Minggu, Juni 20, 2010

Makanan Halal dan Kesehatan Mental

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Dikisahkan bahwa Abu Muhammad al-Juwaini adalah seorang permuda yang taat beribadah kepada Allah dan sangat berhati-hati kepada suata perkara yang subhat. Sehari-hari ia bekerja menyalin kitab-kitab ilmu pengetahuan dan menerima upah. Dengan mengumpulkan upah dari hasil pekerjaannya itu ia menikahi seorang perempuan yang shalehah, taat beribadah kepada Allah SWT. Dari hasil pernikahan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdulmalik. Setelah anak itu lahir, al-Juwaini berpesan sangat kepada istrinya jangan sampai ada perempuan lain yang menyusukan anak itu. Namun, suatu ketika istrinya sakit sehingga air susunya kering, sementara Abdilmalik yang masih bayi itu menangis kehausan. Lalu datanglah seorang perempuan yang merupakan tetangganya dan merasa kasihan mendengar tangisan anak itu. Perempuan itu pun mengambil dan menyusukan anak tersebut. Tiba-tiba datanglah Abu Muhammad al-Juwaini. Melihat anaknya disusui oleh perempuan lain, dia pun tidak senang sehingga perempuan tersebut merasakan suasana ketidaknyamanan al-Juwaini karena ia menyusukan anak itu. Akhirnya perempuan tetangga itu pun bergegas pergi.

Kemudian al-Juwaini mengambil anak itu lalu menonggengkan kepalanya dan mengorek mulutnya, sehingga anak itu memuntahkan air susu perempuan tetangga tadi. Beliau pun berkata: “Bagiku tidak keberatan jika anak ini meninggal di waktu kecilnya, dari pada rusak perangainya karena meminum susu perempuan lain, yang tidak aku kenal ketaatannya kepada Allah.”
Anak yang bernama Abdulmalik itu kemudian terkenal dengan nama Imamul Haramain Abdulmalik al-Juwaini, ia adalah seorang ulama mazhab Syafi’i yang masyhur, guru dari madrasah-madrasah Naisabur dan salah seorang yang mendidik Imam al-Ghazali, sampai menjadi ulama besar pula. Kadang-kadang sedang mengajarkan ilmunya pernah beliau marah-marah. Ketika itu, berkatalah dia setelah sadar dari kemarahannya, bahwa “ini barangkali adalah dari bekas sisa susu perempuan lain itu, yang tidak sempat aku muntahkan.”
Demikian kira-kira yang dikisahkan oleh Hamka dalam tafsir al-Azhar, ketika menafsirkan surat al-Baqarah/2 ayat 233. Meskipun kisah ini berhubungan dengan air susu ibu, tetapi hikmah terbesar yang patut dipetik adalah adanya hubungan antara makanan, termasuk minuman, dengan kesehatan mental.

Makanan Ideal dalam Islam
Al-Qur’an sebagai pedoman bagi manusia, tentu memberikan petunjuk secara komprehensif dan universal sehingga menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam aspek makanan. Konsep makanan dalam al-Qur’an yang harus dikonsumsi adalah makanan yang halal lagi baik (halalan tayyiban). Hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat di berbagai surat dalam al-Qur’an, di antaranya adalah surat al-Baqarah/2 ayat 168: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
Ayat ini menyeru semua manusia di muka bumi, tidak hanya khusus kepada orang-orang yang beriman saja, agar memakan makanan yang halal lagi baik. Larangan makanan yang haram sesungguhnya ada tujuan yang baik untuk menghindari suatu penyakit dan untuk menjauhkan bahaya dari manusia. Makanan halal adalah makanan yang tidak haram, yakni memakannya tidak dilarang oleh ajaran agama. Makanan yang haram ini ada dua macam, yaitu haram dari segi zatnya, seperti babi, anjing, bangkai, darah dan khamr; serta ada pula haram karena sesuatu yang bukan dari zatnya, misalnya makanan yang dicuri, hasil korupsi, dan sebagainya. Dalam ayat lain, disebutkan: “…dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.s. al-Jumu’ah/62 ayat 10). Ayat ini menunjukkan bahwa mencari rezeki dengan mengingat Allah harus dilakukan agar usaha pencarian itu tidak terjerumus kepada perbuatan yang haram. Jadi, makanan yang halal dimaksud adalah makanan yang tidak termasuk ke dalam dua kategori tersebut.
Namun, tidak semua makanan yang halal dikategorikan baik. Karena dinamai halal terdiri dari empat macam: wajib, sunnah, mubah, dan makruh. Dan tidak semua yang halal sesuai dengan kondisi masing-masing. Bisa jadi makanan jenis X sesuai untuk kesehatan si A, tetapi kurang cocok dengan si B. Makanan yang sesuai itulah yang baik. Artinya, di antara makanan itu ada yang lebih cocok sesuai dengan kondisi tubuh seseorang pada saat itu. Jadi al-Qur’an mengajarkan makanlah yang ideal itu adalah halal lagi baik.

Makanan Haram adalah Racun Rohani
Manusia sangat membutuhkan makanan, sebab makanan sangat berdampak kepada kesehatan jasmani. Ketika seseorang kurang makan, maka tubuhnya akan lemas, tidak bertenaga dan mudah terserang penyakit. Bahkan jika seseorang tidak makan maka kelangsungan hidupnya di dunia ini akan terancam. Oleh karenanya, manusia bekerja keras dengan mengerahkan segala kemampuannya, baik tenaga maupun pikiran untuk mendapatkan makanan.
Namun, perlu disadari bahwa makanan tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan jasmani. Makanan juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental (ruhaniyah) seseorang. Kisah al-Haramain di awal tulisan ini turut memperkuat pandangan tersebut. Makanan haram yang disebabkan oleh zatnya, memang lebih terkesan mengakibatkan sakitnya jasmani seseorang. Daging babi, misalnya, ternyata mengandung berbagai virus yang dapat mengakibatkan tubuh seseorang sakit secara fisik. Bahkan dalam suatu penelitian—sebagaimana yang ditulis oleh Ahmad Syauqi al-Fanjari dalam bukunya “Nilai Kesehatan dalam Syariat Islam” (1996)—bahwa seperempat dari penderita kangker otak disebabkan oleh pengkonsumsi daging babi. Begitu pula minuman haram, seperti khamr, termasuk Narkoba, jelas mengakibatkan penyakit jasmani.
Jadi, makanan haram dari segi zat-nya juga bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental. Hal ini juga diakui oleh ilmuan kenamaan, Alexis Carrel, pemenang hadiah Nobel Kedokteran, dalam bukunya Man the Unknown dengan menuliskan: ”Pengaruh dari campuran (senyawa) kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum lagi diadakan eksperimen secara memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan.” Pernyataan ini ditulis disinggung oleh Quraish Shihab dalam buunya “Wawasan al-Qur’an”.
Sebaliknya, makanan haram yang disebabkan oleh non-zat, atau haram karena cara mendapatkannya dilarang oleh syari’at, seperti mendapatkan makanan hasil curian, atau uang yang membelinya diperoleh dari cara yang haram, cenderung dipahami tidak berdampak terhadap kesehatan. Memang dampaknya tidak begitu jelas terhadap kesehatan jasmani, tetapi pada hakikatnya sangat berpengaruh terhadap kesehatan menal seseorang.
Seseorang yang memakan makanan dari hasil uang haram tidak akan memperoleh keberkahan dari makanan tersebut. Ruhaninya akan rusak, rapuh, dan mudah digoda dan disesatkan oleh setan. Agaknya inilah yang diperingatkan Allah di akhir surat al-Baqarah/2: 168 di atas, “..dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Tegasnya, makanan yang haram adalah racun bagi ruhaniah seseorang. Akibatnya, ruhaniah/mentalnya akan sakit sehingga melahirkan perilaku-perilaku yang negatif; mudah marah, cenderung anarkis, mudah menzhalimi orang lain, kurang peka terhadap lingkungan, tipis rasa kasih-sayang, dan tidak perduli terhadap penderitaan orang lain. Ketika hatinya berpenyakit, maka kebenaran akan sulit diterima, nasehat atau saran yang bersifat konstruktif pun cenderung ditolak.
Agaknya berbagai perilaku negatif yang akhir-akhir ini semakin menjamur, baik dalam bentuk tindakan kriminal, seperti pembunuhan secara mutilasi, perampokan, perzinahan; begitu pula dalam bentuk penipuan, menjual ayat-ayat Tuhan demi kepentingan pribadi, dan tindakan-tindakan lain yang meresahkan serta jauh dari nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan patut menjadi renungan; apa akar penyebabnya. Banyak pakar, sesuai dengan disiplin keilmuannya, mencoba menganalisis akar penyebab dari fenomena prilaku masyarakat yang cenderung negatif tersebut. Ahli ekonomi memandang bahwa kejahatan itu disebabkan oleh kemiskinan, ahli hukum bisa memandang karena disebabkan oleh keadilan hukum tidak ditegakkan, pakar pendidikan juga bisa berargumen dikarenakan oleh kebodohan; dan seterusnya. Namun, faktor makanan seharusnya menjadi bahan pemikiran.
Artinya, masyarakat juga harus menyadari bahwa makanan yang dikonsumsi berdampak terhadap perilaku yang ditampilkan oleh masyarakat itu sendiri. Tentu perhatian ini dimulai dari tingkat keluarga sebagai kelompok terkecil dari masyarakat itu sendiri. Orang tua, yang mencari nafkah bagi keluarganya harus mencari makanan yang halal lagi baik, dari segi zat maupun cara memperolehnya. Jika tidak, maka diri dan perilaku anak-anaknya akan sulit didik, karena ruhani mereka telah mengalami gangguan kesehatan. Ingatlah, tidak mudah menyembuhkan jasmani dari penyakit; tetapi jauh lebih sulit lagi menyembuhkan seseorang dari penyakit mental. Sebab, ketika jasmani seseorang sakit, jelas terasa dampaknya sehingga muncul motivasi yang tinggi untuk menyembuhkannya; sebaliknya ketika rohani yang sakit, terkandang tidak disadari sehingga upaya penyembuhan pun tidak dilakukan.
Oleh karena itu, lakukanlah diognasa terhadap diri sendiri, apa saja penyakit mental yang sedang menggorogoti diri kita. Jika memang ada, maka lakukanlah pengobatan (kuratif) secara tepat sesuai dengan tuntunan agama: perbanyak istighfar dan berzikir, serta makanlah makanan/minuman yang halal. Sebaliknya, bagi yang belum kronis penyakit mentalnya, tetap melakukan upaya prepentif, salah satu di antaranya adalah dengan mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah serta melimpahkan rezeki yang diridhai-Nya kepada kita sehingga kita tetap sehat jasmani dan rohani, amin.



Politik dan Agama; Antara Idealis dan Simbolis

Oleh: Muhammad Kosim, MA
(Guru PAI SMP Negeri 8 Padang)

Politik itu kotor; penuh tipu-muslihat, berbaju kemunafikan (hipokrisi), berbungkus kebohongan dan berhias kepalsuan. Begitu adagium yang melekat bagi sekelompok orang yang kecewa, pesimis dan skeptis terhadap perjuangan lewat politik. Bagi mereka, politik adalah dunia kepura-puraan, di sana tidak ada kesejatian dan kesetiaan; yang ada cuma kepentingan. Tidak ada teman dan lawan yang abadi; yang ada hanyalah kepentingan itu sendiri. Jika kepentingan sama maka lawan bisa menjadi kawan, begitu pula sebaliknya. Ketika berbeda kepentingan, maka dalam menghadapi lawan berlakulah prinsip “to kill or to be killed” (membunuh atau dibunuh).
Di sisi lain, terdapat pula kalangan yang optimis terhadap politik. Kelompok ini malah beranggapan dan meyakini bahwa tanpa perjuangan politik, maka penindasan dan kezaliman akan merajalela. Politik merupakan media untuk memperjuangan kebenaran, mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan.
Politik memang bermata dua; satu sisi bisa mewujudkan kebahagiaan dan keselamatan, di sisi lain dapat membawa bencana dan penderitaan. Terlepas dari dampak/efek yang ditimbulkannya, maka banyak orang yang berkorban dan menyatakan dirinya berjuang lewat jalur politik. Apalagi ketika politik berkaitan erat dengan jabatan, maka politik selalu dijadikan alat untuk merebut kekuasaan.
Kekuasaan memang suatu kenikmatan duniawi, di samping kekayaan dan perempuan. Hal ini pula yang pernah ditawarkan oleh para pembesar kafir Quraisy kepada Nabi Muhammad SAW agar menghentikan dakwahnya. Tawaran atau bujukan ini biasanya dikenal dengan 3TA, yaitu tahTA, harTA, dan waniTA. Namun kepribadian sang nabi yang mulia itu justru menolak ketiganya seraya berkata: “seandainya matahari diletakkan di tangan kananku, bulan di tangan kiriku, aku tidak akan menghentikan dakwah kecuali dua hal: aku mati atau aku berhasil memenangkan dakwahku”.
Sadar akan besarnya pengaruh kekuasaan/jabatan, maka tidak sedikit di antara manusia yang berjuang sekuat tenaga untuk merebut kekusaan. Fenomena itu pula yang kerap kita saksikan di negeri ini. Terlebih lagi ketika diberlakukannya Pilkada untuk memilih pemimpin (legislatif dan eksekutif) di tingkat propinsi, kabupaten dan kota; perjuangan meraih kekuasaan semakin jelas terlihat.

Politik Atas Nama Agama
Berbagai upaya dan trik dilakukan untuk meraih jabatan/kekuasaan. Ada yang menghabiskan uang ratusan juta bahkan miliyaran rupiah untuk modal kampanye meraih simpati rakyat, ada pula yang berpolitik mengatasnamakan agama.
Agama memang persoalan keyakinan. Agama juga menjadi pandangan hidup manusia yang diyakini mampu mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan sejati. Agama bukanlah fatamorgana yang menjanjikan kebahagiaan semu; seperti yang dianggap oleh Karl Marx dimana agama hanyalah candu masyarakat. Agama memang menuntun pemeluknya kepada kondisi keselematan dan kebahagiaan.
Begitu kuatnya pengaruh agama dalam kehidupan manusia, maka agama bisa menjadi kekuatan bagi praktisi politik untuk meraih cita-citanya. Oleh karena itu visi, misi, materi kampanye, bahkan nama partai politik pun kerap kali mengangkat nama agama. Terutama Islam, sebagai agama yang dianut oleh kelompok mayoritas di negeri ini. Ketika kelak mereka duduk di singgasana kekuasaan, ada yang komitmen menerapkan kebijakan bernuansa agama (Islamy); tetapi ada pula yang mengabaikannya.
Dengan demikian ajaran agama bisa menjadi landasan idiologi politik suatu partai, tetapi tidak menutup kemungkinan pula agama hanya dijadikan sebagai alat untuk meraih tujuan politik. Kondisi seperti ini menggoda kita untuk bertanya: mana yang lebih dipilih; minyak Samin cap Babi atau minyak Babi cap Samin? Idealnya yang patut dipilih adalah minyak Samin cap Samin. Dalam kaitannya dengan politik dan agama, salahkah jika nama agama dibawa-bawa dalam dunia politik?

Basis Politik Islami
Agama (baca: Islam) memang harus diperjuangkan dan ditegakkan; salah satunya melalui politik. Jika saja umat Islam meninggalkan dunia politik, bisa dibayangkan apa jadinya umat Islam di negeri ini. Setiap kebijakan pemimpin pasti berpengaruh terhadap kehidupan rakyatnya. Begitu pula di Indonesia ini, ketika negeri ini dipimpin oleh pemimpin yang zalim, maka penindasan dan penderitaan akan dirasakan oleh umat Islam itu sendiri.
Oleh karena itu belajarlah dari Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW memiliki integritas kepribadian yang sempurna dan multikeahlian. Salah satu di antaranya adalah keahlian dalam berpolitik. Terbukti dalam periode Madinah, Muhammad tidak hanya sebagai nabi (pemimpin spiritual), tetapi ia juga sebagai pemimpin masyarakat. Kepemimpinan beliau pun diakui mampu mengayomi seluruh anggota masyarakat yang beragam, majemuk dan pluralis. Kondisi ini membuktikan bahwa nabi memang sukses dalam berpolitik.
Kegiatan politik yang dilakukan oleh nabi itu kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabatnya (khulafaurrasyidin) serta umatnya hingga akhir zaman. Kegiatan politik tersebut tentu tidak terpisah dari agama; tetapi politik justru dilakukan dengan landasan agama yang sesungguhnya.
Dengan demikian, politik dan agama jangan dipertentangkan. Agama bukan sekedar simbolis atau formalitas saja; tetapi agama harus menjadi ruh, spirit, dasar dan landasan idealisme dalam kegiatan politik. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga basis politik yang perlu dilakukan untuk mewujudkan politik berlandaskan kepada agama Islam. Pertama, politik berbasis tauhid. Islam adalah agama tauhid. Itu artinya bahwa segala yang ada di alam ini berasal dari Allah, berada dalam pengawasan dan pemeliharaan-Nya, dan pasti kembali kepada-Nya. Dengan paradigma semacam ini, maka keseimbangan (keadilan) harus ditegakkan, termasuk dalam kepemimpinan. Politik berbasis tauhid adalah politik yang berlandaskan kepada kehendak Tuhan. Politik ini juga menegakkan prinsip keadilan, bukan membeda-bedakan antar golongan yang satu dengan lainnya dan bukan menyelematkan kelompok tertentu lalu menzalimi yang lainnya.
Kedua, politik berbasis akhlak. Segala aktivitas politik harus menampilkan akhlak yang mulia. Dalam hal ini, kepribadian Rasulullah SAW harus menjadi teladan utama, baik dalam mengambil keputusan, memperlakukan kawan, menghadapi lawan, dan mengayomi bawahan. Rasulullah selalu mendengarkan aspirasi rakyatnya lalu memperjuangkannya; dia selalu tawadhu’ bukan malah sombong di setiap tindakan dan ucapannya; kedatangannya menggembirakan dan menyenangkan orang di sekitarnya; dia sangat dekat dengan kalangan mustadh’afin dan para anak Yatim. Tegasnya, kepribadian Rasulullah itu sendiri adalah al-Qur’an, seperti firman Allah: “wa innaka la ‘ala khuluqin azhim”, Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung/mulia (Q.s. Qalam/68: 4). Jadi, politik berbasis akhlak adalah pelaku politisi yang menerapkan ajaran al-Qur’an yang anti kezaliman, anti penindasan, anti penipuan, anti keangkuhan, dan anti segala bentuk kejahatan. Dengan pola seperti ini, maka imej negatif tentang politik itu kotor dengan sendirinya akan terbantahkan.
Ketiga, politik berbasis amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas setiap mukmin, paling tidak di lingkungan keluarga dan dirinya sendiri. Tugas itu bisa dilaksanakan lewat berbagai bidang, sesuai dengan kapasitas dan otoritas kita masing-masing dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Salah satu upaya yang efektif untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar adalah melalui aktivitas politik. Oleh karena itu, politik sesungguhnya adalah sebagai metode untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sehingga setiap perjuangan yang dilakukannya dalam rangka menegakkan kebenaran dan memerangi kezaliman.
Keempat, politik berbasis perjuangan yang istiqamah. Dalam dunia politik memang sering didengar pernyataan: “Di setiap jam dan detik sesuatu itu bisa berubah, itulah politik”. Dalam hal-hal tertentu pernyataan itu ada bisa diterapkan; tetapi dalam konteks perilaku yang berakhlak mulia dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan secara istiqamah (sikap teguh pendirian, ada komitmen, dan dilakukan secara kontiniu dan konsisten). Tugas itu tidak hanya dilakukan pada saat-saat yang menguntungkan secara politis, lalu mengabaikannya di saat tidak sesuai dengan kepentingan kelompok dan atau pribadinya. Jika perlu, seorang pemimpin harus berani mempetaruhkan jabatannya dalam menegakkan keadilan dan kebenaran sebatas kemampuan maksimalnya dalam kondisi kapan dan dimanapun, bukan dalam hal-hal tertentu saja.
Keempat hal di atas bisa dijadikan sebagai landasan penerapan politik yang Islami. Dengan begitu maka aktivitas politik dalam Islam bukanlah sesuatu yang kotor dan kepura-puraan seperti disinggung di atas; tetapi politik sebagai metode, jalan, atau media untuk memperjungkan kebenaran yang pada intinya menerapkan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Tegasnya, politik digunakan untuk memperjuangkan dan menegakkan agama Islam yang mengajarkan kebenaran hakiki.
Inilah politik yang sejati: kebenaran adalah teman abadi. Sementara kebenaran mutlak itu berasal dari Allah: “al-haqqu mirrabika“, kebenaran itu dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (Q.s. al-Baqarah/2: 147).
Ketika idealisme seperti ini diperjuangkan dan dipertahankan, maka politik akan membawa kesejahteraan, kebahagiaan, dan keselamatan. Sebaliknya, ketika agama digunakan untuk kepentingan politik, maka nama agama hanya sekedar simbol untuk mengelabui rakyat banyak; laksana musang berbulu domba. Semoga Allah melindungi kita dari kehadiran pemimpin yang menggunakan agama demi kepentingan politik kelompok dan pribadinya; sebaliknya kita berdoa dikaruniai pemimpin yang idealis dalam menerapkan nilai-nilai Islam di setiap gerak politiknya. Amin...

Tidak ada komentar: