Jumat, Desember 05, 2008

Esensi Ibadah Qurban

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni'mat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus. (Q.s. al-Kautsar/108: 1-3)

Ibadah qurban merupakan perintah Allah, seperti pada ayat di atas, tentunya bagi setiap muslim yang mampu. Ibadah ini dilaksanakan setiap tahun, tepatnya pada hari raya Idul Adha dan hari tasyri’. Telah banyak darah hewan ternak yang tumpah ke bumi yang “diqurbankan” dari tahun ke tahun, namun dampak positif ibadah qurban dalam konteks kehidupan sosial masih sering dipertanyakan.

Diakui memang, ketika penyembelihan hewan qurban, masyarakat di sekitar dapat menikmati daging qurban. Akan tetapi, daging tersebut hanya dikonsumsi dalam waktu yang amat terbatas. Maka muncul pertanyaan yang mendasar, seberapa besar pengaruh atau kontribusi ibadah tersebut terhadap perubahan sosial? Apakah esensi qurban hanya sekedar memberi daging kepada sesama satu kali dalam setahun?

Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak orang yang berqurban hanya dimotivasi oleh pahala yang dijanjikan. Banyak hadis nabi yang ditemukan tentang ganjaran yang diberikan kepada orang yang berqurban. Di antaranya pernah suatu ketika para sahabat bertanya, "apakah maksud qurban ini?" Beliau menjawab, "Sunnah Bapakmu, Ibrahim." Mereka bertanya, "apa hikmahnya bagi kita?" Beliau menjawab, "Setiap rambutnya akan mendatangkan satu kebaikan." Mereka bertanya, "Apabila binatang itu berbulu?" Beliau menjawab, "Pada setiap rambut dari bulunya akan mendatangkan kebaikan" (HR. Ahmad).

Jika ibadah qurban hanya didasari oleh keinginan untuk memperoleh pahala an sich, maka ibadah qurban lebih berdampak terhadap kepuasan psikologis seseorang secara individual. Sementara pengaruhnya terhadap kehidupan social hanya sebatas makan daging di hari itu saja.

Oleh karena itu, perlu memahami hakikat ibadah qurban yang sesungguhnya. Pahala yang dijanjikan memang perlu diketahui dan menjadi motivasi bagi umat untuk melaksanakan perintah tersebut. Akan tetapi, hakikat ibadah qurban jauh lebih penting untuk dipahami.

Untuk memahami hakikat ibadah qurban, bisa dilihat dari aspek historis. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa pengurbanan pertama yang dilakukan adalah pengurbanan Habil dan Qabil (Q.s. al-Maidah ayat 27). Ketika itu, keduanya diminta berqurban harta yang dimiliki untuk menentukan pendapat siapa yang benar di antara mereka. Sebelumnya, Adam as akan menikahkan kedua putranya tersebut secara silang; bukan dengan saudari kembarnya. Namun, Qabil menolak keputusan tersebut, sementara Habil menerimanya. Akhirnya, mereka diminta untuk berqurban, Qabil mengurbankan hasil pertanian berupa buah-buahan yang tidak lagi segar, sementara Habil mengurbankan hasil ternak berupa domba yang gemuk. Akhirnya pengurbanan Habil yang didasari dengan ketaatan dan keikhlasan itulah yang diterima oleh Allah SWT.

Sejarah yang lebih menarik adalah kisah Nabi Ibrahim as dalam mengurbankan anaknya. Bahkan, ibadah qurban yang dilakukan umat Islam hingga saat ini disebut dalam hadis di atas sebagai ”sunnah bapakmu Ibrahim”.

Memang dramatis sekaligus menggetarkan kisah yang dialami oleh Nabi Ibrahim as. Hampir seabad usia Ibrahim--menurut Hamka dalam tafsimya Al-Azhar, usia Ibrahim ketika itu adalah 86 tahun--barulah Allah mengabulkan doanya de­ngan lahirnya seorang putra melalui rahim Hajar. Putra itu diberi nama Isma'il yang saleh lagi halim. Allah menjelaskan, "Maka Kami gembirakanlah dia dengan seorang anak yang halim." (QS. Al-Shaffat 101). Hamka menjelaskan bahwa halim dapat diartikan sangat penyabar, tetapi berbeda dengan pengertian sabar. Halim itu menjadi tabiat atau bawaan hidup, sedangkan sabar adalah sebagai perisai penangkis gelisah jika percobaan datang dengan tiba-tiba. Jadi, halim ialah apabila kesabaran itu sudah menja'di sikap hidup, atau sikap jiwa. Nabi Ibrahim juga memiliki sifat halim ini (QS. Al-Taubat 114 dan Hud: 75). Dan sifat ini pulalah yang diwarisi oleh putranya, Isma'il.

Ketika Isma'il berusia sanggup berjalan dengan ayahnya, maka Allah pun menguji Nabi Ibrahim, di mana ia bermimpi agar menyembelih putra semata wayangnya, Isma'il. Lalu apa yang dilakukan nabi yang telah banyak mendapat cobaan keimanan itu? Bisa dibayangkan, sifat ke-bashariyah-an Ibrahim jelas membuat jiwanya goncang, gemetar, dan berpikir keras, apa yang mesti ia lakukan. Memilih antara salah satu dan yang amat dicintai: Allah atau Isma'il?

Dengan sifat halim dan kebijaksanaan Ibrahim, akhirnya ia pun mendiskusikannya kepada putra kesayangannya, meskipun terasa getir dan amat pahit la berkata, "Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwasanya aku menyembelih engkau. Maka fikirkanlah, apa pendapatmu!" Suatu pertanyaan yang amat demokratis dari seorang ayah terhadap anaknya.

Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa Isma'il adalah anak yang shaleh dan memiliki sifat halim. Tanpa berpikir panjang ia menjawab, 'Ya Ayahku? perbuatlah apa yang tetah diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang yang sabar."

Jawaban yang amat memilukan, mengharukan, sekaligus mengguncangkan. Lagi-lagi Ibra­him dipilihkan antara dua kutub cinta, Allah atau Isma'il? Akhirnya, Ibra­him pun memilih untuk mengorbankan Isma'il demi cintanya kepada Allah. Mereka pun sama-sama menyerahkan diri secara total kepada Allah, la letakkan pipi Ismail ke sebongkah batu, lalu ia angkat tinggi-tinggi pedangnya yang sudah ditajamkan. Ketika itu, ia berteriak mengagungkan nama Allah, dengan ucapan "Allahu Akbar". Sebelum mata pedang itu menebas leher Isma'il, malaikat diutus Allah untuk menahan pedangnya lalu menggantikan pengorbanan itu dengan seekor kibas (sejenis kambing besar).

Itulah segelintir ki­sah yang tragis, menyedihkan, mendebarkan, tetapi berakhir dengan kebahagiaan. Ternyata tidaklah sia-sia kecintaan Ibrahim kepada Allah. Andai saja Ibrahim me­milih Isma'il, maka ia akan "meninggalkan" dan "ditinggalkan" oleh Allah; sementara masa depan Isma'il tidak ada jaminan. Namun dengan memilih Allah, semuanya selamat Ibrahim selamat dari ujian, Isma'il pun selamat de­ngan tetap hidup dan akhirnya menjadi seorang Rasulullah di kemudian hari.

Di balik kisah tersebut terkandung hikmah ibadah qurban yang sesungguhnya. Ibadah qurban merupakan simbol kecintaan manusia kepada Allah SWT. Kecintaan itu diwujudkan dalam ibadah qurban, bukan diserahkan kepada Allah secara langsung—sebab Allah itu ghaib dan tidak butuh hewan yang merupakan makhluk-Nya—tetapi perngurbanan itu diberikan kepada sesama manusia. Itu artinya bahwa kecintaan kepada Allah harus diwujudkan dengan hati yang ikhlas dan berdampak kepada kehidupan sesama manusia.

Hal itu bisa dilihat dari tempat pelaksanaan pengurbanan tersebut, dilakukan di atas bukit, bukan di tengah-tengah orang ramai lalu memamerkan diri sebagai hamba Tuhan yang paling taat. Selanjutnya, pengorbanan itu pun berdampak terhadap kehidupan sosial, di mana kisah tersebut diabadikan oleh nabi-nabi sesudahnya sehingga tempat yang bersejarah itu, yaitu Mekah yang awalnya daerah gersang, tandus tak berpenghasilan menjadi kota yang ramai dikunjungi oleh orang hingga saat ini.

Pertanyaan selanjutnya, apakah ibadah qurban yang dilakukan oleh umat Islam saat ini sebanding dengan pengurbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as? Tentu tidak! Karenanya, umat Islam harus berupaya mewujudkan cintanya kepada Allah dengan rela berkorban secara ikhlas. Ibadah qurban yang dilakukan setiap tahun merupakan momen untuk mengingatkan dan menggugah kesadaran manusia akan pentingnya kepedulian sosial, di samping pahala yang dijanjikan. Setiap individu harus memiliki kontribusi yang jelas terhadap kehidupan sosialnya.

Jika nabi Ibrahim memiliki Isma’il dan ia sangat mencintainya, lalu bagaimana dengan kita?

Isma'il merupakan simbol kecintaan Ibrahim selain Allah. Artinya, kita pun memiliki isma'il-isma'il dalam kehidupan ini. Isma'il itu dapat berupa uang, rumah mewali, mobil, perusahaan, jabatan, anak, istri/suami, atau terhadap diri kita sendiri dan segala sesuatu yang menjadi kecintaan kita di dunia ini, selain dari pada Allah" SWT. Sudahkah kita mengorbankan "isma'il-isma'il" kita tersebut untuk Allah? Cara mengorbankannya bukanlah dimusnahkan, sebagaimana Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih Isma'ilnya. Tetapi, mengorbankan isma'il yang dimaksud adalah mempergunakannya untuk kepentingan agama Allah yang jelas berdampak terhadap kehidupan sosial.

Jadi, ibadah qurban di hari raya Idul Adha dan hari tasyri’ merupakan satu dari bentuk pengorbanan yang diperintahkan Allah Ta’ala. Dengan memahami nilai historis ibadah qurban diharapkan kita mampu memetik esensi sesungguhnya dari ibadah tersebut yang menguji keikhlasan hati dalam beribadah dan kepedulian sosial dalam setiap aktivitas. Jika pemahaman terhadap ibadah yang diperintahkan Allah dilakukan secara komprehensif, maka setiap ibadah tersebut akan paralel dengan kehidupan sosial; semakin tinggi ketaatan umat kepada perintah Allah berupa ibadah mahdhah, maka semakin berkualitas pula kehidupan masyarakat di sekitarnya, baik dalam hal kesejahteraan, kedamaian, maupun peradaban. Sebagai umat yang beriman lagi berakal, pikirkan dan petiklah setiap makna yang terhimpun dalam perintah Allah!

Tidak ada komentar: