Sabtu, September 04, 2010

Materi Khutbah Idul Fitri 1431

Khutbah Idul Fitri 1431 H
Mempertahankan Kesucian

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Allahu akbar 3x, wa lillahil hamd
Bulan Ramadhan, dengan segala keberkahan dan keutamaannya telah berlalu. Tak seorang pun yang tahu apakah kita bisa menemui Ramadhan di tahun depan, atau Allah mentaqdirkan kita untuk mengahadap-Nya sehingga Ramadhan di tahun ini merupakan yang terakhir bagi kita.
Perhatikanlah saudara-sadara di sekeliling kita, pada tahun yang lalu, kita masih bersama mereka shalat Idul Fitri berjamaah di masjid ini, akan tetapi saat ini, mereka tidak lagi bersama kita. Mungkin di antara mereka ada yang sedang sakit, sekarat di rumah, atau sedang berjuang mencari nafkah di rantau orang, atau justru mereka telah dahulu menghadap Ilahi.


Allahu akbar 3x, wa lillahil hamd
Maka beruntunglah kita yang memperoleh kesehatan dan kesempatan melaksanakan shalat Idul Fitri di hari nan suci ini. Berbahagialah orang-orang yang hari ini melaksanakan shalat Idul Fitri dan mampu menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan kesungguhan hati dan ikhlas karena Allah. Mereka ibarat bayi yang baru lahir, suci dari dosa karena diampuni oleh Allah SWT.
Akan tetapi, amat merugilah orang-orang yang pura-pura bergembira di hari ini, sementara ia mengabaikan perintah berpuasa tanpa alasan yang dibenarkan. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ اَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ وَلَامَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ وَإِنْ صَامَهُ
Dari Abu Hurairah: Barangsiapa yang berbuka/tidak puasa bukan karana ada keringanan (udzur) dan sakit, maka puasa setahun penuh pun tidak akan bisa menggantikannya, sekalipun ia melakukan puasa itu. (HR. Turmidzi).
Bahkan Rasulullah mengancam orang-orang yang tidak shalat dan tidak berpuasa sebagai orang kafir dan dihalalkan darahnya.
اُسُسُ الْإِسْلَامِ مَنْ تَرَكَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ فَهُوَ بِهَا كَافِرٌ حَلَالُ الدَّمِ شَهَادَةُ اَنْ لَااِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَالصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَصَوْمُ رَمَضَانَ
Dasar/pondasi/sendi agama Islam ada tiga perkara, dimana dasar-dasar Islam berdiri di atasnya, barangsiapa meninggalkan salah satu daripadanya maka ia menjadi kafir, halal darahnya, yaitu: menyaksikan bahwa tiada Tuhan selan Allah, shalat yang difardhukan dan puasa Ramadhan. (HR. Abu Ya’la).
Demikian besarnya ancaman Rasul bagi orang-orang yang melalaikan perintah puasa di bulan Ramadhan.

Allahu akbar 3x, wa lillahil hamd
Namun bagi setiap muslim yang telah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan sungguh-sungguh karena Allah Ta’ala, janganlah puas dan berhenti di situ saja. Sebab, mempertahankan kesucian dan kemenangan jauh lebih sulit dari pada meraihnya.
Kita sering menyaksikan di tahun-tahun yang lalu, ketika di bulan Ramadhan, nuansa keislaman begitu terasa. Masjid menjadi ramai dengan shalat isya dan tarawih. Jumlah Orang-orang dermawan meningkat drastic dengan sedekah mereka kepada fakir miskin. Lisan cenderung terpelihara dari kata-kata kotor, ghibah, dan fitnah.
Namun, sesudah Ramadhan, masjid kembali sepi dan ditinggalkan jamaahnya, orang-orang miskin menjerit menahan rasa lapar, lisan pun lagi-lagi tak terkendali mengeluarkan kata-kata kotor, mencaci maki, menggunjing, mengupat, hingga kepada menyebar fitnah dan namimah (adu domba).
Padahal, sesudah bulan Ramadhan, kita memasuki bulan Syawal yang artinya peningkatan. Artinya, ketika kita memasuki bulan Syawal, hendaklah terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas ibadah yang disebabkan oleh latihan yang kita lakukan di bulan Ramadhan.

Allahu akbar 3x, wa lillahil hamd
Salah satu keutamaan Ramadhan adalah ia hadir sebagai syahruttarbiyah, atau bulan pendidikan/latihan. Banyak hal yang menjadi pendidikan bagi kita selama bulan Ramadhan. Di antaranya adalah:
1. Mengendalikan nafsu perut dan nafsu syahwat
Secara syariat, puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, terutama makan dan minum serta berhubungan badan bagi suami-istri. Hal ini menunjukkan bahwa Ramadhan mendidik kita agar mampu mengendalikan nafsu perut dan syahwat. Jangankan makanan yang haram, yang halal pun tidak boleh di makan. Jangankan selingkuh dan berzina, berhubungan dengan suami istri yang sah saja dilarang.
Banyak kasus yang menunjukkan bahwa keinginan perut untuk menikmati makanan yang lezat dan nikmat membuat orang gelap mata, mencari jalan pintas, dan menghalalkan segala cara, termasuk dengan cara yang haram. Padahal, Allah merintahkan agar memakan makanan yang halal lagi baik. Firman-Nya:

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Qs. Al-Baqarah/2: 168)

Seseorang yang mengkonsumsi makanan haram, baik haram karena zatnya ataupun cara memperolehnya, akan berdampak kepada kepribadian dirinya sendiri, termasuk orang-orang yang menikmatinya, seperti anak, istri dan anggota keluarga lainnya. Patut kita merenungkan apa yang ditulis oleh Hamka dalam tafsirnya, Al-Azhar. Ia mengisahkan tentang kita Abu Muhammad al-Juwaini, permuda yang taat beribadah kepada Allah dan sangat berhati-hati kepada suata perkara yang subhat. Sehari-hari ia bekerja menyalin kitab-kitab ilmu pengetahuan dan menerima upah. Dengan mengumpulkan upah dari hasil pekerjaannya itu ia menikahi seorang perempuan yang shalehah, taat beribadah kepada Allah SWT. Dari hasil pernikahan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdulmalik. Setelah anak itu lahir, al-Juwaini berpesan sangat kepada istrinya jangan sampai ada perempuan lain yang menyusukan anak itu.

Namun, suatu ketika istrinya sakit sehingga air susunya kering, sementara Abdilmalik yang masih bayi itu menangis kehausan. Lalu datanglah seorang perempuan yang merupakan tetangganya dan merasa kasihan mendengar tangisan anak itu. Perempuan itu pun mengambil dan menyusukan anak tersebut. Tiba-tiba datanglah Abu Muhammad al-Juwaini. Melihat anaknya disusui oleh perempuan lain, dia pun tidak senang sehingga perempuan tersebut merasakan suasana ketidaknyamanan al-Juwaini karena ia menyusukan anak itu. Akhirnya perempuan tetangga itu pun bergegas pergi.

Kemudian al-Juwaini mengambil anak itu lalu menonggengkan kepalanya dan mengorek mulutnya, sehingga anak itu memuntahkan air susu perempuan tetangga tadi. Beliau pun berkata: “Bagiku tidak keberatan jika anak ini meninggal di waktu kecilnya, dari pada rusak perangainya karena meminum susu perempuan lain, yang tidak aku kenal ketaatannya kepada Allah.” Anak yang bernama Abdulmalik itu kemudian terkenal dengan nama Imamul Haramain Abdulmalik al-Juwaini, ia adalah seorang ulama mazhab Syafi’i yang masyhur, guru dari madrasah-madrasah Naisabur dan salah seorang guru Imam al-Ghazali, sampai menjadi ulama besar pula. Kadang-kadang sedang mengajarkan ilmunya, pernah beliau marah-marah. Ketika itu, berkatalah dia setelah sadar dari kemarahannya, “ini barangkali adalah dari bekas sisa susu perempuan lain itu, yang tidak sempat aku muntahkan.”

Ternyata, meminum air susu dari seorang ibu yang tidak dikenal ketaatannya kepada Allah saja, berpengaruh terhadap perilaku seseorang, dan itu diakui oleh ulama besar, Abdul Malik, guru dari Imam al-Ghazali tersebut. Bagaimana jika kita memberi makan anak istri kita dengan hasil pekerjaan yang haram, berjudi, mencuri, korupsi, menipu dan cara-cara haram lainnya?
Begitu pula nafsu syahwat. Banyak kasus perselingkuhan, pertengkaran hebat antara suami-istri, hingga berakhirnya hubungan keluarga dengan perceraian yang mengakibatkan anak-anaknya teraniaya hanya karena dorongan nafsu syahwat. Kita juga takut dan khawatir kepada anak-anak kita, baik laki-laki, terutama perempuan, yang rela membuka auratnya, berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya, hanya didorong oleh keinginan syahwatnya. Beberapa survey di kota-kota besar menunjukkan perilaku di kalangan remaja telah di luar batas.

Komisi Nasional Perlindungan Anak merilis data di tahun ini bahwa 62,7 persen remaja SMP di Indonesia sudah tidak perawan. Hasil lain dari survei itu, ternyata 93,7 persen siswa SMP dan SMA pernah melakukan ciuman, 21,2 persen remaja SMP mengaku pernah aborsi, dan 97 persen remaja SMP dan SMA pernah melihat film forno. Sebelumnya, pada tahun 2008 lalu, Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN), M. Masri Muadz pernah menyampaikan bahwa 63% remaja usia SMP dan SMA di 33 propinsi di Indonesia telah berzina.

Suatu data yang menyedihkan dan menakutkan, khususnya bagi kita selaku orang tua. Maka Ramadhan sesungguhnya mendidik kita untuk mampu mengendalikan diri dan memelihara anak dan keluarga kita agar terhindar dari perbuatan tersebut.

Jangan bangga melepas anak-anak kita berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya, tetapi takut dan cegahlah. Jangan bangga menyaksikan anak-anak perempuan kita membuka auratnya di keramaian, tetapi cegah dan marahlah. Jangan berdiam diri menyaksikan anak-anak kita berperilaku bebas tanpa aturan dan mengabaikan posisi kita sebagai orang tuanya.

peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (Qs. At-Tahrim: 6)

Allahu akbar 3x, wa lillahil hamd


2. Melatih kejujuran
Ketika kita berpuasa Ramadhan, kejujuran mewarnai kehidupan kita sehingga kita tidak berani makan dan minum meskipun tidak ada orang yang mengetahuinya. Hal ini karena kita yakin Allah swt yang memerintahkan kita berpuasa selalu mengawasi diri kita dan kita tidak mau membohongi Allah swt dan tidak mau membohongi diri sendiri karena hal itu memang tidak mungkin, inilah kejujuran yang sesungguhnya. Karena itu, setelah berpuasa sebulan Ramadhan semestinya kita mampu menjadi orang-orang yang selalu berlaku jujur, baik jujur dalam perkataan, jujur dalam berinteraksi dengan orang, jujur dalam berjanji dan segala bentuk kejujuran lainnya.

Dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita sekarang ini, banyak hal yang kita miliki, sumber daya alam yang kaya, orang-orang pintar pun sudah banyak. Namun, yang belum dimiliki oleh bangsa ini adalah kejujuran. Banyak kasus di negeri kita yang tidak cepat selesai bahkan tidak selesai-selesai karena tidak ada kejujuran, orang yang bersalah sulit untuk dinyatakan bersalah karena belum bisa dibuktikan kesalahannya dan mencari pembuktian memerlukan waktu yang panjang, padahal kalau yang bersalah itu mengaku saja secara jujur bahwa dia bersalah, tentu dengan cepat persoalan bisa selesai. Sementara orang yang secara jujur mengaku tidak bersalah tidak perlu lagi untuk diselidiki apakah dia melakukan kesalahan atau tidak. Tapi karena kejujuran itu tidak ada, yang terjadi kemudian adalah saling curiga mencurigai bahkan tuduh menuduh yang membuat persoalan semakin rumit. Ibadah puasa telah mendidik kita untuk berlaku jujur kepada hati nurani kita yang sehat dan tajam, bila kejujuran ini tidak mewarnai kehidupan kita sebelas bulan mendatang, maka tarbiyyah (pendidikan) dari ibadah Ramadhan kita menemukan kegagalan, meskipun secara hukum ibadah puasanya tetap sah.

3. Mempererat hablun minallah dan hablun minannas

Di hari yang suci ini, kita patut merenung, berapa banyak dosa-dosa dan pengkhianatan yang kita lakukan kepada Allah. Renungkanlah, sedemikian besar nikmat Allah sehingga kita tidak dapat menghitungnya. Akan tetapi nikmat itu kita balas dengan dosa-dosa yang tidak dapat kita hitung jumlahnya.

Allah menganugerahkan kita mata, tetapi berapa banyak dosa yang ditimbulkan oleh mata ini dengan melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Ia anugerahkan kita lidah, tetapi lidah kita gunakan untuk menyakiti perasaan orang lain. Tangan kita pergunakan untuk menzalimi dan mengambil hak-hak orang lain. Telinga pun lebih kita gunakan memperdengarkan berita-berita berbau ghibah, fitnah, dan namimah, sementara nasehat-nasehat bijak sulit di dengarkan. Begitu pula hati, lebih condong kepada duniawi, sementara Allah terusir dari qalbu kita. Padahal, orang-orang yang tidak mempergunakan qalbu, penglihatan, dan pendengarannya di jalan Allah tak obahnya seperti binatang, bahkan lebih hina darinya.

Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (Qs. Al-A’raf: 179)
Begitu pula anggota tubuh lain. Ketika adzan berkumandang, kaki kita tidak bersegera menuju rumah Allah, tetapi melalaikan bahkan mengabaikannya.
Padahal, meskipun beberapa ulama berpendapat bahwa shalat berjamaah di masjid hukumnya sunnah muakkad, akan tetapi ditemukan beberapa hadis yang mengecam orang-orang yang tidak mau shalat berjamaah ke masjid tanpa ada halangan. Perhatikanlah beberapa hadis berikut ini:
يَارَسولَ اللهِ إِنِّى رَجُلٌ ضَرِيْرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِى قَائِدٌ لَا يُلَاوِمُنِى فَهَلْ لِى رُخْصَةً أَنْ اُصَلِّىَ فِى بَيْتِيْ؟ قَالَ: هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ؟ قال: نعم, قال: لَااَجِدُ لَكَ رُخْصَةً
Wahai Rasulullah, aku adalah seorang laki-laki yang buta. Rumahku jauh dan aku tidak memiliki orang yang menuntun. Apakah aku mempunyai keringanan untuk shalat di rumah? Rasul bertanya: apakah kamu mendengar seruan (adzan)?, ia berkata: Ya, Rasul bersabda: AKu tidak mendapatkan keringanan untukmu”. (HR. Abu Daud)

لَيْسَ صَلَاةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِيْنَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِيْهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik selain shalat shubuh dan isya. Seandainya mereka mengetahui keutamaan di dalamnya, niscaya mereka mendatanginya meskipun dengan merangkak. (HR. Bukhari)

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ اَمُرَ فِتْيَتِي فَيَجْمَعُوا حَزْمًا مِنْ حَطَبِ ثُمَّ اَتِيَ قَوْمًا يُصَلُّونَ فِي بُيُوتِهِمْ لَيْسَتْ بِهِمْ عِلَّةٌ فَأَحْرِقَ عَلَيْهِمْ
Aku ingin menyuruh para pemuda lalu mereka mengumpulkan seikat kayu bakar lalu aku datangi kaum yang mereka shalat di rumah mereka sendiri yang mereka tidak memiliki alasan. Lalu aku bakar mereka. (HR. Abu Daud).

Marilah kita tingkatkan ibadah shalat berjamaah di masjid sekaligus mempererat ukhuwah di antara kita.

Demikian pula dosa-dosa kita terkait dengan hablun minnas. Orang yang paling banyak berjasa dalam hidup kita adalah kedua orang tua. Sudahkah kita mampu berbakti kepada keduanya di bulan suci Ramadhan dan bulan-bulan sesudahnya?
Ingatlah betapa besarnya pengorbanan mereka. Sebelum kita lahir, ayah dan ibu telah berdoa penuh harap kelahiran anaknya. Jika saja beberapa tahun belum diberi anak oleh Allah, mereka akan cemas dan berobat ke sana ke mari agar dianugerahkan seorang anak. Ketika anak dikandung, mereka kembali cemas sambil berdoa agar anaknya terlahir dalam keadaan normal, tanpa cacat. Siang malam mereka berdoa.
Ayah, dengan semangat yang membara, banting tulang, peras keringat, bersusah payah mencari nafkah demi kelahiran anaknya. Sementara ibu yang mengandung Sembilan bulan sepuluh hari yang susah payah dan kian bertambah.

Dan jika telah sampai masanya, sang ibu pun bertarung nyawa antara hidup dan mati, melahirkan anak yang dikasihinya.
Tidak jarang kita menyaksikan, ibu selamat anak pun sehat. Namun ada pula ibu selamat, tetapi anaknya meninggal. Sebaliknya, anak selamat, tetapi ibunya wafat. Dan yang memilukan, ibu dan anaknya tidak selamat; keduanya wafat menghadap Ilahi.
Bagi yang keduanya selamat, ketika sang ibu mendengarkan tangisan anaknya, seakan rasa sakit yang dideritanya sirna sambil berkata “mana bayiku”? ia pun memeluk dan menciumnya dengan harapan kelak sang anak menjadi shaleh, berbakti kepada ayah ibu, merawat mereka jika sudah tua.
Maka hari-hari berikutnya pun mereka didik anak itu dengan penuh kasih sayang. Sang ibu menyusui, menyuapkan makanan, memandikan, dan memberi pakaian. Ia tidak pernah rela jika anaknya disakiti, walau hanya gigitan seekor nyamuk.
Namun, tatkala si anak menjadi dewasa, kita sudah sanggup mencari nafkah, apa yang kita lakukan kepada kedua orang tua kita??? Mampukah kita memenuhi harapan mereka sebagai anak yang shaleh dan berbakti kepada mereka, sanggup merawat mereka di usia senja???
Dulu, ketika kita kecil mereka memandikan kita dengan penuh kasih sayang. Kini, jika mereka sakit, pernahkah dan maukah kita memandikan mereka???
Dulu, jika kita sakit, mereka akan cemas lalu mengobatkan kita, namun sebelum berobat ia akan berkata: “nak, pakailah baju….. makanlah dulu…. Biar kita pergi berobat, agar kamu cepat sumbuh!!” namun jika mereka sakit, pernahkah kita berkata: “Ayah, Ibu, pakailah baju, makanlah dulu, biar ku antar ayah/ibu berobat agar cepat sembuh”???
Dulu, ketika kita butuh biaya hidup, sekolah, dan kebutuhan lainnya, mereka rela berhutang ke sana kemari bahkan menjual harta kesayangannya… kini, ketika mereka membutuhkan sesuatu dari kita, bersegerakah kita memenuhi kebutuhan mereka????
Kasih sayang mereka memang tanpa batas. Agaknya benarlah pepatah lama: “kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan”.

Karena itu, jika ada di antara kita yang masih hidup kedua orang tuanya; bersegeralah minta maaf di hari nan suci ini. Berjanjilah untuk melakukan yang terbaik bagi mereka, selagi mereka masih hidup, selagi ada waktu, selagi penyelesan belum terlambat. Jadilah kehadiran kita menyejukkan pandangan mereka, bukan malah membuat mereka malu, gelisah, apalagi menyesal memiliki anak seperti kita.

Namun, bagi orang-orang yang tidak lagi bersama orang tuanya di dunia ini, karena Allah telah lebih dahulu memanggil mereka; maka masih ada waktu untuk berbuat baik pada mereka dengan cara mendoakan mereka. Namun perlu diingat, doa yang sampai dan menolong mereka di alam sana adalah DOA ANAK YANG SHALEH (وَلَدٌ صَالِح يَدْعُولَهُ). Maka buktikanlah, jika kita cinta dan sayang pada mereka, salehkanlah diri ini dengan taat kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya; maka berdoalah… Insya Allah doa itu akan menolong mereka di alam sana….


Tidak saja kepada ayah dan ibu, juga kepada mertua kita. Pernahkah kita sadari, 20, 30, atau puluhan tahun silam seorang anak perempuan yang mereka lahirkan, mereka rawat dengan kasih sayang. Namun ketika anak perempuan itu menginjak dewasa, mereka rela melepasnya dan kini menjadi istri kita. Lalu apa bentuk terima kasih yang telah kita lakukan kepada ayah dan ibu mertua kita yang telah membesarkan dan mendidik istri kita??? Begitu pula dengan istri kita yang banyak membantu, terkadang mereka seperti pembantu, kasih sayang apa yang telah kita berikan kepada mereka??? Sebaliknya, suami yang mencari nafkah, bertindak sebagai kepala keluarga, pelindung dan penanggungjawab, sebesar apa bakti seorang istri kepada suaminya???

Ingatlah betapa besar kutukan Allah kepada istri yang durhaka kepada suaminya. Demikian pula sebaliknya seorang suami yang menyia-nyiakan anak dan istrinya.
Allah -Subhanahu wa Ta’la- telah mengancam istri yang durhaka kepada suaminya melalui lisan Rasul-Nya ketika Beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِيْ عَنْهُ
“Allah tidak akan melihat seorang istri yang tidak mau berterima kasih atas kebaikan suaminya padahal ia selalu butuh kepada suaminya” . [HR. An-Nasa'i)
أُرِيْتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ . قِيْلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللهِ ؟ , قال: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ , لَوْ أَحْسَنْتَ إَلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ , ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا, قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْراً قَطُّ
“Telah diperlihatkan neraka kepadaku, kulihat mayoritas penghuninya adalah wanita, mereka telah kufur (ingkar)!” Ada yang bertanya, “apakah mereka kufur (ingkar) kepada Allah?” Rasullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menjawab, “Tidak, mereka mengingkari (kebaikan) suami. Sekiranya kalian senantiasa berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang tidak berkenan, ia (istri durhaka itu) pasti berkata, “Saya sama sekali tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu”. [HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (29), dan Muslim dalam Shohih-nya (907)]
Begitu pula tanggungjawab kita kepada anak-anak kita. Mereka adalah amanah yang dititipkan Allah.

Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengi-ngat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka merekalah orang-orang yang merugi. (al-Munafiqun: 9)
Pertanyaannya adalah: Sudahkah kita mendidik mereka menjadi anak yang tahu siapa tuhan yang mereka sembah? Atau kehadiran mereka justru memperbanyak tabungan dosa-dosa kita karena kita tidak menjalankan tugas sebagai orang tuanya. Manakah yang paling kita utamakan, berpikir untuk kekayaann mereka atau aqidah mereka???
Atau kita hanya membesarkan fisik mereka saja tanpa mempedulikan perkembangan ruhaniyah dan akhlaknya?
Jika seandainya hari ini kita mati, sanggupkah anak-anak kita menjadi imam ketika menyolatkan jenazah kita??? Maukah mereka mendoakan kita yang sedang berada di alam kubur??? Bisakah mereka menjaga harta-harta yang kita tinggalkan di dunia ini??? Atau hanya karena harta itu mereka saling berburuk sangka dan bermusuhan satu sama lain???
Jika itu terjadi, maka sangat rugilah kita sebagai orang tuanya.
Allahu akbar 3x, wa lillahil hamd
Oleh karena itu, sesudan Ramadhan, mari kita tingkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kita kepada Allah. Shalatlah di awal waktu, secara berjamaah, dan bertempat di masjid atau mushalla. Perbanyaklah ibadah sunnah; shalat dhuha, tahajud, dan selalulah berzikir kepada-Nya.

Begitu pula kepada sesama manusia; berbuat baiklah. Jadilah orang yang senantiasa memberi rasa aman dan keselamatan bagi orang lain; bukan sebaliknya menjadi orang yang merusak kerukunan hidup yang membuat orang gelisah akan kehadiran kita.

Jika saja kita mampu mengendalikan nafsu kita, mempertahankan kejujuran dalam bertindak, banyak beribadah kepada Allah, berbuat baik kepada sesama; maka Insya Allah kita akan termasuk hamba yang senantiasa mempertahankan kesucian.

dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 7-10)
Semoga Allah senantiasa memberikah hidayah-Nya kepada kita sehingga kita termasuk orang-orang yang beruntung, bahagia, dan selamat di dunia dan akhirat….

*dari berbagai sumber...

Baco Tokhus....