Sabtu, Mei 21, 2011

SBI, SEKOLAH BERTARAF ATAU BERTARIF INTERNASIONAL?

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Ketika ditanya, apa itu RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional)?, seorang teman menjawab: “kelasnya dilengkapi AC, internet, infocus, laptop, loker, gurunya berbahasa Inggris, dan input siswanya pintar dengan IQ minimal 120”. Jika ini jawabannya, maka pertanyaan berikutnya adalah SBI itu Sekolah Bertaraf atau Bertarif Internasional?

Apabila SBI dilihat hanya dari fasilitas yang ada, maka segera terbentuk dalam mindset masyarakat bahwa SBI adalah sekolah bertarif internasional. Sekolah mahal yang hanya dapat dinikmati oleh siswa yang terlahir dari keluarga kaya. Ini pula yang menjadi salah satu temuan atau hasil survei Pusat Penelitian dan Kebijakan (Puslitjak) Balitbang Kemendiknas, dimana sekolah RSBI seolah-olah bebas menentukan besaran SPP, mulai Rp400 ribu hingga Rp20 juta. Sebab, dalam Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, pasal 13 ayat (3) disebutkan bahwa SBI dapat memungut biaya pendidikan untuk menutupi kekurangan biaya di atas standar pembiayaan yang didasarkan pada RPS/RKS dan RKAS.

Temuan di atas membuat Kemendiknas menangguhkan kemunculan baru RSBI di tahun ini. Padahal SBI merupakan amanah dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pada pasal 50 ayat (3) disebutkan bahwa “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.

SBI atau sekolah bertaraf internasional yang diinginkan adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development) atau negara maju lainnya. Dengan model sekolah ini, diharapkan out put yang dihasilkan memiliki kompetensi yang setara dengan lulusan pada sekolah terakreditasi di negara maju dan mereka mampu berkompetisi dengan tetap menampilkan keunggulan lokal di tingkat internasional.

Namun dalam pelaksanaannya, SBI mengundang pro-kontra dari masyarakat. Ada yang berpendapat SBI hanya mementingkan kognitif sehingga corak pendidikan yang dikembangkan bersifat materialistik. Ada pula yang menilai SBI hanya menciptakan kastanisasi pendidikan; dengan adanya pengelompokan antara siswa cerdas dengan kurang cerdas, antara si kaya dengan si miskin.

Ironisnya lagi, RSBI yang dikembangkan secara bertahap tersebut masih terdapat siswa pada kelas reguler (kelas biasa non-RSBI), sedangkan kelas lainnya kelas RSBI. Tentu kelas reguler tidak mendapatkan pelayanan yang sama dengan kelas RSBI, terutama dari fasilitas kelasnya. Bahkan Prof. Sutjipto, dosen UNJ beberapa waktu lalu pernah mengumakakan ada salah satu RSBI yang melarang siswa kelas reguler memakai toilet siswa kelas RSBI. Sangat memprihatinkan memang.

Sikap kritis terhadap RSBI patut diterima secara positif. Meskipun Puslitjak Balitbang Kemendiknas menemukan sejumlah rapor merah RSBI, sebagaimana yang dimuat Padek, (15/3), akan tetapi temuan itu tidaklah mewakili seluruh RSBI yang ada. Hanya saja pemerintah dan masyarakat mesti kritis dan mengaevaluasi eksistensi dan peran RSBI.

Hemat penulis, banyak hal yang patut didiskusikan dalam pelaksanaan dan pengembangan SBI. Pertama, SBI sejatinya dilaksanakan secara terencana dan disiapkan secara matang (by disign), tidak saja fasilitas, tetapi yang terpenting adalah kompetensi tenaga pendidik dan kependidikan yang mengelolanya. Idealnya, guru yang mengajar di RSBI memiliki kompetensi sebagaimana yang telah diatur dalam Permendiknas Nomor 78 tahun 2009. Kenyataannya, mereka tidak pernah disiapkan sejak di bangku kuliah akan menjadi guru SBI.

Kondisi ini menyebabkan sekolah melaksanakan berbagai program untuk meningkatkan kompetensi guru agar sesuai dengan standar yang diinginkan. Akibatnya, guru tidak lagi berkonsentrasi untuk mendidik peserta didik, karena ia mesti berjuang untuk memenuhi kompetensinya sebagai guru SBI. Tidak menutup kemungkinan, pikiran guru justru lebih besar untuk peningkatan kompetensi dirinya secara pribadi dari pada peningkatan kompetensi peserta didiknya. Orientasinya tidak lagi pada siswa melainkan pada diri sendiri.

Mengatasi persoalan ini, ada dua pilihan yang patut dilakukan. Pilihan pertama, dirikan sekolah baru yang berlabel RSBI atau SBI dengan pengelola atau tenaga pendidik dan kependidikan yang telah memenuhi syarat SBI itu sendiri. Pilihan kedua, sekolah biasa dijadikan SBI, tetapi dilakukan seleksi ketat, objektif dan transparan kepada tenaga pendidik dan kependidikan yang ada di sekolah tersebut. Bagi guru yang tidak memenuhi syarat segera difungsikan pada sekolah non-RSBI, sementara yang lulus syarat ditetapkan dengan tetap mendapat pembinaan.

Jika sekolah yang dianggap lebih berprestasi di daerah tertentu ditetapkan menjadi RSBI, sementara guru yang ada belum memenuhi persyaratan sesungguhnya, tetapi tetap juga dijadikan RSBI dengan alasan guru tersebut akan dibina secara berkelanjutan, maka wajar dalam lima tahun RSBI tidak juga berubah menjadi SBI. Sebab, guru yang berkemampuan biasa akan mengalami kesulitan untuk meningkatkan kompetensinya sesuai tuntutan SBI. Agaknya inilah yang menyebabkan sekitar 60 % guru memiliki kemampuan bahasa Inggris kualifikasi menengah ke bawah.

Kedua, paradigma SBI sebagai sekolah bertarif mahal mesti segera diubah. Dalam Permendiknas Nomor 78 tahun 2009 pada pasal 16 ayat (2) disebutkan bahwa SBI wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% dari jumlah seluruh peserta didik. Aturan ini jelas memberi peluang bagi siswi miskin mengenyam pendidikan di SBI. Apalagi dalam aturan ini disebut minimal, bukan maksimal. Lagi-lagi kenyataannya masih ditemukan RSBI yang tidak memenuhi aturan ini.

Sebaiknya, kebebasan yang diberikan kepada RSBI memungut sejumlah uang kepada siswa ditiadakan. Meskipun sekolah tidak tersebut membutuhkan dana besar, sebaiknya ditanggulangi oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Jika tetap dibebankan kepada orang tua siswa, lalu bagaimana dengan sekolah-sekolah lain? Bukankah sekolah lain juga ingin menjadi RSBI? Jika seluruh atau kebanyakan sekolah menjadi RSBI, maka setiap sekolah tersebut kembali menjadi sekolah masa lalu yang memungut SPP kepada orang tua.

Ketiga, perlu menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual dengan emosional dan spiritual peserta didik. Jika dilihat dari program RSBI, lebih menekankan pada aspek kognitif. Apalagi input yang masuk di RSBI, pada umumnya memiliki tingkat IQ 120. RSBI selalu bangga memajang prestasi di bidang kognitif, seperti hasil olimpiade. Kondisi ini diperkuat pula dengan adanya kerjasa sama dengan sekolah anggota OECD di negara-negara maju. Padahal banyak pakar pendidikan, khususnya pendidikan Islam, mengkritik epistemologi keilmuan Barat yang bercorak materialistik, dikotomik, dan hedonis.

Oleh karena itu, RSBI mesti menetapkan dan mengembangkan program peningkatan kecerdasan emosional, spiritual, dan religius serta tetap bangga pada budaya lokal. Jika tidak, mereka laksana robot dan kehilangan hakikat kemanusiaanya sebagai makhluk berdimensi ruhaniyah di samping dimensi jasadiyah. Bila ini terjadi, maka out put SBI akan membahayakan, sebab seseorang yang ”pintar” tanpa iman jauh lebih besar menimbulkan kerusakan dari pada seseorang yang ”bodoh” tapi beriman.
Masih banyak hal yang patut didiskusikan dari penyelenggaraan SBI. Namun, keberadaannya tetap dibutuhkan dalam mencerdaskan anak bangsa yang memiliki potensi lebih. Hanya saja, butuh kajian dan pertimbangan lebih matang sehingga SBI bukan sekedar nama, tetapi berkualitas; bukan bertarif, tetapi bertaraf internasional. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: