Kamis, Juni 05, 2008

Tanggungjawab Guru dalam Mendidik Akhlak Siswa

Oleh: Muhammad Kosim LA

Salah satu persoalan bangsa yang krusial dewasa ini adalah persoalan akhlak. Membudayanya KKN baik di kalangan birokrat maupun masyarakat bawah, menjamurnya media pornografi dan pornoaksi, konflik SARA yang mengancam disentegrasi bangsa, serta kasus illegal logging dan pekerjaan ilegal lainnya adalah sekelumit dari persoalan akhlak bangsa yang sedang dihadapi oleh negara yang sudah "merdeka" ini. Banyak kalangan yang menilai bahwa munculnya perilaku tersebut merupakan hasil dari pendidikan masa lalu. Di bidang pendidikan sendiri, tak jarang guru Agamalah yang dikambinghitamkan, sebab materi yang diajarkannya banyak menyangkut tentang akhlak.

Pendidikan memiliki peranan yang sangat besar dalam membentuk kepribadian setiap manusia. Pendidikan merupakan proses pengembangan potensi peserta didik sehingga menjadi pribadi yang paripurna (insan kamil). Salah satu indikator insan kamil tersebut adalah setiap peserta didik melahirkan akhlakul karimah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa ada tiga lembaga pendidikan yang turut berperan dalam mengembangkan potensi tersebut, yaitu pendidikan formal, informal, dan non formal, masing-masing diwakili oleh sekolah, keluarga, dan lingkungan atau masyarakat. Dengan demikian sekolah sebagai lembaga pendidikan formal turut bertanggung jawab dalam mendidik akhlak setiap peserta didiknya. Itu sebabnya, ketika muncul perilaku negatif (akhlak mazmumah) di tengah-tengah masyarakat, maka salah satu factor yang disorot adalah bidang pendidikan, disamping factor-faktor lainnya.

Tetapi tidaklah tepat jika dikatakan bahwa tanggungjawab mendidik akhlak siswa hanyalah tugas guru agama. Meskipun prinsip-prinsip dasar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu akidah (keimanan), syari'ah (ibadah), dan ihsan (akhlak), bukan berarti pendidikan akhlak hanya menjadi tugas guru agama semata, melainkan tugas semua guru.

Guru dalam Perspektif Pendidikan Islam
Dalam Perspektif pendidikan Islam, guru disebut sebagai abu al-ruh, yaitu orang tua spiritual. Artinya setiap guru, khususnya yang beragama Islam—terlepas apakah dia guru bidang studi agama atau tidak—bertugas dan memiliki tanggungjaab dalam membimbing dan mendidik dimensi spiritual peserta didik sehingga melahirkan akhlakul karimah. Guru membawa misi penyempurnaan akhlak, sebagaimana misi diutusnya Rasulullah Muhammad SAW. Nabi sendiri dengan tegas pernah bersabda: Innama buitstu liutammima makaarima al-akhlaq, artinya sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak (manusia). Lantaran itu, tidak salah jika Ahmad Tafsir mengatakan bahwa posisi guru setingkat di bawah Nabi, sebagaimana yang ia pahami dalam sabda Nabi, al-Ulama'u waratsatu al-Anbiya', (Ulama [menurutnya termasuk guru] adalah pewaris para nabi).

Guru dalam pemahaman seperti ini tidak hanya dibatasi pada guru yang mengajarkan bidang studi keagamaan (keislaman) semata. Sebab, setiap ilmu yang dimiliki oleh setiap guru, baik di bidang sains, sosial dan lainnya pada hakikatnya bersumber dari Yang Maha Esa, yaitu Allah SWT, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Perhatikanlah salah satu firman-Nya: La 'ilmalana illa ma 'allamtana, Tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang diajarkan (Allah) kepada kami.

Karena hakikat ilmu hanya berasal dari Allah, maka setiap ilmu yang adiajarkan mesti melahirkan akhlakul karimah. Dengan demikian setiap ilmu membawa misi pembinaan akhlak, akhlak kepada khaliq maupun akhlak kepada makhluk secara mulia dan terpuji.

Amanah UUD 1945 dan UU Sisdiknas
Selain dari tugas dan tanggungjawab guru dalam perspektif pendidikan Islam, Undang-undang yang berlaku di Indonesia sebagai landasan yuridis formil dalam segala aspek kehidupan bangsa, termasuk aspek pendidikan, secara implisit juga mengamanahkan kepada guru untuk mendidik akhlak peserta didik. Dalam UUD 1945 Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31 ayat (3) termaktub: "Pemerintah mengusahakan dengan menyelenggaraan satu system pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang."

Dari pasal di atas dapat dipahami bahwa akhlak mulia menjadi salah satu indikator utama, disamping iman dan takwa dalam mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagaimana yang tertulis dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 itu sendiri. Lebih lanjut amanah UUD 1945 itu dituangkan dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Sisdiknas, pasal 3 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Lagi-lagi dalam ini ditegaskan bahwa salah satu tujuan pendidikan nasional adalah mendidik akhlak mulia.

Karena mendidik akhlak mulia menjadi salah satu tujuan pendidikan nasional, maka semua guru sebagai pendidik mesti mengarahkan proses pembelajaran yang dilakukannya ke tujuan pendidikan yang tertinggi dalam Sisdiknas di atas. Hal ini juga ditegaskan dalam UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 6 bahwa "kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional…".

Berdasarkan dua pandangan di atas—guru dalam perspektif Islam dan amanah UUD 1945—maka setiap guru dituntut untuk berperan aktif dalam mendidik setiap akhlak siswanya. Setidaknya akhlak itu berkenaan dengan mata pelajaran yang diasuh oleh guru tersebut, sehingga guru agama tidak lagi dikambinghitamkan. Misalnya, ketika seorang anak—yang juga siswa—diberikan orangtuanya uang sebesar Rp10.000,00 untuk membeli seliter beras seharga Rp8.000,00 si anak hanya mengembalikan uang Rp1000,00. Dalam kasus ini, yang dipersoalkan bukan guru agama saja, tetapi yang lebih dipersoalakan adalah guru matematika, sebab 10.000 – 8.000 = 2.000, lalu kenapa si anak hanya mengembalikan Rp1000,00?
Jadi, guru matematika bertanggungjawab dalam mendidik akhlak siswanya agar tidak curang dalam takaran; guru bahasa bertanggungjawab mendidik akhlak siswanya dalam berbicara, sehingga tidak mengucapkan kata-kata kotor (mencarut); guru IPA bertanggungjawab mendidik akhlak siswa agar tidak melakukan pencemaran terhadap alam; demikian juga untuk guru-guru bidang studi lainnya akan bertanggungjawab dalam mendidik akhlak peserta didiknya, setidaknya yang berhubungan dengan bidang studi yang diasuhnya.

Untuk itu setiap guru diharapkan mampu melakukan pendekatan keagamaan dan pendekatan integral—dalam konteks keagamaan—ketika melakukan proses pembelajaran kepada siswanya, khususnya guru yang beragama Islam berhadapan dengan peserta didik yang beragama Islam. Artinya setiap materi yang diajarkan dikaitkan dengan pemahaman agama. Sebab secara garis besar, al-Qur'an telah memberi kerangka dasar untuk seluruh bidang ilmu pengetahuan. Itu sebabnya para ilmuan muslim—baik di ilmu bidang keislaman maupun ilmu bidang umum—banyak yang lahir di masa kejayaan Islam pada masa pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah. Keberhasilan itu tentunya tidak terlepas dari upaya mereka dalam mengintegrasikan antara ilmu umum dengan ilmu agama.

Ini bisa dilakukan mengingat setiap guru juga memiliki pemahaman keagamaan, sebab ia telah belajar bidang studi Pendidikan Agama Islam di setiap jenjang pendidikan yang pernah ia lalui. Kemudian hal ini juga sangat relevan dilakukan oleh lembaga pendidikan yang ada di Sumatera Barat, mengingat penduduk Sumatera Barat mayoritas muslim. Terlebih lagi di daerah ini dikenal falsah Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah. Kemudian kebijakan pemerintah di tingkat kota/kabupaten pada umumnya memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan akhlak ini. Seperti halnya pemerintah kota Padang, kabupaten Pasaman, Solok, Bukittinggi, Padangpanjang, dan lainnya mengeluarkan kebijakan mewajibkan setiap siswa berpakain muslim.

Selain dari pendekatan keagamaan, setiap guru dituntut untuk melakukan metode keteladanan. Persoalan mendidik akhlak siswa akan sulit—kalau tidak mustahil—berhasil tanpa keteladanan. Keberhasilan Rasulullah sendiri dalam menjalankan misinya untuk menyempurnakan akhlak umatnya tidak terlepas dari metode keteladanan yang ia terapkan. Mengenai hal ini, Allah menerangkan lewat Firman-Nya: "Sesungguhnya dalam diri Rasulullah (Muhammad) itu terdapat uswah (keteladanan) yang baik" (QS. Al-Ahzab: 21).

Implikasi dari keteladanan ini, maka guru yang beragama Islam tersebut harus konsisten dan komitmen (istiqomah) dalam menjalankan syari'at Islam. Tanpa menjalankan syari'at Islam secara benar, mustahil ia akan mampu melahirkan akhlak al-karimah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Umpamanya, ketika diberlakukan peraturan siswa wajib mengenakan pakaian muslim/muslimah, maka setiap guru juga dituntut untuk berpakaian muslim/muslimah dengan baik dan benar.Jika semua guru dalam suatu lembaga pendidikan (sekolah) secara bersama-sama melaksanakan tanggungjawabnya dalam mendidik akhlak siswa sesuai dengan ajaran Islam, maka out came dari sekolah tersebut akan melahirkan SDM yang berkualitas, baik kualitas intelektual, emosional maupun spiritual secara integral. Generasi inilah yang akan mampu melakukan perubahan dalam mewujudkan bangsa yang berperadaban, diberkahi dan senatiasa memperoleh ampunan dari Allah SWT. Semoga saja!

Tidak ada komentar: