Rabu, Juni 04, 2008

Membentuk Kepribadian Rabbani Melalui Asmaul Husna

”Kepribadian rabbani” merupakan istilah yang kerap dikenal dalam literatur psikologi Islam. Istilah ini terdiri dari dua kata, yaitu kepribadian dan rabbani. Kepribadian (personality) merupakan sifat-sifat yang melekat dan terdapat dalam diri seseorang yang sekaligus menjadi karakteristiknya serta berpengaruh terhadap perilakunya. Sedangkan rabbani berasal dari kata rabb yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Tuhan, yaitu dzat yang memiliki, menciptakan, dan memelihara sekalian makhluk-Nya. Dalam konteks ini, istilah rabbani memiliki ekuivalensi dengan istilah Ilahi yang artinya ke-Tuhan-an.

Dengan demikian, kepribadian rabbani bisa dipahami sebagai sifat-sifat atau kepribadian individu yang mencerminkan sifat-sifat ketuhanan (rabbaniyah). Lebih lanjut, salah seorang psikolog muslim, Abdul Mujib, mengemukakan dalam bukunya ”Kepribadian dalam Psikologi Islam” bahwa kepribadian rabbani adalah kepribadian individu yang didapat setelah mentransformasikan asma’ (nama-nama) dan sifat-sifat Tuhan (rabb) ke dalam dirinya untuk kemudian diinternalisasikan dalam kehidupan nyata. Jadi, kepribadian rabbani merupakan salah satu bentuk kepribadian yang ideal dan seyogyanya dimiliki oleh setiap muslim.

Jika kepribadian rabbani dipahami sebagai kepribadian yang mencerminkan sifat-sifat ketuhanan, maka setiap insan mesti meneladani sifat-sifat yang dimiliki Allah. Di sinilah kaitan antara khaliq, makhluk, dan akhlak yang ketiganya memiliki akar kata yang sama yaitu khulq. Manusia sebagai makhluk mesti berakhlak sesuai dengan akhlak Sang Khaliq. Mengenai hal ini, Abdul Mujib juga mengutip hadis yang tidak jelas sanadnya: takhallaquu biakhlaaqillaahi biqadri al-thaaqati al-basyariyyah, artinya: berakhlaklah kamu sebagaimana akhlak Allah, sebatas pada kemampuan kemanusiaan.

Adapun akhlak Allah itu tergambar dalam asmaul husna. Asmaul husna berarti nama-nama baik yang dimiliki oleh Allah. Jika ditinjau dari segi etimologi, asma’ul husna terdiri atas dua kata, yaitu al-asma’ dan al-husna. M. Quraish Shihab dalam tafsirnya ”Al-Mishbah” menyebutkan bahwa Al-asma’ merupakan bentuk jamak (plural) dari kata al-ism, yang secara etimologi sering diartikan dengan ”nama”. Kata al-ism ini memiliki akar kata yang sama dengan assimah yang berarti ”tanda”, atau assumu yang berarti ”tinggi”. Dari akar kata ini maka dapat dipahami bahwa nama merupakan tanda sesuatu yang memiliki martabat yang tinggi. Sedangkan kata al-husna merupakaan bentuk mu’annas (menunjukkan jenis perempuan), sebab ia bergandengan dengan kata al-asma yang merupakan bentuk jamak taksir. Dalam kaedah bahasa Arab, setiap jamak taksir dikategorikan mu’annas sehingga kata yang mengikutinya pun menjadi mu’annas seperti al-husna ini. Adapun kata al-husna berasal dari kata al-ahsan yang berarti terbaik (bentuk superlatif). Jadi, penyifatan nama-nama Allah SWT dengan kata yang berbentuk superlatif (tafdhil ) menunjukkan nama-nama tersebut bukan saja baik, tetapi juga yang terbaik bila dibandingkan dengan nama-nama baik lain. Oleh karena itu, asma’ul husna menunjukkan nama-nama Allah itu amat sempurna dan tidak ada cela atau kekurangan walau sedikitpun.

Nama-nama baik yang termasuk asmaul husna itu diperoleh melalui al-Qur’an dan hadis nabi. Sangat populer dikenal bahwa asmaul husna tersebut berjumlah 99. Seperti dalam satu hadis yang berbunyi: Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, siapa yang ”ahshaha” (mengetahui, menghitung, memeliharanya), maka dia masuk surga. Allah ganjil (Esa) senang pada yang ganjil” (H.R. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dll).

M. Quraish Shihab juga menyebutkan bahwa beragam penafsiran para ulama tentang kata ”ahshaha”. Ada yang menafsirkan dengan memahami maknanya dan mempercayainya, menghafal, memahami makna dan mengamalkannya, atau ada pula yang menafsirkan mampu melaksanakan kandungan-Nya serta berakhlak dengan nama-nama itu (lihat tafsir al-Mishbah, Jilid 3 hal.318).

Perlu ditegaskan bahwa jumlah 99 bukan berarti Allah itu ada 99. Jumlah yang banyak itu hanya "nama" atau "sifat", bukan "dzat" Allah, sebab Allah itu juga disebut bersifat "al-Wahdaniyyah" yaitu Esa, atau disebut juga dalam asma' al-husna dengan nama "al-Wahid" atau "al-Ahad', yang berarti Yang Maha Esa. Jadi bilangan 99 merupakan bukti akan kesempurnaan Allah.

Kembali kepada persoalan di atas, kepribadian rabbani dapat dibentuk dengan menedani akhlak Sang Khaliq sementara akhlaq Sang Khaliq itu adalah asmaul husna. Meneladani sifat-sifat Allah yang terkandung dalam asma’ul husna bukan berarti menandingi Tuhan, tetapi berupaya untuk membentuk pribadi yang memiliki karakter mulia sebagaimana yang diinginkan oleh Allah Yang Maha Mulia.

Jadi, meneladani atau berakhlak sesuai dengan asmaul husna itu bukanlah sesuatu yang mustahil (impossible). Sebab sifat-sifat yang baik pada dasarnya menjadi fitrah manusia itu sendiri. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia tidak hanya diciptakan dalam bentuk jasad saja, tetapi esensi manusia itu sendiri adalah ruh yang ditiupkan kepadanya. Disebutkan dalam surat al-Sajadah/32: 9: Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.

Dalam kajian psikologi Islam sering diungkapkan bahwa bahwa ruh hanya memiliki potensi positif. Potensi negatif (fujur) muncul ketika ruh bergabung dengan jasad. Salah satu potensi positif yang terdapat dalam ruh itu adalah asmaul husna. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Hasan Langgulung dalam karyanya ”Peralihan Paradigma Pendidikan Islam” bahwa ruh manusia memiliki potensial asmaul husna seperti milik-Nya, meskipun kepemilikan manusia itu bersifat nisbi, relatif, atau temporal. Hal ini dimaklumi karena kepemilikan itu pada hakekatnya semata-mata pemberian Allah Yang Maha Memiliki.

Oleh karena itu, untuk menedaninya, perlu pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap sifat-sifat Allah yang terkandung dalam asma’ul husna tersebut. Ketika dipahami Allah memiliki nama al-Rahman (Yang Maha Pengasih) maka kita berupaya menginternalisasikan sifat tersebut sehingga kita mengasihi sesama manusia dan mengasihi makhluk lainnya. Ketika dipahami Allah memiliki nama al-Wahhab (Maha Pemberi), maka kita mesti bersifat dermawan, mudah memberi terutama kepada orang yang membutuhkan. Ketika dipahami Allah memiliki nama al-’Afuw (Maha Pemaaf), maka kita mesti menjadi pemaaf bagi sesama, sekalipun kepada orang yang telah menzhalimi. Ketika Allah dipahami bernama al-Bari’ (Maha Mengadakan dari Tiada), maka kita harus bersifat kreatif dalam menjalankan profesi masing-masing. Ketika Allah dikenal sebai al-Haq (Mahabenar), maka kita mesti bersifat benar dengan memperjuangkan kebenaran itu sendiri dan mencegah kebatilan. Begitu seterusnya. Dengan demikian, terbentuknya kepribadian rabbani tidak sekedar menghafal asmaul husna, namun perlu upaya optimal dalam meneladani akhlaq Allah yang terkandung pada asmaul husna. Kemudian diiringi dengan kepasrahan hati memohon pertolongannya agar diberikan kemampuan untuk mentransformasi sifat-sifat mulia tersebut untuk diinternalisasikan dalam kehidupan nyata.

Permohonan tersebut sangat efektif dilakukan dengan menyebut nama-namanya yang baik sebagaimana yang terkandung dalam asmaul husna itu lalu menyesuaikannya dengan jenis permohonan. Firman-Nya: Hanya milik Allah asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Qs. al-A’raf/7: 180). Ya Allah Ya Hadi, Ya Qawiy, berilah kami petunjuk dan kekuatan agar mampu membentuk diri kami menjadi pribadi yang rabbani, amin...

4 komentar:

Ihsan Zontaq mengatakan...

bapak!!!! dah gantwng, berpendidikan, beriman lagi.
Terus brkarya ya.....!
Pak.............

Muhammad Kosim mengatakan...

makasih ananda... Ihsan juga harus banyak belajar dan lebih pintar dan lebih sukses dari Bpk, okey

Unknown mengatakan...

ass...
bapak !!! gmn kbarnya pak ???
ciee dah punya blog pak...
topiknya bagus pak..
kpan ni pak keluar topik baru ...request pak ttg israel, gazha, dan indonesia di mata mukmin

nci mengatakan...

mantep tulisannya . terima kasih sudah memberikan ilmu melalui tulisannya