Senin, Mei 23, 2011

Narkoba dalam Perspektif Islam

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Terbit di Harian Haluan, 6 Mei 2011

Kasus Narkoba semakin marak di tengah-tengah masyarakat, meskipun hukuman yang diberikan demikian berat. Dari tahun ke tahun penyalahgunaannya terus meningkat.

Secara medis, Narkoba jelas merusak kesehatan, bahkan dapat menyebabkan kematian. Lalu bagaimana dalam pan­dangan agama?Dalam perspektif Islam, Narkoba termasuk dalam kate­gori khamr. Meskipun dalam arti sempit, khamar sering dipahami sebagai minuman keras, arak, atau sejenis minu­man yang memabukkan. Karena itu sebagian ulama klasik mengartikan khamar adalah minuman yang memabukkan, atau minuman yang bercampur dengan alkohol. Paling tidak, khamar seperti ini yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Jahiliyah pra-Islam. Bahkan Buya Hamka dalam tafsir al-Azhar menjelaskan, tidak kurang dari 250 istilah yang mereka gunakan untuk menyebutkan istilah-istilah khamar.

Namun dalam artian luas, khamar tidak saja berupa minuman atau sesuatu yang mengandung alkohol. Rasu­lullah SAW menegaskan bahwa “Setiap zat yang memabukkan itu khamar dan setiap zat yang memabukkan itu haram” (HR. Bukhari dan Muslim). Pada hadis lain juga disebutkan bahwa “Sesuatu yang banyaknya mema­bukkan maka sedikitnya pun haram”. (HR. Ahmad dan Abu Daud). Dari penjelasan hadis ini, dapat dipahami bahwa khamar adalah zat yang mema­bukkan, baik ketika banyak maupun sedikit.

Umar bin Khattab juga menegaskan bahwa “al-Khamru ma khamara al-‘Aql”, khamar adalah sesuatu yang menutupi akal. Hal ini menunjukkan bahwa arti khamar itu sendiri adalah sesuatu yang menutupi.

Narkoba tentu masuk dalam kategori pengertian di atas, karena seseorang yang meng­gunakannya menyebabkan mabuk dan akalnya tertutupi atau tidak berfungsi. Dari pengertian ini, jelaslah bahwa Narkoba termasuk dalam kate­gori khamar.

Selain itu dapat pula dike­mukakan bahwa secara seder­hana, khamar itu sendiri memi­liki dua ciri-ciri: pertama, zat yang apabila dikonsumsi seseo­rang dapat menyebabkan iskar atau memabukkan; kedua, zat yang memabukkan tersebut apabila dikonsumsi oleh orang yang normal. Disebut orang normal karena bisa jadi orang yang terbiasa mengkonsumi khamar tidak lagi mema­bukkan­nya. Lagi-lagi dari ciri-ciri ini, juga terdapat pada khamar.

Jadi, jika khamar diartikan secara sempit, yaitu sebagai minuman keras, maka narkoba jauh lebih bahaya dari minu­man keras tersebut. Apalagi pa­da masa sahabat, peminum kha­mar berupa minuman keras ter­sebut hanya dihukum dengan 40 hingga 80 kali cambuk. Sementara pengguna narkoba yang banyak menyebabkan kematian tersebut tentu lebih besar hukumannya. Bukankah Allah menegaskan: ….Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepa­damu. (QS. An-Nisa’/4: 29).

Adapun ancaman bagi peng­guna khamar dalam Islam, ter­masuk Narkoba, sangatlah besar. Dalam surat al-Maidah ayat 90 disebutkan bahwa kha­mar adalah rijsun, yaitu sesuatu yang sangat jijik, kotor, hina dan sangat keji. Khamar juga terma­suk perbuatan syetan karena me­nyebabkan seseorang lupa pada dirinya, lupa pada tuhannya.

Lebih lanjut, al-Faqih Nashr bin Muhammad bin Ibrahim as-Samarqandy dalam kitab “Tanbiihul Ghafilin” menje­laskan, paling tidak ada 10 keburukan khamar, yaitu: (1) Pengkonsumsi khamar itu seperti orang gila dan menjadi bahan ketawaan anak-anak; (2) Menghabiskan harta dan meng­hancurkan akal; (3) Memicu per­musuhan antara saudara dan te­man sendiri; (4) Menghalangi seseorang mengingat Allah dan mendirikan shalat; (5) Mendo­rong seseorang berbuat zina, juga dapat memicu untuk menalak istrinya tanpa disadari; (6) Mengganggu malaikat penca­tat amal dengan membawa me­reka ke tampat maksiat; (7) Kun­ci segala kejelekan sebab de­ngan demikian orang mudah me­lakukan semua kemaksiatan, seperti sabdar Rasul SAW: Jauhilah olehmu khamar, se­sung­guhnya khamar itu adalah pintu segala kejahatan. (HR. al-Hakim);

Kemudian, (8) Berhak men­dapat dera 80 kali di dunia. Jika tidak di dunia akan dilang­sungkan di akhirat dengan ce­meti api di depan semua umat manusia; (9) Pintu langit menolak pengkonsumsi khamar. Doanya tidak dikabulkan dan amalnya tidak diangkat ke langit selamat 40 hari; (10) Mem­bahayakan diri sendiri, yaitu dilepaskannya iman ketika mati.

Dua bahaya terakhir di atas juga sesuai dengan sabda Ra­sulullah SAW: “Siapa saja yang mi­nur khamar, maka Allah ti­dak akan ridho kepadanya se­lama empat puluh malam. Bila ia mati saat itu, maka matinya da­lam keadaan kafir. Dan bila ia bertobat, maka Allah akan menerima tobatnya. Kemudian jika ia mengulang kembali, maka Allah memberinya minu­man dari “thinatil khabail”, (Asma bertanya, “Ya Rasu­lullah, apakah thinatil khabali itu?. (Rasulullah) menjawab, “Darah bercampur nanah ahli neraka. (HR Ahmad).

Islam tidak saja melarang mengkonsumsi khamar, tetapi dalam hadis Rasulullah SAW dijelaskan ada 10 golongan yang dilaknat terkait dengan khamar, yaitu: Nabi SAW melaknat sepuluh pihak yang berhubungan dengan khamar, yaitu orang yang (1) memeras/pembuat, (2) minta diperaskan, (3) me­minum/mengkonsumsi, (4) membawakan, (5) minta diba­wakan, (6) memberi minum dengannya, (7) menjual, (8) makan hasil penjualannya, (9) membeli, dan (10) yang dibe­likan. (HR. Turmidzi dan Ibnu Majah).

Demikian besarnya bahaya Narkoba sehingga Rasulullah pun melaknat/mengutuknya. Tidak saja orang yang meng­konsumsinya, tetapi termasuk orang-orang yang terkait dengannya seperti hadis di atas.

Lalu apa yang harus dilaku­kan agar generasi kita terhindar dari Narkoba? Banyak hal yang dapat dilakukan, di antaranya adalah: pertama, mengetahui dan meyakini bahwa Narkoba sebagai bagian dari khamar dilarang dalam Islam. Jika dilaranggar larangan tersebut, maka Allah akan memberikan adzab yang pedih, baik di dunia berupa dampak negatif yang ditimbulkannya, terutama di akhirat kelak.

Kedua, mengetahui dan menyadari bahwa khamar lebih banyak dampak negatifnya dari pada positifnya; baik dari segi kesehatan maupun dampak sosial yang ditimbulkannya, seperti ketidaknyamanan masya­rakat sekitar.

Ketiga, membaca al-Qur’an dan berzikir secara terjadwal. Misalnya, membaca al-Qur’an setiap shalat shubuh dan Magh­rib, lalu berzikir selesai shalat. Jika hal ini dilakukan secara terus-menerus, maka ia akan menjadi benteng bagi diri kita dari godaan-godaan syetan; termasuk mengkonsumsi kha­mar.

Keempat, berteman dengan orang-orang shaleh. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa seseorang terjerumus pada Narkoba karena pengaruh teman. Oleh karena itu, pilihlah teman akrab yang shaleh sehing­ga kita ikut menjadi orang-orang yang shaleh.

Ingatlah petuah orang bijak: Jika dekat dengan penjual minyak wangi, meskipun tidak kita beli, kita akan ikut wangi. Namun, jika di sekitarmu banyak teman yang suka bermaksiat, ber­juanglah untuk tidak terpe­ngaruh dengannya. Caranya per­kuat iman, perbanyak amalan sunnah. Perkataan bijak juga mengatakan: Jadilah seperti ikan di laut, meskipun air asin, tetapi ikan tersebut tidak ikut asin. Jadilah seperti belut, meskipun di sekitarnya banyak lumput, tetapi tubuhnya tak berlumpur.

Jadi, kita harus waspada terhadap teman yang meng­gunakan narkoba. Bahkan Ra­sulullah SAW melarang duduk bersama orang-orang yang beserta mereka terdapat khamar. Sabdanya: Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah duduk pada hidangan di suatu rumah yang terdapat khamar di dalamnya (HR. al-Bazzari dari Ibnu Umar).

Dalam konteks ini, kita patut meneladani Khalifah Umar bin Abdul Aziz saat beliau meng­hukum cambuk kumpulan orang yang mengkonsumsi khamar, tiba-tiba ada informasi bahwa di antara mereka yang dihukum itu ada seorang yang tidak ikut minum, dia hanya ikut menemani saja, bahkan saat itu dia malah sedang puasa. Namun sang khalifah bukan menyelamatkannya, ia malah memutuskan bahwa semua harus dicambuk dan yang pertama kali dicambuk justru yang sedang puasa.

Sebab seharusnya dia me­larang teman-teman semejanya itu dari minum khamar, tapi dia malah mendiamkan saja. Padahal seandainya dia tidak mampu menghentikan pesta minuman keras itu, dialah yang wajib segera meninggalkan tempat itu, bukannya malah ikut menemani, meski sambil puasa. Maka jadilah dia yang dicambuk duluan.

Kelima, mengisi waktu dengan kegiatan positif, seperti kelompok belajar, olah raga, dan sebagainya. Sebab, jika banyak waktu yang tidak terisi dengan kegiatan positif maka hal itu menjadi pintu syetan untuk menjurumuskan manusia kepada kegiatan-kegaitan yang dilarang agama. Dalam hal ini, perlu menemukan dan mengem­bangkan bakat dan minat yang kita miliki tetapi tidak berten­tangan dengan perintah Allah SWT.

Selain itu, keteladanan dan pendidikan yang benar dari orang tua sangat menentukan. Orang tua mesti memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup kepada anak-anaknya. Sebab, banyak pula kasus yang menun­jukkan bahwa pengguna Narkoba justru berasal dari keluarga yang broken home. Begitu pula masya­rakat dituntut berperan aktif mencegah Narko­ba, sebagai penyakit masyarakat yang menim­bulkan dampak sosial yang negatif. Begitu pula pemerintah, terutama penegak hukum, harus adil dalam menegakan hukum. Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....

Sabtu, Mei 21, 2011

SBI, Antara Cita dan Realita

Oleh: Muhammad Kosim

Tulisan saya yang berjudul “SBI, Sekolah Bertaraf atau Bertarif Internasional”, Padek, Sabtu (17/3) mendapat tanggapan dari Mayonal Putra, “SBI, Dilanjutkan atau Dihentikan”, Padek, Sabtu (26/3). Lalu dua tulisan ini ditanggapi pula oleh Mora Dingin, “SBI, Diskriminasi Hak Atas Pendidikan”, Padek, Rabu (6/4) lalu. Bahkan tulisan terakhir ini juga dimuat di Haluan, Selasa (12/4) dengan judul dan isi yang sama.

Sayangnya, Mayonal Putra tidak memberikan jawaban yang tegas apakah SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) dilanjutkan atau tidak. Beliau justru menutup tulisannya dengan pertanyaan persis seperti judulnya. Tampaknya Mayonal lebih terpengaruh dengan pikiran Satria Dharma, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang menyampaikan pendapatnya teentang 10 utama kelemahan SBI dalam petisi pendidikan tentang SBI di hadapan anggota komisi X DPR RI, Selasa (8/3) lalu. Menurut Satria, “program SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya, dan 90 persen pasti gagal. Di luar negeri konsep ini gagal dan ditinggalkan” (Kompas, 9/3).

Sementara Mora Dingin justru berpendapat bahwa SBI merupakan bentuk diskriminasi terhadap warga Negara Indonesia dalam mendapatkan hak atas pendidikan. SBI juga dianggapnya jauh dari roh dalam menciptakan pemerataan pendidikan.

Kritik terhadap penyelenggaraan SBI semakin mengemuka, terutama pascalaporan hasil survei Pusat Penelitian dan Kebijakan (Puslitjak) Balitbang Kemendiknas beberapa waktu lalu, yang mengemukakan beberapa temuan negatif tentang SBI. Temuan ini turut memicu kebijakan Kemendiknas menangguhkan kemunculan baru RSBI di tahun ini.

Hemat penulis, konsep SBI sesungguhnya berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Dengan penyelenggaraan SBI, diharapkan siswa-siswa yang cerdas mendapat pelayanan pendidikan yang optimal sehingga kelak mereka memiliki daya saing di tingkat internasional. Adanya pengkhususan bagi siswa yang relatif memiliki kecerdasan tinggi bukanlah diskriminasi terhadap mereka yang ber-IQ rendah. Sebab keadilan tidak mesti sama rata. Tetapi, adanya kelas reguler kelas RSBI di sekolah yang sama, memang berpotensi terjadi diskriminasi. Anak-anak yang di kelas reguler bisa merasa “dianaktirikan” dibanding temannya di kelas RSBI.

Penting untuk ditegaskan bahwa ada perbedaan kurikulum SBI dengan sekolah lainnya. Kurikulum SBI mendapat tambahan (+X) dari Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kurikulum tambahan tersebut memasukkan beberapa materi yang digunakan oleh sekolah-sekolah terkemuka pada negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development). Di antara kurikulum yang disarankan adalah kurikulum yang dirancang oleh Cambrige untuk tiga mata pelajaran, Bahasa Inggris, Sains, dan Matematika. Jadi, di negara-negara maju, secara esensial juga menerapkan sekolah unggulan bagi siswa yang cerdas, tentu tidak menggunakan istilah ”SBI”.

Untuk tingkat SMP yang telah SBI, akan mengikuti Cambridge Test yang bernama checkpoint untuk menguji kemampuan tiga mata pelajaran di atas. Jika mereka lulus, maka mereka bisa diterima di tingkat SMA terkemuka di negera-negara maju. Sementara tingkat SMA mengikuti tes yang bernama IGCSE (International General Certificates for Secondary Education). Hasil dari tes tersebut mendapat mengakuan di negara-negara maju tersebut.

Jadi, SBI sesungguhnya berupaya untuk menciptakan daya saing bagi siswanya di kancah internasional. Mereka dipersiapkan lebih unggul di bidang sains dan matematika. Karena itu, dibutuhkan input yang memiliki kecerdasan lebih untuk dapat menguasai bidang ini. Dengan begitu, sekolah-sekolah yang ada di negeri ini diharapkan memiliki keunggulan tersendiri, dan keunggulan SBI lebih kepada sains dan matematika. Maka tidak heran jika SBI selalu menjuarai olimpiade-olimpiade di bidang ini.

Sementara sekolah-sekolah non-SBI juga diharapkan melejitkan keunggulan yang sesuai dengan karakter dan visi sekolahnya. Bisa unggul pada salah satu bidang olah raga, kesenian, termasuk agama. Bahkan pemerintah juga membina sekolah berbasis pesantren sebagai sekolah umum yang menginginkan keunggulan di bidang agama. Namun, model sekolah terakhir ini kurang mendapat respons dari masyarakat, tidak seperti SBI. Jadi tidak semua sekolah mesti menjadi SBI. Dan sekolah-sekolah non-SBI yang memiliki keunggulan tersendiri tersebut tidak akan terpinggirkan seperti yang dikhawatirkan oleh Mora Dingin.

Dalam konteks ini, dibutuhkan pula kerja keras dan ide-ide inovatif dari masing-masing sekolah untuk membentuk karakternya sehingga ia tetap unggul dan tidak terpinggirkan. Apalagi sains dan matematika, seperti yang menjadi keunggulan SBI, bukanlah satu-satunya bidang keilmuan yang dapat mengantarkan seseorang kepada kesuksesan. Keunggulan dari masing-masing sekolah tersebut tentu tidak keluar dari standar yang telah ditentukan, sebagaimana yang diatur dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Karena SBI unggul di bidang sains dan matematika, maka dalam proses pembelajarannya menggunakan bahasa Inggris. Apalagi kurikulumnya diadopsi dari sekolah-sekolah maju pada negara anggota OECD yang juga menggunakan pengantar bahasa Inggris. Selain itu, senang atau tidak, pengembangan bidang sains dewasa ini, termasuk referensi-referensi yang digunakan, lebih banyak berbahasa Inggris. Karena itu, sejak tingkat SMP, siswa dibekali bahasa Inggris yang baik, terutama pada mata pelajaran Sains, Matematika dan mata pelajaran TIK sebagai penunjang.

Untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris tersebut, biasanya sekolah akan mengembangkan berbagai kegiatan penunjang. Misalnya memberlakukan English Day sekali atau dua kali seminggu, English Area, English Canteen dan sebagainya.

Namun penggunaan bahasa Inggris ini tidaklah seburuk apa yang dibayangkan oleh Mayonal Putra bahwa proses belajar-mengajar pada SBI telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia. Sebab, pada mata pelajaran lain, tetap menggunakan bahasa Indonesia, seperti Agama, Bahasa Indonesia, IPS, Penjaskes, muatan lokal (seperti Budaya Alam Minangkabau) dan sebagainya.

Di samping itu, konsep SBI tidaklah menghilangkan rasa cinta terhadap tanah air. SBI justru menginginkan agar out putnya memiliki kompetensi yang setara dengan lulusan pada sekolah terakreditasi di negara maju dan mereka mampu berkompetisi dengan tetap menampilkan keunggulan lokal di tingkat internasional. Karena itu pula SBI tetap dituntut untuk menerapkan apa yang disebut dengan ”Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL)” di samping ”Pendidikan Berwawasan Keunggulan Global (PBKG)”.

Kemudian, konsep penyelenggaraan SBI tidak hanya ditujukan kepada orang-orang kaya. Tidak sedikit di antara siswanya yang miskin, memperoleh beasiswa pendidikan yang digunakan untuk uang transportasi, keperluan pakaian, buku dan kebutuhan lainnya. Karena itu tidak ada alasan bagi orang tua ”miskin” takut memasukkan anaknya ke sekolah berlabel SBI. Hanya saja batasan minimal 20 persen cenderung menimbulkan imej bahwa SBI identik sekolah orang kaya. Karena penulis mengusulkan biaya SBI tidak membedakan yang kaya dan miskin, jika perlu dihapuskan (Padek, 17/3).

Dari konsep penyelenggaraan SBI tersebut, sejatinya memberikan optimisme terhadap penyelenggaraan pendidikan dengan melahirkan out put dan out comes yang berkualitas dan memiliki daya saing yang tinggi. Hanya saja, dalam realita (pelaksanaan)-nya terkadang tidak sesuai dengan konsep yang sesungguhnya. Ketidaksesuaian itu pulalah yang menyebabkan temuan Puslitjak Balitbang Kemendiknas menimbulkan keprihatinan, seperti SPP yang bertarif mahal, cenderung dikomersilkan, kemampuan bahasa Inggris guru rendah, dan seterusnya (lihat Padek, 15/3).

Meskipun demikian, tidak semua sekolah RSBI yang sedang berupaya mencapai SBI tersebut melenceng dari konsep di atas. Masih ditemukan beberapa RSBI yang konsisten dan berupaya untuk menerapkan sesuai aturan yang ditetapkan, sehingga siswa-siswa dari sekolah tersebut tetap mendominasi prestasi di berbagai bidang, terutama bahasa Inggirs, sains, TIK dan matematika, serta di terima di PT terkemuka baik dalam maupun luar negeri.

Adapun kebijakan Mendiknas yang akan menangguhkan kemunculan RSBI baru di tahun ini tidak pula disesalkan, seperti yang dialami oleh beberapa kepala sekolah yang akan mengusulkan sekolahnya menjadi RSBI. Sebaiknya pemerintah diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan melakukan pembinaan yang lebih serius terhadap beberapa RSBI yang ada.

Menurut saya, supervisi dan pembinaan guru menjadi kata kunci kesuksesan penyelenggaraan RSBI. Pemerintah daerah, baik di tingkat kota/kabupaten maupun propinsi diharapkan lebih proaktif melakukan pembinaan yang berkelanjutan serta menemukan ide-ide kreatif dalam penyelenggaraan RSBI. Dan perlu ketegasan mengembalikan sekolah yang berstatus RSBI menjadi sekolah biasa (SSN) jika memang tidak memenuhi standar; bukan sekedar ancaman.

Penting pula dicatat bahwa penyelenggaran RSBI tidak selamanya membutuhkan dana yang besar sehingga memungut biaya tinggi dari orang tua siswa. Inti dari SBI sesungguhnya adalah kurikulum. Sekolah dituntut menerapkan kurikulum tambahan (+X), tidak saja berupa sains, bahasa Inggris dan matematika seperti yang diadopsi dari Cambridge tersebut, tetapi juga kurikulum yang dapat membangun kepribadiannya, terutama pendidikan emosional dan religiusitasnya. Selama ini, terkesan mahalnya biaya RSBI lebih kepada fasilitas, seperti yang telah disinggung pada tulisan sebelumnya. Padahal fasilitas tersebut hanyalah ”pendukung” dan tidak menggantikan peran guru sebagai pendidik yang sesungguhnya.

Guru dan pimpinan sekolah RSBI, diharapkan tetap semangat dan optimis untuk mampu mengubah RSBI menjadi SBI. Semangat itu tentu diaktualisasikan dengan kerja keras menampilkan kompetensi yang lebih dan mampu memenuhi standar SBI.

Demikian pula masyarakat, diharapkan dukungan dan kritik yang membangun sehingga menjadi kontrol terhadap pengelola RSBI. Beberapa kritikan, seperti tulisan Mayonal Putra dan Mora Dingin tersebut patut diapresiasi dan didiskusikan lebih lanjut. Pikiran yang kritis itu mesti ditanggapi pula secara positif sekaligus memberi tantangan bagi pengelola RSBI untuk membuktikan bahwa apa yang dilakukan tidak seburuk apa yang dibayangkan. Dalam hal ini, kritik yang lebih diharapkan adalah kritik yang mengedepankan solusi dari pada sekedar melempar masalah, sehingga kita tidak terkesan pesimis dan apatis terhadap perubahan.

Namun, jika pemerintah setengah hati dan tak mau peduli, para guru tak lagi optimis, dan masyarakat tak juga mendukung, maka menghentikan RSBI menjadi pilihan. Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....

SBI, SEKOLAH BERTARAF ATAU BERTARIF INTERNASIONAL?

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Ketika ditanya, apa itu RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional)?, seorang teman menjawab: “kelasnya dilengkapi AC, internet, infocus, laptop, loker, gurunya berbahasa Inggris, dan input siswanya pintar dengan IQ minimal 120”. Jika ini jawabannya, maka pertanyaan berikutnya adalah SBI itu Sekolah Bertaraf atau Bertarif Internasional?

Apabila SBI dilihat hanya dari fasilitas yang ada, maka segera terbentuk dalam mindset masyarakat bahwa SBI adalah sekolah bertarif internasional. Sekolah mahal yang hanya dapat dinikmati oleh siswa yang terlahir dari keluarga kaya. Ini pula yang menjadi salah satu temuan atau hasil survei Pusat Penelitian dan Kebijakan (Puslitjak) Balitbang Kemendiknas, dimana sekolah RSBI seolah-olah bebas menentukan besaran SPP, mulai Rp400 ribu hingga Rp20 juta. Sebab, dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, pasal 13 ayat (3) disebutkan bahwa SBI dapat memungut biaya pendidikan untuk menutupi kekurangan biaya di atas standar pembiayaan yang didasarkan pada RPS/RKS dan RKAS.

Temuan di atas membuat Kemendiknas menangguhkan kemunculan baru RSBI di tahun ini. Padahal SBI merupakan amanah dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada pasal 50 ayat (3) disebutkan bahwa “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.

SBI atau sekolah bertaraf internasional yang diinginkan adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development) atau negara maju lainnya. Dengan model sekolah ini, diharapkan out put yang dihasilkan memiliki kompetensi yang setara dengan lulusan pada sekolah terakreditasi di negara maju dan mereka mampu berkompetisi dengan tetap menampilkan keunggulan lokal di tingkat internasional.

Namun dalam pelaksanaannya, SBI mengundang pro-kontra dari masyarakat. Ada yang berpendapat SBI hanya mementingkan kognitif sehingga corak pendidikan yang dikembangkan bersifat materialistik. Ada pula yang menilai SBI hanya menciptakan kastanisasi pendidikan; dengan adanya pengelompokan antara siswa cerdas dengan kurang cerdas, antara si kaya dengan si miskin.

Ironisnya lagi, RSBI yang dikembangkan secara bertahap tersebut masih terdapat siswa pada kelas reguler (kelas biasa non-RSBI), sedangkan kelas lainnya kelas RSBI. Tentu kelas reguler tidak mendapatkan pelayanan yang sama dengan kelas RSBI, terutama dari fasilitas kelasnya. Bahkan Prof. Sutjipto, dosen UNJ beberapa waktu lalu pernah mengumakakan ada salah satu RSBI yang melarang siswa kelas reguler memakai toilet siswa kelas RSBI. Sangat memprihatinkan memang.

Sikap kritis terhadap RSBI patut diterima secara positif. Meskipun Puslitjak Balitbang Kemendiknas menemukan sejumlah rapor merah RSBI, sebagaimana yang dimuat Padek, (15/3), akan tetapi temuan itu tidaklah mewakili seluruh RSBI yang ada. Hanya saja pemerintah dan masyarakat mesti kritis dan mengaevaluasi eksistensi dan peran RSBI.

Hemat penulis, banyak hal yang patut didiskusikan dalam pelaksanaan dan pengembangan SBI. Pertama, SBI sejatinya dilaksanakan secara terencana dan disiapkan secara matang (by disign), tidak saja fasilitas, tetapi yang terpenting adalah kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan yang mengelolanya. Idealnya, guru yang mengajar di RSBI memiliki kompetensi sebagaimana yang telah diatur dalam Permendiknas Nomor 78 tahun 2009. Kenyataannya, mereka tidak pernah disiapkan sejak di bangku kuliah akan menjadi guru SBI.

Kondisi ini menyebabkan sekolah melaksanakan berbagai program untuk meningkatkan kompetensi guru agar sesuai dengan standar yang diinginkan. Akibatnya, guru tidak lagi berkonsentrasi untuk mendidik peserta didik, karena ia mesti berjuang untuk memenuhi kompetensinya sebagai guru SBI. Tidak menutup kemungkinan, pikiran guru justru lebih besar untuk peningkatan kompetensi dirinya secara pribadi dari pada peningkatan kompetensi peserta didiknya. Orientasinya tidak lagi pada siswa melainkan pada diri sendiri.

Mengatasi persoalan ini, ada dua pilihan yang patut dilakukan. Pilihan pertama, dirikan sekolah baru yang berlabel RSBI atau SBI dengan pengelola atau tenaga pendidik dan kependidikan yang telah memenuhi syarat SBI itu sendiri. Pilihan kedua, sekolah biasa dijadikan SBI, tetapi dilakukan seleksi ketat, objektif dan transparan kepada tenaga pendidik dan kependidikan yang ada di sekolah tersebut. Bagi guru yang tidak memenuhi syarat segera difungsikan pada sekolah non-RSBI, sementara yang lulus syarat ditetapkan dengan tetap mendapat pembinaan.

Jika sekolah yang dianggap lebih berprestasi di daerah tertentu ditetapkan menjadi RSBI, sementara guru yang ada belum memenuhi persyaratan sesungguhnya, tetapi tetap juga dijadikan RSBI dengan alasan guru tersebut akan dibina secara berkelanjutan, maka wajar dalam lima tahun RSBI tidak juga berubah menjadi SBI. Sebab, guru yang berkemampuan biasa akan mengalami kesulitan untuk meningkatkan kompetensinya sesuai tuntutan SBI. Agaknya inilah yang menyebabkan sekitar 60 % guru memiliki kemampuan bahasa Inggris kualifikasi menengah ke bawah.

Kedua, paradigma SBI sebagai sekolah bertarif mahal mesti segera diubah. Dalam Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 pada pasal 16 ayat (2) disebutkan bahwa SBI wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh peserta didik. Aturan ini jelas memberi peluang bagi siswi miskin mengenyam pendidikan di SBI. Apalagi dalam aturan ini disebut minimal, bukan maksimal. Lagi-lagi kenyataannya masih ditemukan RSBI yang tidak memenuhi aturan ini.

Sebaiknya, kebebasan yang diberikan kepada RSBI memungut sejumlah uang kepada siswa ditiadakan. Meskipun sekolah tidak tersebut membutuhkan dana besar, sebaiknya ditanggulangi oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Jika tetap dibebankan kepada orang tua siswa, lalu bagaimana dengan sekolah-sekolah lain? Bukankah sekolah lain juga ingin menjadi RSBI? Jika seluruh atau kebanyakan sekolah menjadi RSBI, maka setiap sekolah tersebut kembali menjadi sekolah masa lalu yang memungut SPP kepada orang tua.

Ketiga, perlu menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual dengan emosional dan spiritual peserta didik. Jika dilihat dari program RSBI, lebih menekankan pada aspek kognitif. Apalagi input yang masuk di RSBI, pada umumnya memiliki tingkat IQ 120. RSBI selalu bangga memajang prestasi di bidang kognitif, seperti hasil olimpiade. Kondisi ini diperkuat pula dengan adanya kerjasa sama dengan sekolah anggota OECD di negara-negara maju. Padahal banyak pakar pendidikan, khususnya pendidikan Islam, mengkritik epistemologi keilmuan Barat yang bercorak materialistik, dikotomik, dan hedonis.

Oleh karena itu, RSBI mesti menetapkan dan mengembangkan program peningkatan kecerdasan emosional, spiritual, dan religius serta tetap bangga pada budaya lokal. Jika tidak, mereka laksana robot dan kehilangan hakikat kemanusiaanya sebagai makhluk berdimensi ruhaniyah di samping dimensi jasadiyah. Bila ini terjadi, maka out put SBI akan membahayakan, sebab seseorang yang ”pintar” tanpa iman jauh lebih besar menimbulkan kerusakan dari pada seseorang yang ”bodoh” tapi beriman.
Masih banyak hal yang patut didiskusikan dari penyelenggaraan SBI. Namun, keberadaannya tetap dibutuhkan dalam mencerdaskan anak bangsa yang memiliki potensi lebih. Hanya saja, butuh kajian dan pertimbangan lebih matang sehingga SBI bukan sekedar nama, tetapi berkualitas; bukan bertarif, tetapi bertaraf internasional. Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....