Sabtu, Mei 15, 2010

PENDIDIKAN BERNUANSA SURAU DI SEKOLAH

Oleh: Muhammad Kosim
(Tim Penyusun Pedoman PKPBS Prop. Sumbar)

Peningkatan Kualitas Pendidikan Bernuansa Surau (PKPBS) merupakan salah satu program unggulan dan kebijakan lokal pemerintah daerah propinsi Sumatera Barat. Melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Sumbar, pedoman PKPBS telah disusun untuk diterapkan di sekolah-sekolah umum. Rencananya, pada tahun pembelajaran 2010/2011 mendatang akan ditetapkan satu sekolah piloting PKPBS SMP dan SMA di setiap kota/kabupaten di lingkungan propinsi Sumatera Barat.

Setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan ini. Pertama, adanya kegelisahan dan kekhawatiran masyarakat Sumatera Barat tentang kemampuannya dalam melahirkan tokoh-tokoh kenamaan sekaliber Hamka, Moh. Hatta, ST. Syahrir, M. Natsir, M. Yamin, Agus Salim, dan lainnya di masa mendatang.

Dalam hal ini, Kepala Dispora Sumbar, Drs. Burhasman, MM sering menyampaikan di beberapa kesempatan tentang pernyataan yang pernah disampaikan mantan wakil presiden, M. Jusuf Kalla: “Pahlawan nasional asal Sumatera Barat dikenal bukan karena kelihaiannya di medan perang, melainkan karena keilmuan dan keulamaannya”. Sementara tokoh-tokoh tersebut mengakui dan diakui oleh banyak orang sebagai hasil dari pendidikan surau di masa lampau. Kini terasa ada yang “hilang” dari ranah Minang.

Kedua, kondisi pendidikan di lembaga pendidikan formal tampaknya lebih berorientasi kepada aspek kognitif peserta didik. Akibatnya, tidak terjadi korelasi positif yang signifikan antara ilmu pengetahuan yang didapat dengan akhlak mulia yang ditampilkan. Mestinya, semakin tinggi ilmu seseorang semakin baik akhlaknya baik kepada Sang Khaliq maupun sesama makhluk-Nya. Padahal surau sebagai lembaga pendidikan Islam pada masa lalu unggul dalam pembinaan akhlak peserta didiknya.

Ketiga, lahirnya otonomi daerah sejak tahun 1999 sesungguhnya memotivasi setiap daerah untuk menonjolkan keunggulan daerahnya masing-masing sebagai karakter daerah yang membedakannya dengan yang lain. Hal ini semakin kuat dengan adanya kurikulum 2006 yang menginginkan adanya keunggulan dari setiap pendidikan yang ada di daerah. Wilayah Sumatera Barat sangat kuat dengan adat (Minangkabau) dan agama (Islam) sehingga dikenal falsafah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”.

Sejarah membuktikan, surau sebagai lembaga pendidikan telah memainkan peranan besar dalam melestarikan dan mewujudkan falsafah tersebut. Namun sejak awal tahun 1970-an, fungsi surau secara lambat laun mulai mengalami pergeseran fungsi dan peran dalam mendidik dan melahirkan sumber daya mansia yang berkualitas iman, ilmu, dan amal. Bahkan A.A. Navis pun menulis “robohnya surau kami” sebagai bentuk kegelisahan terhadap kondisi tersebut.

Berangkat dari masalah tersebut, maka muncul gagasan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai surau ke sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Gagasan ini kemudian diistilahkan dengan “Peningkatan Kualitas Pendidikan Bernuansa Surau” atau disingkat dengan PKPBS.

Jadi, PKPBS bukanlah menjadikan sekolah sebagai surau yang persis dengan surau masa lalu yang tidak saja berfungsi sebagai tempat menuntut ilmu, tetapi juga tempat tidurnya laki-laki baligh dan duda. Akan tetapi, PKPBS adalah upaya mengadopsi nilai-nilai pendidikan bernuansa surau dalam pengembangan logika dan dialektika dalam pembelajaran keilmuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai Islam dan budaya adat Minangkabau kepada peserta didik.

Kata kunci PKPBS ini adalah “internalisasi nilai-nilai Islam dan budaya Minangkabau” sebagaimana yang pernah dilakukan di surau pada masa lalu. Nilai-nilai tersebut tentu bersifat universal yang dapat diterapkan dan dinikmati oleh banyak orang, meskipun non-muslim atau tidak bersuku Minang. Dalam hal ini, peran guru dan dukungan warga sekolah sangat menentukan keberhasilan program ini.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, paling tidak ada tujuh pendekatan yang dapat dilakukan guru dalam proses pembelajaran. Pertama, pendekatan qalbiyah, yaitu pendakatan yang berorientasi terhadap qalbu peserta didik. Pendekatan ini dapat dilaksanakan dengan melatih qalbu untuk berzikir dan berma'rifat kepada Allah SWT. Misalnya, peserta didik melaksanakan zikir setiap saat, kapan dan dimana pun berada, terutama di awal (seperti membaca basmalah) atau di akhir PBM (seperti membaca hamdalah).

Esensi zikir dalam pendekatan qalbiyah adalah mendidik peserta didik untuk mengingat Allah dalam setiap memahami materi pembelajaran. Sebab semua ilmu sesungguhnya berasal dari Allah SWT. Pada hakikatnya Allah-lah yang mengajarkan ilmu kepada setiap makhluk-Nya. Dengan upaya seperti ini, maka ilmu yang diperoleh tidak membawa sikap arogansi, akan tetapi dengan ilmu yang ia kuasai menjadikannya semakin tawadhu’ (jadilah seperti padi, semakin barisi semakin marunduak).

Kedua, pendekatan internalisasi nilai yang berupaya untuk menginternalisasikan nilai-nilai (internalitation of values) keislaman dan budaya Minangkabau ke dalam sebuah tema tertentu di setiap mata pelajaran tanpa mengabaikan kompetensi yang terdapat pada kurikulum. Pendekatan ini sejalan dengan pendektan integralistik-tematik yang merelevansikan materi ajar dengan nilai-nilai agama dan budaya. Dengan begitu, diharapkan pembelajaran mampu membentuk paradigma integral-holistik peserta didik terhadap ilmu, agama dan budaya dalam kehidupan.

Ketiga, pendekatan kultural, yaitu pendekatan yang digunakan untuk menciptakan lingkungan sekolah sebagai lingkungan pembelajar (learning society) yang berbudaya. Diharapkan keunggulan budaya lokal dapat diterapkan di sekolah sehingga terwujud proses pembelajaran yang bernuansa keislaman, iptek dan budaya. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memahami dan menguasai keunggulan budaya lokal yang ada di lingkungan masyarakat tersebut.

Keempat, pendekatan pembiasaan, yaitu upaya membiasakan nilai-nilai positif yang dikembangkan dalam sistem pendidikan surau. Pendekatan pembiasaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah melakukan kebiasaan yang baik (good habbit). Proses pembiasaan ini dapat diterapkan oleh guru, baik dalam pembelajaran di kelas maupun di lingkungan sekolah. Disini reward dan punishment perlu diberikan.

Kelima, pendekatan keteladanan yang merupakan pendekatan paling berpengaruh dalam mendidik peserta didik, khususnya dalam hal pembentukan kepribadian. Pendidikan surau masa lalu menunjukkan bahwa Tuanku Syekh sebagai pendidik sekaligus pemimpin surau menjadi figur central bagi murid-muridnya sehingga terjadi proses pembentukan karakter yang begitu kuat. Oleh karena itu, pimpinan sekolah, guru, dan karyawan mesti menjadi teladan bagi peserta didiknya (tokoh identifikasi). Keteladanan itu mulai dari hal-hal terkecil, seperti kebersihan dan kerapian, bahasa yang sopan, tepat waktu, hingga kepada pelaksanaan shalat berjamaah di sekolah.

Keenam, pendekatan logika-dialektika Islami, yaitu pendekatan pembelajaran yang menyentuh logika peserta didik untuk mampu berpikir kritis dan problem solving sebagai pengembangan diri dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta melestasikan budaya berlandaskan ajaran Islam.

Esensi pendekatan logika-dialektika Islami adalah ketika peserta didik memahami setiap mata pelajaran mesti berorientasi kepada peningkatan kualitas pendidikan yang disertai pemberian kesempatan kepada para peserta didik untuk memahami argumentasi tentang materi tersebut, sehingga terhindar dari mengikuti secara buta (taklid). Penerimaan materi yang hanya didasarkan taklid dapat mengakibatkan split personality atau frustrasi bila berhadapan dengan perubahan sosial dan realita kehidupan yang bertentangan dengan pemahaman dan keyakinannya. Bentuk split personality antara lain terlihat pada keadaan yang tidak sesuai antara pengalaman ritual-seremonial dengan perilakunya.

Ketujuh, pendekatan emosional yang menekankan kepada aspek raso (rasa) peserta didik. Diharapkan peserta didik berperilaku atas dorongan dari dalam (internal motivation). Dalam istilah lain, pendekatan ini relevan dengan pendekatan instrinsik yang akan melahirkan keikhlasan (do more expect less) dalam setiap aktivitas.

Dari ketujuh pendekatan yang dikembangkan dalam PKPBS tersebut tampaknya lebih menekankan kepada kompetensi kepribadian guru dalam mendidik akhlak peserta didik, disamping kompetensi professional, paedagogik dan social. Hal ini beralasan menginat Tuanku Syekh yang ada di surau selalu menjadi teladan bagi murid-muridnya sehingga pengaruhnya begitu kuat dalam membimbing dan mendidik akhlak mereka.

Sementara dalam mendidik kualitas keilmuan peserta didik sangat dibutuhkan skill guru yang mengajar dengan qalbu serta mampu menerapkan logika-dialektika yang Islami. Dengan upaya seperti ini, diharapkan peserta didik memiliki daya kritis yang tajam dalam menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang ia peroleh.

Jika program ini konsisten dilaksanakan dengan sikap yang optimis dan kerja sama yang baik antara guru, pimpinan daerah, tokoh-tokoh masyarakat, dan orang tua, Insya Allah beberapa tahun ke depan Sumatera Barat akan tetap melahirkan sumber daya manusia yang berkarakter, cerdas dan kompetitif berlandaskan iman, ilmu dan amal secara integral. Amin…

Tidak ada komentar: