Rabu, Juni 04, 2008

Kewajiban Asasi Manusia

Oleh: Muhammad Kosim LA, MA

Antara hak dan kewajiban bagaikan dua sisi mata uang yang tidak mungkin bisa dipisahkan. Anehnya, orang lebih banyak menuntut hak dari pada melakukan kewajiban. Maka dikenallah istilah Hak Asasi Manusia (HAM), yang kerapkali diteriakkan, diperjuangkan, dan dibela mati-matian sehingga para pejuang dan pembela HAM tersebut sering disebut “aktivis HAM”. Sementara Kewajiban Asasi Manusia nyaris terabaikan. Padahal, antara keduanya mesti seimbang, ketika menuntut hak, maka kewajiban jangan ditinggalkan.

Istilah Kewajiban Asasi Manusia memang langka terdengar. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, dalam kehidupan di dunia yang fana ini, manusia memiliki kewajiban yang asasi. Setidaknya, ada dua kewajiban asasi manusia, yaitu menyembah/beribadah kepada Allah serta menjalankan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi ini.

Kewajiban yang pertama dan paling utama adalah menyembah Allah SWT. Dalam hal ini posisi manusia sebagai abd Allah (hamba Allah), yang mesti menghambakan diri sepenuhnya kepada-Nya dengan cara melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala dilarang-Nya. Inilah kewajiban asasi manusia, sebab hidup beragama dengan ketundukan dan kepatuhan kepada Allah merupakan fitrah manusia. Fitrah manusia untuk beragama ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Rum/30: 30, yaitu: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Dengan demikian, tidak satu pun di antara manusia yang tidak memiliki rasa bertuhan. Itulah sebabnya Murthada Mutahari menyebutkan bahwa jika ada orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan, berarti dia adalah manusia abnormal, sebab ia mengingkari fitrahnya sebagai manusia yang beragama dan bertuhan.

Selain dari naqli di atas, sejarah juga membuktikan bahwa manusia senantiasa mencari Tuhan untuk disembah. Sebut saja misalnya manusia primitif, di antara mereka ada yang menganut paham animisme dengan meyakini roh para leluhurnya sebagai penguasa alam semesta. Mereka pun memuja roh tersebut dengan melakukan berbagai kegiatan ritual yang diyakini secara turun-temurun. Ada pula yang menganut paham dinamisme, yaitu memuja benda-benda keramat atau benda yang dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam mengatur alam semesta, termasuk mengatur kehidupan mereka sendiri. Kelompok paham ini pun pada gilirannya melakukan berbagai kegiatan ritual untuk memuja dan menyembah benda-benda yang ia yakini sebagai tuhannya.

Sejarah ini membuktikan bahwa manusia primitif sekalipun meyakini adanya Tuhan sebagai penguasa dan pelindung alam semesta. Hanya saja, keimanan mereka sesat dan menyesatkan sebab Rasul tidak mereka temukan. Tampaknya, upaya pencarian Tuhan tersebut—meskipun sesat—merupakan refleksi dari fitrah dirinya yang cenderung mencari Tuhan dan menyadari akan kelemahannya sebagai manusia yang tidak bisa berbuat sekehendak sendiri, tetapi diatur oleh Yang Maha Mengatur.

Menyadari akan adanya potensi dasar (fitrah) manusia untuk bertuhan, maka menyembah Tuhan merupakan Kewajiban Asasi bagi manusia. Oleh karena itu, Allah SWT menyeru kepada manusia agar menyembah Allah yang telah menciptakannya dan berkuasa sepenuhnya atas hidupnya. Firman-Nya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah/2: 21)

Konsekuensi dari kewajiban menyembah Allah tersebut adalah dengan senantiasa melaksanakan segala apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kewajiban seorang hamba laksana kewajiban budak terhadap majikannya yang senantiasa siap melakukan setiap perintah kepada budak tersebut, kapan dan di manapun. Namun konsep hamba antara manusia dengan Tuhan, tentunya berbeda dari konsep perbudakan antara manusia dengan manusia. Perbudakan antara manusia dengan manusia merugikan salah satu pihak dan menguntungkan di pihak lain. Sementara penghambaan manusia kepada Allah justru menguntungkan bagi manusia itu sendiri, karena penghambaan tersebut akan menyelamatkan dan membahagiakan hidupnya di dunia dan akhirat.

Dengan demikian, tidak ada satu alasan pun yang membenarkan manusia itu ingkar kepada Allah. Dan tidak pula ada alasan untuk menolak perintah-Nya, sebab apa pun bentuk perintah tersebut pasti mengandung manfaat dan menguntungkan. Hanya saja kadang manusia dikuasai oleh hawa nafsunya sehingga perintah itu terasa berat dan cenderung melakukan larangan-Nya yang seolah nikmat dan lezat. Padahal, kenikmatan tersebut pasti sesaat dan di hari kelak pasti memperoleh azab.

Jika saja manusia itu bijak dan arif dalam memahami setiap perintah tersebut, maka ia akan senantiasa menjalankan segala perintah-Nya tanpa merasa berat dan protes terhadap apa yang diperintahkan. Itulah yang mestinya dilakukan oleh seorang hamba. Dengan begitu, posisi manusia sebagai hamba bersifat pasif, yaitu siap diperintah oleh Allah SWT.

Kewajiban asasi kedua adalah melaksanakan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Kewajiban ini juga berangkat dari penjelasan Allah dalam al-Qur’an, seperti surat Fatir/35 ayat 39: Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.

Khalifah fil ardhi menunjukkan bahwa manusia adalah mandataris Allah di muka bumi. Satu sisi, posisi ini membanggakan karena derajat manusia menjadi lebih mulia di antara makhluk Allah lainnya. Namun, di sisi lain posisi ini merupakan amanah yang mesti dipikul dan dipertanggungjawabkan, jika tidak maka azab pulalah yang akan diperoleh. Dengan demikian, menjalankan tugas sebagai khalifah fil ardhi juga merupakan kewajiban asasi bagi setiap manusia.

Jika dalam konsep hamba manusia itu bersifat pasif, maka dalam konsep khalifah fil ardhi, manusia tersebut bersifat aktif. Maksudnya, manusia mesti berkarya secara kreatif dan produktif dalam memelihara dan menciptakan keseimbangan di alam ini. Ia mesti menjalin hubungan baik dengan sesamanya, juga antara dirinya dengan alam sekitarnya. Ia tidak boleh merusak alam ini. Boleh dimanfaatkan, tetapi bukan dieksploitasi sedemikian rupa sehingga lebih banyak menimbulkan kemudratan dari pada manfaat. Jadi, kewajiban asasi manusia untuk menyembah-Nya bukan membuat manusia itu hanya pasif dengan menyibukkan diri beribadah dalam arti khusus, tetapi ia memiliki kewajiban asasi berikutnya yang membuatnya aktif, yaitu menjalankan tugasnya sebagai khalifah fil ardhi yang pada hakekatnya juga sebagai bentuk perintah-Nya yang tidak dapat diabaikan.Dua kewajiban asasi manusia di atas mestinya dijalankan sebagaimana adanya.

Cara yang terbaik untuk memenuhi kewajiban itu adalah kembali kepada ajaran Islam yang selamat lagi menyelamatkan dengan meyakini dan mengamalkan sepenuhnya. Islam mengajarkan bagaimana seseorang menghambakan diri kepada Allah dalam artian khusus, dan bagaimana pula menjalankan perintah-Nya untuk menjalankan peran dan tugasnya sebagai khalifah fil ardhi. Jika saja kedua kewajiban asasi ini dipenuhi, berbagai hak yang diinginkan pun niscaya akan tercapai. Insya’ Allah.

Tidak ada komentar: