Selasa, Juni 22, 2010

Mendidik Generasi Antipornografi

Oleh: Muhamammad Kosim

Beredarnya video porno “mirip” artis papan atas Ariel dan Luna Maya, baik di internet maupun via handphone, menyita banyak perhatian pembaca media akhir-akhir ini. Tidak saja di Indonesia, perilaku memalukan itu justru menjadi “pergunjingan” di Negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.

Banyak yang mengecam, bahkan mencekal aktivitas keduanya. Meskipun banyak yang mengecam, anehnya tidak sedikit di antara mereka yang penasaran untuk melihat adegan mesum itu, bahkan tidak menutup kemungkinan mereka yang melihat juga turut menikmatinya. Lalu, apa bedanya antara si pelaku, si pengedar, dengan orang yang melihat dan menikmatinya?

Yang jelasnya, ketiganya telah terjerumus ke dalam perbuatan zina; si pelaku menjadi pezina, yang dalam hukum Islam jika masih pemuda (belum pernah menikah) dicambuk 100x, jika sudah pernah menikah dirajam sampai mati. Sementara si pengedar turut mengembangkan perzinahan, sedangkan orang yang melihat dan menikmatinya telah melakukan zina mata dan zina hati. Maka sepatutnya setiap orang tua yang memiliki anak, tentu merasa khawatir terhadap anaknya bila terjerumus kepada perilaku zina tersebut.

Sebenarnya kasus perzinahan semakin meningkat dari tahun ke tahun di negeri ini. Beberapa hasil penelitian menunjukkan kondisi yang memprihatinkan tersebut. Komisi Nasional Perlindungan Anak merilis data di tahun ini bahwa 62,7 persen remaja SMP di Indonesia sudah tidak perawan. Hasil lain dari survei itu, ternyata 93,7 persen siswa SMP dan SMA pernah melakukan ciuman, 21,2 persen remaja SMP mengaku pernah aborsi, dan 97 persen remaja SMP dan SMA pernah melihat film forno.

Sebelumnya, pada tahun 2008 lalu, Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN), M. Masri Muadz pernah menyampaikan bahwa 63% remaja usia SMP dan SMA di 33 propinsi di Indonesia telah berzina. Tiga tahun sebelumnya (2005), sebuah survey yang diselenggarakan sebuah perusahaan kondom, mengungkapkan data sekitar 40-45% remaja berusia antara 14-24 tahun menyatakan bahwa mereka telah berhubungan seks bebas (berzina) di luar pernikahan. Survey tersebut dilaksanakan di hampir semua kota besar di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Jika dibandingkan dari angka statistik yang ada, begitu signifikan perkembangannya dalam jarak 3 tahun.

Demikian pula dari penelitian yang dilakukan Doktor Rita Damayanti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) pada tahun 2006. Beliau meneliti perilaku "pacaran" sebanyak 8.941 pelajar dari 119 SMA sederajat di Jakarta. Hasilnya, pacaran dengan cara: 1) ngobrol/curhat dilakukan laki-laki (Lk) 97,1% dan perempuan (Pr) 94,5%, total 95,7%; 2) pegangan tangan: 70,5% Lk dan 65,8% Pr, total 67,9%; 3) berangkulan: 49,8% Lk, 48,3% Pr, total 49,0%; 4) berpelukan, 37,3% Lk, dan 38,6% Pr, total 38,0%; 5) berciuman pipi: 43,2% Lk, 38,1% Pr, total 40,4%; 6) berciuman bibir: 27,0% Lk, 31,8% Pr, total 20,5%; 7) meraba-raba dada: 5,8% Lk, 20,3% Pr, total 13,5%; 8) meraba alat kelamin: 3,1% Lk, 10,9% Pr, total 7,2%; 9) menggesek kelamin: 2,2% Lk, 6,5% Pr, total 4,5%; 10) melakukan seks oral: 1,8% Lk, 4,5% Pr, total 3,3; serta 11) hubungan seks: 1,8 Lk, dan 4,3% Pr, total 3,2%.

Dari hasil penelitian di atas dapat dilihat peningkatan kasus perzinahan sangat meningkat dari tahun ke tahun. Ironis dan sangat memprihatinkan. Semua itu merupakan praktik perzinahan. Bukankah Allah memperingatkan: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk (Qs. Al-Isra’/17: 32).
Terjadinya praktik perzinahan di kalangan remaja ini tentu disebabkan oleh banyak factor. Di antara factor utama adalah mudahnya mengakses video, atau gambar-gambar porno. Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait dalam konferensi pers di Sekretariat Komnas Perlindungan Anak, Sabtu (12/6/2010) lalu, menjelaskan: "Kami yakin hal tersebut akan lebih meningkat lagi dengan adanya video yang sekarang ini beredar."

Jadi, pengaruh film dan sinetron yang beradegan pornografi, secara perlahan tapi pasti, turut membentuk paradigma remaja bahwa perilaku pacaran yang mendekati zina tersebut merupakan sesuatu yang wajar, tidak tabu lagi, meskipun mereka tahu jika perbuatan itu dilarang dalam agama.

Maka pertanyaan yang patut kita renungkan adalah, apa jadinya bangsa ini jika generasi mudanya telah terjerumus pada praktik perzinahan? Bagaimana nasib bangsa yang berbudaya lagi religius ini jika dipimpin oleh orang-orang yang terbiasa melakukan perzinahan?
Untuk mendidik dan mempersiapkan generasi antipornografi perlu usaha yang terpadu antara orang tua, sekolah, pemerintah dan masyarakat. Genarasi antipornografi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah generasi muda yang tidak melakukan perzinahan dan tidak mendekatinya, meskipun peluang untuk melakukannya atau mendekatinya sedemikian besar.

Pertama, pendidikan dari orang tua. Orang tua hendaknya selalu berdoa agar diberi anak yang shaleh, terhindar dari perbuatan-perbuatan yang mendekati perzinahan. Dalam hal ini Islam mengajarkan agar seorang pria menikahi perempuan yang tidak pezina, begitu pula sebaliknya (Qs. An-Nuur ayat 3). Pernikahan itu hendaknya dilakukan secara sah, sesuai dengan tuntunan Islam. Bahkan, di atas ranjang pun, Islam membimbing agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan dibarengi dengan doa agar selamat dari godaan syetan.

Lebih edukatif lagi, pasangan suami istri tidak boleh membayangkan pasangannya seperti orang lain, apalagi melakukan hubungan suami istri sambil menonton film porno. Jika ini terjadi, kemungkinan besar anak yang lahir kemudian akan cenderung kepada perzinahan. Maka bagi orang yang pernah melakukannya, bersegeralah bermohon ampun kepada Allah SWT.
Selanjutnya, ketika anak sudah bisa berpikir, orang tua mesti mendidik dan memberikan pemahaman kepada anaknya agar menghindari perzinahan. Orang tua dapat melakukan pendekatan targhib dan tarhib dengan cara senantiasa memberikan pujian di hadapan anaknya kepada remaja yang sopan, menutup aurat, tidak terjerumus pada pergaulan bebas yang ada di sekitarnya. Sebaliknya, orang tua juga mencela perilaku remaja yang membuka auratnya, bergaul bebas, dan perilaku-perilaku yang mendekati zina. Pendekatan ini diharapkan membentuk mindset anak bahwa perbuatan yang mendekati zina tersebut mesti dihindari.

Dalam hal ini, orang tua dituntut untuk memiliki hubungan yang komunikatif dan harmonis dengan anaknya. Jangan seperti yang dikatakan oleh Marilyn Maxwell, dokter anak dari Universitas Saint Louis, "Kadang orangtua takut mengatakan harapan mereka kepada anak-anak karena mereka merasa munafik. Mungkin di masa mudanya, mereka pun nakal." Padahal, jika pun mereka pernah melakukannya, bukan berarti ia berdiam diri, sebab jika ia diam sesungguhnya ia telah mewariskan kejahatannya kepada anak-anaknya. Maka jalan terbaik adalah bermohon ampun kepada-Nya lalu berupaya mendidik anak-anaknya agar tidak melakukan seperti apa yang pernah ia lakukan.

Di samping usaha di atas, orang tua juga diharapkan tidak memberikan fasilitas kepada anak yang membuka peluang untuk mendekati perzinahan tersebut. Misalnya, jangan pernah membelikan HP atau Laptop yang connect internet, sebelum orang tua bisa memastikan anaknya tidak mengakses situs-situs porno. Begitu pula computer yang connect internet, jika memang ada sebaiknya jangan diletakkan di kamar pribadi si anak, akan tetapi diletakkan di ruang tengah yang dapat diawasi oleh orang tua.

Penting juga peran orang tua untuk mendidik anak-anaknya dalam memilih teman. Sebab perbuatan yang mendekati zina tersebut juga besar dipengaruhi oleh teman-teman yang ada di sekelilingnya. Tegasnya, seorang anak/remaja harus memilih teman akrabnya yang taat dan berakhlak mulia. Imam al-Ghazali menegaskan: “lebih baik punya musuh yang pintar dari pada teman yang jahil (berperilaku buruk).”

Kedua, sekolah mesti membuat regulasi atau tata tertib bagi peserta didik yang menghambat terjadinya kasus pornografi. Misalnya, menetapkan sanksi berat bagi siswa yang menyimpan, melihat, atau mengedarkan video/gambar porno; menggelar razia secara berkala dan insidentil terhadap konten HP siswa; tidak membolehkan membawa HP connect internet ke sekolah; dan sebagainya. Melalui sekolah juga diharapkan remaja memahami bahaya perzinahan, baik dari segi agama maupun dari kesehatan, social, dan sebagainya, sesuai dengan mata pelajaran terkait. Peraturan-perturan yang telah ditetapkan mesti dijalankan secara konsisten, tanpa membedakan antara siswa yang satu dengan lainnya.

Ketiga, pemerintah mesti pro-aktif mendidik generasi muda antipornografi. Banyak kebijakan pemerintah yang sebenarnya ditunggu oleh masyarakat terkait pornografi tersebut, misalnya: memberikan sanksi berat kepada pezina—bukan sekedar ditangkap, dibina, lalu dibebaskan dan kembali melakukan perbuatan yang sama—sehingga menimbulkan efek jera. Selain itu, pemerintah juga diharapkan tidak memberi tempat bagi penjaja seks, termasuk peredaran VCD porno. Dibutuhkan pula kebijakan melarang warnet (warung internet) yang bersekat/dinding penutup antara satu computer dengan computer lainnya. Sebab hal ini akan memberi peluang bagi pengunjung untuk bebas mengakses situs-situs porno. Bahkan lebih dari itu, pemerintah juga diharapkan memblokir situs-situs porno sehingga mengurangi penyebab terjadinya perzinahan tersebut, terutama di kalangan remaja yang masih muda belia.

Keempat, peran masyarakat sangat dibutuhkan pula dalam mengawal anggota masyarakatnya terbebas dari praktik perzinahan. Tokoh-tokoh masyarakat, baik dari perangkat kelurahan/desa, RT/RW, ulama, pendidik, pemuda, dan tokoh adat, mesti bersatu dalam memberantas penyakit masyarakat tersebut.

Dengan usaha bersama dan komitmen yang tinggi, diharapkan mampu menekan perilaku yang mendekati perzinahan. Tegasnya, penanaman nilai-nilai agama kepada generasi muda sejak dini mesti dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Jika tidak ada upaya serius dalam menangani hal ini, maka ingatlah pesan Rasulullah SAW: Apabila zina dan riba telah nampak di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri-diri mereka (ditimpa) adzab Allah ‘Azza wa Jalla. (HR At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi). Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: