Oleh: Muhammad Kosim
Tulisan saya yang berjudul “SBI, Sekolah Bertaraf atau Bertarif Internasional”, Padek, Sabtu (17/3) mendapat tanggapan dari Mayonal Putra, “SBI, Dilanjutkan atau Dihentikan”, Padek, Sabtu (26/3). Lalu dua tulisan ini ditanggapi pula oleh Mora Dingin, “SBI, Diskriminasi Hak Atas Pendidikan”, Padek, Rabu (6/4) lalu. Bahkan tulisan terakhir ini juga dimuat di Haluan, Selasa (12/4) dengan judul dan isi yang sama.
Sayangnya, Mayonal Putra tidak memberikan jawaban yang tegas apakah SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) dilanjutkan atau tidak. Beliau justru menutup tulisannya dengan pertanyaan persis seperti judulnya. Tampaknya Mayonal lebih terpengaruh dengan pikiran Satria Dharma, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang menyampaikan pendapatnya teentang 10 utama kelemahan SBI dalam petisi pendidikan tentang SBI di hadapan anggota komisi X DPR RI, Selasa (8/3) lalu. Menurut Satria, “program SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya, dan 90 persen pasti gagal. Di luar negeri konsep ini gagal dan ditinggalkan” (Kompas, 9/3).
Sementara Mora Dingin justru berpendapat bahwa SBI merupakan bentuk diskriminasi terhadap warga Negara Indonesia dalam mendapatkan hak atas pendidikan. SBI juga dianggapnya jauh dari roh dalam menciptakan pemerataan pendidikan.
Kritik terhadap penyelenggaraan SBI semakin mengemuka, terutama pascalaporan hasil survei Pusat Penelitian dan Kebijakan (Puslitjak) Balitbang Kemendiknas beberapa waktu lalu, yang mengemukakan beberapa temuan negatif tentang SBI. Temuan ini turut memicu kebijakan Kemendiknas menangguhkan kemunculan baru RSBI di tahun ini.
Hemat penulis, konsep SBI sesungguhnya berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Dengan penyelenggaraan SBI, diharapkan siswa-siswa yang cerdas mendapat pelayanan pendidikan yang optimal sehingga kelak mereka memiliki daya saing di tingkat internasional. Adanya pengkhususan bagi siswa yang relatif memiliki kecerdasan tinggi bukanlah diskriminasi terhadap mereka yang ber-IQ rendah. Sebab keadilan tidak mesti sama rata. Tetapi, adanya kelas reguler kelas RSBI di sekolah yang sama, memang berpotensi terjadi diskriminasi. Anak-anak yang di kelas reguler bisa merasa “dianaktirikan” dibanding temannya di kelas RSBI.
Penting untuk ditegaskan bahwa ada perbedaan kurikulum SBI dengan sekolah lainnya. Kurikulum SBI mendapat tambahan (+X) dari Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kurikulum tambahan tersebut memasukkan beberapa materi yang digunakan oleh sekolah-sekolah terkemuka pada negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development). Di antara kurikulum yang disarankan adalah kurikulum yang dirancang oleh Cambrige untuk tiga mata pelajaran, Bahasa Inggris, Sains, dan Matematika. Jadi, di negara-negara maju, secara esensial juga menerapkan sekolah unggulan bagi siswa yang cerdas, tentu tidak menggunakan istilah ”SBI”.
Untuk tingkat SMP yang telah SBI, akan mengikuti Cambridge Test yang bernama checkpoint untuk menguji kemampuan tiga mata pelajaran di atas. Jika mereka lulus, maka mereka bisa diterima di tingkat SMA terkemuka di negera-negara maju. Sementara tingkat SMA mengikuti tes yang bernama IGCSE (International General Certificates for Secondary Education). Hasil dari tes tersebut mendapat mengakuan di negara-negara maju tersebut.
Jadi, SBI sesungguhnya berupaya untuk menciptakan daya saing bagi siswanya di kancah internasional. Mereka dipersiapkan lebih unggul di bidang sains dan matematika. Karena itu, dibutuhkan input yang memiliki kecerdasan lebih untuk dapat menguasai bidang ini. Dengan begitu, sekolah-sekolah yang ada di negeri ini diharapkan memiliki keunggulan tersendiri, dan keunggulan SBI lebih kepada sains dan matematika. Maka tidak heran jika SBI selalu menjuarai olimpiade-olimpiade di bidang ini.
Sementara sekolah-sekolah non-SBI juga diharapkan melejitkan keunggulan yang sesuai dengan karakter dan visi sekolahnya. Bisa unggul pada salah satu bidang olah raga, kesenian, termasuk agama. Bahkan pemerintah juga membina sekolah berbasis pesantren sebagai sekolah umum yang menginginkan keunggulan di bidang agama. Namun, model sekolah terakhir ini kurang mendapat respons dari masyarakat, tidak seperti SBI. Jadi tidak semua sekolah mesti menjadi SBI. Dan sekolah-sekolah non-SBI yang memiliki keunggulan tersendiri tersebut tidak akan terpinggirkan seperti yang dikhawatirkan oleh Mora Dingin.
Dalam konteks ini, dibutuhkan pula kerja keras dan ide-ide inovatif dari masing-masing sekolah untuk membentuk karakternya sehingga ia tetap unggul dan tidak terpinggirkan. Apalagi sains dan matematika, seperti yang menjadi keunggulan SBI, bukanlah satu-satunya bidang keilmuan yang dapat mengantarkan seseorang kepada kesuksesan. Keunggulan dari masing-masing sekolah tersebut tentu tidak keluar dari standar yang telah ditentukan, sebagaimana yang diatur dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Karena SBI unggul di bidang sains dan matematika, maka dalam proses pembelajarannya menggunakan bahasa Inggris. Apalagi kurikulumnya diadopsi dari sekolah-sekolah maju pada negara anggota OECD yang juga menggunakan pengantar bahasa Inggris. Selain itu, senang atau tidak, pengembangan bidang sains dewasa ini, termasuk referensi-referensi yang digunakan, lebih banyak berbahasa Inggris. Karena itu, sejak tingkat SMP, siswa dibekali bahasa Inggris yang baik, terutama pada mata pelajaran Sains, Matematika dan mata pelajaran TIK sebagai penunjang.
Untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris tersebut, biasanya sekolah akan mengembangkan berbagai kegiatan penunjang. Misalnya memberlakukan English Day sekali atau dua kali seminggu, English Area, English Canteen dan sebagainya.
Namun penggunaan bahasa Inggris ini tidaklah seburuk apa yang dibayangkan oleh Mayonal Putra bahwa proses belajar-mengajar pada SBI telah merusak kompetensi berbahasa Indonesia. Sebab, pada mata pelajaran lain, tetap menggunakan bahasa Indonesia, seperti Agama, Bahasa Indonesia, IPS, Penjaskes, muatan lokal (seperti Budaya Alam Minangkabau) dan sebagainya.
Di samping itu, konsep SBI tidaklah menghilangkan rasa cinta terhadap tanah air. SBI justru menginginkan agar out putnya memiliki kompetensi yang setara dengan lulusan pada sekolah terakreditasi di negara maju dan mereka mampu berkompetisi dengan tetap menampilkan keunggulan lokal di tingkat internasional. Karena itu pula SBI tetap dituntut untuk menerapkan apa yang disebut dengan ”Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL)” di samping ”Pendidikan Berwawasan Keunggulan Global (PBKG)”.
Kemudian, konsep penyelenggaraan SBI tidak hanya ditujukan kepada orang-orang kaya. Tidak sedikit di antara siswanya yang miskin, memperoleh beasiswa pendidikan yang digunakan untuk uang transportasi, keperluan pakaian, buku dan kebutuhan lainnya. Karena itu tidak ada alasan bagi orang tua ”miskin” takut memasukkan anaknya ke sekolah berlabel SBI. Hanya saja batasan minimal 20 persen cenderung menimbulkan imej bahwa SBI identik sekolah orang kaya. Karena penulis mengusulkan biaya SBI tidak membedakan yang kaya dan miskin, jika perlu dihapuskan (Padek, 17/3).
Dari konsep penyelenggaraan SBI tersebut, sejatinya memberikan optimisme terhadap penyelenggaraan pendidikan dengan melahirkan out put dan out comes yang berkualitas dan memiliki daya saing yang tinggi. Hanya saja, dalam realita (pelaksanaan)-nya terkadang tidak sesuai dengan konsep yang sesungguhnya. Ketidaksesuaian itu pulalah yang menyebabkan temuan Puslitjak Balitbang Kemendiknas menimbulkan keprihatinan, seperti SPP yang bertarif mahal, cenderung dikomersilkan, kemampuan bahasa Inggris guru rendah, dan seterusnya (lihat Padek, 15/3).
Meskipun demikian, tidak semua sekolah RSBI yang sedang berupaya mencapai SBI tersebut melenceng dari konsep di atas. Masih ditemukan beberapa RSBI yang konsisten dan berupaya untuk menerapkan sesuai aturan yang ditetapkan, sehingga siswa-siswa dari sekolah tersebut tetap mendominasi prestasi di berbagai bidang, terutama bahasa Inggirs, sains, TIK dan matematika, serta di terima di PT terkemuka baik dalam maupun luar negeri.
Adapun kebijakan Mendiknas yang akan menangguhkan kemunculan RSBI baru di tahun ini tidak pula disesalkan, seperti yang dialami oleh beberapa kepala sekolah yang akan mengusulkan sekolahnya menjadi RSBI. Sebaiknya pemerintah diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan melakukan pembinaan yang lebih serius terhadap beberapa RSBI yang ada.
Menurut saya, supervisi dan pembinaan guru menjadi kata kunci kesuksesan penyelenggaraan RSBI. Pemerintah daerah, baik di tingkat kota/kabupaten maupun propinsi diharapkan lebih proaktif melakukan pembinaan yang berkelanjutan serta menemukan ide-ide kreatif dalam penyelenggaraan RSBI. Dan perlu ketegasan mengembalikan sekolah yang berstatus RSBI menjadi sekolah biasa (SSN) jika memang tidak memenuhi standar; bukan sekedar ancaman.
Penting pula dicatat bahwa penyelenggaran RSBI tidak selamanya membutuhkan dana yang besar sehingga memungut biaya tinggi dari orang tua siswa. Inti dari SBI sesungguhnya adalah kurikulum. Sekolah dituntut menerapkan kurikulum tambahan (+X), tidak saja berupa sains, bahasa Inggris dan matematika seperti yang diadopsi dari Cambridge tersebut, tetapi juga kurikulum yang dapat membangun kepribadiannya, terutama pendidikan emosional dan religiusitasnya. Selama ini, terkesan mahalnya biaya RSBI lebih kepada fasilitas, seperti yang telah disinggung pada tulisan sebelumnya. Padahal fasilitas tersebut hanyalah ”pendukung” dan tidak menggantikan peran guru sebagai pendidik yang sesungguhnya.
Guru dan pimpinan sekolah RSBI, diharapkan tetap semangat dan optimis untuk mampu mengubah RSBI menjadi SBI. Semangat itu tentu diaktualisasikan dengan kerja keras menampilkan kompetensi yang lebih dan mampu memenuhi standar SBI.
Demikian pula masyarakat, diharapkan dukungan dan kritik yang membangun sehingga menjadi kontrol terhadap pengelola RSBI. Beberapa kritikan, seperti tulisan Mayonal Putra dan Mora Dingin tersebut patut diapresiasi dan didiskusikan lebih lanjut. Pikiran yang kritis itu mesti ditanggapi pula secara positif sekaligus memberi tantangan bagi pengelola RSBI untuk membuktikan bahwa apa yang dilakukan tidak seburuk apa yang dibayangkan. Dalam hal ini, kritik yang lebih diharapkan adalah kritik yang mengedepankan solusi dari pada sekedar melempar masalah, sehingga kita tidak terkesan pesimis dan apatis terhadap perubahan.
Namun, jika pemerintah setengah hati dan tak mau peduli, para guru tak lagi optimis, dan masyarakat tak juga mendukung, maka menghentikan RSBI menjadi pilihan. Wallahu a’lam.
Sabtu, Mei 21, 2011
SBI, Antara Cita dan Realita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
wah sangat di sayangkan sekali..RSBI telah punah
Posting Komentar