Senin, Juni 09, 2008

Islam, Demokrasi, dan Kekerasan

Oleh: Muhammad Kosim LA, M.A.
(Guru PAI SMP N 8 Padang)

“Kekerasan” kembali ramai diperbincangkan. Naiknya harga BBM dan ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap aliran Ahmadiyah menambah daftar panjang aksi kekerasan di negeri yang belajar demokrasi ini. Berbagai demonstrasi digelar, tindak kekerasan pun tak terhindarkan. Kekerasan itu dapat terjadi dalam bentuk kontak fisik, merusak bangunan, membakar kendaraan, hingga kepada kata-kata kasar penuh dendam. Ironisnya, kekerasan tersebut justru dilakukan oleh sekelompok umat Islam, ada yang dalam bentuk ormas (organisasi kemasyarakatan), bahkan ada pula yang dari kalangan terpelajar seperti mahasiswa.

Tampaknya aksi kekerasan yang terjadi turut dipicu oleh pandangan masyarakat terhadap demokrasi. Demokrasi selalu diidentikkan dengan kebebasan, sebab demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena rakyat yang berkuasa, maka rakyat bisa berbuat apa saja, termasuk tindakan kekerasan. Ketika penguasa dianggap salah, rakyat akan marah dan kemarahan tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk kekerasan. Padahal tindakan kekerasan yang mereka lakukan juga bisa menjadi suatu kesalahan.

Kebebasan memang menjadi bagian penting dalam demokrasi. Tetapi kebebasan tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai moral, etika, dan kebenaran. Apa jadinya bangsa ini jika demokrasi diidentikkan dengan kebebasan tanpa etika? Bukan menjadi bangsa yang beradab, malah menjadi bangsa yang biadab.

Islam dan Demokrasi
Islam sebagai agama yang cinta damai pada dasarnya tidak mengenal istilah “demokrasi”. Namun esensi dari demokrasi juga menjadi doktrin Islam yang dikenal dengan istilah “musyawarah” yang juga melibatkan banyak orang. Hanya saja musyawarah bukanlah suara terbanyak sebagaimana yang biasa dipraktekkan dalam berdemokrasi. Sebab tidak ada jaminan suara terbanyak memperjuangkan kebenaran. Bisa jadi sekelompok orang yang berwenang bersekongkol mengambil dan memutuskan kebijakan berdasarkan kepentingan pribadi mereka.
Prinsip “musyawarah” dalam Islam berdasarkan kepada nilai-nilai kebenaran dan berlandaskan kepada iman. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diambil dalam musyawarah akan diikuti dengan prinsip tawakal kepada Allah SWT dengan harapan keputusan tersebut mendatangkan manfaat bagi bangsa dan negaranya. Firman Allah: …dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Qs. Ali Imran/3: 159).

Karena esensi demokrasi memiliki persamaan dengan musyawarah, maka umat Islam pun banyak yang dapat menerima konsep demokrasi. Hanya saja demokrasi tersebut tetap berlandaskan kepada nilai-nilai kebenaran. Demokrasi yang diterima umat Islam bukanlah bebas berbuat tanpa nilai. Demokrasi bukan bersikap apriori terhadap kejahatan yang terjadi di sekelilingnya. Demokrasi juga bukan bersikap semena-mena terhadap orang yang melakukan kesalahan. Demokrasi tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, perdamaian, dan kebaikan. Tegasnya, demokrasi yang dapat diterima tidak dipertentangkan dengan prinsip-prinsip kebenaran yang lain. Dengan demikian, sikap demokratis yang diwujudkan dalam bentuk kekerasan adalah suatu kekeliriuan.

Islam dan Teologi Anti-Kekerasan
Selain dari pemahaman yang salah terhadap demokrasi, pemahaman yang kurang tepat terhadap ajaran agama juga bisa menimbulkan kekerasan. Akibatnya umat Islam yang melakukan kekerasan akan memperkuat stigma orang-orang di luar Islam yang menyatakan bahwa Islam identik dengan kekerasan.

Ajaran Islam yang sering memicu tindak kekerasan umat adalah konsep jihad dan amar makruf nahi munkar. Dalam al-Qur’an sendiri ditemukan beberapa ayat yang menyatakan ”perang” terhadap orang-orang kafir dan perang terhadap perilaku kekafiran sebagai begian dari doktrin jihad. Sedikitnya ada 20 ayat yang sering dijadikan landasan untuk mengangkat senjata atau berperang bagi seorang muslim. Ayat-ayat tersebut dapat dilihat dalam Surat: Al-Baqarah/2: 190-193, 216, 224, Ali Imran/3: 157-158, 169, 195, An-Nisa/4: 101, 74-75, 89, 95, Al-Maidah/5: 36, 54, Al-Anfal/8: 12-17, 59-60, 65, At-Taubah/9: 5, 14, 29, Muhammad/47: 4, dan Ash-Shaff/61: 4.

Mestinya ayat tersebut tidak dipahami secara parsial dengan mengenyampingkan ayat-ayat lain. Dalam kondisi tertentu umat Islam memang harus berperang, sebagaimana yang telah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. Tetapi peperangan itu bukan memaksa orang untuk masuk Islam, juga tidak memaksa orang mengikuti kebenaran yang kita yakini.

Setidaknya jihad dalam bentuk peperangan dapat dilakukan karena dua hal: pertama mempertahankan diri (self defense) jika diserang oleh umat lain. Hal ini dapat dilihat dalam surat at-Taubah ayat 13: Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?. Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman

Kedua, melawan terhadap tekanan (protection from oppression) yang dilakukan umat lain. Hal ini juga dilakukan sebagai upaya untuk melindungi diri dari kejahatan-kejahatan pihak lain yang telah sengaja memusuhi dan menyerang umat Islam (baca surat al-Baqarah ayat 190-195).

Jadi, kekerasan dalam bentuk perang bukan dimulai oleh umat Islam sendiri. Begitu pula dalam sejarah perjungan nabi Muhammad SAW, perang badar, uhud, dan lainnya bukanlah umat Islam yang mengundang kaum kafir, akan tetapi sebaliknya. Umat Islam justru diperintahkan untuk tetap berbuat baik kepada siapa pun, termasuk kepada non-muslim yang dapat hidup rukun. Mengenai hal ini, Allah juga berfirman dalam surah Al Mumtahanah ayat 8 dan 9 ”Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam agama dan tidak mengusir kamu dari kampung-kampungmu sebab Allah senang kepada orang-orang yang adil. Allah hanya melarang kamu bersahabat dengan orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari kampung-kampungmu dan saling bantu-membantu untuk mengusir kamu ,barangsiapa bersahabat dengan mereka maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.

Selain dari pemahaman yang benar terhadap makna konsep perang dalam al-Qur’an, juga perlu dilakukan kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Islam sebagai agama yang mengajarkan teologi anti-kekerasan. Dalam surat al-Anbiya’ ayat 107 disebutkan bahwa nabi Muhammad SAW (baca: Islam) diutus untuk rahmat bagi segenap alam (rahmatan lil-’alamin). Salah satu makna rahmat itu adalah kebaikan atau kedamaian. Artinya kehadiran Islam di muka bumi ini untuk kebaikan dan kedamaian alam ini. Jadi Islam sangat menyayangi alam sekitarnya. Jangankan kepada manusia, kepada binatang pun Islam mengajarkan tidak memperlakukannya secara kasar. Jika ingin menyembelih hewan, maka sembelihlah dengan pisau yang tajam; jika ingin memeliharanya, maka peliharalah dengan memenuhi hak-haknya; jika ingin mengendarainya, maka tunggangilah dengan cara yang baik, begitu seterusnya.
Al-Qur’an juga mengajarkan agar tidak melakukan pengrusakan di muka bumi. Firman-Nya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Qs. Al-A’raf/7: 56). Oleh karena itu jangan melakukan kekerasan, apalagi dalam bentuk pengrusakan bangunan, membakar kendaraan, dan aksi-aksi kekerasan dan pengrusakan lainnya.

Al-Qur’an juga tidak membenarkan berkata-kata kasar, akan tetapi berkatalah dengan lemah lembut, termasuk dalam mengajak orang untuk melakukan kebaikan. Perhatikanlah firman Allah: ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka.” (Qs. Ali Imran/3: 159).

Oleh karena itu, jika menyampaikan aspirasi janganlah berkata-kata kasar, kotor, dan penuh kebencian dan dendam. Sebaliknya sampaikanlah dengan lemah lembut. Lemah lembut bukan berarti takut; anti kekerasan bukan berati lemah. Kemaksiatan memang harus dilawan, bukan dengan cara kekerasan, tetapi dengan cara yang ”tegas”. Hal inilah yang dikenal dalam konsep amar ma’ruf nahi munkar.

Akan tetapi konsep amar ma’ruf nahi munkar juga bisa mendatangkan pemahaman keliru sehingga mengidentikkannya dengan kekerasan. Hadis yang terkenal mengenai nahi munkar adalah: Man ra-a minkum munkaran falyughaiyirhu biyadih, faman lam yastathi’ fabilisanih, faman lam yastathi’ fabiqalbih, wahua adh’aful iman. Artinya: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran maka tegahlah dengan tangan, kalau ia tidak sanggup (berbuat demikian), maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya, dan kalau tidak sanggup (pula), maka hendaklah ia melakukan dengan hatinya (mendo’akan), yang demikian adalah selemah-lemah iman.” (H.R. Ahad bin Hanbal, Muslim dan Ashab as-Sunan (para ahli hadis penyusun kitab hadis Sunan).

Jika hadis ini dipahami secara tekstual, maka cara nahi mungkar yang utama adalah dengan cara kekerasan, yaitu dengan tangan. Tetapi tidak semua hadis, termasuk ayat, dapat dipahami secara tekstual. Adakalanya yang tertulis mesti dipahami secara kontekstual. Mencegah dengan tangan tersebut bukanlah dimaknai dengan kekerasan, tetapi dengan kekuasaan. Artinya kita harus mencegah kemungkaran dengan kekuasaan yang kita miliki, seorang pemimpin harus mencegah bawahannya dari perilaku kemungkaran, sebab dia berkuasa atas bawahannya; orang tua harus mencegah anaknya dari kemungkaran, sebab orang tua juga berkuasa atas anaknya; seorang suami juga mesti mencegah istrinya berbuat kemungkaran sebab suami berkuasa atas istrinya; begitu seterusnya.

Oleh karena itu, umat Islam harus memahami ajaran Islam itu sendiri secara utuh (komprehensif), jangan sepenggal-penggal (parsial). Berusahalah untuk menebar kebaikan di muka bumi, hindarkan kekerasan, mulai dari cara berbicara yang lemah lembut dan bertindak secara adil di lingkungan terkecil seperti keluarga dan di tempat kerja. Bicara lemah lembut berarti bicara yang tidak menimbulkan kebencian dan dendam, tetapi menyentuh hati orang lain agar sadar dan kembali kepada jalan yang benar. Bertindak adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Boleh berperang jika diserang, melawan jika ditindas, tetapi tetap mengedepankan prinsip kasih sayang dan perdamaian. Artinya perlawanan yang dilakukan semata-mata untuk menegakkan prinsip keadilan dan kedamaian alam sekitar.

Semoga kita senantiasa memperoleh hidayah dari Allah Yang Maha Rahman lagi Rahim.
Ingatlah, rahmat (kasih sayang) Allah jauh lebih luas dari pada murka-Nya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: