Jumat, Mei 17, 2013

Mulok Pendidikan Al-Quran Terancam Dihapuskan?

Oleh : Muhammad Kosim

Terbit di: Padang Ekspres • Selasa, 14/05/2013

Rencana penerapan Kurikulum 2013 pada sekolah menimbulkan kegalauan bagi guru-guru Mata Pelaja­ran Muatan Lokal (Mulok) Pendidikan Al-Quran dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sumatera Barat. Banyak yang bertanya-tanya, bagaimanakah keberadaan Mulok Pendidikan Al-Quran dalam Kurikulum 2013, dilan­jutkan atau dihapuskan?

Kegalauan itu muncul ketika mem­baca Struktur Kurikulum 2013 yang menyederhanakan jumlah mata pela­jaran, tetapi menambah jumlah jam pelajaran. Salah satu bentuk penye­derhanaan itu adalah tidak lagi ditemu­kan mata pelajaran muatan lokal yang sepenuhnya disusun oleh pemerintah daerah.

Tetapi, konten muatan lokal hanya menjadi bagian dari mata pelajaran 1) Seni Budaya dan Prakarya serta 2) Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, di tingkat SD; mata pelaja­ran: 1) Seni Budaya, 2) Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, serta 3) Prakarya di tingkat SMP, dimana sebagian kontennya dikem­bang­kan oleh pusat dan sebagian lain dikembangkan oleh pemerintah dae­rah. Sedangkan di tingkat SMA tidak ada lagi konten yang dikembangkan pemerintah daerah.

Baco Tokhus....

Sabtu, Mei 04, 2013

Optimalisasi Peran PERTI

TINGKATKAN KUALITAS MTI
(Refleksi Milad ke-85)

Oleh: Muhammad Kosim

Persatuan Tarbiyah Islamiyah (disingkat PERTI atau Tarbiyah) merupakan ormas nasional yang lahir dari Ranah Minang pada tanggal 5 Mei 1928. Organisasi ini telah banyak melahirkan ulama yang konsisten mempertahankan i’tiqad ahl al-sunnah wa al-jamaah dan bermazhab Syafi’i, baik di tingkat lokal hingga ke pentas nasional.

Basis utama Persatuan Tarbiyah Islamiyah adalah Madrasah Tarbiyah Islami­yah (MTI), sebagai lembaga pendidikan Islam formal tertua di Sumatera Barat di kalangan umat yang berpaham ahl al-sunnah wa al-jamaah dan bermazhab Syafi’i­. Karena itu, organisasi ini tidak bisa dilepaskan dari dunia pendidikan Islam.

Tidak terhitung jumlah ulama yang dilahirkan oleh madrasah ini. Mereka berkip­rah di Sumatera Barat hingga ke pentas nasional. Hingga kini, kiprah alumni MTI pun cukup terasa baik di bidang akademisi, maupun sosial-politik. Penguasaan mereka terhadap ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) tak diragukan lagi, sehingga terbentuk imej masyarakat, “jika ingin menjadi ulama belajarlah ke MTI.”

Berdirinya organisasi ini tidak terlepas dari peran tokoh sentral, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, atau dikenal dengan Inyiak Canduang. Ia adalah ulama kharismatik yang pernah belajar kepada imam masjid al-Haram, Me­kah, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seperguruan dengan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Ia juga dikenal sebagai ketua pertama Mahkamah Syari’ah Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi.

Sekembalinya dari Mekah, ia aktif mendidik di Surau Baru Canduang. Namun, pada tahun 1926, atas usulan sahabatnya, Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas, beserta murid-muridnya, maka dilakukan perubahan sistem pendidikan halaqah di surau menjadi sistem klasikal. Maka lembaga pendidikan yang ia pimpin diberi nama “Madrasah Tarbiyah Islamiyah”.

Dua tahun berikutnya (5 Februari 1928), Inyiak Canduang mensponsori pertemuan besar para ulama Minangkabau bermazhab Syafi’i di Canduang. Dalam pertemuan itu, lahirlah organisasi Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah, di singkat dengan PMTI, sebagai organisasi yang bertanggung jawab untuk membina, memperjuangkan, dan mengembangkan Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah yang ada.

Tidak saja di bidang pendidikan, organisasi ini pun diinginkan berkiprah di bidang sosial sehingga pada tanggal 19-20 Mei 1930 dilangsungkan Konfrensi Besar di Canduang. Salah satu keputusannya adalah mengubah PMTI menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang disingkat PTI.

Dalam konfrensi tanggal 11-16 Februari 1938, nama/singkatan PTI diganti menjadi PERTI dan disahkan dalam Kongres II, 28 April – 5 Mei 1939 M/8 – 15 Rabi’ul Awal 1958. Pascakemerdekaan RI, PERTI mengembangkan kiprahnya hingga ke dunia politik sehingga muncullah Partai Islam PERTI. Namun, pengembangan sayap ke ranah politik ini tidak sepenuhnya menguntungkan, terutama dalam pengembangan pendidikan di MTI sebagai cita-cita awal.

Pada tahun 1969, Syekh Sulaiman ar-Rasuli menghimbau (dekrit) agar PERTI me­nang­galkan statusnya sebagai partai politik dan kembali ke khittah semula sebagai organisasi sosial dan keagamaan yang tugas utamanya adalah meninggikan syiar agama dan membina pendidikan Islam. Maka pada tanggal 2-4 Juli 1970 diadakan Musyawarah Besar Luar Biasa di Bukittinggi. Salah satu keputusannya adalah mengukuhkan dekrit Syekh Sulaimanar-Rasuli dengan men­jadikan organisasi ini sebagai organisasi non-politik, dan sebutan nama organisasia dalah “Persatuan Tarbiyah Islamiyah.”

Sayang, hingga kini organisasi kebanggaan masyarakat muslim Minangkabau ini masih belum bersatu. Yang satu menamakan dirinya sebagai “PERTI”, yang lainnya menakaman “Tarbiyah”, padahal pendirinya dan paham keagamaannya sama serta basisnya juga sama-sama MTI.

Karena itu, kedua kubu organisasi ini mesti bersatu. Jika belum bisa juga bersatu secara struktural, perlu menya­tu­kannya secara kultural dengan membentuk semacam forum komunikasi yang fokus pada upaya peningkatan kualitas pendidikan Islam melalui MTI. Dengan begitu, diharapkan akan lahir kader ulama-ulama handal, dalam istilah Inyiak Canduang : ulama matohari, yaitu suluah bendang di nagari, cermin taruih dalam suku, kok hiduik bakih batanyo, kok mati tampek bakawal, itu ulama sabananyo.

Namun, beberapa nama MTI yang dulunya tegak berdiri kini tak lagi dikenal, bahkan ada pula yang tutup sama sekali. Lain lagi dengan kualitas beberapa MTI yang memprihatinkan dan setiap tahun jumlah santrinya kian menurun.

Untuk itu, Persatuan Tarbiyah Islamiyah boleh mengembangkan kiprahnya di bidang sosial, ekonomi, kebudayaan, dan aspek lainnya, tetapi kiprahnya di bidang pendidikan mesti dikedepankan. Sebab pendidikan merupakan mesin kemajuan organisasi ini yang memproduksi ulama berkarakter ahl al-sunnah wa al-jamaah.

Dalam konteks inilah, optimalisasi peran Persatuan Tarbiyah Islamiyah secara bersama-sama / bersatu mesti ditingkatkan untuk membenahi dan meningkatkan kualitas pendidikan Islam melalui MTI. Setidaknya ada beberapa hal yang patut dilakukan.

Pertama, orientasi kurikulum. Ciri khas MTI terletak pada ilmu-ilmu keislaman (tafaqquh fi al-din) yang dikembangkannya. Karena itu, lulusan MTI menguasai ilmu alat sehingga mampu membaca dan memahami kitab standar sebagai rujukan utama dalam kajian Islam.

Namun kualitas lulusan MTI hari ini selalu dikeluhkan oleh buya-buya senior, karena berbeda kemampuannya dengan alumni generasi awal. Salah satu yang dianggap penyebab utamanya ada­lah terlalu banyak mata pelajaran yang diterapkan.

Paling tidak, ada tiga bentuk kurikulum yang dipelajari oleh santri, kurikulum nasional / umum (Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi), kurikulum PAI dan Bahasa Arab pada Madrasah (Permenag No. 2 Tahun 2008), dan kurikulum pondok pesantren dengan kitab-kitab standar yang menjadi ciri khasnya. Akibatnya, lebih 20 mata pelajaran yang harus dikuasai oleh para santri.

Dampaknya, santri tidak lagi fokus mempelajari kurikulum pondok pesantren yang menjadi jati diri MTI itu sendiri. Hanya santri yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan bersungguh-sungguh yang dapat menguasainya dengan baik, itu pun hanya sekelompok kecil. Demi­kian yang sering dikeluhkan.

Tampaknya, keluhan ini ada benarnya. MTI memang harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, tetapi jangan sampai kehilangan identitasnya. MTI boleh bertransformasi menjadi lembaga pendidikan Islam modern dengan model kurikulum yang beragam. Bisa membuka program studi IPA, IPS, bah­kan kejuruan sekali pun.

Akan tetapi setiap MTI sejatinya memiliki standar minimal, seperti mampu membaca dan memahami kitab standar, beri’tikad ahl al-sunnah wa al-jama’ah, dan bermazhab Syafi’i.

Selain memiliki standar minimal, MTI juga harus mengadakan kelas takhashshush sejak kelas satu hingga kelas enam / tujuh yang hanya mempelajari kitab-kitab standar. Jika pun ada ilmu-ilmu umum, tidak sebanyak kelas lain, sehingga melalui kelas ini akan lahir kader ulama yang benar-benar menguasai kajian keislaman.

Jika hal ini tidak dilakukan, dikhawatirkan ulama yang benar-benar berilmu akan semakin langka di negeri mayoritas muslim ini. Jika ulama tanpa ilmu, maka umat akan tersesat, menyalahkan yang benar dan meghalalkan yang haram.

Dalam konteks ini, MTI harus merumuskan suatu model kurikulum yang sesuai dengan tuntan zaman, tanpa kehilangan jati dirinya. Disinilah dibutuhkan keberanian pimpinan MTI merumuskan model kurikulum yang dimaksud.

Kedua, memelihara tradisi MTI. Ada beberapa tradisi yang unik dari MTI. Di antaranya, kitab yang mereka pelajari adalah kitab kuning / standar. Mereka mampu membaca matan atau teks dari kitab tersebut dengan segala seluk-beluknya dan mampu pula memahami mak­sudnya.

Mereka juga membentuk forum mudzakarah untuk menganalisis suatu persoalan yang aktual di tengah-tengah masyarakat. Dalam forum ini, terjadi perdebatan yang cukup alot sehingga dihasilkan suatu kesimpulan di bawah bimbingan buya/kiyai.

Kedua pola di atas, membuat santri memiliki kemampuan berpikir yang kritis dan analisis. Mereka tidak mudah menyalahkan, apalagi meng­kafirkan orang lain.

Tradisi penting lainnya adalah adanya guru tuo, yaitu santri di tingkat Aliyah menja­di tutor bagi santri tingkat Tsanawiyah. Waktu pembelajarannya biasanya dilakukan malam hari di surau atau asrama. Bahkan antara santri Aliyah yang satu dengan lainnya “bersaing” untuk mendidik adik-adiknya agar keesokan harinya, adik kelas bimbingannyalah yang lebih unggul dan lebih menguasai materi yang diajarkan.

Oleh karena itu, setiap santri Aliyah mesti memiliki kemampuan untuk membina adik-adiknya. Mereka juga dihormati oleh santri binaannya. Melalui pola ini, santri Aliyah belajar untuk mengajar, santri Tsanawiyah pun mendapat binaan khusus yang lebih komunikatif karena dalam bimbingan kelompok kecil.

Tidak itu saja, pola ini juga menciptakan hubungan yang harmonis. Guru tuo menyayangi santri binaannya. Santri binaan pun menghormati guru tuo-nya. Adab seperti inilah yang sesungguhnya mendatangkan keberkahan ilmu.

Tradisi ini kian hari semakin berkurang. Bahkan sejumlah MTI yang pernah penulis kunjungi tak lagi memelihara beberapa tradisi di atas. Akibatnya kualitas MTI pun kian dipersoalkan.

Inilah yang harus menjadi perhatian Tarbiyah Islamiyah. Persatuan Tarbiyah Islami­yah mesti berupaya mengotimalkan segala kekuatan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di MTI. Kegia­tan-kegiatan peningkatan kompetensi guru, optimalisasi mana­jerial, hingga reformulasi kurikulum perlu didorong dan dikoordinasikan oleh Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Masih banyak ide-ide cerdas yang akan muncul dari kalangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah untuk meningkatkan kualitas MTI, jika ide-ide itu diorganisir secara profesional.

Dengan begitu, MTI akan bermutu, Persatuan Tarbiyah Islamiyah berjaya, dan tingkat religiusitas umat pun akan berkualitas. Insya Allah.

Baco Tokhus....

UN Membangun atau Merusak Karakter?

Oleh : Muhammad Kosim

Penggiat Pendidikan Karakter Sumbar

Terbit di Padang Ekspres,29-4-2013

Ujian Nasional (UN) yang ba­nyak disoroti tahun ini lebih kepada persoalan terlambatnya kedatangan soal sehingga diundurnya beberapa sekolah dalam melaksanaan ujian tahunan tersebut. Berita yang meng­hebohkan itu seakan menutupi terja­dinya praktik kecurangan yang biasa terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Mungkin sebagian orang me­nyang­ka praktik kecurangan itu di tahun ini sudah dapat dihilangkan karena paket soal yang berbeda setiap siswa pada lokal yang sama. Namun kenyataannya, silakan tanya anak, kemanakan atau anak-anak dari keluarga dekat kita yang menjadi peserta ujian nasional di tahun ini. Tidak jarang di antara mereka, dengan lugunya, menjawab mereka mendapat kunci jawaban sehingga dengan mudah menyelesaikan soal yang diberikan.

Beragam modus yang dilakukan, mulai dari jual-beli kunci jawaban yang tak jelas sumbernya, atau memang diperoleh dari orang yang sangat mereka percayai sendiri. Ada yang mencontek catatan kunci jawaban dalam kelas, ada pula yang silih ber­ganti ke toilet siswa untuk men­co­cokkan kunci jawaban sesuai dengan paket soal yang diperoleh. Parahnya, ada pula “oknum guru” yang merevisi kunci jawaban siswanya sehingga siswa bersangkutan tetap yakin bahwa nilai yang ia peroleh semata-mata hasil jerih payahnya.

Modus di atas sudah sering ter­dengar dari tahun ke tahun. Tam­paknya, di tahun ini, praktik kecu­rangan itu masih berlangsung di be­berapa sekolah berdasarkan informasi beberapa siswa yang menjadi peserta UN. Anehnya, para penentu kebijakan di negeri ini hanya diam bergeming: tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau memang tidak mau tahu?

Ironisnya, tiga tahun terakhir pemerintah telah mengkampanyekan pentingnya pengembangan pendidikan karakter di sekolah. Sejumlah kegiatan sosialisasi/pelatihan/training/workshop pendidikan karakter pun sudah dan tampaknya terus akan digelar.

Munculnya program pendidikan karakter tidak terlepas dari kesadaran pemerintah, tokoh dan praktisi pendi­dikan terhadap kasus penyimpangan moral yang kerap terjadi baik di kala­ngan pelajar, maupun orang-orang yang dipandang terdidik. Karena itu, pendidikan karakter dirumuskan dan dikembangkan dengan melakukan internalisasi nilai-nilai karakter di sekolah, termasuk nilai kejujuran.

Sayang, kebijakan UN yang menjadi salah satu syarat kelulusan siswa sering kali bertolak belakang dengan sema­ngat pendidikan karakter. Meskipun UN tidak lagi satu-satunya penentu kelulusan, tetapi sadar atau tidak, siswa dan sekolah tetap menganggapnya sebagai program yang menakutkan sehingga memotivasi pihak-pihak tertentu melakukan praktik ke­cu­rangan.

Kondisi itu semakin diperparah dengan upaya pemerintah menjaga kerahasiaan UN. Naskah soal UN dikawal dan diamankan secara ketat dan pihak keamanan pun masuk dalam lingkungan sekolah. Seakan-akan naskah soal UN seperti bom teroris yang siap kapan saja meledak.

Kita memang tidak menyalahkan keterlibatan pihak keamanan dalam suksesi UN ini. Sebab, dengan kea­manan super ketat itu, masih saja ada oknum yang berupaya untuk mem­bocorkannya. Yang pasti, kepercayaan dan kejujuran di negeri ini memang sangat mahal harganya.

Anehnya, sudah tahu praktik kecu­rangan itu kerap terjadi, kenapa peme­rintah seolah menutup mata dan telinga? Lalu pemerintah pun mengim­bau, “jangan terkecoh bocoran UN yang beredar”, bagaimana kalau peredaran itu dikondisikan oleh oknum guru?

Kemudian, pemerintah juga ber­kata, jika masyarakat mengetahui ada praktik kecurangan seperti itu, silakan laporkan. Persoalannya, siapa yang mau melaporkan? Jika dilaporkan, apakah pelaku mau menjadi saksi? Bagaimana pula mengumpulkan alat buktinya?

Jika memang praktik kecurangan itu benar-benar terjadi, apalagi dior­ganisir secara sengaja oleh oknum guru, sebusuk itukah hati mereka menenamkan benih-benih ketidak­jujuran bagi peserta didik? Tanpa harus membela perilaku menyimpang itu, yang jelas perbuatan itu pasti berten­tangan dengan hati nurani mereka.

Mereka berani mengorbankan harga dirinya di hadapan murid-muridnya sendiri, pasti terasa me­nyakitkan.Pernahkah pemerintah selaku pengambil kebijakan merasakan penderitaan mereka?

Sadarkah pula pemerintah pusat tekanan-tekanan yang kerap terjadi di sekolah. Kepala sekolah merasa terte­kan jika siswanya banyak tidak lulus, bisa jadi tekanan itu datang dari atasan dengan target yang harus dicapai, atau dari masyarakat sendiri.Masih ingat­kah kasus tahun lalu, siswa SD berna­ma Alief, di Surabaya yang menolak praktik kecurangan, justru dimusuhi bahkan “diusir” oleh masyarakat se­tempat dari tempat tinggalnya.

Lain lagi dengan reward yang diberikan oleh pemerintah kepada sekolah yang meraih nilai UN tertinggi, memotivasi sebagian di antara mereka untuk mencapai nilai sempurna, mes­kipun dengan menghalalkan banyak cara. Bupati/wali kota dengan bangga menargetkan kelulusan 100% di dae­rah­nya, namun ia tak sadar tekanan yang amat berat bagi kepala sekolah-kepala sekolah. Tekanan-tekanan itu tentu dirasakan pula oleh guru se­hingga isu kecurangan dalam UN sering terdengar memang diorganisir oleh oknum guru-guru tertentu, me­lalui sms, kerpean, dan sebagainya.

Karena itu, praktik UN yang de­mikian telah berlawanan dengan usaha pendidikan karakter. UN yang di­barengi dengan praktik kecurangan telah meruntuhkan struktur nilai-nilai karakter yang telah dibangun ber­tahun-tahun sebelumnya.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Hemat penulis, penyelenggaraan UN mesti dikaji ulang; lanjutkan atau hentikan.Jika pemerintah tetap ngotot untuk meneruskan, maka ada dua pilihan mendasar. Pertama, jangan jadikan UN sebagai salah satu syarat penentu kelulusan. Cukuplah UN sebagai alat ukur untuk menentukan sejauh mana kemampuan siswa di negeri ini dalam menguasai kom­petensi yang telah ditetapkan dalam standar isi. Masalah kelulusan, serah­kan saja sepenuhnya kepada sekolah.

Dengan begitu, alasan pemerintah untuk mengukur kemampuan peserta didik secara nasional bisa terjawab, meskipun harus menghabiskan biaya yang sangat mahal.Hanya saja, perlu tindak lanjut nyata dari setiap hasil evaluasi yang dilakukan. Namun, jika pemerintah tetap menjadikan UN sebagai salah satu penentu kelulusan, maka praktik kecurangan tampaknya akan terus menjadi isu, bahan pergun­jingan, dan kasus memilukan yang tak kan bisa dibuktikan.

Kedua, jika pemerintah tetap me­ngi­nginkan hasil UN menjadi salah satu penentu kelulusan, maka peme­rintah mesti menjamin proses pembelajaran sesuai dengan standar. Bagaimana mungkin masyarakat siap dan ikhlas menerima evaluasi distandarkan, tetapi proses tidak!

Sesungguhnya, inilah yang selalu menjadi keluhan, dianggap tidak adil, bahkan menjadi alasan orang-orang tertentu yang siap menjadi “martir” melakukan kecurangan UN tersebut sehingga dosa itu dianggap sebagai “kecurangan bil-ma’lum”, atau kecu­rangan yang harus dimaklumi. Proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak standar, tiba-tiba evaluasi dipak­sa untuk memenuhi standar.

Padahal ada delapan aspek yang harus memenuhi standar, yaitu standar isi, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, proses, penge­lolaan, evaluasi, sarana prasarana, dan pembiayaan.

Cobalah lihat dengan teliti, berapa se­kolah sebenarnya yang telah meme­nuhi standar pelayanan minimal pada delapan aspek tersebut. Misalnya, standar yang telah disepakati adalah guru harus berpendidikan minimal S1, mata pelajaran yang diajarkan sesuai dengan kualifikasi akademiknya, setiap kelas hanya beranggotan 32 orang siswa, penentuan KKM apa adanya, pembelajaran dilakukan secara te­rencana, pembelajaran diterapkan dengan kegiatan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi, dan masih banyak indiktor lainnya yang harus di­stan­darkan.Tegasnya, masih banyak se­kolah kita yang belum mampu me­menuhi standar tersebut.


Selain itu, sejak dua tahun lalu sudah ada software yang mampu menganalisa apakah jawaban ujian siswa merupakan hasil mencontek atau dari bocoran kunci jawaban. Kecu­rangan peserta ujian akan segera bisa dideteksi. Namun belum terdengar ada pemerintah daerah kabupaten/kota yang memberi sanksi kepada sekolah yang terdeteksi melakukan kecurangan tersebut. Sebaliknya, pemerintah harus memberireward kepada sekolah yang tidak terdeteksi melakukan kecura­ngan, merkipun hasil UN dan tingkat kelulusan rendah.

Kemudian pemerintah daerah pa­tut memberi reward kepada setiap sekolah yang siswanya banyak diterima di perguruan tinggi pavorit. Sejak dua tahun lalu pemerintah Sumbar telah melakukannya, tetapi perlu dilan­jutkan, ditingkatkan dan diso­sia­lisasikan kepada masyarakat luas.

Jika upaya-upaya seperti ini tidak dilakukan, maka program pendidikan karakter hanya isapan jempol, meng­habiskan anggaran, dan kegiatan serimonial yang dipergunjingkan.Ujian Nasional pun dianggap hanya dari sisi proyek ratusan miliyar dari pada signifikansina dalam sebuah proses pendidikan.

Lebih dari itu, kita juga berharap kepada media masa, peneliti, LSM pendidikan, perguruan tinggi dan pihak kompeten lainnya turut mem­bantu peningkatan kualitas pendidikan di negeri ini. Lakukan investigasi terhadap praktik kecurangan. Teliti kondisi sekolah yang ada, memenuhi standar atau tidak!

Pemerintah dan masyarakat harus berkolaborasi memikirkan dan berbuat untuk meningkatkan kualitas pendi­dikan nasional. Pemerintah harus terbuka menerima masukan yang konstruktif, masyarakat pun didorong untuk berpartisipasi aktif.

Optimisme harus tetap dibangun sebagai modal untuk menapak jalan menuju puncak peradaban melalui pendidikan yang berkarakter. Insya Allah. (*)

Baco Tokhus....