Sabtu, Juli 12, 2008

Reformulasi Pola Perkaderan HMI

Oleh: Muhammad Kosim LA

Tanggal 5 Februari 1947 yang lalu, Mahasiswa Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta yang benama Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat dengan HMI. Nama HMI semakin populer tatkala sejumlah alumninya berkiprah di berbagai bidang, terutama di dunia akademik dan pentas politik nasional. HMI memang bukan organisasi politik, tetapi HMI adalah organisasi kader. Agaknya, karena HMI merupakan organisasi kader dengan misi ke-Islaman dan ke-Indonesiaan membuat organisasi ini bisa bertahan melintasi zaman pasca kemerdekaan Indonesia hingga saat ini. Namun seiring dengan perkembangan zaman, gerakan kader HMI nyaris tak bergema dalam membangun bangsa dan menyikapi persoalan agama. Padahal usia 61 seyogyanya membuat organisasi ini semakin dewasa dan berwibawa.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa HMI mengalami idealisasi dan romantisasi masa lalu. Bahkan ada yang berpendapat bahwa kejayaan HMI hanya sebuah mitos. Dan tampaknya, popularitas HMI saat ini lebih dikarenakan kiprah para alumninya. Lalu, bagaimana dengan kader HMI saat ini?

Pada dasarnya merosotnya kualitas kader dipengaruhi oleh banyak faktor. Pasca orde baru, misalnya, krisis multidimensi yang terjadi di masa transisi orde baru-reformasi telah merambat ke berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk perkembangan organisasi kemahasiswaan. Artinya, tidak hanya HMI yang mengalami problema tersebut. Yang jelasnya, kondisi yang dialami oleh kader masa lalu jauh berbeda dengan kondisi yang dihadapi oleh kader saat ini. Oleh karena itu, HMI mesti bersifat adaptif terhadap kebutuhan dan tuntutan zaman. Dalam hal ini, HMI mesti berani untuk melakukan perubahan di berbagai aspek dengan tetap berlandaskan kepada idealisme HMI yang terangkum dalam tujuan dan misi HMI. Adapun cara yang efektif untuk melakukan perubahan itu adalah melalui pola perkaderan. Artinya pola perkaderan yang berlaku selama ini pun perlu mendapat sorotan sebab pola perkaderan tersebut sangat menentukan maju mundurnya HMI.

Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa pola perkaderan HMI—dalam hal ini perkaderan formal—adalah perkaderan terbaik. Seperti yang pernah dikatakan oleh Abdullah Hemahua, aktivis senior dan alumni HMI MPO, bahwa perkaderan formal HMI adalah perkaderan terbaik yang pernah ada di antara perkaderan organisasi kemahasiswaan lainnya. Akan tetapi sebaik apapun suatu perkaderan yang pernah ada, bukan berarti anti perubahan.
Pada hakekatnya, perkaderan adalah pendidikan. Dalam konsep pendidikan, misalnya, dikenal komponen penting yaitu kurikulum. Agar pendidikan tetap relevan dengan kebutuhan zaman dalam mengembangkan potensi peserta didik, kurikulum mesti melakukan evaluasi dan perubahan untuk perbaikan. Setidaknya perubahan tersebut dilakukan lima tahun sekali. Demikian halnya dengan perkaderan, perubahan juga mesti dilakukan, tentunya yang berkenaan dengan sistem atau pola perkaderan yang diterapkan.

Dalam hal perkaderan formal, misalnya, kerap kali muncul stigma bahwa pasca basic training, kader HMI hebat beroterika dan cerdas intelektualnya. Berkenaan dengan stigma ini, acap kali muncul pengakuan dari para senior bahwa pada masa lalu, ketika melihat mahasiswa berbicara di dalam forum, akan mudah mengetahui apakah dia kader atau tidak. Artinya, cara beretorika kader di depan forum memiliki karakteristik tersendiri. Meski tidak sepenuhnya benar, akan tetapi lembaga perkaderan HMI mesti menjadikan stigma tersebut sebagai masukan yang bersifat konstruktif sehingga dilakukan pengkajian ulang terhadap pola perkaderan yang telah diberlakukan.

Idealnya, pola perkaderan diarahkan untuk membantu pengembangan kepribadian kader secara integral dan komprehensif dengan menyentuh berbagai potensi yang dimilikinya. Tegasnya, pola perkaderan mampu memberikan kontribusi yang berharga dalam pembinaan kader sehingga memiliki multi kecerdasan, baik dalam intelektual, sosial, emosional, terutama kecerdasan religius. Dengan kecerdasan seperti itu, akan terlahir kader yang memiliki lima kualitas insan cita yang tidak hanya berilmu tetapi memiliki kepribadian yang berakhlakul karimah. Itulah potret muslim kaffah yang mesti dituju dan berupaya maksimal untuk meraihnya, sebab HMI adalah organisasi yang berasaskan Islam.

Namun untuk mewujudkan pola perkaderan semacam itu, bukanlah perkerjaan yang mudah. Segala komponen perkaderan mesti mendukung terwujudnya kondisi di atas. Instruktur selaku “pendidik” dituntut mampu menjadi teladan dari berbagai aspek, baik dari segi keilmuan, keimanan, maupun pengamalannya sehingga menjadi motivator dan inspiritor bagi calon kader untuk menjadi insan terbaik. Begitu juga materi yang ditawarkan, tidak hanya berkenaan dengan materi keorganisasian semata, tetapi lebih dari itu diharapkan memperkaya wawasan mereka tentang ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah terutama ayat-ayat qauliyah. Hal ini sangat memungkinkan mengingat bahwa kader HMI berasal dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, dari Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan ada pula dari Perguruan Tinggi Umum (PTU).

Sementara dalam perkaderan nonformal, HMI harus membentuk masyarakat pembelajar (learning society) yang berkesinambungan untuk menindaklanjuti perkaderan formal dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip Islam. Interaksi sesama kader hendaknya terjalin dengan penuh rasa persaudaraan sehingga ada kenyamanan dan ketenangan jiwa saat bersama. Antara yang satu dengan yang lainnya saling memberi dan menasehati sehingga setiap kader memiliki iman, ilmu, dan amal secara integral dan berkualitas.

Jika saja pola perkaderan ditata sebaik mungkin sesuai dengan prinsip-prinsip perkaderan (baca: pendidikan) dalam Islam, niscaya HMI tetap dibutuhkan dan dibanggakan. HMI tidak hanya merekrut orang-orang yang sudah pintar dan berkualitas iman dan amalnya. Lebih dari itu, HMI bisa merekrut orang-orang yang lemah secara intelektual, malas beramal, dan mudah goyah keamanannya lalu dengan perkaderan yang berkualitas mereka berubah ke arah yang lebih baik. Beginilah seharusnya HMI, sesuai dengan falsafah yang terkandung dalam kata “Himpunan”. Lagi-lagi HMI dituntut untuk memiliki strategi yang tepat dalam perkaderannya sehingga perubahan benar-benar terjadi, bukan malah sebaliknya, ketika direkrut anggota kurang berkualitas dan setelah melalui perkaderan tidak terjadi perubahan. Jika hal ini terjadi, jelas akan menambah citra buruk HMI itu sendiri. Semoga saja di usia yang ke-61 ini, HMI tetap berani melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dengan tetap belajar kepada masa lalu untuk menatap hari depan yang lebih cerah. Dengan perubahan itu, formulasi pola perkaderan yang ditawarkan diharapkan mampu mewadahi terbinanya kader sebagai insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur dalam keridhaan Allah SWT. Yakin Usaha Sampai, Amin…



Zikir, Pikir, Mahir

Tidak ada komentar: