Selasa, November 16, 2010

Meneladani Kesabaran Nabi Ibrahim AS

Oleh: Muhammad Kosim, MA

“Sabar itu pahit melebihi empedu; tetapi hasilnya manis melebihi madu”. Demikian pernyataan bijak memotivasi kita untuk bersabar dalam hidup ini. Kata sabar memang semakin populer ketika bangsa ini dihimpit oleh berbagai bencana. Banjir bandang di Wasior, gempa dan tsunami di Mentawai serta letusan gunung merapi di perbatasan Yogyakarta dan Jateng menjadi duka nasional yang memprihatinkan.

Rentetan musibah yang datang menjelang hari raya besar umat Islam, Idul Adha, mengingatkan kita kembali kepada sosok Nabi Ibrahim As sebagai sang teladan. Ada dua Nabi yang ditegaskan Allah sebagai uswatun hasanah dalam al-Qur’an, yaitu Nabi Muhammad SAW (al-Ahzab/33: 21) dan Nabi Ibrahim as (Qs. Al-Mumtahanah/60: 4). Banyak hal yang dapat diteladani dari Nabi Ibrahim, salah satu di antaranya adalah sifat sabar.

Paling tidak ada tiga fase perjuangan dalam hidup Nabi Ibrahim as yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Pertama, upaya menemukan keyakinan yang benar (tauhid). Awalnya, Ibrahim dibesarkan dalam keluarga yang menyembah berhala. Bahkan ayahnya pemahat patung yang disembah oleh masyarakat setempat. Ibrahim pun melakukan pemberontakan terhadap apa yang disembah oleh ayah dan kaumnya.

Pencarian awal masih bersifat empiris di mana ketika malam tiba, ia menyaksikan bintang-bintang yang gemerlapan. Muncullah ketakjuban dalam dirinya sehingga ia menyangka jika bintang itu adalah tuhan. Namun tatkala bintang-bintang itu sirna ia bergumam, “Aku tidak suka kepada Tuhan yang tenggelam”. Lalu ia melihat bulan dengan sinarnya yang indah dan cemerlang. Lantas ia pun berpikir inilah tuhanku. Akan tetapi bulan itu pun tenggelam lalu ia berkata “Sungguh jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Keesokan harinya ia melihat matahari bersinar terang, dia pun berkata “inilah tuhanku, sebab ini lebih besar”. Lagi-lagi benda yang ia anggap tuhan itu tenggelam di ufuk Barat.

Pencarian Tuhan yang ia lakukan berakhir dengan adanya petunjuk (hidayah) dari Allah. Ia pun menyimpulkan dan berikrar, “Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mentaati) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik”. (lihat kisah ini dalam QS. Al-An’am/6: 76-78).

Inilah awal perjuangan yang berat dialami oleh Nabi Ibrahim. Suatu perjuangan yang mendobrak tradisi bahkan keyakinan yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakatnya. Konsekuensinya adalah Ibrahim dibenci, termasuk oleh ayah yang dikasihinya. Bahkan sang ayah mengancam akan merajam dan akhirnya mengusir Ibrahim pada waktu yang lama (QS. Maryam/19: 42-46).

Suatu perjuangan yang amat pahit, dengan kesabaran dalam menemukan hakikat kebenaran, akhirnya membuahkan hasil yang gemilang; itulah hidayah dari Allah. Bahkan, ia pun diangkat sebagai Rasulullah (QS. Al-Baqarah/2: 124).

Kedua, memperjuangkan akidah dan berhadapan dengan Namrud. Sebagai seorang Nabi, Ibrahim pun mengajak kaumnya untuk menyembah Allah yang menciptakan langit dan bumi. Ia tetap melakukan dialog yang argumentatif untuk meyakinkan kaumnya. Akan tetapi kebanyakan dari mereka tetap berpegang teguh kepada ajaran nenek moyangnya.

Menyikapi kondisi itu, Nabi Ibrahim AS membuat siasat untuk menyadarkan kaumnya. Suatu ketika ia memasuki biara tempat patung-patung dikumpulkan dan dipuja. Ia menghancurkan patung-patung itu berkeping-keping, kecuali yang terbesar dibiarkan tetap utuh untuk memancing mereka agar bertanya.

Namun upaya yang terkesan dengan cara “kekerasan” itu tidak membuahkan hasil yang gemilang. Ibrahim yang telah dicurigai sebagai pelaku penghancuran berhala itu menjawab pertanyaan mereka: “Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara”. Awalnya, jawaban itu memang membuat mereka terpana dan menundukkan kepala. Mereka pun berkata: “Engkau pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara?”. Ibrahim menjawab: “Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu?”

Akan tetapi mereka bukan tunduk, malah sebaliknya semakin berang dan berteriak: “Bakar Ibrahim, bantulah tuhan kalian.” Mereka pun membakar tubuh Ibrahim di antara tumpukan kayu bakar. Kesabaran yang begitu kuat di dada Ibrahim tidak membuatnya surut menegakkan kebenaran, meskipun nyawa taruhannya. Lagi-lagi sifat sabar yang pahit itu berbuah hasil yang manis. Api yang sifatnya membakar tiba-tiba keluar dari hukumnya; api panas dan membakar kayu, tetapi tidak membakar tubuh Ibrahim (QS. Al-Anbiya’/21: 52-70). Api yang merupakan makhluk Allah yang senantiasa tunduk kepada hukum Allah segera mematuhi perintah Allah agar dingin dan menyelamatkan tubuh Ibrahim, sebab Ibrahim adalah makhluk Allah yang taat.

Ketiga, Nabi Ibrahim as menginginkan seorang anak. Hampir seabad usia Nabi Ibrahim, namun ia belum juga dianugerahkan seorang anak. Karena besarnya keinginan itu, ia pun mengikuti keinginan istrinya, siti Sarah, agar menikahi pembantunya, Siti Hajar. Bagi Ibrahim, beristri dua bukan karena syahwat, tetapi menginginkan keturunan yang shaleh, yang diharapkan kelak melanjutkan perjuangannya dalam menegakkan agama tauhid.

Allah pun menganugerahkan seorang anak yang berkarakter halim (QS. Al-Shaffat 101), yang diberi nama Isma’il. Namun, anak yang berpuluh tahun dinanti kelahirannya, ketika tampak sifatnya yang mulia lagi cerdas, Allah malah menguji cinta Nabi Ibrahim; apakah lebih mencintai Isma’il atau tuhannya? Allah pun memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ibrahim melalui mimpinya (QS. Al-Shaffat/37: 102).

Suatu ujian yang sangat mengguncang batin; sulit dilakukan oleh orang tua dimana pun. Dengan sabar, Ibrahim menjalankan perintah itu demi cintanya kepada Allah. Tapi cintanya kepada Allah tidaklah sia-sia. Sebelum penyembelihan itu terjadi, Allah mengganti tubuh Isma’il dengan seekor sembelihan (kibas/kambing). Peristiwa ini menjadi amal yang disyari’atkan kepada umat Muhammad berupa penyembelihan hewan kurban di bulan haji.

Tiga fase perjuangan Nabi Ibrahim as di atas sesungguhnya ujian yang berat ditimpakan Allah kepadanya. Namun, dengan keimanan dan kesabaran yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim, perjuangan itu berbuah hasil yang menggembirakan. Inilah yang dijanjikan Allah kepada orang yang beriman lagi sabar, mereka dilimpahkan keselamatan, kasih sayang (rahmat), dan hidayah (Qs. Al-Baqarah/2: 157).

Jika kita merujuk pendapat Imam al-Ghazali, ada tiga bentuk kesabaran yang mesti dimiliki oleh setiap muslim, yaitu: sabar dalam ketaatan, sabar dalam kemaksiatan, dan sabar dalam menghadapi musibah. Tampaknya ketiga bentuk kesabaran ini dimiliki oleh Nabi Ibrahim. Sabar dalam ketaatan, ia siap menyembelih putra kesayangannya demi mematuhi peraturan Allah. Sabar dalam kemaksiatan, ia terhindar dari penyembahan terhadap berhala meski dibenci dan dimusuhi oleh banyak orang. Begitu pula sabar dalam musibah, ia tetap sabar menunggu berpuluh tahun kelahiran putranya hingga di usia relatif senja.

Sebagai umat Nabi Muhammad SAW; kita patut meneladani kesabaran Nabi Ibrahim as. Sudah seberapa besar tingkat kesabaran kita dalam menghadapi berbagai musibah/ujian yang diberikan Allah. Sudah seberapa pula pengorbanan yang kita lakukan untuk memperjuangkan aqidah dan menebarkan kebaikan di tengah-tengah masyarakat?

Sepahit apa pun musibah yang menimpa kita, terutama berbagai bencana alam yang ada; maka kesabaran menjadi kunci utama. Sabar bukan berarti pasrah tanpa ikhtiar. Sabar hendaknya menjadi muatan nurani, kekuatan batin yang memotivasi hidup agar tetap optimis dan punya semangat juang yang tinggi dalam menjalani hidup ini sesuai petunjuk Ilahi. Perkuat keimanan, perdalam ilmu pengetahuan, perbanyak menebar kabaikan, insya Allah ada hikmah besar di balik bencana bagi bangsa ini. Ingatlah, kesabaran tidak akan disia-siakan oleh Allah Yang Maha Sabar (ash-Sabur). Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....

Selasa, November 09, 2010

TEOLOGI BENCANA ALAM

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Indonesia menangis lagi. Banjir bandang di Wasior, letusan gunung merapi di Yogyakarta, serta gempa yang disertai tsunami di Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai menjadi duka nasioanal. Seakan musibah yang berentetan itu ingin menghentikan kita dari perdebatan tiada henti tentang kasus-kasus korupsi, mafia hukum serta fenomena kemiskinan dan kebodohan yang terus melanda negeri ini.

Sebagai bangsa yang religius, kearifan kita menyikapi musibah sangat dibutuhkan. Aqidah kita diuji, apakah musIbah ini hanya sekedar fenomena alam? Atau takdir tuhan?
Secara teologis, diyakini bahwa alam ini tidak terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi, alam ini adalah makhluk yang diciptakan oleh sang Khaliq. Lebih tegas, dalam Islam disebutkan bahwa Khaliq itu adalah Allah SWT. Dan Allah tidak saja berperan sebagai al-Khaliq atau pencipta pertama (causa prima), akan tetapi Dia juga sebagai Rabbun.

Allah sebagai rabbun, berarti Allah senantiasa memelihara alam semesta ini. Tuhan bukan seperti tukang jam (clock maker) yang membuat jam sebagus mungkin tanpa mengetahui nasib jam di kemudian hari. Akan tetapi Allah yang menciptakan (al-khaliq) dari tidak ada menjadi ada (al-Bari’) lalu memberi bentuk yang sempurna (al-Mushawwir) sekalian makhluk-Nya kemudian Dia senantiasa mengurusi dan memeliharanya (al-Muhaimin) serta berkuasa penuh terhadapnya (al-Qadir).

Di antara sekalian makhluk-Nya, manusia ditakdirkan sebagai khalifah-Nya di muka bumi (Qs. Al-Baqarah/2: 30). Namun tidak semua manusia mampu menjadi khalifah, kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh (an-Nur/24: 55). Dalam konteks ini, maka manusia tidak saja diperintahkan untuk berhubungan baik dengan Allah secara khusus (hablun minallah) dan kepada sesama manusia (hablun minannas), akan tetapi juga dituntut untuk mampu berinteraksi dengan alam semesta (hablun minal alam).

Muncul pertanyaan mendasar, kenapa terjadi bencana? Yang pasti, bencana terjadi dalam pengetahuan, kekuasaan dan kehendak Tuhan. Bencana tidak sekedar fenomena alam. Namun “kehendak Tuhan” itu bukanlah semena-mena tanpa alasan. Oleh karena itu, setiap musibah yang ditimpakan Allah, hendaklah manusia itu tetap berpikir positif (husnuzhzhan) kepada-Nya.

Di antara bentuk husnuzhzhan kita kepada keputusan Allah itu adalah dengan meyakini bahwa ada nilai positif yang terkandung di balik itu semua. Allah sedang mendidik kita untuk menanggapi bencana tersebut. Ada beberapa nilai pendidikan yang patut kita renungkan atas terjadinya bencana tersebut.

Pertama, mendidik aqidah kita untuk merasakan dan menyaksikan keperkasaan dan kekuatan Allah. Al-Qur’an banyak bercerita tentang hakikat alam semesta agar manusia mampu mengenal dan berinteraksi dengannya (hablun minal alam). Misalnya, Allah yang menciptakan alam semesta dengan enam masa (Hud/11: 7), alam itu senantiasa dinamis, bergerak dan meluas (al-Anbiya’/21: 30) dan Allah berkuasa penuh atasnya (adz-Dzariyat/51: 47). Al-Qur’an juga menegaskan bahwa alam itu senantiasa tunduk kepada Allah (al-A’raf/7: 54) dan bertasbih kepada-Nya (al-Isra’/17: 44).

Jadi, alam semesta bukanlah sesuatu yang pasif. Alam semesta, termasuk bumi, langit, gunung yang menjulang dan lautan yang terbentang adalah makhluk Allah. Satu sisi ia ditundukkan untuk kepentingan manusia (Luqman/31: 20). Akan tetapi, alam bisa berubah menjadi bencana bagi manusia, seperti gempa (al-A’raf/7: 78, 91, 155, dan al-Ankabut/29: 37); banjir bandang (al-Ankabut/29: 14; dan Saba’/34: 16); hujan batu (al-A’raf/7: 84; an-Naml/27: 58); angin kencang lagi dingin (al-Haaqqah/69:6).

Jika terjadi bencana alam, sejatinya mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, sebab alam jagad ini memang milik-Nya dan tunduk patuh kepada perintah-Nya. Untaian hikmah menyebutkan: "Musibah merupakan cara Allah yang paling efektif untuk meninggikan derajat seorang hamba atau menghinakannya"

Karena itu, setiap muslim diajarkan apabila mendapat musibah, segeralah mengucapkan kalimat istirja’, yaitu Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un; Sungguh, kita berasal dari Allah dan pasti kembali kepada-Nya. Kalimat istirja’ ini mengajarkan kepada kita untuk sadar diri bahwa kita memang berada dalam genggaman dan kehendak-Nya.

Aqidah yang kita miliki terkadang bertambah (yazid) dan terkadang pula berkurang (yanqus). Karena itu, iman mesti tetap diperbaharui dengan memperhatikan kekuasaan Allah. Ketika manusia itu lupa dengan tuhannya, maka rasa kemanusiaan pun semakin menurun. Karena kekayaan, kepintaran, jabatan dan kedudukan terkadang membuat orang merasa berkuasa atas apa yang dimilikinya. Ia lupa diri. Lupa dengan tuhannya. Akibatnya kesombongan pun meliputi dirinya.

Maka ketika gunung meletus, bumi berguncang, air bergelombang tinggi lalu menghempas daratan (tsunami), tak seorang pun yang berdaya. Semuanya pasrah. Berharap pertolongan-Nya.

Bencana alam juga mendidik kita untuk mengingat kematian dan meyakini hari berbangkit. Mati pasti datang. Kiamat pasti menjelang. Dan keyakinan/keimanan terhadap hari kiamat akan berimplikasi kepada perilaku seseorang dalam hidup ini agar banyak melakukan perbuatan amal shaleh sebagai bekal abadi di akhirat nanti.

Kedua, bencana lam juga mendidik kita untuk lebih meningkatkan kemampuan kita dalam membaca ayat-ayat kauniyah. Karena itu Allah menyeru manusia agar arif dan cerdas mengenal, memperhatikan, membaca, menelaah, menganalisis dan memikirkan alam semesta (Qs. Yunus/10: 101; (Al-Ghaasiyah/88: 17-21); dan (Ali Imran/3: 189-191).

Bencana alam sejatinya menjadi motivator bagi umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang alam sebagai bagian dari ayat-ayatNya. Dengan ilmu itu, manusia mampu berinteraksi dengan alam sehingga mampu menghindari bencana alam sekecil mungkin. Namun, ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia mesti tunduk kepada keyakinan/keimanan pada kekuasaan Allah. Artinya, setinggi apa pun ilmu yang dimiliki oleh manusia tidak akan mampu mencapai ilmu Tuhan.

Bisa saja para ilmuan memprediksikan kapan terjadinya bencana, akan tetapi keputusan mutlak ada di Tangan Allah. Karena itu, hasil kajian ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia hanya menambah kewaspadaan kita tanpa harus mengalami ketakutan yang berlebihan. Di sinilah dibutuhkan keimanan dan sikap tawakal seorang hamba.

Ketiga, bencana alam mendidik kita untuk meningkatkan rasa social yang tinggi terhadap sesama. Bencana alam adalah persoalan kemanusiaan, tanpa membedakan ras, suku, bahkan agama sekalipun. Maka bergegaslah memberikan bantuan kepada saudara-saudara kita yang menjadi korban. Bantuan yang ikhlas ini diharapkan mampu mengikis rasa permusuhan, benci, iri, dendam, dan keangkuhan pada sesama yang terkadang menyelip di dalam dada ini.

Keempat, bencana alam mendidik kita untuk senantiasa melakukan intropeksi diri (muhasabah). Paling tidak, ada tiga penyebab terjadinya bencana/bala’, yaitu: 1) sebagai ujian, 2) sebagai teguran [Qs. Ar-Rum/30: 41], dan 3) sebagai adzab/siksaan [asy-Syu’araa/42: 30; al-Isra’/17: 16 dan as-Sajadah/32: 21].

Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah, maka bencana merupakan ujian atas keimanannya. Maka bersabarlah karena Allah akan meninggikan derajatnya. Bagi orang-orang yang melakukan kebaikan tetapi juga gemar melakukan kemaksiatan, bencana hadir sebagai teguran. Maka tetaplah istiqamah untuk tetap melaksanakan kebaikan, meskipun mendapat banyak rintangan dan godaan.

Sementara orang-orang yang kerapkali melakukan kemaksiatan dan kezaliman yang berlebih-lebihan, maka bencana alam telah menjadi siksaan Allah baginya. Hal ini yang diperlihatkan Allah kepada umat-umat sebelumnya, umat Nabi Nuh as ditenggelamkan dengan banjir yang amat besar; umat Nabi Hud as, kaum ‘Ad, juga ditumpas atas pendustaan mereka terhadap ayat-ayatNya; kaum Nabi Shaleh as dibinasakan dengan gempa yang begitu dahsat; umat Nabi Luth yang melakukan fahisyah (homoseksual) ditimpa hujan batu; kaum Syu'aib juga ditimpa gempa dahsyat; demikian juga Fir'aun dan para pengikutnya ditenggelamkan di lautan merah akibat permusuhan yang mereka sebarkan terhadap Musa dan pengikutnya yang setia (Qs. al-A'raf/7: 65-171). Maka orang-orang yang masuk kepada kelompok terakhir ini, segeralah bertaubat kepada Allah, selagi masih ada kesempatan hidup.

Muhasabah ini hendaknya mampu menyadarkan kita sedang dimana posisi keimanan kita di hadapan Allah? Sudah sebesar apa kontribusi kita di tengah-tengah masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya? sebab perkampungan yang dihuni oleh penduduk yang beriman dan bertaqwa tidak akan ditersentuh oleh bencana (Qs. Al-A’raf/7: 96). Atau jangan-jangan kita termasuk penyebab datangnya bencana? Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....