Sabtu, November 15, 2008

Falsafah Ibadah Haji

Oleh: Muhammad Kosim
(telah terbit di Republika, 14 Nop 2008)

Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima dan difardhukan bagi setiap Muslim yang mampu, baik dalam bentuk kesanggupan kesehatan fisik, ekonomi, tanggung jawab keluarga yang ditinggalkan, hingga keamanan dalam perjalanan.

Ibadah haji juga mengandung hikmah atau nilai-nilai falsafah yang sarat makna bagi setiap hamba yang melaksanakannya.
Dengan begitu, ibadah haji tidak sekadar ibadah ritual, tetapi nilai-nilai falsafah yang ada di dalamnya patut direnungkan sehingga berpengaruh terhadap perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Mengenai makna atau falsafah ibadah haji, telah dibahas oleh beberapa pemikir atau ulama terdahulu. Salah satu di antaranya adalah Ali Syari'ati yang tertulis dalam karyanya Haji. Dalam karya ini, ia menyingkap simbol-simbol yang terdapat dalam rangkaian ibadah haji dengan mengungkap nilai-nilai moral yang dikandungnya.

Ketika jamaah haji sampai di Miqat, mereka mengenakan pakaian ihram dengan kaki telanjang tanpa terkecuali. Pakaian ini warnanya putih, tidak berjahit dan bahan dasar kainnya pun sangat sederhana. Meskipun kaya, tidak diperkenankan memakai pakaian sutra. Perintah ini mengingatkan akan eksistensi manusia yang tidak memiliki apa-apa. Kelak manusia mati untuk menghadap Tuhannya tidak membawa harta apa pun, hanya sehelai kain kafan yang berwarna putih, tanpa alas kaki.

Putihnya pakaian ihram melambangkan kesucian dan kesederhanaan. Ketika pakaian ini dipakai, buangkan segala sifat kesombongan, keangkuhan, egoisme, dan segala penyakit hati yang merusak.Pakaian adalah lambang perbedaan. Perbedaan seseorang sering di lihat dari pakaiannya. Ketika muncul perbedaan, kerap mengundang perpecahan. Padahal, perpecahan awal dari kehancuran sebuah peradaban. Pakaian ihram menghapus segala lambang perbedaan yang merusak persaudaraan, mengurai persatuan dan kesatuan itu. Perbedaan secara fisik memang alami, tidak bisa dihilangkan, tetapi tidak untuk merusak kebersamaan dan persaudaraan.

Thawaf adalah mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali. Kabah menjadi inti dari perputaran tersebut. Kabah kiblat seluruh umat Islam. Apa istimewanya? Sepintas tidak ada keistimewaannya. la hanya berbentuk kubus yang memiliki enam sisi dan kosong yang tersusun dari batu-batu hitam dari Ajun (bukit-bukit di dekat Kota Makkah). Jika direnungkan, enam sisi yang ada merupakan lambang Islam itu universal. Enam sisi menghadap ke segala arah. Kemudian, Kabah melambangkan ketetapan (konstan) sebab dia hanya diam. Manusialah yang bergerak (aktif) mengitarinya.

Kabah ibarat matahari. Manusia ibarat planet yang mengitari matahari tersebut. Itu artinya, Allah pusat eksistensi yang merupakan titik fokus dari dunia yang fana ini. Manusia mesti bergerak, beraktivitas, berbuat dan bersikap mesti berpusat kepada kehendak-Nya. Di sinilah terlihat eksistensi manusia yang harus bergerak dan berbaur dengan manusia lain secara bersama dengan mengenakan pakaian ihram secara disiplin. Jika seseorang diam, tidak bergerak, maka pada hakikatnya ia telah mati, bukan manusia yang sesungguhnya.

Pelaksanaan thawaf bermula dari Hajar Aswad. Di sana juga terdapat Hijir Ismail. Simbol ini mengingatkan kita kembali tentang Hajar, istri Ibrahim. Hajar adalah sahaya yang berkulit hitam dari Ethiopia yang diperistri Ibrahim. Karena kecintaannya kepada Allah, Hajar menjadi nama yang melekat dan sangat berpengaruh dalam rangkaian ibadah haji. Meskipun ia hanya hamba sahaya, bisa jadi dinilai orang hina, lagi berkulit hitam, tetapi dengan iman dan cinta yang dimilikinya mengangkat dirinya menjadi mulia di sisi Allah.
Simbol ini memberikan pesan moral kepada umat manusia bahwa sehina apa pun seseorang di mata manusia, tetapi dengan keimanan dan kecintaannya kepada Allah SWT akan terangkat derajatnya menjadi mulia di sisi Allah, bahkan di mata manusia sesudahnya. Maka jangan mudah merendahkan, menghina, maupun memperolok saudara sendiri.
Thawaf dilakukan sebanyak tujuh kali putaran. Angka tujuh ini mengingatkan kita kepada tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Artinya, manusia adalah wakil Allah di muka bumi yang bertanggung jawab mengelola alam semesta ini, memanfaatkan semua potensi yang ada, tetapi bukan mengeksploitasinya.

Sai merupakan sebuah pencarian. lbadah ini memiliki nilai historis tersendiri, di mana Hajar yang telantar dan terbuang di antara hamparan padang pasir, tanpa pepohonan dan air sebagai sumber kehidupan. Sementara, ia mesti tetap hidup, terlebih lagi ketika melihat buah hatinya, Ismail.

Sai adalah lambang perjuangan fisik, perjuangan mencari hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan dari alam. Jika pada thawaf lebih melambangkan gerak atas kecintaan manusia kepada al-Khaliq, bersifat spritual, sebaliknya pada sai lebih melambangkan gerak atas upayanya memenuhi kebutuhan hidup secara materi.

Tidak ada komentar: