Senin, Maret 10, 2014

Inyiak Canduang, Tokoh Pendidikan Islam Kultural

Oleh: Muhammad Kosim

Terbit di Harian Singgalang, 10 Maret 2014


Syekh Sulaiman al-Rasuli, atau dikenal juga dengan “Inyiak Canduang” adalah sosok ulama terkemuka yang dikenal luas oleh kalangan pesantren di Sumatera Barat, terutama yang mengatasnamakan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Namun tidak demikian halnya di luar komunitas pesantren, termasuk di kalangan guru di sekolah umum, berdasarkan pengalaman penulis saat menyampaikan beberapa gagasannya di forum-forum guru, nama Inyiak Canduang kurang populer.

Padahal Syekh Sulaiman al-Rasuli adalah tokoh pendidikan Islam yang patut dikenal oleh masyarakat Sumatera Barat, khususnya di kalangan pemikir dan praktisi pendidikan. Kesimpulan itu dihasilkan dari penelitian ilmiah yang penulis lakukan dalam bentuk disertasi saat menyelesaikan program doktor di IAIN Imam Bonjol Padang desember 2013 lalu, dengan judul: “Gagasan Syekh Sulaiman al-Rasuli tentang Pendidikan Islam dan Penerapannya pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Sumatera Barat.”

Ketokohan Syekh Sulaiman al-Rasuli di bidang pendidikan dapat dilihat dari tiga hal, yaitu sebagai praktisi, pembaharu dan pemikir pendidikan Islam.

Pertama, sebagai praktisi pendidikan. Syekh Sulaiman ar-Rasuli (1871-1970 M), tak diragukan lagi ketokohannya sebagai praktisi pendidikan Islam. Ia aktif sebagai pendidik dan pengajar mulai dari perannya sebagai guru tuo di surau Syekh Abdullah di Halaban sejak tahun 1890 M, memimpin dan mendidik murid-muridnya di “Surau Baru” sebagai cikal bakal MTI Canduang sejak tahun 1908 hingga akhirnya surau tersebut berubah menjadi MTI Canduang sejak tahun 1926 lalu diresmikan dan diikuti oleh surau lain menjadi MTI di tahun 1928. Beliau sendiri sebagai pemimpin, pengasuh dan pendidik aktif hingga di usia senjanya sekitar tahun 1960-an di MTI Candung tersebut.

Kedua, sebagai pembaharu. Perannya sebagai pembaharu pendidikan sempat dipertanyakan oleh Azyumardi Azra selaku penguji I dalam sidang promosi doktor mempertahankan disertasi tersebut. Azyumardi mempertanyakan: “Kenapa saudara menyimpulkan Syekh Sulaiman al-Rasuli sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam? Padahal ia adalah ulama kaum Tua di Minangkabau yang cenderung mempertahankan tradisi lama, berpaham tradisional. Bukankah pembaharu di Minangkabau itu dikenal sebagai ulama kaum Muda?”
 

Inyiak Canduang memang dikenal sebagai ulama kaum Tua yang tergolong moderat. Di satu sisi ia sangat istiqamah mempertahankan i’tikad ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan mazhab Syafi’i dalam persoalan ibadah. Dalam paham ini, ia tidak berubah.

Namun sikap yang mempertahankan paham di atas bukan membuatnya alergi terhadap perubahan. Justru dalam hal-hal tertentu yang terkait dengan kemajuan dan kemaslahatan umat, ia bersikap akomodatif terhadap perubahan, termasuk di bidang pendidikan.


Perannya sebagai pembaharu pendidikan, paling tidak dapat dilihat dari dua aspek, yaitu metode pembelajaran kitab dan sistem pembelajarannya. Awalnya, pembelajaran di surau cenderung menggunakan satu kitab saja untuk mendalami satu bidang ilmu. Misalnya, mempelajari ilmu fiqh hanya mempelajari kitab Minhāj al-Thālibīn; ilmu tafsir dengan membaca kitab tafsir Jalālain, ilmu Nahwu dengan belajar kitab Matn al-Ajrumiyah, dan sebagainya. Namun Syekh Sulaiman al-Rasuli menggunakan beberapa kitab untuk mempelajari satu ilmu. Pembaharuan ini tentu tidak terlepas dari pengaruh cara belajar yang ia alami di Mekah sebelumnya selama 3,5 tahun (1903 hingga 1907 M).

Ia juga berperan amat peting dalam perubahan sistem belajar dari halaqah di Suaru menjadi sistem klasikal dalam bentuk madrasah; terutama di kalangan kaum Tua. Awalnya, Inyiak Canduang memang menolak pembaharuan itu. Paling tidak, ada tiga alasan yang ia kemukakan, yaitu: 1) yang berjumpa dengan kiyai hanya para santri kelas tinggi atau senior, padahal berkah dari nasihat dan petuah kiyai sangat penting untuk menaklukkan jiwa para santri dari berbagai tingakatan umur dan ilmu; 2) sistem bayaran uang sekolah yang ditentukan besarnya seperti dalam sistem klasikal cenderung menghilangkan keikhlasan para guru yang selama ini mengajar karena Allah semata; dan 3) sistem klasikal menimbulkan pemahaman kepada para santri bahwa setelah tamat dari jenjang pendidikan yang lebih tinggi mereka sudah dibolehkan untuk berhenti belajar.

Namun setelah mempertimbangkan perkembangan lembaga pendidikan Islam ke depan, termasuk saran dari sahabat yang lebih senior darinya, Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas, tokoh masyarakat, Demang Dt. Batuah serta murid-muridnya, termasuk Shulta’in Dt. Rajo Sampono, akhirnya ia pun merestui perubahan itu. Tanpa persetujuannya dan perubahan yang juga ia lakukan sendiri di MTI Canduang, agaknya pesantren yang berpaham ahl al-Sunnah wa al-Jamaah dan bermazah Syafi’i tidak akan berkembang di Minangkabau, seperti yang kita saksikan saat ini, terutama yang mengatasnamakan dirinya sebagai Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI).

Dari dua bentuk perubahan yang ia pelopori tersebut membuktikan bahwa ia layak disebut sebagai tokoh pembaharu di bidang Pendidikan Islam. Meskipun perubahan itu juga dilakukan oleh ulama kaum Muda, seperti Syekh Abdul Karim Amrullah/Inyiak DR (ayah Hamka), Abdullah Ahmad dan teman-temannya mengubah Surau Jembatan Besi menjadi Sumatera Thawalib di Padang Panjang, tetapi perubahan di kalangan kaum Tua sangat dipengaruhi oleh apa yang dipraktikkan Inyiak Canduang. Bahkan berdirinya MTI memberi dampak yang lebih luas terhadap perjuangan ulam kaum Tua, tidak saja di bidang pendidikan, tetapi juga dakwah, sosial hingga ke ranah politik.

Ulama-ulama ini pulalah yang kemudian mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) sebagai ormas Islam berskala nasional yang lahir dari Minangkabau dan tetap eksis hingga saat ini. Bahkan PERTI pernah menjadi Partai Politik Islam di negara ini. Karena itu, Inyiak Canduang menjadi anggota Konstituante pasca-pemilu 1955 melalui partai ini dan memimpin sidang pertama Konstituante di Bandung tahun 1956 dengan tetap mengenakan sorban dan sarung.

Ketiga, sebagai pemikir pendidikan Islam. Selama ini, Inyiak Canduang lebih dikenal sebagai tokoh atau ulama yang ahli di bidang fiqh. Apalagi ia merupakan ketua pertama Mahkamah Syar’iyyah Sumatera Tengah yang berkantor di Bukittinggi tahun 1947-1960. Namun dari sejumlah karya tulis yang ia hasilkan, ditemukan beberapa gagasannya tentang pendidikan Islam.

Salah satu buku yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam itu adalah “Pedoman Hidup di Alam Minangkabau: Menurut Garis Adat dan Syarak”. Dari buku ini, dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang ia tawarkan adalah “pendidikan Islam bernuansa kultural.” Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah tentu menjadi bagian tak terpisahkan dari gagasan tersebut. Apalagi Inyiak Canduang adalah tokoh yang paling intens mensosialisasikan ABSSBK hingga isitilah itu demikian populer hingga saat ini.
 

Penguasaannya terhadap adat Minangkabau juga sangat baik sehingga pemikirannya tentang pendidikan Islam dikompromikan dengan nilai-nilai budaya Minangkabau; bukan justru mempertentangkan. Karena itu, gagasannya tentang pendidikan Islam mendapat respons positif dari masyarakat Minangkabau hingga saat ini.

Sangat banyak pesan-pesan yang bernas tertulis dalam kitab tersebut. Di antaranya adalah: “Apo ilmu nan lah dapek barang pangajian nan lah matang taraso, dipakai diamalkan ka bekal pulang ka akhirat, jangan sangajo untuak dunia, tuah pangkat, uang jo pitih, sakali jangan itu anak.”

“Sungguah pun anak basekolah, salamo nyawo di kanduang badan, agamo jangan anak gadaikan, adat jangan anak jual, kapandaian buliah kito cari, asal manfaat pado kito, tapi pandirian tatap-tatap, jangan bafaham bak ujuang batuang, kama angin nan kareh ka kiyun rabah ujuangnyo.”

“Urang kok datang sakaliliang, nak manguji pado anak, bagi-bagi derajatnyo, ado kayo ado miskin, ado mulia ado hina, siko anak tagak lurus, samo disayangi dikasihi, sangkolah murid anak kanduang, jangan bak cando nan den caliak, bamurid balabiah kurang, agak sayang ka nan kayo, agak kasih ka nan mulia, tando mangajar tak ikhlas, itu basifat riya, masuak narako kasudahan”


Selain itu, akhlak menjadi tujuan utama dari pendidikan itu sendiri. Akhlak itu akan terbentuk jika seseorang memiliki akidah yang kuat dan ibadah yang taat. Untuk menumbuhkembangkannya, manusia perlu menghindari dua penyakit, yaitu jahil dan ghafil. Jahil diobati dengan menuntut ilmu dan ghafil diterapi dengan zikir kepada Allah.

Dari tiga alasan di atas, maka kesimpulan “Syekh Sulaiman al-Rasuli sebagai Tokoh Pendidikan Islam” dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena itu, sudah sepatutnya masyarakat Sumatera Barat, terutama praktisi pendidikan dan para ulama Minangkabau, mengenal lebih dekat dengan ulama-ulama terdahulu, termasuk Inyiak Canduang.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal tokoh-tokoh terdahulu, baik biografi maupun pemikiran dan perjuangannya untuk dijadikan sebagai inspirasi untuk berbuat yang terbaik untuk bangsa ini.

Perjuangan dan cita-cita mereka harus tetap dilanjutkan. Kini, di atas pusaranya yang terletak di halaman MTI Canduang terpahat pesan: “Teroeskan Membina Tarbijah Islamijah ini sesoei dengan Peladjaran jang Koe Berikan”. Wallahu a’lam.

Baco Tokhus....