Kamis, Mei 13, 2010

Reorientasi Madrasah Tarbiyah Islamiyah


(Refleksi 82 Tahun PERTI)

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Pada tanggal 5 Mei 1928, Syekh Sulaiman Arrasuli mensponsori pertemuan besar para ulama Minangkabau bermazhab Syafi’i di Candung. Pertemuan besar tersebut juga dihadiri oleh beberapa orang wakil siswa dari tiga Madrasah Tarbiyah Islamiyah terbesar saat itu, yaitu MTI Candung, MTI Tabek Gadang Payakumbuh, dan MTI Jaho Padang Panjang (kini masuk dalam wilayah Kab. Tanah Datar). Setelah pertemuan besar itu, maka perkembangan MTI semakin pesat dan memainkan perannya dalam membina umat, khususnya di bidang pendidikan.

Dalam pertemuan itu, lahirlah organisasi Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI) sebagai organisasi yang bertanggung jawab untuk membina, memperjuangkan, dan mengembangkan Madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah yang ada. Kehadiran PMTI turut mendorong berkembangnya Madarasah-madarasah Tarbiyah Islamiyah di beberapa tempat. Selanjutnya, muncul pula gagasan di kalangan ulama Kaum Tua untuk menjadikan PMTI tidak hanya sebagai organisasi yang mengurus madrasah an sich, akan tetapi mampu mempersatukan dan menghimpun segenap ulama tradisional dan bergerak di bidang sosial lainnya. Maka pada tanggal 19-20 Mei 1930 dilangsungkan Konfrensi Besar di Candung, dan salah satu keputusannya adalah mengubah PMTI menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang disingkat PTI.

Kemudian pada konfrensi tanggal 11-16 Februari 1935, disusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Jika sebelumnya organisasi ini disingkat dengan PTI, maka dalam AD dan ART yang baru ini singkatan PTI diganti menjadi PERTI. Dalam perkembangan selanjutnya, PERTI memaikan peran penting, baik dalam bidang dakwah, sosial, terutama bidang pendidikan dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)-nya. Namun hingga kini, setiap tanggal 5 Mei disepakati sebagai tanggal kelahiran PERTI.
Khusus bidang pendidikan, MTI semakin berkembang pesat. Hingga pada tahun 1937, tercatat sebanyak 137 MTI di Minangkabau, dan di beberapa tempat luar Minangkabau. Pada tahun 1938, didirikan pula sebua madrasah khusus untuk putri, yaitu MTI putri di Bengkawas, Bukittinggi yang dipimpin Ummi Hj. Syamsiah Abbas dimana pada tahun 1940 tercatat memiliki murid sekitar 250 orang. Bahkan pada tahun 1937, misalnya, jumlah murid di MTI Jaho mencapai sekitar 700 orang, kemudian MTI Candung dengan jumlah murid sebanyak 500 orang, dan pada tahun 1938 mencapai 500 orang murid. Sedangkan pada tahun 1942, sudah terdapat 300 MTI di berbagai daerah dengan 45.000 murid.

Kini, nama besar MTI tampaknya lebih didominasi oleh kejayaannya pada masa lampau. Meskipun beberapa MTI masih bertahan dan cukup diminati oleh masyarakat--seperti MTI Candung, MTI Pasir, MTI Jaho, dan lainnya--akan tetapi secara umum MTI mulai kehilangan nama. Tak bisa dipungkiri, banyak MTI yang kualitasnya di bawah standar, kurang terurus, kondisi fisik serta tenaga pendidik dan kependidikan demikian memprihatinkan. Padahal, dari MTI telah banyak melahirkan ulama-ulama dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh, baik di tingkat lokal maupun nasional. Hingga kini, kiprah alumni MTI pun cukup terasa baik di bidang akademisi, maupun social-politik.

Menyikapi persoalan ini, hemat penulis MTI mesti melakukan reorientasi sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap mempertahankan karakteristiknya sebagai lembaga pendidikan yang menekankan tafaqqahu fi al-din dan memelihara mazhab Imam Syafi’i. Dalam hal ini, MTI mesti melakukan reorientasi kurikulum. Orientasi MTI adalah mengajarkan ilmu-ilmu yang bersifat tafaqqahu fi al-din, sebagaimana pesantren lain yang berkembang di tanah Jawa. Hanya saja, tafaqqahu fi al-din yang dikembangkan berpahamkan ahlussunnah wal-jamaah dengan fiqh Imam Syafi’i, teologi al-Asy’ari dan al-Maturidhi serta tasawuf al-Ghazali. Untuk itu, setiap MTI mesti memiliki bidang-bidang tertentu, seperti tafsir, hadis, fiqh, atau gramatika bahasa Arab (Nahu, Sharaf, dll.). Namun, saat ini kurikulum yang diterapkan di MTI terlalu banyak. Paling tidak ada tiga bentuk mata pelajaran yang diajarkan kepada santri; (1) mata pelajaran umum yang biasa diterapkan di sekolah umum, (2) mata pelajaran agama yang biasa diterapkan di MTs atau MA, dan (3) mata pelajaran khusus pesantren. Akibatnya, setumpuk mata pelajaran tersebut membebani santri sehingga mereka sulit menguasai ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori tafaqqahu fi al-din secara mendalam.
MTI—termasuk pesantren yang juga mengalami persoalan ini—mesti memperjuangkan ke tingkat pusat agar MTI dan pesantren yang sejenis diberikan kebebasan untuk mendesain kurikulum yang bersifat tafaqqahu fi al-din tersebut. Jika mata pelajaran umum harus ada sebagaimana yang diatur dalam Permendiknas no 22, 23, dan 24 hendaklah mendasar saja. Sementara mata pelajaran yang diterapkan di MTs dan MAS tidak perlu lagi diberlakukan, karena substansi mata pelajaran yang bercorak tafaqqahu fi al-din tersebut tentu melebihi dari yang diharapkan.

Hanya saja, MTI juga dituntut untuk mampu beradaptasi dengan perkembangan dunia modern, tanpa harus menghilangkan karakteristik dasarnya. Dalam hal ini, MTI perlu mendesain kurikulkum yang bercorak tafaqqahu fi al-din tersebut secara lebih terstruktur, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diberlakukan dalam KTSP. Artinya, setiap guru/ustadz/syekh juga diharapkan terampil mendesain kurikulum mulai dari merencanakan, menerapkan hingga mengevaluasi dan menindaklanjuti setiap materi yang diberikan. Selain itu, perkembangan IT yang demikian pesat juga perlu dikuasai oleh setiap santri sehingga MTI tidak terkesan tradisional-konvensional yang ketinggalan zaman.

Lalu ada pula yang beranggapan MTI sebagai lembaga pendidikan formal mesti mampu menyiapkan lulusannya ke PTU. Karenanya telah dibuka pula jurusan umum, seperti IPA dan IPS di tingkat Madrasah Aliyah. Kebijakan itu bisa diteruskan dan dikembangkan. Akan tetapi, jurusan keagamaan yang bercorak tafaqqahu fi al-din tersebut mesti lebih besar dan diutamakan, sehingga MTI tidak mengalami pergeseran dari orientasi semula.

Selain dari orientasi kurikulum, aspek manajerial MTI pun mesti ditingkatkan, baik secara internal maupun eksternal. Pengelola MTI hendaklah berjiwa ikhlas sebagaimana yang telah diajarkan para pendiri terdahulu. Bukankah Syekh Sulaiman ar-Rasuli pernah mengkhawatirkan perubahan dari halaqah kepada klasikal akan berdampak kepada ketidakikhlasan guru dalam mengajar karena gaji yang mulai ditetapkan? Meskipun akhirnya ia menyetujui dan memotori perubahan itu, akan tetapi nilai-nilai keikhlasan tersebut haruslah dipertahankan.
Di samping syarat keikhlasan, para pemimpin/pengelola MTI diharapkan memiliki skill leadership yang unggul dan mampu beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Mereka dituntut membuka tangan terhadap perubahan-perubahan sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman, tanpa harus mengorbankan ciri khasnya sebagai lembaga pendidikan Islam yang berorientasi kepada tafaqqahu fi al-din.

Kemudian, peran alumni perlu pula dioptimalkan. Alumni MTI saat ini banyak ditemukan di berbagai instansi dan profesi, mulai dari guru, politisi, pegawai, akademisi, bahkan guru besar pun banyak lahir dari MTI. Lalu kontribusi apa yang telah mereka berikan untuk peningkatan kualitas MTI? Bukankah mereka besar juga turut disebabkan oleh MTI?

Optimalisasi peran alumni juga dapat diorganisir melalui organisasi PERTI yang nota-benenya diduki oleh alumni MTI. Persoalannya adalah kemanakah orientasi PERTI? Sebaiknya orientasi PERTI lebih menekankan pada aspek pendidikan dari pada aspek politik. Konsekuensinya, pengurus PERTI pun dituntut memiliki pemahaman yang lebih terhadap urusan pendidikan dari pada urusan politik sehingga visi-misi serta program strategis PERTI lebih banyak mengurus dan memperhatikan pendidikan dibanding politik. PERTI harus realistis, umat memang butuh peran PERTI dalam sosial-masyarakat, termasuk politik, akan tetapi bidang pendidikan melalui MTI lebih membutuhkan lagi. Melalui pendidikanlah perjuangan PERTI akan tetap berkelanjutan.

Tanpa adanya perubahan dan kepedulian orang-orang yang dibesarkan dari MTI, agaknya MTI akan mengalami mati suri dan kejayaannya hanya menjadi prasasti di kemudian hari. Maka Milad PERTI ke-82 ini hendaknya menjadi momentum bagi alumni dan masyarakat Sumatera Barat terhadap peningkatan kualitas Madrasah Tarbiyah Islamiyah. MTI adalah aset Sumatera Barat, lembaga pendidikan yang lahir di ranah Minangkabau yang sarat dengan agama dan adat serta terkenal dengan filosofis Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.

Tidak ada komentar: