Sabtu, Mei 05, 2012

Pendidikan Karakter Versi Sumatera Barat

Oleh Muhammad Kosim, MA
Terbit di Haluan, 9 Desember 2011

Pendidikan karakter, meskipun sebelumnya menjadi perdebatan antara pemerintah daerah dengan DPRD Prop. Sumbar, kini mulai disosialisasikan ke sekolah-sekolah binaan. Bahkan seminggu terakhir (mulai Minggu, 4 Desember lalu), beberapa tim pengembang kurikulum pendidikan karakter yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Propinsi Sumatera Barat, melakukan pembinaan terhadap satu SMP tiap kota/kabupaten.

Menarikanya, pendidikan karakter tersebut telah mengalami pengembangan dari konsep pendidikan karakter yang disusun oleh Balitbang Pusat Kurikulum Kemendiknas. Pendidikan karakter versi Sumatera Barat ini bertolak dari nilai-nilai Pancasila dan ABS-SBK (Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah). ABS-SBK itu sendiri terdiri dari nilai-nilai agama (baca: Islam) dan budaya (Minankabau).

Nilai-nilai pancasila dimaksud mengacu pada nilai-nilai karakter bangsa yang dikembangkan oleh Balitbang Puskur Kemendiknas yang berjumlah 18 nilai. Sedangkan nilai-nilai ABS-SBK merupakan pengembangan sekaligus ciri khas pola pendidikan karakter versi Sumatera Barat yang bersumber dari nilai-nilai karakter yang populer dalam ajaran Islam, lalu nilai-nilai budaya Minangkabau yang telah lama tumbuh-berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Pengembangan nilai ini sempat mendapat kritikan beberapa pihak karena dianggap bersifat ekslusif pada umat Islam dan masyarakat Minangkabau saja, lalu dikhawatirkan terjadinya diskriminasi terhadap kelompok lain. Namun, filosofi ABS-SBK demikian mengakar kuat dalam tradisi dan kehidupan masyarakat Sumatera Barat. Jika tidak dilakukan upaya pelestarian dan penerapannya, khususnya lewat proses pendidikan, maka ia hanya slogan jadi kenangan. Jika itu terjadi, maka masyarakat Sumatera Barat sendiri yang justru menjadi korban, luntur dan tercerabut dari budaya aslinya sendiri.

Oleh karena itu, pengembangan nilai-nilai ABS-SBK bukanlah diskriminatif dan ekslusif. Nilai-nilai ABS-SBK tersebut bersifat universal yang berlaku bagi setiap orang yang menginginkan menjadi pribadi berkarakter, berbudaya dan berperadaban tinggi.

Nilai-nilai ABS-SBK tersebut tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai kelompok pertama, tetapi merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Antara nilai-nilai pada tiga kelompok tersebut (Pancasila, Agama dan Budaya) disinkronisasikan, bukan dipertentangkan.

Nilai kepedulian sosial, misalnya, dapat disinkronkan dengan nilai ta’awun (tolong-menolong) dalam Islam, nilai bahambauan-baimbauan (kaba buruak bahambauan, kaba baiak baimbauan) dalam budaya Minangkabau. Begitu pula nilai disiplin, dalam agama dikenal nilai istiqamah dan taat, sedangkan pada budaya Minangkabau dikenal nilai taguah (Mamacik arek mamegang taguah; Diasak indak layua dibubuik indak mati). Demikian seterusnya.

Adapun bentuk penerapan dan pengembangan pendidikan karakter tersebut, secara garis besar dilakukan melalui tiga hal, yaitu melalui integrasi pada semua mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya sekolah.

Integrasi Nilai Karakter

Integrasi nilai karakter pada semua mata pelajaran dilakukan dalam kegiatan intrakurikuler. Integrasi yang dimaksud adalah mamasukkan dan menanamkan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran. Ada tiga bentuk pelaksanaan integrasi ini, yaitu perilaku dalam pembelajaran, internalisasi nilai-nilai dan integrasi Imtaq.

Perilaku dalam pembelajaran adalah sikap dan tingkah laku guru dalam kelas ketika berinteraksi/berkomunikasi dengan peserta didik. Guru mesti menjadi teladan, model, atau tokoh identifikasi yang berkarakter bagi peserta didiknya. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam upaya ini, di antaranya: memasuki ruang kelas dengan membaca salam, mengawali pembelajaran dengan basmalah dan doa, komunikasi verbal dan nonverbal yang santun, membiasakan kalimat-kalimat tayyibah, mengedepankan penghargaan, serta menutup pembelajaran dengan hamdalah dan doa.

Internalisasi nilai-nilai dalam pembelajaran dilakukan dengan memasukkan dan menanamkan nilai-nilai karakter yang relevan dengan materi ajar. Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah: silabus yang sudah disusun dianalisis untuk dapat mengintegrasikan/memasukan nilai-nilai karakter yang sesuai dengan tuntutan SK, KD; hasil analisis silabus disinkronkan ke dalam RPP yang tergambar pada fase apersepsi, kegiatan inti, dan penutup; pada kegiatan inti tergambar penanaman nilai pada setiap fase (eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi); lalu setiap pemberian tugas kepada peserta didik agar selalu mengupayakan penanaman nilai-nilai.

Integrasi Imtaq dalam materi pembelajaran dilakukan dengan menerapkan kembali konsep integrasi Imtaq dan Iptek yang pernah populer di akhir tahun 1990-an dan di awal tahun 2000. Yang terpenting dalam langkah ini adalah mengintegrasikan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama dalam konsep Imtaq. Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini adalah: analisis materi yang relevan dengan ayat-ayat al-Qur’an; pembelajaran dihubungkan dengan ayat-ayat al-Qur’an/Hadis yang dapat dilakukan pada pendahuluan (motivasi), kegiatan inti (eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi), atau penutup (refleksi dan penugasan); lalu menguatkan implementasi dari nilai-nilai karakter yang ada.

Pengembangan Diri

Sebagai salah satu kegiatan penting di sekolah, pengembangan diri juga menjadi wadah untuk penanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik. Paling tidak, pengembangan diri ini dilakukan melalui kegiatan layanan konseling, mentoring, ekstrakurikuler dan kegiatan tidak terprogram.

Pada kegiatan layanan konseling, dilakuan internalisasi nilai-nilai karakter pada bimbingan pribadi, sosial, belajar, karir, dan kehidupan keluarga serta melalui pelaksanaan jenis layanan.

Kegiatan ekstrakurikuler mesti memenuhi tiga kelompok utama, nasional, agama, dan budaya Minangakabu. Pada bidang nasional, bisa dilaksanakan Pramuka, PBB, UKS, PMR, KIR, OSN, Olahraga, Seni, dan sebagainya. Pada bidang agama, dapat diselenggarakan kegiatan Ekskul berupa Tahfizh al-Qur’an, Tahsin al-Qur’an, Sahr al-Qur’an, Tilawah al-Qur’an, Pelatihan Khutbah Jumat, Kaligrafi, Nasyd, ROHIS, Forum an-Nisa’, dan lainnya. Sedangkan pada bidang budaya Minangkabau, bisa dikembangkan Ekskul Randai, Silek, Salawaik Dulang, Dikia, Pidato Adaik, Kuliner Minang, Tari Minang, dan seterusnya.

Pada kegiatan tidak terprogram, mengacu pada kegiatan rutin, spontan, keteladanan, dan pengkondisian. Pada kegiatan rutin, dilakukan beberapa kegiatan, di antaranya: Upacara bendera setiap hari senin, shalat zhuhur berjamaah, shalat dhuha 20 menit pada jam istirahat, tausiyah/Muhadharah setiap hari Jumat pada jam pertama, tadaruih al-Qur’an sebelum pembelajaran pertama, membaca asmaul husna dan doa pada hari tertentu, mengumpulkan infaq untuk kegiatan keislaman setiap hari jumat, menginformasikan kegunaan infaq yang telah digunakan, mengumpulkan sumbangan bencana alam sekali seminggu, kebersihan kelas setiap pagi sebelum masuk kelas (kebersihan lingkungan), senam pagi setiap hari sabtu, layanan kesehatan di UKS, dan lainnya.

Pada kegiatan spontan, bisa pula dilakukan hal-hal berikut: mengucapkan Assalamu’alaikum setiap bertemu, membudayakan 5S (senyum, sapa, salam, santun, dan sopan) setiap bertemu, menjenguk teman yang sakit jika ia sakit, memungut sampah dan membuangnya pada tempat yang disediakan, antri jika menunggu sesuatu, bertakziyah ke rumah duka jika ada keluarga dekat (terutama orang tua) siswa yang meninggal dunia, sujud syukur ketika memperoleh nikmat atau terhindar dari bahaya, mengumpulkan sumbangan untuk bantuan korban bencana alam, dan seterusnya.

Kegiatan keteladanan bisa melakukan beberapa kegiatan, di antaranya: saling mendoakan, berpakaian rapi dan menutup aurat, berbahasa yang baik dan sopan, rajin membaca, memuji kebaikan dan atau keberhasilan orang lain, disiplin dan tepat waktu, malu melanggar peraturan (terlambat, mencontek, dan sebagainya) dan sebagainya.

Sedangkan kegiatan pengkondisian, dapat dilakukan melalui kegiatan: menyediakan tempat bersuci (thaharah) dan tempat ibadah yang representative, membuat tempat sampah sesuai kebutuhan, memfasilitasi tempat bermain yang kondusif, menyiapkan fasilitas olahraga, menyediakan kantin yang higienis, serta menciptakan lingkungan yang ASRI (Asli, Sejuk, Rindang, dan Indah).

Kegiatan yang paling menarik lagi dalam pendidikan karakter versi Sumatera Barat ini adalah kegiatan Mentoring yang dilakukan secara intensif dan kontiniu. Dalam hal ini, setiap guru akan menjadi mentor bagi beberapa peserta didik dalam kelompok kecil. Adapun langkah-langkah kegiatannya adalah setiap guru bertindak sebagai mentor dan setiap mentor melayani 10 – 12 siswa. Mentor juga melakukan anekdotal record (mencatat nilai-nilai karakter siswa yang dikembangkan) dengan kategori penilaian BT (Belum Terlihat), MT (Mulai Terlihat), MK (Mulai Berkembang), dan MB (Mulai Membudaya).

Kemudian mentor menjalankan fungsi BK, memberikan perhatian pada permasalahan siswa, mengembangkan keislaman siswa (terutama 5S [senyum, salam, sapa, sopan dan santun], shalat dan baca al-Qur’an), menjadi motivator dan kontrol dalam pengembangan siswa, dan anggota kelompok mentoring mesti sejenis (laki-laki dengan laki, atau sebaliknya) dibimbing oleh mentor yang sejenis pula. Jika tidak memungkinkan, mentor perempuan dapat membimbing siswa laki-laki, tetapi mentor laki-laki hanya membimbing siswa laki-laki saja.

Kegiatan mentoring ini akan efektif dilakuan jika semua guru ikhlas dan sungguh-sungguh menjalankan program ini. Bukan justru menganggapnya sebagai beban dan pekerjaan baru yang memberatkan. Guru diharapkan bertindak semacam orang tua asuh bagi peserta didik yang ada dalam kelompok kecil tersebut sehingga guru tersebut mendidik dan memperhatikan siswa dalam kelompoknya sebagaimana ia memperlakukan anak kandungnya sendiri.


Budaya Sekolah

Budaya sekolah merupakan upaya menciptakan suasana kondusif dalam lingkungan sekolah sehingga memudahkan penanaman karakter bagai peserta didik dan seluruh warga sekolah.

Untuk menciptakan budaya sekolah ini, dapat dilakukan beberapa hal, di antaranya: menentukan skala prioritas nilai karakter yang akan dikembangkan/dibudayakan di sekolah, menyusun dan menetapkan regulasi/aturan sekolah untuk penerapan nilai-nilai karakter, menyusun dan mentapkan kode etik guru dan siswa yang bercirikan karakter Bangsa dan ABS-SBK, dan membuat komitmen tertulis.

Demikian gambaran umum konsep pendidikan karakter yang dikembangkan di sekolah-sekolah yang ada di wilayah Sumatera Barat. Kuunci utama dalam keberhasilan pendidikan karakter ini sebenarnya terletak pada guru itu sendiri. Seorang guru mesti berkarakter sehingga mudah diterima dan ditiru oleh peserta didikanya. Tanpa keteladanan dari seorang guru, maka pendidikan karakter akan mengalami nasib yang sama dengan program-program sebelumnya yang hilang begitu saja seiring dengan terhentinya pelatihan dan bantuan-bantuan yang bersifat material.

Demikian pula kepala sekolah, merupakan orang pertama yang diharapkan mampu mengorganisir dan memotivasi setiap guru untuk terlibat aktif dalam pelaksanaan pendidikan karakter ini. Tanpa bantuan yang serius dari seorang kepala sekolah, maka kegiatan ini lagi-lagi hanya sebatas kegiatan tahunan yang dapat berubah kapan saja. Akibatnya karakter generasi kita sulit terbentuk dengan baik.

Karena itu, mari kita berpikir bahwa kegiatan ini merupakan lahan ibadah yang mulia bagi kita untuk mendidik peserta didik yang berkarakter, berakhlak mulia, dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Sebab, ada kecenderungan selama ini kita lebih mengajar, bukan mendidik; lebih mementingkan kognisi, nyaris mengabaikan afeksi; mencerdaskan otak, melupakan hati (qalbu), padahal pendidikan sejatinya mengoptimalkan potensi peserta didik secara wajar dan seimbang. Wallahu a’lam.


Baco Tokhus....

Karakter Guru dalam Perspektif Alquran

Oleh: Muhammad Kosim

Dalam pelaksaan pendidikan sejatinya umat Islam menerapkan pendidikan karakter berbasis al-Qur’an, seperti yang dikemukakan pada tulisan sebelumnya pada kolom opini, jumat (17/6) lalu di Koran ini. Namun peran seorang guru sangat menentukan dalam pendidikan karakter tersebut. Jika Alquran dijadikan sebagai basis, maka seorang guru pun mesti memiliki karakter sebagaimana yang diajarkan Alquran.

Untuk mengetahui karakter guru dalam perspektif Alquran, dapat dilihat dari istilah-istilah yang semakna dengan guru. Paling tidak, menurut Abuddin Nata, ada delapan Isitilah yang menunjukkan makna guru, yaitu: ulama, ar-rasikhuna fi al-ilm, ahl dzikr, murabbi, muzakky, ulul albab, mawa’idz, dan mudarris. Selain itu ada pula istilah mu’allim, mursyd dan sebagainya.
Pertama, ulama. Dalam Fathir/35: 28, mengisyaratkan bahwa ulama adalah orang yang memiliki ilmu, dengan ilmunya ia “takut” kepada Allah. Ilmu yang dimiliki ulama bisa berupa ilmu agama (tafaqqahu fi al-din) atau ilmu alam (seperti sains). Sedangkan hakikat ilmu itu sendiri sama-sama berasal dari Allah. Jadi tugas utama seorang ulama adalah mengajarkan ilmu yang menjadikan seseorang takut dan dekat kepada Allah.
Jadi, guru sebagai ulama sejatinya menguasai ilmu agama dan ilmu secara mendalam, mau mengajarkan ilmunya itu atas panggilan agama; memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan bagi masyarakat; serta mengembangkan ilmunya secara terus-menerus, melakukan peran sebagai pelindung dan pembimbing masyarakat, sebagai motivator dalam pembangunan, melakukan peran sebagai tokoh masyarakat; dsb.

Tegasnya, bukan guru agama saja yang patut disebut ulama, tetapi guru umum yang mengajarkan ilmunya atas panggilan agama dan menanamkan nilai-nilai tauhid melalui ilmu itu, ia pun patut disebut ulama.

Kedua, ar-rasikhuna fi al-ilm. Istilah ini ditemukan dalam surat Ali Imran/3: 7 yaitu orang yang mendalam imunya sehingga ia tidak hanya dapat memahami ayat-ayat yang jelas dan terang maksudnya (ayat-ayat muhkamat), juga memahami ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian (interpretable). Mereka adalah orang yang memperoleh hidayah dari Allah. Iman mereka kokoh, taat menjalankan ibadah, memiliki kepedulian sosial, serta berakhlakul karimah.
Guru seyogyanya memiliki karakter sebagai ar-rasikhuna fi al-’ilm, hampir sama dengan karakter ulama. Bedanya, ulama tidak saja di bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam kehidupan sosial. Sementara ar-rasikhuna fi al-’alm lebih terkonsentrasi pada ilmu pengetahuan.

Ketiga, Ahl dzikr. Istilah ini terdapat dalam surat An-Nahl/16: 43), yaitu orang yang memiliki pengetahuan, menguasai masalah, atau ahli di bidangnya. Sebagai ahl dzikr, karakter guru hendaklah sebagai orang yang mengingatkan pada siswa dari perbuatan yang melanggar larangan Allah dan Rasul-Nya. Guru adalah seseorang yang mendalami ajaran-ajaran yang berasal dari Allah SWT, terutama yang terkait dengan bidang keilmuannya.

Keempat, murabbi. Istilah ini seakar dengan kata rabb atau tarbiyah, artinya pemelihara, pendidik, atau membuhkembangkan. Allah juga murabbi bagi makhluk-Nya (al-Fatihah/1:2). Adapun pendidikan Allah terhadap manusia terbagi dua, yaitu: pendidikan kejadian fisiknya serta pendidikan keagamaan dan akhlak.

Al-Muraghi menyebutkan bahwa al-Murabbi adalah orang yang memelihara, mengajar yang dibimbingnya dan diatur tingkah lakunya. Guru sebagai al-Murabbi adalah seseorang yang berusaha menumbuhkan, membina, membimbing, mengarahkan segenap potensi peserta didik secara bertahap dan berkelanjutan.

Mereka membina aspek jasmani dan rohani manusia sehingga berkembang secara sempurna. Karena itu seorang guru harus memiliki kesanggupan dan kecakapan baik jasmani maupuan rohani, sehingga tugasnya yang berat itu dapat ia laksanakan dengan sebaik-baiknya.

Kelima, Muzakki, yaitu orang yang menyucikan. Di antara ayat yang mengandung istilah ini adalah surat al-Baqarah/2: 151. Sesungguhnya, yang melakukan tugas membersihkan dan menyucikan adalah Allah dan Nabi Muhammad SAW. Jadi Allah dan Rasul adalah al-Muzakki.

Dalam konteks pendidikan, guru juga berperan sebagai al-muzakki, yaitu orang yang mampu membentuk manusia yang terhindar dari perbuatan yang keji dan munkar serta menjadi manusia yang berakhlak mulia. Karakter muzakki mengajarkan agar seorang guru senantiasa berupaya untuk menyucikan dirinya sehingga ia mudah menyucikan jiwa peserta didiknya.

Keenam, ulul albab. Di antara ayat yang memuat istilah ini adalah surat Ali Imran/3: 190-191. Ulul albab adalah orang yang berzikir dan berpikir. Mereka memiliki pemikiran (mind) luas dan dalam, perasaan (heart) halus dan peka, daya pikir (intellect) tajam dan kuat, pandangan (insight) luas dan dalam, pengertian (understanding) akurat, tepat, dan luas, serta memiliki kebijaksanaan (wisdom) yaitu mampu mendekati kebenaran dengan pertimbangan adil dan terbuka.

Ulul Albab adalah orang yang berakal atau orang yang dapat berfikir dengan menggunakan akalnya. Hal-hal yang mereka pikirkan itu amat banyak dan beragam, di antaranya ayat-ayat qauliyah (Alquran) dan ayat-ayat kauniyah (alam semesta).

Mereka juga mampu menganalisa secara mendalam terhadap berbagai masalah tersebut, kemudia ia dapat menarik hikmah atau pelajaran yang mendalam dari berbagai peristiwa tersebut.
Karakter ulul albab mengajarkan agar guru senantiasa menggunakan akalnya untuk memikirkan dan menganalisa berbagai ajaran yang berasal dari Tuhan, peristiwa yang terjadi di sekitarnya untuk diambil makna mengajarkan kepada anak didiknya.

Ketujuh, mawa’izh atau orang yang memberi nasehat (Qs. Asy-Syu’ara/26: 136). Guru sebagai mawa’izh adalah orang yang senantiasa mengingatkan, menasehatkan dan menjaga anak-anak didiknya dari pengaruh yang berbahaya. Nasehat itu berdasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan Hadis untuk melunakkan hati anak-anak muridnya sehingga mereka menjadi manusia yang terpelihara dari dosa-dosa serta mereka menjadi generasi yang shaleh dan berprestasi.

Kedelapan, mudarris. Di antara ayat yang mengandung akar kata ini adalah surat al-An’am/6: 105. Guru sebagai mudarris adalah orang yang senantiasa melakukan kegiatan ilmiah seperti membaca, memahami, mempelajari dan mendalami berbagai ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia juga berupaya mengajarkan dan membimbing para siswanya agar memiliki tradisi ilmiah yang kuat.

Kesembilan, mu’allim, yaitu orang yang berilmu. Istilah ini tersirat dalam surat al-Baqarah/2: 151.Makna ilmu dalam perspektif Alquran lebih luas dan mendalam dari istilah knowledge, sains, atau logos. Kata ilmu memiliki kaitan dengan alam, amal, dan al-‘alim. Ilmu berkembang dengan mengkaji alam. Ilmu itu harus diamalkan, dan ilmu tersebut mesti mendekatkan diri kepada al-’Alim, yaitu Allah Yang Maha Memiliki Ilmu.

Guru mesti mengajarkan ilmu yang terkait dengan kognisi, psikomotor, dan apeksi. Jadi guru bertanggung jawab untuk mengajarkan ilmu untuk diamalkan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Kesepuluh, mursyd yang berasal dari kata rasyada, artinya cerdas. Istilah ini terkandung dalam surat an-Nisa’/4: 6. Cerdas dimaksud tidak saja pada intelektualitasnya, tetapi berhubungan erat dengan spiritualnya.

Suatu ketika, Imam Syafi’i berkata: “saya mengadu kepada Waqi’ tentang buruknya hafalanku, maka dia mengajarkanku (fa arsyadani) agar meninggalkan maksiat. Dan ia mengabarkan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya (nur), dan cahaya Allah SWT tidak diberikan kepada pelaku maksiat”.

Nasehat Waqi’ tersebut mengajarkan agar Syafi’i cerdas (irsyad) dengan meninggalkan kemaksiatan. Karakter guru sebagai mursyid, mesti menjadi orang yang cerdas baik dalam penguasaan materi, penerapan teknik dan metode, serta menjadi model, teladan atau tokoh identifikasi bagi anak didiknya yang jauh dari perbuatan-perbuatan maksiat.

Masih banyak istilah lain yang patut dikaji dan dikembangkan dari ayat-ayat Alquran. Jelasnya, kesepuluh istilah di atas menunjukkan bahwa karakter seorang guru tidak sekedar penyampai materi (transfer of knowledge), tetapi yang terpenting adalah melakukan internalisasi nilai (internalitation of values) yang berbasis Alquran.

Tegasnya, guru dituntut untuk membaca, mengkaji, mengamalkan dan mengajarkan ayat-ayat Alquran sesuai dengan bidang keilmuan yang dimilikinya. Dengan begitu tidak boleh berhenti belajar, meskipun telah mengajar. Guru harus tetap belajar membina dan mendidik dirinya sendiri sehingga berhasil mendidik orang lain. Dengan begitu generasi Qurani mudah terwujud. Wallahu a’lam

Baco Tokhus....