankabut/29: 2). Jika seandainya Allah hanya menimpakan bencana kepada masyarakat yang zalim saja, tentu alam ini tidak lagi bernama "dunia", melainkan "neraka". Bukankah dunia serta hidup dan mati merupakan cara Allah untuk menguji seorang hamba siapa yang terbaik amalnya di antara mereka?

Meskipun demikian, ketika muncul opini dan spekulasi bahwa bencana gempa bisa jadi sebagai bentuk marah-Nya Allah, tidak harus membuat kita marah dan tersinggung, lebih-lebih kita yang menjadi korban bencana. Sebaiknya kita terima sebagai autokritik terhadap diri kita sendiri, bukan saja sebagai individu, melainkan secara kolektif sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia. Sumatera Barat adalah bagian dari NKRI. Jika dikatakan bencana karena kezaliman kita, maka kezaliman itu—agaknya—tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Sumatera Barat, tetapi bangsa ini secara kolektif. Ingatlah firman-Nya: “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (Q.S. Al-Anfal/8: 25).

Karena itu, bersabarlah wahai orang yang beriman, beristighfarlah wahai orang yang berlumur dosa, dan perbanyaklah zikir wahai hamba yang berakal. Firman-Nya: Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi. (Qs. al-Mukmin/40: 55). Wallahu a'lam.

Baco Tokhus....