Selasa, April 20, 2010

Mengoptimalkan PAI di Sekolah dan PTU


Oleh: Muhammad Kosim

“Peranan Dosen dan Guru PAI dalam Menciptakan Kampu dan Sekolah yang Islami”, demikian tema Seminar dan Pelantikan Pengurus DPD Asosiasi Dosen PAI Indonesia (ADPISI) Kota Padang, Sabtu, 17 April 2010 di Kampus STMIK Indonesia, Padang. Seminar yang dihadiri oleh beberapa guru PAI di sekolah umum dan Dosen PAI di PTU ini menyadari bahwa pelaksanaan Pendidikan Agama Islam (PAI) masih belum optimal dilakukan baik di sekolah maupun perguruan tinggi.

Selain itu, berbagai fenomena degradasi moral yang terjadi di kalangan remaja yang notabenenya adalah pelajar dan mahasiswa cukup memprihatinkan. Mereka mengetahui ajaran agama, antara yang hak dan batil, halal dan haram, baik dan buruk, perintah dan larangan agama, namun tidak teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Kerap kali terjadinya kesenjangan yang signifikan antara apa yang diketahui dengan apa yang dilakukan.

Di sekolah, misalnya, para siswa menutup aurat, perempuan memakai jilbab, namun tidak sedikit yang di luar sekolah melepas jilbab dan mempertontonkan aurat. Mereka diajarkan mengoperasikan computer dan internet, tetapi di luar sekolah mereka mengakses situs-situs porno. Mereka diajarkan etika berteman antara laki-laki dan perempuan, tetapi sejumlah kasus pergaulan bebas (free sex) masih sering ditemukan. Mereka dididik mendirikan shalat, tetapi shalat mereka abaikan sehingga masjid pun lengang dari kaum remaja. Akhirnya budaya malu kian ditinggalkan, ajaran agama semakin diabaikan, adat-istiadat pun hanya jadi kenangan. Fenomena ini juga terjadi hingga ke perguruan tinggi.

Padahal, dalam konteks budaya masyarakat Sumatera Barat yang sarat dengan adat (Minangkabau) dan agama (Islam), memiliki tradisi yang kuat dalam melahirkan generasi yang cerdas dan bermoral. Sejumlah tokoh nasional, bahkan internasional yang berasal dari ranah Minang ini telah terukir dalam tinta emas sejarah. Sebut saja Moh. Hatta, ST. Syahrir, M. Natsir, Hamka, Tan Malaka, dan sederetan tokoh lainnya merupakan bukti keberhasilan pendidikan masa lalu. Lalu bagaimana kiprah Ranah Minang ke depan dalam melahirkan tokoh yang cerdas dan bermoral yang lebih baik, p aling tidak sekaliber tokoh tersebut?

Menyikapi persoalan di atas, mengoptimalkan PAI di sekolah dan PTU menjadi solusi yang patut didukung secara bersama. Sebab Pendidikan Agama Islam tidak saja mengajarkan seseorang untuk menjalankan ibadah ritual, tetapi lebih dari itu, agama memberi spirit dan motivasi yang tinggi kepada pemeluknya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan atas dasar iman (Qs. Al-Alaq/96: 1-5). Dengan begitu, antara iman, ilmu dan amal akan sejalan sehingga lahirlah ulama yang ilmuwan, ilmuwan yang ulama.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan PAI di sekolah, yaitu: pertama, terbentuknya visi yang sama serta komitmen dan konsistensi warga sekolah untuk mendidik peserta didik yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia. Kebanyakan sekolah memang mencamtumkan kata-kata “imtaq” atau “akhlak mulia” dalam visi dan misi sekolah. Hanya saja upaya kongkrit untuk mewujudkan visi misi tersebut sering terabaikan. Untuk itu, komitmen dan konsistensi warga sekolah untuk merumuskan langkah strategis lalu melaksanakannya menjadi keniscayaan. Konsekuensinya, tugas dan tanggungjawab mendidik akhlak dan sikap keberagamaan peserta didik tidak saja diserahkan kepada guru PAI, tetapi menjadi tanggungjawab bersama dengan pembagian kerja yang disepakati bersama. Misalnya, menerapkan shalat zhuhur berjamaah, mendirikan kantin kejujuran, menarapkan disiplin dan kebersihan lingkungan sekolah, dan sebaginya. Dalam hal ini, kepala sekolah sebagai pemegang kebijakan sangat dibutuhkan kebijaksanaan, kearifan, dan ketegasannya.

Kedua, menerapkan kekuatan lokal berbasis agama dan budaya sebagai karakteristik sekolah. Dalam hal ini, Pemda Sumatera Barat melalui Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga telah menetapkan 4 kebijakan lokal upaya peningkatan mutu pendidikan responsif lokal Sumatera Barat sebagai program unggulan, yaitu Pendidikan Al-Qur’an, Peningkatan Pendidikan Bernuansa Surau (PKPBS), English Communication Activities for Fun and Enjoyable Learning (ECAFE Learning), dan Integrasi Bencana Alam. Dua dari empat program unggulan tersebut ssungguhnya memperkuat PAI di sekolah dan merupakan kekuatan lokal (Sumatera Barat) yang sejak lama tumbuh berkembang di negeri ini. Al-Qur’an, misalnya, merupakan pedoman hidup setiap muslim dan menjadi materi pokok yang mesti dipelajari oleh setiap masyarakat Minangkabau sejak masuknya agama Islam. Bahkan, menjadi cerita turun-temurun jika orang Minang berada di Masjid tanah perantauan, sering diminta menjadi imam shalat, karena kemahiran mereka membaca al-Qur’an sudah tersebar ke berbagai daerah. Demikian pula surau, menjadi lembaga pendidikan era awal yang sangat berhasil melahirkan tokoh-tokoh muslim yang berpengaruh baik lokal, nasional, maupun internasional.

Oleh karena itu, sekolah sejatinya menerapkan kedua kebijakan tersebut. Pendidikan al-Qur’an merupakan mata pelajaran muatan lokal yang diterapkan sejak tingkat SD, SMP, SMA dan SMK berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2007. Melalui mata pelajaran ini, peserta didik tidak saja fashahah dalam membaca al-Qur’an dan menghafal beberapa surat pendek, akan tetapi diharapkan mereka mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, juga diharapkan terbentuknya paradigma berpikir nondikotomis, dimana antara sains dengan al-Qur’an tidaklah terpisah melainkan terintegrasi sebagai ayat-ayat Allah (kauniyah dan qauliyah).

Demikian pula program Peningkatan Kualitas Pendidikan Bernuansa Surau (PKPBS). Program ini sesungguhnya lebih mengarah kepada pendekatan setiap guru untuk mengadopsi nilai-nilai pendidikan surau dalam mengembangkan logika dan dialektika dalam pembelajaran keilmuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai Islam dan budaya adat Minangkabau kepada peserta didik. Adapun pendekatan yang dapat diterapkan adalah pendekatan qalbiyah, internalisasi nilai, cultural, pembiasaan, keteladanan, logika-dialektika Islami dan pendekatan emosional. Dalam penerapannya, guru dituntut memiliki kemampuan menjelaskan nilai-nilai keislaman/adat Minangkabau yang terkait dengan materi yang diajarkan, sehingga siswa tidak saja menguasai materi secara keilmuan, tapi juga mempunyai pemahaman dalam bentuk perilaku yang dilandasi ajaran agama dan budaya lokal (Minangkabau).

Kedua program yang sarat dengan ajaran Islam tersebut semestinya menjadi program unggulan dan karakteristik setiap sekolah yang ada di Sumatera Barat. Jika sekolah tidak bersedia menerapkan mata pelajaran muatan lokal Pendidikan al-Qur’an dan PKPBS ini, maka sesungguhnya mereka telah kehilangan peluang besar untuk mengoptimalkan PAI di sekolah serta mendidik Imtaq dan akhlak mulia peserta didik. Lagi-lagi, peran kepala sekolah, komite sekolah, serta orang tua diharapkan merespon kebijakan ini sehingga dapat diterapkan di sekolah demi peningkatan kualitas pendidikan dan moralitas generasi mendatang.

Adapun di tingkat Perguruan Tinggi Umum (PTU), juga dituntut untuk melakukan berbagai inovasi optimalisasi PAI tersebut. Hemat penulis, ada dua upaya yang dapat dikembangkan dan dioptimalkan oleh perguruan tinggi terkait PAI, yaitu dari segi keilmuan (kognitif), dan pengamalan (afektif-psikomotor).

Pertama, dari segi keilmuan, dosen PAI mesti mendesain kurikulum PAI berdasarkan kebutuhan mahasiswa. Di kota Padang, misalnya, pada umumnya PTU telah menerapkan 3 Sks untuk mata kuliah PAI. Seharusnya, sepertiga akhir dari pertemuan tersebut (sekitar 5 x pertemuan) disesuaikan materi PAI dengan jurusan mahasiswa masing-masing. Lebih ideal lagi, jika pimpinan PTU menyediakan mata kuliah tambahan--meskipun 0 Sks tetapi wajib diikuti oleh setiap mahasiswa—berupa mata kuliah “PAI berwawasan Jurusan”. Dalam hal ini, dosen PAI dengan dosen senior yang beragama Islam pada masing-masing jurusan bekerja sama dalam satu tim mendesain kurikulum dengan materi integrasi PAI dengan Ilmu yang dikembangkan pada jurusan atau program studi yang ada. Misalnya, “Islam dan Biologi” pada jurusan Biologi, “Islam dan Hukum” pada Fak. Hukum, “Islam dan Teknologi” pada jurusan Teknik, “Islam dan Kesehatan” pada jurusan kedokteran, dan sebagainya.

Dalam proses pembelajaran di kelas pun, sebaiknya menerapkan tim teaching dengan bimbingan dua orang dosen; dosen PAI dan dosen jurusan yang muslim. Kemudian, dibutuhkan pula buku-buku yang ditulis secara bersama oleh dosen PAI dan dosen jurusan yang beragama Islam tersebut. Jika pola ini diterapkan, maka akan terbentuk mindset peserta didik yang integral antara agama dan ilmu pengetahuan. Jika tidak, maka corak berpikir sekuler dan dikotomis akan tetap berkembang sehingga lahirlah ilmuan yang amoral. Terutama mahasiswa di FKIP, kelak mereka menjadi guru akan mampu menyajikan materi yang terintegrasi dengan nilai-nilai ajaran Islam. Maka sepuluh-dua puluh tahun yang akan datang akan terwujud pendidikan Sumatera Barat yang terintegrasi antara Ilmu dan Agama.

Untuk menerapkan kebijakan seperti ini, dibutuhkan kerjakeras, inovasi dan kreatifitas dosen PAI dalam memperjuangkannya di tingkat pimpinan PTU, termasuk kemampuan dalam mendesain kurikulum, menyusun buku, dan bekerja sama dengan dosen mata kuliah jurusan yang beragama Islam tersebut. Dalam hal ini, ADPISI (Asosiasi Dosen PAI Indonesia) memegang peranan kunci.

Kedua, mengoptimalkan kegiatan forum atau pusat studi Islam yang ada di PTU. System mentoring dan tutor sebaya dalam menjalankan ajaran agama perlu dikembangkan, diapresiasi dan difasilitasi sebaik mungkin. Persoalannya, tidak semua mahasiswa dapat ikut dalam kegiatan ini. Meskipun demikian, PTU mesti menyediakan fasilitas pembinaan mental-spiritual bagi mahasiswanya. Peran dosen PAI menciptakan lembaga pembinaan ruhaniyah yang menyenangkan, sesuai dengan perkembangan zaman dan diminati banyak orang sangat dibutuhkan. Lagi-lagi, ide cerdas, kreatifitas dan inovasi dosen PAI selalu dibutuhkan.
Dengan upaya seperti ini, diharapkan kita mampu “menemukan yang hilang” dari Sumatera Barat, yaitu generasi yang ilmuan yang ulama, dan ulama yang ilmuan. Insya’ Allah!

Baco Tokhus....