Jumat, Desember 05, 2008

Makalah Filsafat Pendidikan Islam

ANALISIS FILOSOFIS PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A.Pendahuluan

Pendidik dan peserta didik merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan Islam. Kedua komponen ini saling berinteraksi dalam proses pembelajaran untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan. Oleh karena itu, pendidik sangat berperan besar sekaligus menentukan ke mana arah potensi peserta didik yang akan dikembangkan.

Demikian pula peserta didik, ia tidak hanya sekedar objek pendidikan, tetapi pada saat-saat tertentu ia akan menjadi subjek pendidikan. Hal ini membuktikan bahwa posisi peserta didik pun tidak hanya sekedar pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima air kapan dan dimanapun. Akan tetapi peserta didik harus aktif, kreatif dan dinamis dalam berinteraksi dengan gurunya, sekaligus dalam upaya pengembangan keilmuannya.

Konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri. Karakteristik ini akan membedakan konsep pendidik dan peserta didik dalam pandangan pendidikan lainnya. Hal itu juga dapat ditelusuri melalui tugas dan persyaratan ideal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik dan peserta didik yang dikehendaki oleh Islam. Tentu semua itu tidak terlepas dari landasan ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang menginginkan perkembangan pendidik dan peserta didik tidak bertentangan dengan ajaran kedua landasan tersebut sesuai dengan pemahaman maksimal manusia.

Jika karakteristik yang diinginkan oleh pendidikan Islam tersebut dapat dipenuhi, maka pendidikan yang berkualitas niscaya akan dapat diraih. Untuk itu, kajian dan analisis filosofis sangat dibutuhkan dalam merumuskan konsep pendidik dan peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sehingga diperoleh pemahaman yang utuh tentang kedua komponen tersebut.

Makalah yang sederhana ini akan menguraikan tentang analisis filosofis tentang pendidik dan peserta didik dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Diharapkan makalah ini menjadi bahan diskusi lebih lanjut agar dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang kedua komponen itu sehingga berguna dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan secara efektif dan efisien.

B. Analisis Filosofis Pendidik

1. Pengertian Pendidik

Pendidik adalah orang yang mendidik. Dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah disebut guru, sedangkan pada perguruan tinggi disebut dengan dosen. Dalam bahasa Arab, juga ditemukan beberapa istilah yang memiliki makna pendidik, yaitu ustadz, mudarris, mu’allim, dan mu’addib. Abuddin Nata mengemukakan bahwa kata ustadz jamaknya asātidz yang berarti teacher (guru), professor (gelar akademik), jenjang di bidang intelektual, pelatih, penulis, dan penyiar. Adapun kata mudarris berarti teacher (guru), instructor (pelatih), lecture (dosen). Sedangkan kata mu’allim yang juga berarti teacher (guru), instructor (pelatih), dan trainer (pemandu). Sementara kata mu’addib berarti educator (pendidik) atau teacher in koranic school (guru dalam lembaga pendidikan al-Qur’an).

Adanya perbedaan dalam penggunaan istilah pendidik, juga berangkat dari penggunaan istilah pendidikan yang digunakan. Bagi orang yang berpendapat bahwa istilah yang tepat untuk menggunakan pendidikan adalah tarbiyah, maka seorang pendidik disebut murabbi, jika ta’līm yang dianggap lebih tepat, maka pendidiknya disebut mu’allim, dan jika ta’dīb yang dianggap lebih cocok untuk makna pendidikan, maka pendidik disebut dengan mu’addib.

Kata ”murabbi”, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknnya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian serta akhlak terpuji. Term mu’addib mengacu kepada guru yang memiliki sifat-sifat rabbany yaitu nama yang diberikan bagi orang-orang yang bijaksana dan terpelajar yang memiliki sikap tanggung jawab yang tinggi serta mempunyai jiwa kasih sayng terhadap peserta didik. Sedangkan kata ”mu’allim” memberikan konsekuensi bahwa guru adalah seorang yang alim (ilmuan), menguasai ilmu pengetahuan, keratif dan memiliki komitmen dalam pengembangan ilmu. Dalam pengertian ini maka seorang guru harus kaya dengan ilmu dan aktivitas dan ia berusaha untuk memberikan pengetahuannya tersebut kepada peserta didiknya.

Meskipun terdapat berbagai perbedaan istilah, yang jelasnya makna dasar dari masing-masing istilah tersebut terkandung di dalam konsep ”pendidik” dalam pendidikan Islam. Dengan demikian, ”pendidik” tidak hanya sebagai orang yang menyampaikan materi an sich kepada peserta didik (transfer of knowladge), tetapi lebih dari itu ia juga bertugas untuk mengembangkan kemampuan peserta didik secara optimal (tranformation of knowladge) serta menanamkan nilai (internalitation of values) yang berlandaskan kepada ajaran Islam. Tegasnya, seorang pendidik berperan besar dalam menumbuh-kembangkan berbagai potensi positif peserta didik secara optimal sehingga tujuan pendidikan Islam yang ideal dapat diraih.

Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, Guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.

2. Kedudukan Pendidik

a. Pendidik dalam al-Qur’an

Secara eksplisit, memang tidak ditemukan ayat-ayat al-Qur’ann yang berbicara tentang pendidik. Namun secara implisit, al-Qur’an membicarakan tentang pendidik. Hal itu dapat dilihat dari konsep al-Qur’an tentang ilmu dan kedudukan orang-orang yang berilmu. Orang yang berilmu ini tentunya memiliki hubungan erat dengan pendidik, dimana pendidik adalah orang yang memiliki dan mengajarkan ilmu.
Dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah memposisikan pendidik pada tempat terhormat. Seperti firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadilah/58: 11)

Selain dari ayat di atas, juga terdapat firman Allah dalam surat az-Zumar tentang posisi seorang pendidik dengan ilmu yang dimilikinya. Firman-Nya:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
Artinya: Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. az-Zumar/39: 9).

Selain dari posisi di atas, seorang pendidik yang berilmu tersebut memiliki karakter takut, tunduk dan taat kepada Allah (khasyyatullah). Hal ini berarti bahwa secara implisit seorang pendidik memiliki kelebihan dari manusia lain ketika menjalankan perintah Allah. Firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Fathir/35: 28).

Menurut Ramayulis, dari ayat-ayat yang berkenaan dengan ilmu (pendidik) di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah menempatkan seorang pendidik pada posisi yang terhormat. Jika digunakan logika berfikir yang linear maka tentunya posisi ulama akan terus meningkat derajatnya apabila ia mengaplikasikan ilmunya dalam sikap hidup dan perilaku sehari-hari. Selanjutnya posisi terhormat seorang pendidik tersebut akan terus meningkat ke derajat yang lebih tinggi bila ilmu tersebut diwariskan kepada orang lain melalui usaha pendidikan.

b. Pendidik dalam Hadis


Dari beberapa hadis dapat dilihat bahwa Nabi Muhammad SAW juga memposisikan pendidik di tempat yang mulia dan terhormat. Dia menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, sementara makna ulama adalah orang yang berilmu. Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidik termasuk ulama. Tegasnya, pendidik adalah pewaris para nabi. Hadis itu berbunyi:
.....اْلعُلَمَاءُ وَرَاثَتُ اْلاَنْبِيَاءِ.....
Artinya: …...Para ulama (guru) adalah pewaris para nabi…(Dari Abu Darda’ r.a. dan diriwayatkan oleh Ibn Majah)

Hadis di atas juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memberikan perhatian yang besar terhadap ”pendidik” sekaligus memberikan posisi terhormat kepadanya. Hal ini beralasan mengingat peran pendidik sangat menentukan dalam mendidik manusia untuk tetap konsisten dan komitmen dalam menjalankan risalah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

c. Pendidik dalam Sistem Pendidikan Nasional

Dalam sejarah bangsa Indonesia, status pendidik juga mendapat penghormatan yang mulia. Bahkan sering dikenal pepatah yang menyebutkan bahwa guru adaha ”digugu dan ditiru”. Di beberapa wilayah Indonesia, ada beberapa ungkapan populer untuk menyebut guru. Di Minangkabau, misalnya, guru biasanya disebut Buya berasal dari kata abuyya yang berarti Bapakku tercinta; sementara di daerah lain, seperti Sunda, dikenal sebutan Yang guru, Nyai guru, Kang guru, Uwa guru dan Aki guru. Walaupun sebutan itu ditujukan kepada guru yang memiliki keunggulan, namun hal ini bisa dijadikan alasan kuat untuk menyatakan bahwa guru berada pada posisi terhormat di mata masyarakat.
Dalam sistem pendidikan nasinal, pendidik dikenal dengan beberapa sebutan, seperti yang ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 1 ayat (6): ” Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”.

Sementara dalam pendidikan formal, pendidik dikenal dengan sebutan guru untuk tingkat sekolah dasar dan menengah dan dosen untuk tingkat perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Bab II pasal 2 disebutkan bahwa:

1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 8 disebutkan juga bahwa ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”

Kompetensi yang dimaksud dijelaskan sebelumnya pada pasal 1 ayat (10): ”Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.” Sedangkan kompetensi itu meliputi empat aspek, sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 10 ayat (1) ”Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.

Adanya konstitusi di atas menunjukkan bahwa pendidik memang memiliki peran penting serta berkedudukan yang mulia dan terhormat, tidak saja dalam perspektif Islam, tetapi juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Hal ini tentunya berangkat dari kesadaran bahwa pendidik memiliki peran strategis sekaligus memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan dan peningkatan peradaban suatu bangsa.

Berkaitan dengan ini, maka dalam pendidikan Islam disebutkan bahwa pendidik dipandang sebagai abu al-ruh (orang tua spiritual atau rohani) bagi para muridnya. Guru hadir di hadapan muridnya dalam kelas memberikan bimbingan jiwa dengan berbagai hikmah, dan mauizhah dalam melaksanakan pendidikan, terutama dalam membimbing akhlak dan moral. Atas dasar ini maka menghormati pendidik juga berarti menghormati Bapaknya (orang tua) sendiri, dan penghargaan terhadap pendidik berarti juga menghargai orang tuanya juga.

3. Tugas Pendidik

Mengenai tugas pendidik dalam perspektif pendidikan Islam, Ramayulis membaginya ke dalam dua tugas, yaitu tugas umum dan tugas khusus. Secara umum, tugas pendidik adalah mengemban misi rahmatan li al-‘ālamīn, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian misi dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh, dan bermoral tinggi.

Secara khusus, tugas pendidik ada tiga macam. Pertama, sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan. Kedua, sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia. Ketiga, sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Tugas ketiga ini menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.

Sementara Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip Samsul Nizar, bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para pendidik hendaknya mengarahkan peserta didik untuk mengenal Allah lebih dekat melalui seluruh ciptaannya. Para pendidik dituntut untuk dapat mensucikan jiwa peserta didiknya. Hanya dengan melalui jiwa-jiwa yang suci manusia akan dapat dekat dengan Khaliq-Nya. Begitu pula an-Nahlawi berpendapat bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, tugas utama yang perlu dilakukan pendidik adalah tazkiyat an-nafs yaitu mengembangkan, membersihkan, mengangkat jiwa peserta didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkan dari kejahatan, dan menjaganya agar tetap berada pada fitrah-Nya yang hanif. Pendapat ini menunjukkan bahwa tugas seorang pendidik yang tidak kalah penting adalah sebagai muzakky.

Dalam al-Qur’an juga disinggung bahwa tugas pendidik—dalam konteks pendidik sebagai waratsatul an-biya’—memang bertugas sebagai sekaligus mu’allim sebagai muzakky. Hal ini sesuai dengan tugas Rasul dalam firman-Nya:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni'mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al-Baqarah/2: 151).

4. Karakteristik Pendidik

Perlu juga dipahami bahwa pendidik dalam pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik ini tentunya membedakan pendidik dalam perspektif pendidikan Islam dengan pandangan pendidikan non-Islam lainnya. Al-Abrasy mengemukakan beberapa karakteristik pendidik.

a. Seorang pendidik bersifat zuhud, artinya melaksanakan tugasnya bukan semata-mata karena materi, melainkan mendidik untuk mencari keridhaan Allah.
b. Seorang pendidik harus bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari dosa, sifat ria dengki, permusuhan, dan sifat –sifat tercela lainnya.
c. Seorang pendidik harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya dan memiliki sifat-sifat terpuji lainnya, seperti rendah hati, jujur, lemah lembut, dan sebagainya.
d. Seorang pendidik mesti suka memaafkan orang lain, terutama kesalahan peserta didiknya, lalu ia juga sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan mempunyai harga diri.
e. Seorang pendidik harus mencintai peserta didiknya seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan keadaan anak-anaknya.
f. Seorang pendidik harus mengetahui karakter/tabiat peserta didiknya.
g. Seorang pendidik mesti menguasai pelajaran yang ia berikan.

Sementara an-Nahlawi menyebutkan beberapa karakteristik seorang pendidik, yaitu:
a. Mempunyai watak dan sifat rubbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya.
b. Bersifat ikhlas; melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari ridha Allah dan menegakkan kebenaran.
c. Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik.
d. Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
e. Senantiasa membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan mengkajinya lebih lanjut.
f. Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi sesuai dengan prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan.
g. Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan proporsional.
h. Mengetahui kondisi psikis peserta didik.
i. Tanggap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan atau pola berpikir peserta didik.
j. Berlaku adil terhadap peserta didiknya.

Dari karakteristik di atas dapat dipahami bahwa pendidik dalam pandangan Islam memiliki posisi yang tinggi dan terhormat. Namun tugas yang mesti mereka emban tidaklah mudah, sebab Islam menuntut pendidik tersebut melakukan terlebih dahulu apa-apa yang akan ia ajarkan. Dengan begitu, pendidik akan mampu menjadi teladan (uswah) bagi peserta didiknya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendidik yang mulia, yaitu Nabi Muhammad SAW.

Ibn Khaldun, dalam kitabnya Muqaddimah, juga berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki karakter yang baik. Dalam hal ini ia mengutip wasiat al-Rasyd kepada Khalaf bin Ahmar, guru puteranya MUhammad al-Amin. Wasiat ini merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Wasiat itu berbunyi,

"O Ahmar, Amirul Mu'minin telah mempercayakan anaknya kepada Anda, kehidupan jiwanya, dan buah hatinya. Maka, ulurkan tangan Anda padanya, dan jadikan dia taat pada Anda. Ambillah tempat di sisinya yang telah Amirul Mukminin berikan pada Anda. Ajari dia membaca Al Qur'an. Perkenalkan dia sejarah. Ajak dia meriwayatkan syiir-syiir dan ajari dia Sunnah-sunnah Nabi. Beri dia wawasan bagaimana berbicara dan memulai suatu pembicaraan secara baik dan tepat. Larang dia tertawa, kecuali pada waktunya. Biasakan dia menghormati orang-orang tua Bani Hasyim yang bertemu dengannya, dan agar ia menghargai para pemuka militer yang datang ke majlisnya. Jangan biarkan waktu berlalu kecuali jika Anda gunakan untuk mengajarnya sesuatu yang berguna, tapi bukan dengan cara yang menjengkelkannya, cara yang dapat mematikan pikirannya. Jangan pula terlalu lemah-lembut, bila umpamanya ia mencoba membiasakan hidup santai. Sebisa mungkin, perbaiki dia dengan kasih-sayang dan lemah-lembut. Jika dia tidak mau dengan han itu, Anda harus mempergunakan kekerasan dan kekasaran."

Wasiat di atas menjadi hal yang penting untuk diketahui oleh setiap pendidik. Dari wasiat itu pula dapat disimpulkan bahwa setiap pendidik mesti bijaksana dalam mendidik anaknya, penuh kesabaran dan kasih sayang serta tanggung jawab yang tinggi sehingga si anak memiliki kompetensi di bidang yang ia ajarkan.

5. Persyaratan Pendidik

Dari penjelasan tugas dan karakteristik pendidik di atas, dapat dipahami bahwa menjadi seorang pendidik yang sesungguhnya tidaklah mudah; butuh upaya yang sungguh-sungguh. Agar tugas tersebut dapat dijalankan dan karakteristik pendidik itu bisa dimiliki, maka seorang guru harus memiliki beberapa persyaratan. Al-Kanani (w. 733 H), seperti yang dikutip oleh Ramayulis, bahwa ada beberapa persyaratan seorang pendidik dalam pandangan pendidikan Islam. Persyaratan tersebut sebagai berikut:
Pertama, syarat-syarat pendidik berhubungan dengan dirinya sendiri, yaitu:

1. Pendidik hendaknya senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat ilmiah yang diberikan Allah kepadanya. Karenanya ia tidak mengkhianati amanat itu, malah ia tunduk dan merendahkan diri kepada Allah SWT.
2. Pendidik hendaknya memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah tidak mengajarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu orang-orang yang menuntut ilmu untuk kepentingan dunia semata.
3. Pendidik hendaknya bersifat zuhud.
4. Pendidik hendaknya tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise atau kebanggaan atas orang lain.
5. Pendidik hendaknya menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara’ dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan hara dirinya di mata orang banyak.
6. Pendidik hendaknya memelihara syi’ar-syi’ar Islam, seperti melaksanakan shalat berjamaah di masjid, mengucapkan salam, dsb.
7. Pendidik hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunahkan oleh agama, baik dengan lisan maupun perbuatan, seperti membaca al-Qur’an, berzikir dan shalat tengah malam.
8. Pendidik hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak buruk.
9. Pendidik hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hala-hal yang bermanfaat, seperti beribadah, membaca, mengarang, dsb.
10. Pendidik hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang yang lebih rendah dari padanya, baik dari segi kedudukan maupun usianya.
11. Pendidik hendaknya rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memperhatikan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu.

Kedua, syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran (syarat-syarat paedagogis-didaktis), yaitu:
1. Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya pendidik bersuci dari hadas dan kotoran serta mengenakan pakaian yang baik dengan maksud mengagungkan ilmu dan syari’at.
2. Ketika keluar dari rumah, hendaknya pendidik selalu berdoa agar tidak sesat menyesatkan dan terus berzikir kepada Allah SWT. Artinya, sebelum mengajarkan ilmu, seorang pendidik harus membersihkan hati dan niatnya.
3. Hendaknya pendidik mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh semua peserta didik.
4. Sebelum mulai mengajar, pendidik hendaknya membaca sebagian dari ayat al-Qur’an agar memperoleh berkah dalam mengajar, kemudian membaca basmalah.
5. Pendidik hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarki nilai kemuliaan dan kepentingan yaitu tafsir al-Qur’an, hadis, ilmu-ilmu ushuluddin, ushul fiqh, dan seterusnya.
6. Hendaknya pendidik selau mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras.
7. Hendaknya pendidik menjaga ketertiban majelis dengan mengarahkan pembahasan pada objek tertentu.
8. Pendidik hendaknya menegur peserta didik-peserta didik yang tidak menjaga sopan santun dalam kelas.
9. Pendidik hendaknya bersikap bijak dalam melalkukan pembahasan, menyampaikan pelajaran dan jawaban pertanyaan.
10. Terhadap peserta didik, pendidik hendaknya berperilaku wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya.
11. Pendidik hendaknya menutup setiap akhir kegiatan pembelajaran dengan kata-kata wallahu a’lam yang menunjukkan keikhlasan kepada Allah SWT.
12. Pendidik hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak disukainya.

Ketiga, syarat-syarat pendidik di tengah-tengah peserta didiknya, antara lain:
1. Pendidik hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syara’, menegakkan kebenaran, melenyapkan kebatilan, dan memelihara kemaslahatan umat.
2. Pendidik hendaknya menolak untuk mengajar peserta didik yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar.
3. Pendidik hendaknya mencintai peserta didiknya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
4. Pendidik hendaknya memotivasi peserta didik untuk menuntut ilmu seluas mungkin.
5. Pendidik hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar peserta didiknya dapat memahami pelajaran.
6. Pendidik hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya.
7. Pendidik hendaknya bersikap adil terhadap semua peserta didiknya.
8. Pendidik hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan peserta didik, baik dengan kedudukan ataupun hartanya.
9. Pendidik hendaknya terus memantau perkembangan peserta didik, baik intelektual maupun akhlaknya. Peserta didik yang shaleh akan menjadi “tabungan” bagi pendidik, baik di dunia maupun di akhirat.

Syarat-syarat di atas harus diupayakan oleh seorang guru secara optimal sehingga ia akan menjadi guru yang profesional, baik dalam kemampuan paedagogik, profesional, individual hingga kepada sosialnya. Semua kemampuan/kompetensi tersebut tentunya berlandaskan kepada ajaran Islam.

C. Peserta Didik

1. Pengertian Peserta Didik

Dalam bahasa Arab, setidaknya ada tiga istilah yang menunjukkan makna peserta didik, yaitu murid, al-tilmīdz, dan al-thālib. Murid berasal dari kata ‘arada, yuridu, iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan (the willer). Pengertian ini menunjukkan bahwa seorang peserta didik adalah orang yang menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh. Sedangkan al-tilmīdz tidak memiliki akar kata dan berarti pelajar. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada peserta didik yang belajar di madrasah. Sementara al-thālib berasal dari thalaba, yathlubu, thalaban, thālibun, yang berarti orang yang mencari sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik adalah orang yang mencari ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal masa depannya agar bahagia dunia dan akhirat.
Kemudian, dalam penggunaan ketiga istilah tersebut biasanya dibedakan berdasarkan tingkatan peserta didik. Murid untuk sekolah dasar, al-tilmīdz untuk sekolah menengah, dan al-thālib untuk perguruan tinggi. Namun, menurut Abuddin Nata, istilah yang lebih umum untuk menyebut peserta didik adalah al-muta’allim. Istilah yang terakhir ini mencakup makna semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan, mulai dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi.

Terlepas dari perbedaan istilah di atas, yang jelasnya peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam sebagai objek sekaligus subjek dalam proses pendidikan. Ia adalah orang yang belajar untuk menemukan ilmu. Karena dalam Islam diyakini ilmu hanya berasal dari Allah, maka seorang peserta didik mesti berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dengan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada perintah-Nya. Namun untuk memperoleh ilmu yang berasal dari Allah tersebut, seorang peserta didik mesti belajar pada orang yang telah diberi ilmu, yaitu guru atau pendidik. Karena peserta didik memiliki hubungan dengan ilmu dalam rangka upaya untuk memiliki ilmu, maka seorang peserta didik mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak tersebut tentunya tetap mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis.

2. Tugas dan Kewajiban Peserta Didik

Agar proses pendidikan yang dilalui oleh peserta didik berjalan dengan baik dan mampu mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang diinginkan, maka peserta didik hendaknya mengetahui tugas dan kewajibannya. Al-Abrasyi menyebutkan ada dua belas kewajiban tersebut, yaitu:
a. Sebelum belajar, peserta didik mesti membersihkan hatinya karena menuntut ilmu adalah ibadah.
b. Belajar diniatkan untuk mengisi jiwanya dengan fadhilah dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk sombong.
c. Bersedia meninggalkan keluarga dan tanah air serta pergi ke tempat jauh sekalipun demi untuk mendatangi guru.
d. Jangan sering menukar guru, kecuali atas pertimbangan yang panjang/matang.
e. Menghormati guru karena Allah dan senantiasa menyenangkan hatinya.
f. Jangan melakukan aktivitas yang dapat menyusahkan guru kecuali ada izinnya.
g. Jangan membuka aib guru dan senantiasa memaafkannya jika ia salah.
h. Bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan mendahulukan ilmu yang lebih penting.
i. Sesama peserta didik mesti menjalin ukhuwah yang penuh kasih sayang.
j. Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya, seperti terdahulu memberi salam.
k. Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajarannya pada waktu-waktu yang penuh berkat.
l. Bertekad untuk belajar sepanjang hayat dan menghargai setiap ilmu.

Sementara Imam al-Ghazali, yang juga dikembangkan oleh Said Hawa, berpendapat bahwa seorang peserta didik memiliki beberapa tugas zhahir (nyata) yang harus ia lakukan, yaitu:
1) Mendahulukan penyucian jiwa dari pada akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela karena ilmu merupakan ibadah hati, shalatnya jiwa, dan pendekatan batin kepada Allah.
2) Mengurangi keterkaitannya dengan kesibukan duniawi karena hal itu dapat menyibukkan dan memalingkan.
3) Tidak sombong dan sewenang-wenanga terhadap guru.
4) Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara banyak orang. Artinya, hendaknya di tahap awal ia mempelajari satu jalan ilmu, setelah ia menguasainya barulah ia mendengarkan beragam mazhab atau pendapat.
5) Seorang penuntut ilmu tidak meninggalkan satu cabang pun dari ilmu-ilmu terpuji.
6) Tidak sekaligus menekuni bermacam-macam cabang ilmu, melainkan memperhatikan urutan-urutan dan memulai dari yang paling penting.
7) Hendaknya ia memasuki sebuah cabang ilmu kecuali jika telah menguasai cabang ilmu yang sebelumnya, karena ilmu itu tersusun rapi secara berurut.
8) Hendaklah seorang penuntut ilmu mengetahui faktor penyebab yang dengan pengetahuan itu ia dapat mengetahui ilmu yang lebih mulia.
9) Hendaknya tujuan seorang peserta didik dalam menuntut ilmu di dunia untuk menghiasi diri dan mempercantik batin dengan keutamaan, sedangkan di akhirat nanti untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan diri agar dapat berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah.

Tugas dan kewajiban di atas idealnya dimiliki oleh setiap peserta didik, sehingga ilmu yang ia tuntut dapat dikuasai dan keberkahan ilmu pun ia peroleh. Selain tugas dan kewajiban tersebut, peserta didik juga diharapkan mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun mental sehingga tujuan pendidikan yang ia cita-citakan dapat tercapai secara optimal, efektif dan efisien.

3. Sifat-sifat Ideal Peserta Didik

Selain dari tugas dan kewajiban di atas, peserta didik juga mesti memiliki sifat-sifat terpuji dalam kepribadiannya. Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Samsul Nizar, bahwa sifat-sifat ideal yang mesti dimiliki oleh setiap peserta didik paling tidak meliputi sepuluh hal.

a. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam kehidupan sehari-harinya dan berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang rendah/tercela sebagai refleksi atas firman Allah dalam Q.S. al-An’am/6: 162 dan adz-Dzariyat/51:56).
b. Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan amanah-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal.
c. Bersikap tawadhu’ (rendah hati).
d. Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. Dengan pendekatan ini, peserta didik akan meihat berbagai pertentangan dan perbedaan pendapat sebagai sebuah dinamika yang bermanfaat untuk menumbuhkan wacara intelektual, bukan sarana saling menuding dan menganggap diri paling benar.
e. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun agama.
f. Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sulit (abstrak); atau dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu kifayah (Q.S. a;l-Fath/48: 19).
g. Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya. Dengan cara ini, peserta didik akan memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
h. Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
j. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi kesematan hidup dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia pada umumnya.

Dari beberapa pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa seorang peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam tidak hanya menuntut dan menguasai ilmu tertentu secara teoritis an sich, akan tetapi lebih dari itu ia harus berupaya untuk mensucikan dirinya sehingga ilmu yang akan ia peroleh memberi manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat mengutamakan akhlak seorang peserta didik. Akhlak tersebut harus diawali dari niat peserta didik itu sendiri, dimana niat menuntut ilmu tersebut haruslah semata-mata karena Allah SWT, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dijadikan prioritas utama. Selain itu, peserta didik harus menuntut ilmu berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi. Dengan konsep semacam ini, maka peserta didik akan menuntut ilmu sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip pendidikan Islam itu sendiri yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan sunnah serta berorientasi kepada dunia dan akhirat secara integral dan seimbang.

D. Rekomendasi

Demikian pentingnya pendidik dan peserta didik, maka kedua komponen ini harus menjalankan tugas dan memahami perannya masing-masing sebagaimana yang dijelaskan di atas. Dalam konteks pelaksanaan pendidikan di Indonesia, pendidik, baik guru maupun dosen memang telah mendapat perhatian dari pemerintah, terbukti dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Namun, pendidik harus menyadari bahwa pendidik tidak hanya sekedar profesi formal yang bertanggung jawab dalam menyampaikan materi sebaik-baiknya, dengan perencanaan pembelajaran yang matang dan menerapan metode yang baik. Hal yang lebih penting adalah pendidik seharusnya sebagai figur-central (uswatun hasanah) bagi peserta didiknya.

Apalagi adanya pergerseran nilai yang semakin tajam di era globalisasi ini, prinsip pragmatisme dan materialisme selalu menjadi pertimbangan—terkadang menjadi pertimbangan utama—dalam setiap profesi, termasuk profesi guru. Berkualitas tidaknya suatu pembelajaran hanya diukur dengan seberapa besar materi yang ia dapatkan.
Oleh karena itu, prinsip keikhlasan dan keteladan seharunya lebih mendapat perhatian bagi guru dalam konteks kekinian. Sikap yang ikhlas bukan berarti tidak membutuhkan materi, tetapi materi bukanlah tujuan utama dan penentu akhir berhasil tidaknya suatu pendidikan. Begitu pula keteladanan, bukan hanya tugas guru yang berkenaan dengan bidang studi akhlak an sich, seperti bidang studi agama dan bidang studi kewarganegaraan; akan tetapi keteladanan harus menjadi kepribadian setiap guru--terlepas apa pun bidang studi yang dibimbingnya—terutama guru yang beragama Islam. Hendaknya, masing-masing guru tersebut telah memiliki kepribadian Islami, sebab keteladanan kepribadian ini sangat menentukan berhasil tidaknya seorang pendidik dalam mempengaruhi pembentukan karakter (caracter bulding) peserta didik yang sesuai dengan ajaran Islam.

Hal ini tentu bisa mereka miliki, meskipun background pendidikan dari masiang-masing guru tersebut tidak berasal dari lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan Pergutuan Tinggi Agama, akan tetapi di lembaga pendidikan umum pun mereka sudah mendapat pendidikan agama melalaui bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Diperkuat lagi pendidikan keluarga dan masyarakat yang berkenaan dengan pendidikan agama Islam itu sendiri. Oleh karena itu, meskipun kepribadian Islami menjadi tanggung jawab semua guru, akan tetapi guru bidang studi Pendidikan Agama Islam (PAI) tetap mendapat prioritas dan bekerja keras agar mampu mewarnai bidang studi lain di lembaga pendidikan umum. Hanya saja, kebersamaan visi dan misi dari lembaga tersebut sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pendidik yang memiliki karakteristik sebagaimana yang diinginkan dalam konsep pendidikan Islam. Pentingnya memperkuat dan mempertegas peran guru dalam membentuk kepribadian peserta didik yang Islami juga tersirat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 6 disebutkan bahwa "kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional…".

Sementara dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 pasal 3 ditegaskan pula bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Dari tujuan ini terlihat jelas bahwa mewujudkna menusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkahlak mulia merupakan substansi dari kepribadian yang diinginkan dalam konsep pendidikan Islam itu sendiri.
Demikian pula peserta didik, juga diharapkan tidak terjebak pada paham pragmatisme dan materialisme. Ada kecendrungan ketika peserta didik bersikap demikian, maka guru pun kurang dihormati. Guru hanya dianggap sebagai instrumen atau alat dalam pendidikan. Sebagaimana yang dikenal dalam falsafah alat, ia akan digunakan selagi dibutuhkan. Ketika tidak lagi dibutuhkan, maka guru pun tidak dihormati lagi.

Untuk itu, peserta didik juga harus memahami apa tugas dan tanggung jawabnya sebagai peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam. peserta didik yang dalam pandangan pendidiakn Islam sering disebut sebagai murid sebenarnya memiliki arti ”orang yang menginginkan”. Artinya, seorang murid atau peserta didik harus menunjukkan sikap yang membutuhkan kehadiran seorang guru. Rasa ”membutuhkan” ini tentu tidak bersifat sesaat ketika ada perlu saja, tetapi dalam pandangan pendidikan Islam, seorang guru tidak hanya dihormati di saat belajar pada sekolah formal saja, sehingga disebut pula bahwa ”tidak ada mantan guru dalam pandangan pendidikan Islam”. Dengan konsep seperti ini maka seorang peserta didik harus menunjukkan sikap kesungguhannya dalam belajar dibarengi dengan adab-nya kepada guru dengan harapan ilmu yang ia peroleh bermanfaat bagi dirinya.

Selain itu, peserta didik juga harus menuntut ilmu didasari oleh motivasi awal, yaitu motivasi karena Allah SWT. Dengan motivasi ini, maka selama dalam menuntut ilmu ia harus meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Hal ini pula yang pernah dialami oleh Imam Syafi’i. Suatu ketika ia pernah meminta nasehat kepada gurunya, Imam Waki’ sebagai berikut: “Syakautu ilâ Waki’in sûa hifzi, wa arsyadani ilâ tarki al-maâhi, fa akhbarani bianna al-‘ilma nūrun, wa nur Allahi la yubdalu al-âshi”. Dari nasehat ini, ada dua hal yang perlu digarisbawahi, pertama, untuk memperkuat ingatan diperlukan upaya meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat; dan kedua, ilmu itu adalah cahaya yang tidak akan tampak dan terlahirkan dari orang yang suka berbuat maksiat. Dengan demikian irsyâd merupakan aktivitas pendidikan yang berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan kepribadian kepada peserta didik, baik yang berupa etos kerjanya, etos belajarnya, maupun dedikasinya yang serba li Allah Ta’ala.

Jika pendidik dan peserta didik mampu melaksanakan tugas dengan memiliki karakteristik atau sifat-sifat seperti di atas dengan istiqamah, maka proses pembelajaran tidak hanya menyentuh aspek kognitif an sich, tetapi lebih dari itu berbagai potensi peserta didik dapat dikembangkan secara optimal dalam ridha Allah SWT. Agaknya inilah yang disebut denga keberkahan ilmu, tidak sekedar diketahui, tetapi mempengaruhi kepribadiannya sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

E. Penutup

Dari uraian mengenai pendidik dan peserta didik dalam perspektif filsafat pendidikan Islam di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, seorang pendidik tidak hanya bertugas untuk mendidik intelektual peserta didik (transfer if knowladge), tetapi pendidik juga bertugas dalam mengembangkan kemampuan intelektual (transformation of knowladge) dan menanamkan nilai-nilai Islam dalam kepribadian peserta didik (internalitation of values). Oleh karena itu, seorang pendidik dituntut memiliki kemampuan sesuai dengan bidangnya sekaligus menjadi uswatun hasanah bagi peserta didiknya.

Kedua, dalam konsep pendidikan Islam, peserta didik bisa menjadi objek sekaligus subjek pendidikan. Sebab, peserta didik harus aktif dan dinamis dalam proses pembelajaran; bukan justru pasif laksana cangkir kosong yang siap menerima tuangan ilmu dari guru begitu saja tanpa daya kritis.
Ketiga, peserta didik yang pada dasarnya menginginkan ilmu sangat membutuhkan seorang pendidik. Maka peserta didik harus menunjukkan sikap yang baik dan menghormati pendidiknya sehingga ilmu yang ia peroleh tidak sebatas pengetahuan intelektual an sich, tetapi yang terpenting adalah kemampuan mengiternalisasikan nilai-nilai pengetahuan dalam kepribadiannya serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

BIBLIOGRAFI
Al-Qur’an dan Tejemahnya

Al-Abrasyi, Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Yakarta: Bulan Bintang, 1974

Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991

Hawa, Said, al-Mustakhlash fi Tazkiyatu al-Anfus, Penj. Abdul Amin, dkk, Yakarta: Pena Pundi Aksara, 2008, cet. ke-VI

Ibn Majah, Al-Hafizh Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn Yazid al-Qazwayani, Sunan Ibn Majah, Kairo: Dar al-Hadis, t.th., Juz I

Ilahi, Fadhl, Muhammad SAW Sang Guru yang Hebat; Sirah Nabi sebagai Guru Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih, Surabaya: Pustaka eLBA, 2006

al-Jumbulati, Ali, dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Dirasatun Muqaaranatun fit Tarbiyyatil Islamiyyah, Penj. H. M. Arifin, Jakarta: Rineka Cipta, 1994

Khaldun, Abdurrahman Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldūn; wa Hiya Muqaddimah al-Kitāb al-Musamma Kitāb al-Ibar wa Dīwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Ayyām al-Arb wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Āsharahum min Dzawī al-Sulthān al-Akbar, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1980
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam; Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006

an-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Penj. Herry Noer Ali, Bandung: CV. Diponegoro, 1992
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005

____________, Perspektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Murid, Jakarta: PT RagaGrafindo Persada, 2001

Nizar, Samsul dan al-Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta: PT Ciputat Press, 2005, edisi revisi
Qutb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Penj. Salman Harun, Bandung: al-Ma’arif
Ramayulis, Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam, Padang, Diktat, 2007

¬¬¬____________, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002

Baco Tokhus....

Makalah Filsafat Pendidikan Islam

ANALISIS FILOSOFIS LINGKUNGAN PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


A. Pendahuluan

Lingkungan yang nyaman dan mendukung terselenggaranya suatu pendidikan amat dibutuhkan dan turut berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan. Demikian pula dalam sistem pendidikan Islam, lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam itu sendiri.

Dalam literatur pendidikan, lingkungan biasanya disamakan dengan institusi atau lembaga pendidikan. Meskipun kajian ini tidak dijelaskan dalam al-Qur’an secara eksplisit, akan tetapi terdapat beberapa isyarat yang menunjukkan adanya lingkungan pendidikan tersebut. Oleh karenanya, dalam kajian pendidikan Islam pun, lingkungan pendidikan mendapat perhatian.

Untuk mengetahui lebih jelas tentang apa dan bagaimana hakikat lingkungan pendidikan Islam, maka perlu dilakukan kajian yang komprehensif dan mendalam tentang lingkungan tersebut dalam perspektif filsafat pendidikan Islam. Makalah ini sengaja disusun sebagai pengantar untuk membahas tentang masalah di atas yang selanjutnya akan didiskusikan dan disempurnakan dalam forum diskusi Mahasiswa Program Doktor IAIN Imam Bonjol Padang T.A. 2008/2009. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari pembaca sehingga apa yang diharapkan dapat terpenuhi dengan baik.

B. Analisis Filosofis tentang Lingkungan Pendidikan

1. Pengertian Lingkungan Pendidikan

Lingkungan pendidikan adalah suatu institusi atau kelembagaan di mana pendidikan itu berlangsung. Lingkungan tersebut akan mempengaruhi proses pendidikan yang berlangsung. Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan Islam. Menurut Abuddin Nata, kajian lingkungan pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam lingkungan pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.

Sebagaimana yang telah disinggung di bagian pendahuluan, bahwa dalam al-Qur’an tidak dikemukakan penjelasan tentang lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan pendidikan yang terdapat dalam praktek sejarah yang digunakan sebagai tempat terselenggaranya pendidikan, seperti masjid, rumah, sanggar para sastrawan, madrasah, dan universitas. Meskipun lingkungan seperti itu tidak disinggung secara lansung dalam al-Qur’an, akan tetapi al-Qur’an juga menyinggung dan memberikan perhatian terhadap lingkungan sebagai tempat sesuatu. Seperti dalam menggambarkan tentang tempat tinggal manusia pada umumnya, dikenal istilah al-qaryah yang diulang dalam al-Qur’an sebanyak 52 kali yang dihubungkan dengan tingkah laku penduduknya. Sebagian ada yang dihubungkan dengan pendidiknya yang berbuat durhaka lalu mendapat siksa dari Allah (Q.S. 4: 72; 7:4; 17:16; 27:34) sebagian dihubungkan pula dengan penduduknya yang berbuat baik sehingga menimbulkan suasana yang aman dan damai (16:112) dan sebagian lain dihubungkan dengan tempat tinggal para nabi (Q.S. 27: 56; 7:88; 6:92). Semua ini menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat kegiatan bagi manusia, termasuk kegiatan pendidikan Islam.

C. Macam-macam Lingkungan Pendidikan

Lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, sebab lingkungan pendidikan tersebut berfungsi menunjang terjadinya proses belajar mengajar secara aman, nyaman, tertib, dan berkelanjutan. Dengan suasana seperti itu, maka proses pendidikan dapat diselenggarakan menuju tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.

Pada periode awal, umat Islam mengenal lembaga pendidikan berupa kutab yang mana di tempat ini diajarkan membaca dan menulis huruf al-Qur’an lalu diajarkan pula ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Begitu di awal dakwah Rasulullah SAW, ia menggunakan rumah Arqam sebagai institusi pendidikan bagi sahabat awal (assabiqunal awwalun). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam mengenal adanya rumah, masjid, kutab, dan madrasah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan, atau disebut juga sebagai lingkungan pendidikan.

Pada perkembangan selanjutnya, institusi pendidikan ini disederhanakan menjadi tiga macam, yaitu keluarga—disebut juga sebagai salah satu dari satuan pendidikan luar sekolah—sebagai lembaga pendidikan informal, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal. Ketiga bentuk lembaga pendidikan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pembinaan kepribadian peserta didik.

1. Lingkungan Keluarga

Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa keluarga merupakan bagian dari lembaga pendidikan informal. Selain itu, kelurga juga disebut sebagai satuan pendidikan luar sekolah. Pentingnya pembahasan tentang keluarga ini mengingat bahwa keluarga memiliki peranan penting dan paling pertama dalam mendidik setiap anak. Bahkan Ki Hajar Dewantara, seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata, menyebutkan bahwa keluarga itu buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Dalam hal ini, orang tua bertindak sebagai pendidik, dan si anak bertindak sebagai anak didik. Oleh karena itu, keluarga mesti menciptakan suasana yang edukatif sehingga anak didiknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia sebagaimana yang menjadi tujuan ideal dalam pendidikan Islam.

Agar keluarga mampu menjalankan fungsinya dalam mendidik anak secara Islami, maka sebelum dibangun keluarga perlu dipersiapkan syarat-syarat pendukungnya. Al-Qur’an memberikan syarat yang bersifat psikologis, seperti saling mencintai, kedewasaan yang ditandai oleh batas usia tertentu dan kecukupan bekal ilmu dan pengalaman untuk memikul tanggung jawab yang di dalam al-Qur’an disebut baligh. Selain itu, kesamaan agama juga menjadi syarat terpenting. Kemudian tidak dibolehkan menikah karena ada hal-hal yang menghalanginya dalam ajaran Islam, yaitu syirik atau menyekutukan Allah dan dilarang pula terjadinya pernikahan antara seorang pria suci dengan perempuan pezina. Selanjutnya, juga persyaratan kesetaraan (kafa’ah) dalam perkawinan baik dari segi latar belakang agama, sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan persyaratan tersebut, maka diharapkan akan tercipta keluarga yang mampu menjalankan tugasnya—salah satu di antaranya—mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang tidak lemah dan terhindar dari api neraka. Allah SWT berfirman:

Surat al-Tahrim/66 ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Karena besarnya peran keluarga dalam pendidikan, Sidi Gazalba, seperti yang dikutip Ramayulis, mengkategorikannya sebagai lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini, sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili, dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab.

Oleh karena itu, orang tua dituntut menjadi teladan bagi anak-anaknya, baik berkenaan dengan ibadah, akhlak, dan sebagainya. Dengan begitu, kepribadian anak yang Islami akan terbentuk sejak dini sehingga menjadi modal awal dan menentukan dalam proses pendidikan selanjutnya yang akan ia jalani.

Untuk memenuhi harapan tersebut, al-Qur’an juga menuntun keluarga agar menjadi lingkungan yang menyenangkan dan membahagiakan, terutama bagi anggota keluarga itu sendiri. Al-Qur’an memperkenalkan konsep kelurga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Firman Allah SWT:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. ar-Rum/30: 21)

Menurut Salman Harun, kata sakinah dalam ayat di atas diungkapkan dalam rumusan li taskunu (agar kalian memperoleh sakinah) yang mengandung dua makna: kembali dan diam. Kata itu terdapat empat kali dalam al-Qur’an, tiga di antaranya membicakan malam. Pada umumnya, malam merupakan tempat kembalinya suami ke rumah untuk menemukan ketenangan bersama istrinya. Saat itu, akan tercipta ketenangan sehingga istri sebagai tempat memperoleh penyejuk jiwa dan raga. Sementara mawaddah adalah cinta untuk memiliki dengan segenap kelebihan dan kekuarangannya sehingga di antara suami istri saling melengkapi. Sedangkan rahmah berarti rasa cinta yang membuahkan pengabdian. Kata ini memiliki konotasi suci dan membuahkan bukti, yaitu pengabdian antara suami istri yang tidak kunjung habis. Ketiga istilah inilah yang menjadi ikon keluarga bahagia dalam Islam, yaitu adanya hubungan yang menyejukkan (sakinah), saling mengisi (mawaddah), dan saling mengabdi (rahmah) antara suami dan istri.

Dengan demikian, keluarga harus menciptakan suasana edukatif terhadap anggota keluarganya sehingga tarbiyah Islamiyah dapat terlaksana dan menghasilkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.

2. Lingkungan Sekolah

Sekolah atau dalam Islam sering disebut madrasah, merupakan lembaga pendidikan formal, juga menentukan membentuk kepribadian anak didik yang Islami. Bahkan sekolah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal ini cukup beralasan, mengingat bahwa sekolah merupakan tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.

Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa disebut sekolah bila mana dalam pendidikan tersebut diadakan di tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai perpanjangan dan dalam kurun waktu tertentu, berlangsung mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, dan dilaksanakan berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan.

Secara historis keberadaan sekolah merupakan perkembangan lebih lanjut dari keberadaan masjid. Sebab, proses pendidikan yang berlangsung di masjid pada periode awal terdapat pendidik, peserta didik, materi dan metode pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta didik. Hanya saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan tanya jawab, pertukaran pikiran, hingga dalam bentuk perdebatan sehingga metode seperti ini kurang serasi dengan ketenangan dan rasa keagungan yang harus ada pada sebagian pengunjung-pengunjung masjid.

Abuddin Nata menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada satu pun kata yang secara langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi sebagai akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam al-Qur’an dijumpai sebanyak 6 kali. Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari sesuatu (Q.S. 6: 105); mempelajari Taurat (Q.S. 7: 169); perintah agar mereka (ahli kitab) menyembah Allah lantaran mereka telah membaca al-Kitab (Q.S. 3: 79); pertanyaan kepada kaum Yahudi apakah mereka memiliki kitab yang dapat dipelajari (Q.S. 68: 37); informasi bahwa Allah tidak pernah memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka pelajari (baca) (Q.S. 34: 44); dan berisi informasi bahwa al-Quran ditujukan sebagai bacaan untuk semua orang (Q.S. 6: 165). Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.

Di Indonesia, lembaga pendidikan yang selalu diidentikkan dengan lembaga pendidikan Islam adalah pesantren, madrasah—Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA)—dan sekolah milik organisasi Islam dalam setiap jenis dan jenjang yang ada, termasuk perguruan tinggi seperti IAIN dan STAIN. Semua lembaga ini akan menjalankan proses pendidikan yang berdasarkan kepada konsep-konsep yang telah dibangun dalam sistem pendidikan Islam.

3. Lingkungan Masyarakat

Masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal, juga menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, tetapi tidak mengikuti peraturan-peraturan yang tetap dan ketat. Masyarakat yang terdiri dari sekelompok atau beberapa individu yang beragam akan mempengaruhi pendidikan peserta didik yang tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam pendidikan Islam, masyarakat memiliki tanggung jawab dalam mendidik generasi muda tersebut.

Menurut an-Nahlawi, tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.

Ibn Qayyim mengemukakan istilah tarbiyah ijtimaiyah atau pendidikan kemasyarakatan. Menurutnya tarbiyah ijtimaiyah yang membangun adalah yang mampu menghasilkan individu masyarakat yang saling mencintai sebagian dengan sebagian yang lainnya, dan saling mendoakan walaupun mereka berjauhan. Antara anggota masyarakat harus menjalin persaudaraan. Dalam hal ini, ia mengingatkan dengan perkataan hikmah “orang yang cerdik ialah yang setiap harinya mendapatkan teman dan orang yang dungu ialah yang setiap harinya kehilangan teman”.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan. Setiap individu sebagai anggota dari masyarakat tersebut harus bertanggung jawab dalam menciptakan suasana yang nyaman dan mendukung. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak pun, umat Islam dituntut untuk memilih lingkungan yang mendukung pendidikan anak dan menghindari masyarakat yang buruk. Sebab, ketika anak atau peserta didik berada di lingkungan masyarakat yang kurang baik, maka perkembangan kepribadian anak tersebut akan bermasalah. Dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga, orang tua harus memilih lingkungan masyarakat yang sehat dan cocok sebagai tempat tinggal orang tua beserta anaknya. Begitu pula sekolah atau madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, juga perlu memilih lingkungan yang mendukung dari masyarakat setempat dan memungkinkan terselenggaranya pendidikan tersebut.

Berpijak dari tanggung jawab tersebut, maka dalam masyarakat yang baik bisa melahirkan berbagai bentuk pendidikan kemasyarakatan, seperti masjid, surau, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), wirid remaja, kursus-kursus keislaman, pembinaan rohani, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat telah memberikan kontribusi dalam pendidikan yang ada di sekitarnya.

Mengingat pentingnya peran masyarakat sebagai lingkungan pendidikan, maka setiap individu sebagai anggota masyarakat harus menciptakan suasana yang nyaman demi keberlangsungan proses pendidikan yang terjadi di dalamnya. Di Indonesia sendiri dikenal adanya konsep pendidikan berbasis masyarakat (community basid education) sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Meskipun konsep ini lebih sering dikaitkan dengan penyelenggaraan lembaga pendidikan formal (sekolah), akan tetapi dengan konsep ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat sangat dibutuhkan serta keberadaannya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal.

4. Rekomendasi

Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, maka ketiga lembaga atau lingkungan pendidikan di atas perlu bekerja sama secara harmonis. Orang tua di tingkat keluarga harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya, terutama dalam aspek keteladanan dan pembiasaan serta penanaman nilai-nilai. Orang tua juga harus menyadari tanggung jawabnya dalam mendidik anak-anaknya tidak sebatas taat beribadah kepada Allah semata, seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah khusus lainnya, akan tetapi orang tua juga memperhatikan pendidikan bagi anaknya sesuai dengan tujuan pendidikan yang ada dalam Islam. Termasuk di antaranya mempersiapkan anaknya memiliki kemampuan/keahlian sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai hamba Allah sekaligus sebagai khalifah fil ardhi serta menemukan kebahagiaan yang hakiki, dunia akhirat. Selain itu, orang tua juga dituntut untuk mempersiapkan anaknya sebagai anggota masyarakat yang baik, sebab, masyarakat yang baik berasal dari individu-individu yang baik sebagai anggota dari suatu komunitas masyarakat itu sendiri. Mengenai hal ini, Allah SWT juga telah menegaskan:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. ar-Ra’du/13: 11)

Menyadari besarnya tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak, maka orang tua juga seyogyanya bekerja sama dengan sekolah atau madrasah sebagai lingkungan pendidikan formal untuk membantu pendidikan anak tersebut. Dalam hubungannya dengan sekolah, orang tua mesti berkoordinasi dengan baik dengan sekolah tersebut, bukan malah menyerahkan begitu saja kepada sekolah. Sebaliknya, pihak sekolah juga menyadari bahwa peserta didik yang ia didik merupakan amanah dari orang tua mereka sehingga bantuan dan keterlibatan orang tua sangat dibutuhkan. Kemudian sekolah juga harus mampu memberdayakan masyarakat seoptimal mungkin, dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan yang diterapkan.

Begitu pula masyarakat pada umumnya, harus menyadari pentingnya penyelenggaraan pendidikan yang dimulai dari tingkat keluarga hingga kepada sekolah serta lembaga-lembaga pendidikan non formal lainnya dalam upaya pencerdasan umat. Sebab antara pendidikan dengan peradaban yang dihasilkan suatu masyarakat memiliki korelasi positif, semakin berpendididikan suatu masyarakat maka semakin tinggi pula peradaban yang ia hasilkan; demikian sebaliknya.

Jadi, dibutuhkan pendidikan terpadu antara ketiga lingkungan pendidikan tersebut. Dengan keterpaduan ketiganya diharapkan pendidikan yang dilaksanakan mampu mewujudkan tujuan yang diinginkan. Pendidikan terpadu seperti inilah yang diinginkan dalam perspektif pendidikan Islam. Bahkan prinsip integral (terpadu) menjadi salah satu prinsip dalam sistem pendidikan Islam. Prinsip ini tentu tidak hanya keterpaduan antara dunia dan akhirat, individu dan masyarakat, atau jasmani dan rohani; akan tetapi keterpaduan antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat juga termasuk di dalamnya.

D. Penutup

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat berperan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, sebab lingkungan yang juga dikenal dengan institusi itu merupakan tempat terjadinya proses pendidikan. Secara umum lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga yang ideal dalam perspektif Islam adalah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Profil keluarga semacam ini sangat diperlukan pembentukannya sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian orang tua harus menyadari pentingnya sekolah dalam mendidik anaknya secara profesional sehingga orang tua harus memilih pula sekolah yang baik dan turut berpartisipasi dalam peningkatan sekolah tersebut.

Sementara sekolah atau madrasah juga berperan penting dalam proses pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang pada hakikatnya sebagai institusi yang menyandang amanah dari orang tua dan masyarakat, harus menyelenggarakan pendidikan yang profersional sesuai dengan prinsip-prinsip dan karakteristik pendidikan Islam. Sekolah harus mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian bagi peserta didiknya sesuai dengan kemampuan peserta didik itu sendiri.

Begitu pula masyarakat, dituntut perannya dalam menciptakan tatanan masyarakat yang nyaman dan peduli terhadap pendidikan. Masyarakat diharapkan terlibat aktif dalam peningkatan kualitas pendidikan yang ada di sekitarnya. Selanjutnya, ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus saling bekerja sama secara harmonis sehingga terbentuklah pendidikan terpadu yang diikat dengan ajaran Islam. Dengan keterpaduan seperti itu, diharapkan amar ma’ruf nahi munkar dalam komunitas masyarakat tersebut dapat ditegakkan sehingga terwujudlah masyarakat yang diberkahi dan tatanan masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur.

BIBLIOGRAFI

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1991

Arifin, H. M., Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1991

Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1999

Depdiknas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Harun, Salman, Mutiara al-Qur’an; Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam Kehidupan, Jakarta: Kaldera, 1999

al-Hijazy, Hasan bin Ali Hasan, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, Penj. Muzaidi Hasbullah, Jakaeta: Pustaka al-Kautsar, 2001

an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Penj. Shihabuddin,(Jakarta: Gema Insani Press, 1995

Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Kalam Mulia, 2002

Baco Tokhus....

Esensi Ibadah Qurban

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni'mat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus. (Q.s. al-Kautsar/108: 1-3)

Ibadah qurban merupakan perintah Allah, seperti pada ayat di atas, tentunya bagi setiap muslim yang mampu. Ibadah ini dilaksanakan setiap tahun, tepatnya pada hari raya Idul Adha dan hari tasyri’. Telah banyak darah hewan ternak yang tumpah ke bumi yang “diqurbankan” dari tahun ke tahun, namun dampak positif ibadah qurban dalam konteks kehidupan sosial masih sering dipertanyakan.

Diakui memang, ketika penyembelihan hewan qurban, masyarakat di sekitar dapat menikmati daging qurban. Akan tetapi, daging tersebut hanya dikonsumsi dalam waktu yang amat terbatas. Maka muncul pertanyaan yang mendasar, seberapa besar pengaruh atau kontribusi ibadah tersebut terhadap perubahan sosial? Apakah esensi qurban hanya sekedar memberi daging kepada sesama satu kali dalam setahun?

Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak orang yang berqurban hanya dimotivasi oleh pahala yang dijanjikan. Banyak hadis nabi yang ditemukan tentang ganjaran yang diberikan kepada orang yang berqurban. Di antaranya pernah suatu ketika para sahabat bertanya, "apakah maksud qurban ini?" Beliau menjawab, "Sunnah Bapakmu, Ibrahim." Mereka bertanya, "apa hikmahnya bagi kita?" Beliau menjawab, "Setiap rambutnya akan mendatangkan satu kebaikan." Mereka bertanya, "Apabila binatang itu berbulu?" Beliau menjawab, "Pada setiap rambut dari bulunya akan mendatangkan kebaikan" (HR. Ahmad).

Jika ibadah qurban hanya didasari oleh keinginan untuk memperoleh pahala an sich, maka ibadah qurban lebih berdampak terhadap kepuasan psikologis seseorang secara individual. Sementara pengaruhnya terhadap kehidupan social hanya sebatas makan daging di hari itu saja.

Oleh karena itu, perlu memahami hakikat ibadah qurban yang sesungguhnya. Pahala yang dijanjikan memang perlu diketahui dan menjadi motivasi bagi umat untuk melaksanakan perintah tersebut. Akan tetapi, hakikat ibadah qurban jauh lebih penting untuk dipahami.

Untuk memahami hakikat ibadah qurban, bisa dilihat dari aspek historis. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa pengurbanan pertama yang dilakukan adalah pengurbanan Habil dan Qabil (Q.s. al-Maidah ayat 27). Ketika itu, keduanya diminta berqurban harta yang dimiliki untuk menentukan pendapat siapa yang benar di antara mereka. Sebelumnya, Adam as akan menikahkan kedua putranya tersebut secara silang; bukan dengan saudari kembarnya. Namun, Qabil menolak keputusan tersebut, sementara Habil menerimanya. Akhirnya, mereka diminta untuk berqurban, Qabil mengurbankan hasil pertanian berupa buah-buahan yang tidak lagi segar, sementara Habil mengurbankan hasil ternak berupa domba yang gemuk. Akhirnya pengurbanan Habil yang didasari dengan ketaatan dan keikhlasan itulah yang diterima oleh Allah SWT.

Sejarah yang lebih menarik adalah kisah Nabi Ibrahim as dalam mengurbankan anaknya. Bahkan, ibadah qurban yang dilakukan umat Islam hingga saat ini disebut dalam hadis di atas sebagai ”sunnah bapakmu Ibrahim”.

Memang dramatis sekaligus menggetarkan kisah yang dialami oleh Nabi Ibrahim as. Hampir seabad usia Ibrahim--menurut Hamka dalam tafsimya Al-Azhar, usia Ibrahim ketika itu adalah 86 tahun--barulah Allah mengabulkan doanya de­ngan lahirnya seorang putra melalui rahim Hajar. Putra itu diberi nama Isma'il yang saleh lagi halim. Allah menjelaskan, "Maka Kami gembirakanlah dia dengan seorang anak yang halim." (QS. Al-Shaffat 101). Hamka menjelaskan bahwa halim dapat diartikan sangat penyabar, tetapi berbeda dengan pengertian sabar. Halim itu menjadi tabiat atau bawaan hidup, sedangkan sabar adalah sebagai perisai penangkis gelisah jika percobaan datang dengan tiba-tiba. Jadi, halim ialah apabila kesabaran itu sudah menja'di sikap hidup, atau sikap jiwa. Nabi Ibrahim juga memiliki sifat halim ini (QS. Al-Taubat 114 dan Hud: 75). Dan sifat ini pulalah yang diwarisi oleh putranya, Isma'il.

Ketika Isma'il berusia sanggup berjalan dengan ayahnya, maka Allah pun menguji Nabi Ibrahim, di mana ia bermimpi agar menyembelih putra semata wayangnya, Isma'il. Lalu apa yang dilakukan nabi yang telah banyak mendapat cobaan keimanan itu? Bisa dibayangkan, sifat ke-bashariyah-an Ibrahim jelas membuat jiwanya goncang, gemetar, dan berpikir keras, apa yang mesti ia lakukan. Memilih antara salah satu dan yang amat dicintai: Allah atau Isma'il?

Dengan sifat halim dan kebijaksanaan Ibrahim, akhirnya ia pun mendiskusikannya kepada putra kesayangannya, meskipun terasa getir dan amat pahit la berkata, "Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwasanya aku menyembelih engkau. Maka fikirkanlah, apa pendapatmu!" Suatu pertanyaan yang amat demokratis dari seorang ayah terhadap anaknya.

Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa Isma'il adalah anak yang shaleh dan memiliki sifat halim. Tanpa berpikir panjang ia menjawab, 'Ya Ayahku? perbuatlah apa yang tetah diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang yang sabar."

Jawaban yang amat memilukan, mengharukan, sekaligus mengguncangkan. Lagi-lagi Ibra­him dipilihkan antara dua kutub cinta, Allah atau Isma'il? Akhirnya, Ibra­him pun memilih untuk mengorbankan Isma'il demi cintanya kepada Allah. Mereka pun sama-sama menyerahkan diri secara total kepada Allah, la letakkan pipi Ismail ke sebongkah batu, lalu ia angkat tinggi-tinggi pedangnya yang sudah ditajamkan. Ketika itu, ia berteriak mengagungkan nama Allah, dengan ucapan "Allahu Akbar". Sebelum mata pedang itu menebas leher Isma'il, malaikat diutus Allah untuk menahan pedangnya lalu menggantikan pengorbanan itu dengan seekor kibas (sejenis kambing besar).

Itulah segelintir ki­sah yang tragis, menyedihkan, mendebarkan, tetapi berakhir dengan kebahagiaan. Ternyata tidaklah sia-sia kecintaan Ibrahim kepada Allah. Andai saja Ibrahim me­milih Isma'il, maka ia akan "meninggalkan" dan "ditinggalkan" oleh Allah; sementara masa depan Isma'il tidak ada jaminan. Namun dengan memilih Allah, semuanya selamat Ibrahim selamat dari ujian, Isma'il pun selamat de­ngan tetap hidup dan akhirnya menjadi seorang Rasulullah di kemudian hari.

Di balik kisah tersebut terkandung hikmah ibadah qurban yang sesungguhnya. Ibadah qurban merupakan simbol kecintaan manusia kepada Allah SWT. Kecintaan itu diwujudkan dalam ibadah qurban, bukan diserahkan kepada Allah secara langsung—sebab Allah itu ghaib dan tidak butuh hewan yang merupakan makhluk-Nya—tetapi perngurbanan itu diberikan kepada sesama manusia. Itu artinya bahwa kecintaan kepada Allah harus diwujudkan dengan hati yang ikhlas dan berdampak kepada kehidupan sesama manusia.

Hal itu bisa dilihat dari tempat pelaksanaan pengurbanan tersebut, dilakukan di atas bukit, bukan di tengah-tengah orang ramai lalu memamerkan diri sebagai hamba Tuhan yang paling taat. Selanjutnya, pengorbanan itu pun berdampak terhadap kehidupan sosial, di mana kisah tersebut diabadikan oleh nabi-nabi sesudahnya sehingga tempat yang bersejarah itu, yaitu Mekah yang awalnya daerah gersang, tandus tak berpenghasilan menjadi kota yang ramai dikunjungi oleh orang hingga saat ini.

Pertanyaan selanjutnya, apakah ibadah qurban yang dilakukan oleh umat Islam saat ini sebanding dengan pengurbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as? Tentu tidak! Karenanya, umat Islam harus berupaya mewujudkan cintanya kepada Allah dengan rela berkorban secara ikhlas. Ibadah qurban yang dilakukan setiap tahun merupakan momen untuk mengingatkan dan menggugah kesadaran manusia akan pentingnya kepedulian sosial, di samping pahala yang dijanjikan. Setiap individu harus memiliki kontribusi yang jelas terhadap kehidupan sosialnya.

Jika nabi Ibrahim memiliki Isma’il dan ia sangat mencintainya, lalu bagaimana dengan kita?

Isma'il merupakan simbol kecintaan Ibrahim selain Allah. Artinya, kita pun memiliki isma'il-isma'il dalam kehidupan ini. Isma'il itu dapat berupa uang, rumah mewali, mobil, perusahaan, jabatan, anak, istri/suami, atau terhadap diri kita sendiri dan segala sesuatu yang menjadi kecintaan kita di dunia ini, selain dari pada Allah" SWT. Sudahkah kita mengorbankan "isma'il-isma'il" kita tersebut untuk Allah? Cara mengorbankannya bukanlah dimusnahkan, sebagaimana Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih Isma'ilnya. Tetapi, mengorbankan isma'il yang dimaksud adalah mempergunakannya untuk kepentingan agama Allah yang jelas berdampak terhadap kehidupan sosial.

Jadi, ibadah qurban di hari raya Idul Adha dan hari tasyri’ merupakan satu dari bentuk pengorbanan yang diperintahkan Allah Ta’ala. Dengan memahami nilai historis ibadah qurban diharapkan kita mampu memetik esensi sesungguhnya dari ibadah tersebut yang menguji keikhlasan hati dalam beribadah dan kepedulian sosial dalam setiap aktivitas. Jika pemahaman terhadap ibadah yang diperintahkan Allah dilakukan secara komprehensif, maka setiap ibadah tersebut akan paralel dengan kehidupan sosial; semakin tinggi ketaatan umat kepada perintah Allah berupa ibadah mahdhah, maka semakin berkualitas pula kehidupan masyarakat di sekitarnya, baik dalam hal kesejahteraan, kedamaian, maupun peradaban. Sebagai umat yang beriman lagi berakal, pikirkan dan petiklah setiap makna yang terhimpun dalam perintah Allah!

Baco Tokhus....

Sabtu, November 15, 2008

Falsafah Ibadah Haji

Oleh: Muhammad Kosim
(telah terbit di Republika, 14 Nop 2008)

Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima dan difardhukan bagi setiap Muslim yang mampu, baik dalam bentuk kesanggupan kesehatan fisik, ekonomi, tanggung jawab keluarga yang ditinggalkan, hingga keamanan dalam perjalanan.

Ibadah haji juga mengandung hikmah atau nilai-nilai falsafah yang sarat makna bagi setiap hamba yang melaksanakannya.
Dengan begitu, ibadah haji tidak sekadar ibadah ritual, tetapi nilai-nilai falsafah yang ada di dalamnya patut direnungkan sehingga berpengaruh terhadap perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Mengenai makna atau falsafah ibadah haji, telah dibahas oleh beberapa pemikir atau ulama terdahulu. Salah satu di antaranya adalah Ali Syari'ati yang tertulis dalam karyanya Haji. Dalam karya ini, ia menyingkap simbol-simbol yang terdapat dalam rangkaian ibadah haji dengan mengungkap nilai-nilai moral yang dikandungnya.

Ketika jamaah haji sampai di Miqat, mereka mengenakan pakaian ihram dengan kaki telanjang tanpa terkecuali. Pakaian ini warnanya putih, tidak berjahit dan bahan dasar kainnya pun sangat sederhana. Meskipun kaya, tidak diperkenankan memakai pakaian sutra. Perintah ini mengingatkan akan eksistensi manusia yang tidak memiliki apa-apa. Kelak manusia mati untuk menghadap Tuhannya tidak membawa harta apa pun, hanya sehelai kain kafan yang berwarna putih, tanpa alas kaki.

Putihnya pakaian ihram melambangkan kesucian dan kesederhanaan. Ketika pakaian ini dipakai, buangkan segala sifat kesombongan, keangkuhan, egoisme, dan segala penyakit hati yang merusak.Pakaian adalah lambang perbedaan. Perbedaan seseorang sering di lihat dari pakaiannya. Ketika muncul perbedaan, kerap mengundang perpecahan. Padahal, perpecahan awal dari kehancuran sebuah peradaban. Pakaian ihram menghapus segala lambang perbedaan yang merusak persaudaraan, mengurai persatuan dan kesatuan itu. Perbedaan secara fisik memang alami, tidak bisa dihilangkan, tetapi tidak untuk merusak kebersamaan dan persaudaraan.

Thawaf adalah mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali. Kabah menjadi inti dari perputaran tersebut. Kabah kiblat seluruh umat Islam. Apa istimewanya? Sepintas tidak ada keistimewaannya. la hanya berbentuk kubus yang memiliki enam sisi dan kosong yang tersusun dari batu-batu hitam dari Ajun (bukit-bukit di dekat Kota Makkah). Jika direnungkan, enam sisi yang ada merupakan lambang Islam itu universal. Enam sisi menghadap ke segala arah. Kemudian, Kabah melambangkan ketetapan (konstan) sebab dia hanya diam. Manusialah yang bergerak (aktif) mengitarinya.

Kabah ibarat matahari. Manusia ibarat planet yang mengitari matahari tersebut. Itu artinya, Allah pusat eksistensi yang merupakan titik fokus dari dunia yang fana ini. Manusia mesti bergerak, beraktivitas, berbuat dan bersikap mesti berpusat kepada kehendak-Nya. Di sinilah terlihat eksistensi manusia yang harus bergerak dan berbaur dengan manusia lain secara bersama dengan mengenakan pakaian ihram secara disiplin. Jika seseorang diam, tidak bergerak, maka pada hakikatnya ia telah mati, bukan manusia yang sesungguhnya.

Pelaksanaan thawaf bermula dari Hajar Aswad. Di sana juga terdapat Hijir Ismail. Simbol ini mengingatkan kita kembali tentang Hajar, istri Ibrahim. Hajar adalah sahaya yang berkulit hitam dari Ethiopia yang diperistri Ibrahim. Karena kecintaannya kepada Allah, Hajar menjadi nama yang melekat dan sangat berpengaruh dalam rangkaian ibadah haji. Meskipun ia hanya hamba sahaya, bisa jadi dinilai orang hina, lagi berkulit hitam, tetapi dengan iman dan cinta yang dimilikinya mengangkat dirinya menjadi mulia di sisi Allah.
Simbol ini memberikan pesan moral kepada umat manusia bahwa sehina apa pun seseorang di mata manusia, tetapi dengan keimanan dan kecintaannya kepada Allah SWT akan terangkat derajatnya menjadi mulia di sisi Allah, bahkan di mata manusia sesudahnya. Maka jangan mudah merendahkan, menghina, maupun memperolok saudara sendiri.
Thawaf dilakukan sebanyak tujuh kali putaran. Angka tujuh ini mengingatkan kita kepada tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Artinya, manusia adalah wakil Allah di muka bumi yang bertanggung jawab mengelola alam semesta ini, memanfaatkan semua potensi yang ada, tetapi bukan mengeksploitasinya.

Sai merupakan sebuah pencarian. lbadah ini memiliki nilai historis tersendiri, di mana Hajar yang telantar dan terbuang di antara hamparan padang pasir, tanpa pepohonan dan air sebagai sumber kehidupan. Sementara, ia mesti tetap hidup, terlebih lagi ketika melihat buah hatinya, Ismail.

Sai adalah lambang perjuangan fisik, perjuangan mencari hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan dari alam. Jika pada thawaf lebih melambangkan gerak atas kecintaan manusia kepada al-Khaliq, bersifat spritual, sebaliknya pada sai lebih melambangkan gerak atas upayanya memenuhi kebutuhan hidup secara materi.

Baco Tokhus....

Selasa, November 04, 2008

Makalah Tafsir Tarbawy

ASPEK-ASPEK PENDIDIKAN DARI ORANG TUA
DI SAAT ANAK LAHIR DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN

Oleh: Muhammad Kosim, LA

A. Pendahuluan

Orang tua memiliki peranan yang amat penting dalam pendidikan anak, sebab orang tua merupakan guru yang pertama ditemui anak sejak terlahir ke dunia ini. Oleh karenanya, perkembangan kepribadian anak sangat dipengaruhi oleh pendidikan dari orang tuanya.

Dalam perspektif pendidikan Islam, pendidikan dari orang tua tidak hanya dibutuhkan di saat anak mampu berpikir dan tumbuh menjadi anak-anak lalu menjadi seorang remaja. Akan tetapi jauh sebelum itu, pendidikan Islam memperkenalkan pendidikan pra-nikah kepada calon orang tua. Pendidikan pra-nikah itu dimulai sejak proses pencarian jodoh, dimana calon orang tua dituntun untuk memilih pasangan dengan mengutamakan kualitas keberagamaanya lalu mempertimbangkan aspek-aspek lainnya.

Islam juga mengatur tentang pernikahan yang harus dilakukan secara syah menurut syari’at; adanya kedua mempelai, wali nikah, dua orang saksi dan shīghat. Kemudian, ketika pernikahan itu telah sah, maka dibenarkan pula pasangan suami istri itu berhubungan badan. Dalam hal ini, Islam juga menuntun agar mereka melakukan hubungan badan tersebut membaca doa dengan berlindung kepada Allah SWT dari godaan setan. Tuntunan ini tentu akan berimplikasi kepada anak yang kelak mereka lahirkan. Ketika suami istri taat kepada Allah SWT dan senantiasa berdoa dan berlindung kepada Allah dari godaan setan, maka mereka akan menjadi pendidik yang baik (murabbi) bagi anak-anaknya. Selanjutnya anak tersebut akan mudah dibimbing dan dididik menjadi anak yang shaleh.

Jika sang istri telah mengandung, dimulailah suatu fase berikutnya yang disebut pendidikan pranatal. Pada fase ini, sang ayah dituntun untuk mencari nafkah yang halal untuk diberikan kepada istrinya. Demikian pula si istri diajarkan pula memakan makanan yang halal lagi baik serta merawat janinnya agar tetap sehat. Kedua orang tua ini harus meningkatkan keimanan dan ibadahnya kepada Allah SWT, memperbanyak membaca al-Qur’an dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat.

Apabila telah sampai waktunya, maka si anak akan lahir ke alam dunia ini. Pada fase kelahiran ini, orang tua juga mesti melakukan berbagai hal yang berhubungan dengan pendidikan anak agar menjadi anak yang shaleh. Mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh kedua orang tua dalam mendidik anak di saat lahir ini, makalah yang sederhana ini akan membahas tentang aspek-aspek pendidikan dari orang tua di saat anak lahir terbsebut.

Secara umum, masalah yang akan dikaji dalam makalah ini adalah aspek-aspek pendidikan apa saja yang dilakukan oleh kedua orang tua di saat anak lahir. Agar pembahasan ini tidak terlalu luas, perlu dibatasi pembahasannya. Batasan itu berkenaan dengan aspek-aspek pendidikan dari orang tua sebelum dan sesudah anak lahir sesuai dengan petunjuk Allah dalam al-Qur’an yang didukung oleh hadis Rasulullah SAW. Jadi, meskipun dalam judul makalah ini terdapat kata ”di saat anak lahir”, bukan berarti ketika lahir itu saja, tetapi juga dibahas sesaat sebelum dan sesudah kelahiran anak tersebut. Adapun aspek-aspek yang akan diuraikan adalah aspek akidah, aspek ibadah, aspek akhlak, aspek kesehatan jasmani dan rohani serta aspek sosial.


B.Aspek-aspek Pendidikan Orang Tua bagi Anak
Dari beberapa ayat al-Qur’an yang berkenaan pendidikan anak di saat lahir—termasuk juga sebelum dan sesudah kelahirannya—terdapat beberapa aspek pendidikan yang perlu dilakukan oleh kedua orang tua. Aspek-aspek pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:
1.Aspek Pendidikan Aqidah
Sebelum anak lahir, orang tua perlu memahami pandangan al-Qur’an tentang anak yang berkenaan dengan aspek aqidah. Pertama, anak sebagai anugerah/pemberian dari Allah SWT. Hal ini dapat dilihat firman-Nya dalam surat asy-Syu’ara/42 ayat 49.
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثاً وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ
Artinya: Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki.

Dari penjelasan ayat ini, hendaklah orang tua mensyukuri kelahiran anaknya, tanpa membedakan jenis kelamin anak tersebut, apakah berkelamin laki-laki atau perempuan. Bukan justru seperti yang dilakukan oleh masyarakat Arab Jahiliyah yang membenci kelahiran anak perempuan, malah ada yang sanggup membunuhnya dengan menguburkan. Seperti yang tergambar dalam firman Allah surat an-Nahl/16 ayat 58-59:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدّاً وَهُوَ كَظِيمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاء مَا يَحْكُمُونَ

Artinya: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.

Selain merasa hina, ada pula yang membenci dan membunuh anaknya hanya karena takut miskin. Firman Allah dalam surat al-Isra’/17 ayat 31:
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُم إنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْءاً كَبِيراً

Artinya: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.

Membunuh atau membenci anak hanya karena takut miskin adalah dosa besar. Al-Maraghi menyimpulkan bahwa membunuh anak-anak, bila sebabnya karena takut melarat, berarti berburuk sangka terhadap Allah.

Kedua, sebagai perhiasan kehidupan dunia (zīnat al-hayāt al-dunya). Mengenai hal ini terdapat dalam beberapa surat, di antaranya surat al-Kahfi/18 ayat 46:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً
Artinya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Ayat di atas menamai harta dan anak sebagai (زينة) zīnah, yakni hiasan atau sesuatu yang dianggap baik dan indah, sebab ada unsur keindahan pada harta di samping manfaat. Demikian juga pada anak, di samping anak dapat membela dan membantu orang tuanya. Penamaan keduanya sebagai zīnah/perhiasan jauh lebih tepat daripada menamianya (قيمة) qimah/sesuatu yang berharga. Sebab kepemilikan harta dan kehadiran anak tidak dapat menjadikan seseorang berharta atau menjadi mulia.. Kemuliaan dan penghargaan hanya diperoleh melalui iman dan amal shaleh. Ahzami Sami’in Jazuli menyebutkan bahwa anak yang termasuk kategori az-zinah menunjukkan bahwa anak hanya sebagai sarana, bukan tujuan.

Ayat ini juga menegaskan bahwa harta dan anak disetarakan sebagai perhiasan dunia. Terlebih lagi ketika anak yang dimilikinya berprestasi atau sukses dalam hal duniawi. Oleh karenanya, setiap orang yang hidup di dunia selalu menginginkan harta dan anak. Namun, ada sebagian orang yang terlalu bangga dan menimbulkan kecongkakan ketika memiliki anak tersebut.

Ketiga, sebagai fitnah. Hal ini bisa dilihat dalam surat al-Anfal/8 ayat 28:
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya: Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.

Fitnah dalam ayat di atas tentu tidak sama dengan pengertian fitnah yang banyak dikenal dalam bahasa Indonesia, sebab istilah fitnah sering dipahami sebagai istilah yang sinonim dengan istilah yang digunakan dalam surat al-Baqarah/2 ayat 1:
...وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ...
Artinya: ... dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan…
Sedangkan istilah fitnah dalam ayat tentang anak di atas adalah ujian atau cobaan. Salman Harun malah mengartikannya sebagai bencana. Artinya, jika anak tidak didik oleh orang tuanya dengan baik, maka anak bisa menjadi sumber bencana bagi orang tuanya.

Sementara Quraish Shihab menerjemahkan kata fitnah (فتنة) sebagai ujian. Lalu ia mengutip pendapat Thahir Ibn ‘Asyur yang mengatakan bahwa arti fitnah adalah “kegoncangan hati serta kebingungannya akibat adanya situasi yang tidak sejalan dengan siapa yang menghadapi situasi itu.” Karena itu ulama ini menambahkan makna sabab (penyeab) sebelum kata fitnah yakni harta dan anak-anak dapat menggoncangkan hati seseorang. Ulama ini kemudian memberikan contoh dengan keadaan Rasul SAW, yakni saat ketika beliau sedang melakukan khutban Jum’at, tiba-tiba cucu beliau Sayyidina al-Hasan dan Sayyidina al-Husain, r.a. datang berjalan terbata-bata, terjatuh lalu berdiri. Maka Rasulullah SAW turun dari mimbar dan menariknya lalu beliau membaca “Innamā Amwālukum Wa aulādukum fitnah” dan bersabda: “Aku melihat keduanya dan aku tidak sabar” Kemudian setelah itu beliau melanjutkan khutbah beliau.

Dalam menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab mengemukakan:
Anak menjadi cobaan bukan saja ketika orang tua terdorong oleh cinta kepadanya sehingga ia melanggar, tetapi juga dalam kedudukan anak sebagai amanat Allah SWT. Allah menguji manusia melalui anaknya, untuk melihat apakah ia memelihara secara aktif, yakni mendidik dan mengembangkan potensi-potensi anak agar menjadi manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah, yakni menjadi hamba Allah sekaligus sebagai khalifah di dinia. Mengabaikan tugas ini, adalah salah satu bentuk pengkhianatan terhadap Allah dan amanat yang dititipkanya kepada manusia.

Jadi, jika ayat pertama tentang anak sebagai zīnah di atas dipahami sebagai sesuatu yang “manis” atau menyenangkan dalam konteks duniawi, dalam ayat kedua ini anak justru bisa berkedudukan sebagai sesuatu yang “pahit” atau tidak menyenangkan. Bahkan dalam surat at-Taghābun/64 terdapat dua ayat berturut-turut dimana pada ayat ke-14 dijelaskan bahwa anak-anak itu bisa menjadi musuh, sedangkan pada ayat ke-15 baru kemudian disebut sebagai fitnah. Tampaknya, kedua ayat tersebut diturunkan secara berututan agar lebih mendapat perhatian. Asbab al-Nuzūl dari ayat ini berkenaan dengan suatu kaum dari ahli Mekah yang masuk Islam, akan tetapi isteri-isteri dan anak-anak mereka menolak untuk hijrah ataupun ditinggal hijrah ke Madinah. Lama kelamaan mereka pun hijrah. Sesampainya di Madinah mereka melihat kawan-kawannya yang telah mendapat banyak pelajaran dari Nabi SAW. Karenanya kemudian mereka bermaksud untuk menyiksa isteri dan anak-anaknya yang menjadi penghalang untuk berhijrah, maka tutunlah ayat ke-14 ini yang menegaskan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (H.R. Tirmidzi dan Hakim dari Ibnu Abbas). Dengan demikian, anak juga bisa menjadikan seseorang melakukan penyimpangan, sebagaimana ahli Mekah yang awalnya merasa terhalang oleh anak dan isterinya yang tidak mau hijrah.

Keempat, anak sebagai al-La’b wa al-Lahwu (permainan dan senda gurau). Hal ini dapat dilihat dalam surat al-Hadid/57 ayat 20:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرّاً ثُمَّ يَكُونُ حُطَاماً وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Artinya: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Jika dilihat dari makna dasarnya, la’ib diterjemahkan sebagai permainan, digunakan oleh al-Qur’an dalam arti suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya bukan untuk suatu tujuan yang wajar dalam arti membawa manfaat atau mencegah mudharat. Ia dilakukan tanpa tujuan, bahkan kalau ada hanya untuk menghabiskan waktu. Sedangkan lahwu adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan kelengahan pelakunya dari pekerjaan yang bermanfaat atau lebih bermanfaat dan penting dari pada yang sedang dilakukannya itu. Quraish Shihab berpendapat bahwa kondisi kehidupan seperti ini bukan dialami oleh orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, sebab bagi mereka kehidupan dunia adalah perjuangan untuk meraih kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Tetapi orang yang menjadikan dunia—termasuk anak—sebagai la’ib dan lahwu adalah orang yang lalai atau lengah. Jelasnya, anak bisa membuat seseorang lengah atau lalai dalam kehidupannya.

Dari penjelasan di atas, maka orang tua seharusnya bersyukur dan gembira menyambut kelahiran seorang anak, baik berkelamin laki-laki maupun perempuan. Ketika menyadari bahwa anak adalah anugerah dari Allah SWT, maka janganlah menyia-nyiakan atau membenci anak tersebut.

Dengan meyakini bahwa anak adalah anugerah-Nya dan dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh anak, maka Allah SWT mengingatkan jangan sampai seseorang lalai/lengah dalam mengingat-Nya (dzikir) hanya karena kehadiran anak tersebut. Firman-Nya dalam surat al-Munāfiqun/63 ayat 9:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Artinya: Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.

Berkenaan dengan kedudukan anak sebagai perhiasan dunia, maka jangan pula cinta orang tua kepada anaknya melebihi cintanya kepada Allah SWT. Jika orang tua lebih mencintai anaknya dari pada Allah, maka adzablah yang akan diterimanya. Firman Allah SWT dalam surat at-Taubah/9 ayat 24:
قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Artinya: Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Adanya kata-kata fasik di akhir ayat di atas menunjukkan bahwa jika seseorang lebih mencintai anaknya dari pada Allah, maka ia termasuk dalam golongan orang-orang yang fasik. Quraish Shihab menyebutkan bahwa ayat ini bukan berarti melarang mencintai keluarga atau harta benda. Sebab, cinta kepada anak merupakan naluri manusia, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Ali Imran/3 ayat 14. Hanya saja ayat ini mengingatkan jangan sampai kecintaan kepada hal-hal tersebut melampaui batas sehingga menjadikan ia yang dipilih sambil mengorbankan kepentingan agama. Tegasnya, jika kenikmatan duniawi disandingkan dengan nilai-nilai Ilahi, lalu harus dipilih salah satunya maka cinta yang lebih besar akan terlihat saat menjatuhkan pilihan.

Ketika kehadiran anak tetap membuat seseorang istiqamah mengingat Allah dan cintanya kepada anak tidak melebihi dari cintanya kepada Allah yang menganugerahkan anak tesebut, maka orang tua harus menyadari bahwa ia berkewajiban untuk mendidik anaknya agar menjadi anak yang beriman dan taat kepada Allah SWT.

Sadar akan kewajiban tersebut, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan orang tua di saat anak lahir. Pertama, sebelum anak lahir, hendaklah orang tua berdoa kepada Allah agar dianugerahkan anak shaleh. Doa ini pernah dilakukan Nabi Ibrahim a.s. dimana doa tersebut diabadikan dalam al-Qur’an surat as-Shaaffat/37 ayat 100:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Artinya: Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.

Sesudah anak lahir, doa agar anak tersebut tetap beraqidah yang benar hendaknya tetap dimohonkan, sebagaimana juga yang menjadi doa Nabi Ibrahim a.s. ketika mengantarkan anaknya, Isma’il ke Mekah yang ketika itu masih berupa gurun pasir yang masih gersang. Doa ini pun dikisahkan dalam al-Qur’an surat Ibrahim/14 ayat 35-36:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ.

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.

Permohonan Nabi Ibrahim a.s. ini ditujukan agar kiranya fitrah kesucian yang dianugerahkan Allah dalam jiwa setiap manusia dan yang intinya adalah Tauhid, maka bermohonlah supaya fitrah tersebut terus terpelihara. Hendaknya mereka tidak terjerumus kepada penyembahan berhala atau mempersekutukan Allah.

Kedua, di saat anak lahir, hendaklah orang tua bersyukur kepada Allah SWT. Rasa syukur itu pernah diungkapkan oleh Nabi Ibrahim a.s. sebagaimana yang termaktub dalam surat Ibrahim/14 ayat 39:
الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي وَهَبَ لِي عَلَى الْكِبَرِ إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِنَّ رَبِّي لَسَمِيعُ الدُّعَاء.
Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do'a.

Ucapan syukur ini juga dilakukan oleh Rasulullah SAW. Suatu riwayat mengisahkan bahwa bila ada keluarga Aisyah r.a. yang melahirkan, maka Rasulullah tidak bertanya, “Apakah laki-laki atau perempuan?” Beliau hanya berkata, “Ciptaan-Nya sempurna?” Apabila dijawab, “Ya.” Beliau pun berkata, “الحمد لله رب العالمين”.
Rasa syukur yang dimaksud tentu tidak sebatas ucapan saja, tetapi dibuktikan dalam tindakan nyata. Salah satu bentuk perilaku syukur itu adalah memberikan pendidikan yang baik kepada anak tersebut sehingga kelak menjadi anak yang shaleh.

Ketiga, mengumandangkan azan dan iqamah kepada anak. Hal ini juga sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh Abu Rafi’, ia berkata:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ اْلحَسَنَ بْنِ عَلِيَّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ
Artinya: Aku melihat Rasulullah SAW mengumandangkan adzan di telinga Hasan ibn ‘Ali saat baru dilahirkan oleh ibunya, Fatimah.” (H.R. Abu Daud)

Sebelum anak diajarkan tentang berbagai ilmu pengetahuan, maka pendidikan pertama yang ditanamkan kepada anak adalah pendidikan aqidah, melalui adzan tersebut. Dengan adzan ini, diharapkan si anak mendengarkan kalimat-kalimat tauhid yang terkandung di dalamnya sehingga mampu menyentuh kalbunya.

Selain itu, hikmah adzan ini juga dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitabnya Tuhfatul Maudud, seperti yang dikutip oleh Jamal Abdurrahman. Menurutnya, rahasia dilakukan adzan dan iqamah di telinga bayi yang baru lahir mengandung harapan yang optimis agar mula-mula suara yang terdengar oleh telinga sang bayi adalah seruan adzan yang mengandung makna keagungan dan kebesaran Allah serta syahadat yang menjadi syarat utama bagi seseorang yang baru masuk Islam. Dengan demikian, tuntunan pengajaran ini menjadi perlambang Islam bagi seseorang saat dilahirkan ke alam dunia. Hal yang sama dianjurkan pula agar yang bersangkutan dituntun untuk mengucapkan kalimat tauhid ini saat sedang meregang nyawa meninggal dunia yang fana ini. Tidaklah aneh bila pengaruh adzan ini dapat menembus kalbu sang bayi dan mempengaruhinya meskipun perasaan bayi yang bersangkutan belum dapat menyadarinya.

Demikianlah aspek pendidikan aqidah yang perlu dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anaknya. Pendidikan aqidah tersebut dimulai sejak anak menjelang lahir, seperti do’a agar dikaruniai anak shaleh, kemudian sesaat sesudah anak lahir, orang tua perlu mensyukuri dan mengadzankannya. Selanjutnya, orang tua patut khawatir tentang aqidah anaknya di masa-masa yang akan datang. Dengan kekhawatiran itu, orang tua diharapkan tetap menekankan pentingnya pendidikan aqidah ini, sehingga ia berupaya maksimal hingga akhir hayatnya dalam mendidik anaknya agar tetap istiqamah dalam beraqidah. Dalam hal ini, orang tua patut meneladani Nabi Ya’kub a.s. yang senantiasa mengkhawatirkan aqidah anak-anaknya hingga menjelang ajal menjemputnya.

Kisah ini digambarkan dalam surat al-Baqarah/2 ayat 133:
أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي قَالُواْ نَعْبُدُ إِلَـهَكَ وَإِلَـهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَـهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Artinya: Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".

2.Aspek Pendidikan Ibadah
Aspek pendidikan dari orang tua di saat anak lahir juga dapat di lihat dari aspek ibadah. Sebelum anak lahir, sebaiknya ibu meningkatkan ibadahnya kepada Allah SWT. Ketika si ibu meningkatkan ibadahnya—seperti membaca al-Qur’an, mendirikan shalat-shalat sunnah, dan sebagainya—maka secara psikologis, si ibu akan memperoleh ketenangan batin. Suasana ketenangan batin tersebut tentu akan berpengaruh pula terhadap janin yang sedang di kandungnya.

Setelah anak lahir, aspek pendidikan ibadah pun tetap diperhatikan. Di antara aspek pendidikan ibadah yang perlu dilakukan oleh orang tua sesudah anak lahir adalah: pertama, mendoakan anak agar kelak menjadi anak yang taat dalam beribadah kepada Allah SWT. Doa ini pernah dimohonkan Nabi Ibrahim a.s. seperti yang dijelaskan dalam surat Ibrahim/14 ayat 40-41:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء. رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ

Artinya: Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do'aku. Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)".

Ayat ini memang berkenaan dengan doa Nabi Ibrahim a.s. ketika menempatkan anaknya di Mekah demi terwujudnya lingkungan yang aman untuk mendidik anak-anaknya. Akan tetapi dalam ayat ini terlihat jelas bahwa Nabi Ibrahim a.s. berdoa agar anaknya diberi hidayah oleh Allah sehingga mereka tetap taat beribadah kepada Allah SWT, khususnya dalam mendirikan shalat.

Kedua, menyeru anak beribadah, khususnya shalat, ketika mengumandangkan adzan. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya pada aspek pendidikan aqidah, orang tua sangat dianjurkan untuk mengumandangkan adzan. Dalam adzan, aspek pertama yang ditanamkan adalah aspek aqidah. Namun, di dalamnya juga terdapat seruan “hayya ‘ala as-Shalah” (حي على الصلاة). Seruan inilah yang termasuk kepada aspek pendidikan ibadah di saat anak lahir. Meskipun si bayi belum mampu memahami seruan tersebut, akan tetapi seruan untuk shalat sejak dini itu diperlukan untuk menyentuh kalbunya.
Dengan adanya doa dan seruan shalat dalam adzan tersebut, diharapkan kelak si anak mudah dididik untuk mendirikan shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Sebab, di usia selanjutnya, khususnya ketika si anak mencapai usia tujuh tahun, Rasulullah SAW memerintahkan agar orang tua mendidiknya untuk shalat. Jika mereka telah sampai usia sepuluh tahun dan tidak juga mendirikan shalat, maka orang tua dapat “memukul”-nya. Sehubungan dengan ini, Rasulullah SAW bersabda:
عَلِّمُوْا الصَّبِيَّ الصَّلاَةَ ابْنَ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا ابْنَ عَشْرٍ

Artinya: Ajarilah anak shalat oleh kalian sejak usia tujuh tahun dan pukullah dia karena meninggalkannya bila telah berusia sepuluh tahun. (H.R. Tirmidzi)

Hadis ini memang terkesan pendidikan berbau “anarkis”, sebab ada kata-kata (وَاضْرِبُوْهُ)/pukullah jika si anak tidak juga shalat dalam usia sepuluh tahun. Maksud memukul di sini tentu terlebih dahulu telah dibimbing dengan penuh kasih sayang yang dimulai—paling lambat—sejak usia tujuh tahun. Jika selama tiga tahun juga si anak masih enggan juga shalat, maka orang tua boleh “memukul”-nya. Namun kata-kata “memukul” tidak harus dalam bentuk pukulan fisik, tetapi bisa dilakukan dengan bermacam cara yang bersifat mendidik sehingga anak tersebut mendirikan shalat. Dengan kata lain, upaya ini dikenal dalam konsep pendidikan Islam sebagai metode tarhib atau punishment/hukuman sebagai bentuk reinforcement yang negatif. Dalam teori pendidikan Islam, metode ini memang bisa dilakukan, tetapi dalam penerapannya harus dengan tepat dan bijak. Jadi, apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW ini bukanlah sebagai bentuk kekerasan dalam pendidikan.

3. Aspek Pendidikan Akhlak
Aspek akhlak merupakan buah dari aqidah dan ibadah seseorang. Bisa juga dikatakan bahwa salah satu indikator baik tidaknya aqidah dan ibadah seseorang adalah dilihat dari akhlak yang ditampilkannya. Demikian pentingnya aspek akhlak ini, maka orang tua juga memiliki peran penting dalam mendidik akhlak anak sejak anak tersebut dilahirkan.

Adapun yang termasuk aspek pendidikan akhlak dari orang tua di saat anak lahir adalah: pertama, memberikan nama yang baik. Pemberian nama kepada anak tentu tidak hanya sekedar simbol atau identitas seseorang, namun dalam perspektif pendidikan Islam, pemberian nama tersebut mengandung doa. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar memberikan nama yang baik kepada anak dengan harapan kelak kepribadiannya juga baik sebagaimana yang terkandung dalam makna nama tersebut. Mengenai memberikan nama kepada anak, al-Qur’an juga menceritakan tentang istri Imran yang memberi nama anaknya dengan nama Maryam. Kisah itu terdapat dalam surat Ali Imran/3 ayat 36:
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنثَى وَاللّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وِإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Artinya: Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan. dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu. dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk."

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa penggalan ayat “Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam” menunjukkan kebolehan menamai anak pada hari kelahirannya, sebab pemberian nama sudah disyariatkan sejak dulu, dan dikisahkan sebagai ketetapan. Dalam Sunnah juga ditegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
وُلِدَلِيْ اللَّيْلَةَ وَلَدٌ سَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيْمَ
Artinya: Tadi malam putraku lahir, maka kunamai dia dengan nama bapakku, Ibrahim”.

Mengenai waktu pemberian nama, juga terdapat hadis lain yang menerangkan bahwa nama diberikan saat anak berusia seminggu, bersamaan dengan penyembelihan akikah. Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِيْنٌ بِعَقِيْقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُسَمَّى فِيْهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ.
Artinya: setiap anak itu digadaikan dengan akikahnya. Disembelihkan (hewan) baginya pada hari ketujuh (dari kelahiran)nya, diberi nama dan dicukur pada hari itu pula.

Menurut Nashih Ulwan, hadis-hadis ini menunjukkan bahwa pemberian nama boleh dilakukan pada hari pertama setelah kelahiran anak, boleh diakhirkan hingga hari ketiga, dan boleh pula diakhirkan hingga hari akikah, yaitu hari ketujuh, dan boleh pula sebelum hari-hari tersebut atau bahkan sesudahnya.

Selain dari waktu pemberian nama, ayat di atas juga mengandung makna pentingnya memberi nama yang baik dan mengandung doa atau harapan. Dengan nama itu diharapkan menggambarkan perilaku anak kelak di kemudian hari. Dalam hal ini Quraish Shihab menafsirkan penggalan ayat di atas dengan menulis, “...sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam, yakni seorang yang taat, dengan harapan kiranya nama itu benar-benar sesuai dengan kenyataan...”

Kedua, memohon perlindungan dari Allah SWT agar anak memiliki akhlak yang baik dan terhindar dari godaan setan. Sebagaimana yang diketahui bahwa setan senantiasa berupaya menjerumuskan manusia dengan berbagai cara bujuk rayunya. Oleh karena itu, orang tua seyogiyanya memohon perlindungan kepada Allah agar anak yang baru lahir terhindar dari godaan setan tersebut. Doa ini juga terlihat jelas dalam surat Ali Imran/3 ayat 36 di atas tentang pernyataan istri Ali ‘Imran saat melahirkan Maryam, “..dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk."

Doa perlindungan ini perlu dilakukan orang tua. Bahkan Islam menuntun agar permohonan ini dilakukan jauh sebelum anak dilahirkan, tepatnya ketika suami istri melakukan hubungan suami istri. Rasulullah SAW bersabda:
لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَارَزَقْتَنَا فَيُوْلَدُ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فَلاَ يُصِيْبُهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا

Artinya: Manakala seseorang di antara kalian sebelum menggauli istrinya terlebih dahulu mengucapkan: bismillāhi allāhumma jannibna asys-yaithāna wa jannibi asys-yaithāna mā razaqtanā (dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, hindakanlah kami dari gangguan setan dan hindarkan pula anak yang akan Engkau anugerahkan kepada kami dari gangguan setan), kemudian dilahirkan daeri keduanya seorang anak, niscaya selamanya setean tidak akan dapat mengganggunya. (H.R. Muttafaq ‘alaihi)

Setelah bayi lahir, mohon perlindungan Allah agar anak terhindar dari godaan syetan pun tetap dilakukan sebagaimana yang dilakukan oleh istri Imran pada ayat di atas. Sebab terdapat penjelasan dalam hadis Rasulullah SAW tentang adanya gangguan setan saat anak lahir. Salah satu di antaranya adalah hadis dari Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
مَامِنْ بَنِي آدَمَ مَوْلُوْدٌ إِلاَّ يَمَسُّهُ ألشَّيْطَانُ حِيْنَ يُوْلَدُ فَيَسْتَهِلُّ صَارِخًا مِنْ مَسِّ الشَّيْطَانِ غَيْرَ مَرْيَمَ وَابْنِهَا
Artinya: Tiada seorang anak Adam pun yang baru dilahirkan, melainkan setan menyentuh saat kelahirannya hingga ia menangis karena sentuhan setan itu, kecuali Maryam dan putranya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Selanjutnya, Abu Hurairah r.a. mengatakan, “jika kalian suka, maka bacalah....(Q.s. Ali Imran/3 ayat 36 di atas).

Jadi, agar bayi yang lahir tidak diganggu oleh setan, maka hendaklah kita berdoa kepada Allah SWT. Selain doa, Jamal Abudur Rahman menyebutkan adzan yang dikumandangkan sesaat sesudah anak lahir juga mengandung beberapa hikmah, salah satu di antaranya adalah agar setan menjauh dari si anak tersebut.

4. Aspek Pendidikan Kesehatan Jasmani dan Rohani
Setiap orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Tanggung jawab ayah ibu tidak hanya sebagai orang tua jasmani, tetapi juga sebagai orang tua rohani (murabbi). Untuk itu, kedua orang tua perlu memperhatikan aspek pendidikan kesehatan jasmani dan rohani sejak anak lahir, bahkan ketika ia masih dalam kandungan sehingga tanggung jawab tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Adapun tuntunan al-Qur’an tentang kesehatan jasmani dan rohani adalah: pertama, perintah kepada seorang ibu untuk menyusui anaknya, seperti dalam surat al-Baqarah/2 ayat 233.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (al-Baqarah/2: 233)

Quraish Shihab menjelaskan, kata (الوالدات) al-wālidāt dalam penggunaan al-Qur’an berbeda dengan kata (أمهات) ummahāt yang merupakan bentuk jamak dari kata (أم) umm. Kata ummahāt digunakan untuk menunjuk kepada para ibu kandung, sedangkan kata al-wālidāt maknanya adalah para ibu, baik ibu kandung maupun bukan. Hal ini berarti al-Qur’an sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu kandung atau bukan, adalah makanan terbaik buat bayi hingga usia dua tahun. Namun, susu ibu kandung tentu lebih baik. Dengan menyusu pada ibu kandung, maka anak akan merasa lebih tentram, sebab penelitian ilmiah menunjukkan bahwa ketika itu bayi mendengar detak jantung ibu yang telah dikenalnya secara khusus sejak dalam perut. Detak jantung itu berbeda antara satu perempuan dengan perempuan lain.

Dalam ayat di atas juga disebutkan bahwa penyusuan itu sempurna dalam dua tahun. Dua tahun adalah batas maksimal dari kesempurnaan penyusuan. Meskipun dalam ayat ini berbentuk perintah, tetapi bukan suatu kewajiban. Ini dapat dipahami dari penggalan ayat yang menyatakan bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Namun demikian, ini adalah anjuran yang sangat ditekankan, seakan-akan ia adalah perintah wajib. Adapun masa penyusuan tidak harus selalu 24 bulan, karena dalam Q.S. al-Ahqaf/46 ayat 15 dinyatakan bahwa masa kehamilan dan penyusuan adalah tiga puluh bulan. Ini berarti, jika janin dalam rahim selama sembilan bulan, maka masa penyusuan hanya dua puluh satu bulan, sedangkan jika janin dikandung hanya enam bulan, maka masa penyusuannya 24 bulan.

Lebih lanjut Quraish Shihab menyimpulkan ayat di atas terdapat tiga tingkat penyusuan; pertama, tingkat sempurna, yaitu dua tahun atau tiga puluh bulan kurang masa kandungan; kedua, masa cukup, yaitu yang kurang dari masa tingkat sempurna; ketiga, masa yang tidak cukup kalau enggan berkata “kurang” dan ini dapat mengakibatkan dosa, yaitu yang enggan menyusui anaknya. Jika orang tuanya sakit, atau karena alasan lainnya yang tidak memungkinkan si ibu menyusui, maka ayat di atas juga menjelaskan agar disusukan kepada perempuan lain dengan upah yang disiapkan oleh sang suaminya.

Dengan adanya perintah menyusui ini, maka dapat dipahami bahwa air susu ibu mengandung unsur kesehatan jasmani dan rohani. Dari segi jasmani, air susu ibu (ASI) memiliki manfaat yang amat banyak bagi kesehatan. Dalam buku child development oleh Laura E Berk (2003) menjelaskan beberapa alasan mengapa ibu harus menyusui anaknya, yaitu: 1) ASI menyediakan keseimbangan lemak dan protein yang tepat; 2) ASI menjamin nutrisi yang lengkap; 3) ASI membantu menjamin pertumbuhan fisik yang sehat; 4) ASI melawan banyak penyakit; 5) ASI mampu mentransfer zat antibodi dan zat-zat yang mencegah timbulnya infeksi dari sang ibu kepada bayinya. ASI juga dapat mempertinggi fungsi imunitas (kekebalan) tubuh bayi; 6) ASI menjamin sistem pencernaan; 7) ASI melindungi dari kegagalan perkembangan rahang dan kerusakan gigi, sebab mengisap puting susu ibu ternyata bisa membantu menghidari malocclusion, yaitu kondisi di mana rahang bawah dan atas tidak bertemu secara tepat; 8) Bayi yang diberi ASI lebih mudah berpindah ke makanan yang padat daripada bayi yang diberi susu botol; dan 9) Secara psikologis, ASI juga meningkatkan perkembangan attachment (kasih sayang) antara ibu dan anak.

Penelitian ilmiah juga menunjukkan bahwa perkembangan kemampuan otak pada bayi yang diberi ASI lebih baik daripada bayi lain. Penelitian pembandingan terhadap bayi yang diberi ASI dengan bayi yang diberi susu buatan pabrik oleh James W. Anderson – seorang ahli dari Universitas Kentucky – membuktikan bahwa IQ [tingkat kecerdasan] bayi yang diberi ASI lebih tinggi 5 angka daripada bayi lainnya. Berdasarkan hasil penelitian ini ditetapkan bahwa ASI yang diberikan hingga 6 bulan bermanfaat bagi kecerdasan bayi, dan anak yang disusui kurang dari 8 minggu tidak memberikan manfaat pada IQ.

Lalu mengapa harus dua tahun? Itu tidak lepas dari kenyataan bahwa dua tahun pertama usia sang bayi merupakan masa di mana otak dan tubuhnya berkembang dengan cepat. Di masa itu, 25% dari kalori makanan yang ada di tubuh mereka digunakan untuk pertumbuhannya. Maka sang bayi membutuhkan kalori ekstra untuk menjaga perkembangan fungsi organ-organ tubuhnya. Karena itulah diperlukan nutrisi yang tepat untuk mengimbangi perkembangan tersebut. Dan itu semua sudah disediakan Allah dalam Air Susu Ibu (ASI).

ASI juga berpengaruh terhadap kesehatan rohani anak. Hamka dalam menafsirkan ayat di atas mengisahkan tentang riwayat Imam al-Haramain, ulama mazhab Syafi’i yang masyhur, guru dari Imam al-Ghazali. Ayah dari Imam al-Haramain ini bernama Abu Muhammad al-Juwaini. Kerja al-Juwaini ketika mudanya menyalin kitab-kitab ilmu pengetahuan dan menerima upah dari usaha itu sehingga dengan upah itu ia menikahi seorang perempuan yang shalehah. Dari hasil pernikahan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdulmalik. Setelah anak itu lahir, al-Juwaini berpesan sangat kepada istrinya jangan sampai ada perempuan lain yang menyusukan anak itu. Namun, suatu ketika istrinya sakit sehingga air susunya kering, sementara bayinya menangis kehausan. Lalu datanglah seorang perempuan yang merupakan tetangganya yang kasihan mendengar tangisan anak itu lalu mengambil dan menyusukan anak tersebut. Tiba-tiba datanglah Abu Muhammad al-Juwaini. Melihat anaknya disusui oleh perempuan lain, dia pun tidak senang sehingga perempuan itu pergi. Lalu al-Juwaini mengambil anak itu lalu menonggengkan kepalanya dan mengorek mulutnya, sampai anak itu memuntahkan air susu perempuan lain. Beliau pun berkata: “Bagiku tidak keberatan jika anak ini meninggal di waktu kecilnya, dari pada rusak perangainya karena meminum susu perempuan lain, yang tidak aku kenal ketaatannya kepada Allah.”

Anak itulah yang kemudian terkenal dengan nama Imamul Haramain Abdulmalik al-Juwaini, guru dari madrasah-madrasah Naisabur dan salah seorang yang mendidik Imam al-Ghazali, sampai menjadi ulama besar pula. Kadang-kadang sedang mengajarkan ilmunya pernah beliau marah-marah. Maka berkatalah dia setelah sadar dari kemarahannya, bahwa “ini barangkali adalah dari bekas sisa susu perempuan lain itu, yang tidak sempat aku muntahkan.”

Selain itu, ASI juga bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental anak. "Bayi yang disusui, tidak terlalu terpengaruh oleh perceraian atau perpisahan orangtuanya, mereka juga tidak mudah gelisah dan cemas," kata Dr Scott Montgomery, ahli epidemiologi di Karolinska Institute Swedia. Montgomery dan timnya meneliti bagaimana bayi berusia 10 tahun yang diberi ASI dan yang diberi susu formula menghadapi stres akibat masalah perkawinan orangtuanya. Sekitar 9000 bayi menjadi responden penelitian ini. Mereka dimonitor sejak lahir sampai masuk sekolah. Guru-guru di sekolah juga ditanyai tentang tingkat kegelisahan anak-anak tersebut dalam skala 0-50. Ternyata anak yang dulunya mendapat ASI bisa menghadapi masalah dan stres lebih baik dibandingkan yang tidak mendapat ASI.

Demikianlah pentingnya peran seorang ibu dalam menyusukan anaknya. Jika si ibu memang sakit, seperti yang diungkapkan dalam ayat di atas, maka dibolehkan menyusukan kepada perempuan lain dengan upah yang layak. Kemudian perlu pula memilih dan menentukan perempuan yang taat dan baik akhlaknya, seperti yang dilakukan oleh Aminah saat menyusukan anaknya Muhammad di waktu bayi.

Kedua, memberi anak makanan yang halal lagi baik. Bahkan ketika janin dalam kandungan, seorang ibu harus memakan makanan yang halal lagi baik. Jika orang tua memberi makanan yang haram, maka kesehatan si anak akan terganggu, baik secara fisik terutama rohaninya.

Mengenai pentingnya makanan halal lagi baik ini ditemukan beberapa ayat dalam al-Qur’an. Salah satu di antaranya adalah surat al-Baqarah/2 ayat 168:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Q.s. al-Baqarah/2: 168)

Ayat ini menyeru semua manusia di muka bumi, tidak hanya khusus kepada orang-orang yang beriman saja, agar memakan makanan yang halal lagi baik. Perintah ini menyangkut tentang kesehatan jasmani, demikian pula kesehatan rohani.

Larangan makanan yang haram sesungguhnya ada tujuan yang baik untuk menghindari suatu penyakit dan untuk menjauhkan bahaya dari manusia. Makanan halal adalah makanan yang tidak haram, yakni memakannya tidak dilarang oleh agamanya. Makana yang haram ini ada dua macam, yaitu haram dari segi zatnya, seperti babi, anjing, bangkai, dan darah; dan ada pula haram karena sesuatu yang bukan dari zatnya, misalnya makanan yang dicuri, hasil korupsi, dan sebagainya. Makanan yang halal dimaksud adalah makanan yang tidak termasuk ke dalam dua kategori tersebut.

Namun, tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Karena dinamai halal terdiri dari empat macam: wajib, sunnah, mubah, dan makruh. Aktivitas pun demikian. Ada aktivitas yang walaupun halal, namun makruh atau sangat tidak disukai oleh Allah, seperti perceraian. Selanjutnya tidak semua yang halal sesuai dengan kondisi masing-masing. Bisa jadi makanan jenis A sesuai untuk kesehatan si B, tetapi tidak cocok dengan si C. Makanan yang sesuai itulah yang baik. Jadi al-Qur’an mengajarkan makanlah yang halal lagi baik.

Kemudian, makanan atau aktivitas yang berkaitan dengan kesehatan jasmani, sering kali digunakan setan untuk memperdaya manusia, karena itu lanjutan ayat ini mengingatkan, ”dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.” Setan mempunyai jejak langkah. Ia menjerumuskan manusia langkah demi langkah, atau tahap demi tahap. Oleh karena itu, manusia harus senantiasa menyadari keberadaan setan yang harus diwaspadi sehingga tidak terperdaya dari tipu dayanya.
Perlu juga ditegaskan bahwa makanan tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan jasmani seseorang, tetapi juga akan berpengaruh terhadap jiwa atau kesehatan rohaninya. Jika dzat makanan itu halal, tetapi cara memperolehnya haram, maka jasadnya bisa jadi akan sehat, tetapi rohaninya akan rusak. Tegasnya, makanan yang haram adalah racun bagi perkembangan ruhani seseorang.

Pengaruh makanan terhadap kesehatan jiwa atau rohani juga disinggung oleh Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an. Dalam hal ini ia mengutip pendapat Alexis Carrel, pemenang hadiah Nobel Kedokteran, dalam bukunya Man the Unknown dengan menuliskan:
Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum lagi diadakan eksperimen secara memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan.

Ketiga, menggosok langit-langit mulut anak setelah dilahirkan. Selain dari yang diinformasikan dalam al-Qur’an, berkenaan dengan kesehatan jasmani dan rohani ini juga dijelaskan dalam Sunnah nabi, yaitu menggosok langit-langit mulut bayi tersebut. Caranya mengunyah kurma dan menggosokkannya ke langit-langit mulut anak yang baru dilahirkan. Hal ini dilakukan dengan menaruh sebagian kurma yang telah dikunyah di atsa jari dan memasukkan jari itu ke kiri dengan gerakan yang lembut, hingga merata.
Di antara hadis yang berkenaan dengan hal ini adalah hadis dari Abu Burdah r.a.:
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ: وُلِدَ لِيْ غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيْمَ وَحَنَكَهُ بِتَمْرَةٍ وَدَعَالَهُ بِاْلبَرَكَةِ وَدَفَعَهُ إِلَيَّ

Artinya: Bahwa Abu Musa r.a. berkata, “Aku telah dikaruniai seorang anak. Kemudian aku membawanya kepada Nabi Muhammad SAW, lalu beliau menamakannya Ibrahim, menggosok langit-langit mulutnya dengan sebuah kurma dan mendoakannya dengan keberkahan. Setelah itu beliau menyerahkannya kembali kepadaku”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Menurut Nashih Ulwan, hikmah yang dikandung dalam Sunnah ini adalah untuk menguatkan syaraf-syaraf mulut dan tenggorokan dengan gerakan lidah dan dua tulang rahang bawah dengan jilatan, sehingga anak siap untuk menetek dan menghisap susu secara kuat dan alami. Lebih utama penggosokan ini dilakukan oleh orang yang memiliki sifat takwa dan saleh sebagai suatu penghormatan, dengan harapan semoga si anak juga menjadi orang yang shaleh dann takwa pula.


5. Aspek Pendidikan Sosial
Al-Qur’an juga mengisyaratkan pentingnya aspek pendidikan sosial di saat anak lahir. Adapun surat yang menjelaskan tentang hal ini adalah surat Hud/11 ayat 69-71:
وَلَقَدْ جَاءتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُـشْرَى قَالُواْ سَلاَماً قَالَ سَلاَمٌ فَمَا لَبِثَ أَن جَاء بِعِجْلٍ حَنِيذٍ. فَلَمَّا رَأَى أَيْدِيَهُمْ لاَ تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُواْ لاَ تَخَفْ إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمِ لُوطٍ. وَامْرَأَتُهُ قَآئِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِن وَرَاء إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ.

Artinya: Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat." Ibrahim menjawab: "Selamatlah," maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: "Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-maaikat) yang diutus kepada kaum Luth." Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya'qub. (Hud/11: 69-71)

Ayat ini menjelaskan bahwa salam yang dianjurkan dalam al-Qur’an bukan saja yang serupa dengan salam yang disampaikan oleh pihak lain, tetapi yang lebih baik. Ini antara lain terlihat dalam jawaban Nabi Ibrahim a.s. di atas. Ucapan malaikat (سلاما) salaman di sini mengandung makna kami mengucapkan salam. Sedangkan jawaban Ibrahim dengan kata (سلام) salam bermakna keselamatan mantap dan terus-menerus menyertai kalian. Demikian beliau menjawab sambutan damai dengan yang lebih baik. Bahkan, dalam yat di atas, bukan saja sekedar doa dan sambutan yang lebih baik, tetapi disertai dengan jamuan makan yang sangat lezat, walaupun tentunya para malaikat itu tidak memakannya, sebab malaikat ketika itu datang menyerupai manusia.

Menurut Nashih Ulwan, ayat ini merupakan landasan pentingnya memberikan ucapan selamat dan rasa turut gembira ketika seseorang melahirkan. Artinya, ucapan selamat itu berasal dari orang-orang sekitar kepada orang tua yang baru memperoleh anak. Namun, dalam konteks ayat di atas tampak bahwa ketika Nabi Ibrahim a.s. mendapat salam dari malaikat yang datang menyerupai manusia, ia jawab salam itu lalu ia hidangkan makanan. Agaknya, dalam hal ini orang tua perlu membuat acara semacam syukuran dengan menjamu saudara-saudara lain jika memang orang tua tersebut mampu. Kegiatan ini juga relevan dengan anjuran nabi untuk membuat akikah sekaligus mencukur rambut anak.

Sebagaimana yang telah dikutip hadis sebelumnya, bahwa ketika bayi berusia tujuh hari, maka berilah nama, sembelih akikah, dan cukurlah rambutnya. Akikah dan mencukur rambut ini mengandung aspek pendidikan sosial. Akikah, misalnya, dagingnya akan disedekahkan kepada orang miskin, karib kerabat dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, Nashih Ulwan menyebutkan beberapa hikmah dari disyariatkannya akikah, di antaranya: akikah akan memperkuat tali ikatan cinta di antara anggota masyarakat. Sebab mereka akan berkumpul di meja-meja makan dengan penuh kegembiraan menyambut kedatangan anak yang baru. Akikah juga dapat memberikan sumber jaminan sosial baru dengan menerapkan dasar-dasar keadilan sosial dan menghapus gejala kemiskinan di dalam masyarakat.

Demikian juga tentang mencukur rambut anak. Jika orang tuanya sanggup, sebaiknya rambut anak itu ditimbang seberat perak lalu disedekahkan kepada orang yang berhak. Rasulullah SAW bersabda:
وَزَنَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا شَعْرَ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَزَيْنَبَ وَأُمِّ كُلْثُوْمُ فَتَصَدَّقَتْ بِزِيْنَةِ ذَلِكَ فِضَّةً
Artinya: “Fathimah telah menimbang rambut kepala Hasan, Zainab, dan Ummu Kaltsum. Seberat timbangan rambut itulah ia mengedekahkan perak.”

Masih menurut Nashih Ulwan, mencukur dengan cara ini juga mengandung hikmah, di antaranya adalah terwujudnya kemaslahatan sosial, di mana bersedekah sebanyak perak sesuai berat rambut anak tersebut merupakan salah satu sumber lain bagi jaminan sosial. Hal ini merupakan suatu cara untuk mengikis kemiskinan dan suatu bukti nyata adanya tolong menolong dan saling mengasihi di dalam pergaulan masyarakat.

Jadi, akikah dan mencukur rambut lalu bersedekah perak—ada ulama yang berpendapat dengan emas—seberat rambut itu mengandung aspek sosial yang dilakukan oleh orang tua di saat anak lahir. Selain dari hikmah sebagaimana yang dijelaskan di atas, Sunah ini juga akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak kelak. Dengan kepedulian sosial yang tinggi dari orang tua di saat kelahirannya, diharapkan ia memperoleh hidayah dari Allah SWT kelak menjadi anak yang tinggi pula rasa solidaritas sosialnya sehingga ia tidak hanya mampu mengabdi secara vertikal (habl minallah), tetapi juga mampu menjalin hubungan horizontal (habl minnnas) secara seimbang.

C. Penutup
Dari uraian tentang aspek-aspek pendidikan dari orang tua di saat anak lahir di atas, dapat dipahami bahwa peran orang tua sebagai pendidik (murabbi) sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya di masa akan datang. Oleh karena itu, orang tua harus menyadari peran tersebut dan memahami pula hakikat anak yang dianugerahkan Allah kepadanya. Anak bukan sekedar perhiasan (zinah), tetapi anak adalah amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan dalam bentuk mendidiknya menjadi anak yang shaleh. Anak juga merupakan sebagai fitnah atau ujian. Jika orang tua mengabaikan amanah tersebut, maka jadilah ia sebagai orang yang lengah/lalai. Begitu pula tentang anak sebagai fitnah, orang tua harus mampu mendidik anaknya sehingga ujian itu dapat dilalui dengan baik seraya mendapat keberkahan dari Allah, bukan malah sebaliknya mendapat murka-Nya.

Oleh karena itu, aspek pendidikan aqidah, ibadah, akhlak, kesehatan jasmani dan rohani, serta aspek sosial sebagaimana yang telah diuraikan di atas perlu dipahami oleh orang tua. Sejak anak lahir, orang tua harus berupaya, baik dalam bentuk doa, keteladanan, atau pun menjalankan hal-hal yang telah dituntun al-Qur’an dan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya sehingga anak tersebut nantinya memiliki aqidah yang kuat, ibadah yang taat, dan akhlak yang mulia serta memiliki kesehatan jasmani rohani dan mampu menampilkan sikap sosial yang baik pula.
Untuk itu, konsep ajaran Islam tentang aspek-aspek pendidikan dari orang tua di saat anak lahir ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat muslim. Pihak akademisi yang memahami konsep-konsep pendidikan Islam secara teoritis hendaknya memepertegas perannya dalam membimbing umat memahami prinsip ini dengan berbagai upaya sehingga terbentuk masyarakat muslim yang berkualitas sehingga menghasilkan peradaban yang tinggi. Sebab, suatu bangsa akan maju dan diridhai berawal dari masyarakat yang maju pula. Sementara masyarakat yang maju berawal dari keluarga yang sehat, bahagia dan diridhai oleh Allah SWT. Jadi keluarga, khususnya orang tua, memiliki peran dan kontribusi yang amat besar terhadap kemajuan suatu masyarakat, bangsa dan negaranya.

Baco Tokhus....