Kamis, Juni 05, 2008

Mendidik Anak Shaleh Sejak Mencari Jodoh

Oleh: Muhammad Kosim LA, MA

DAN janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya perempuan buduk mukmin lebih baik daripada perempuan musyrik walau ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman lebih baik daripada orang musyrik walau ia menarik hatimu, mereka mengajak ke nereka, sedang Allah SWT mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (QS. Al-Baqarah: 221).

Ayat di atas menjelaskan bahwa umat yang beriman dilarang untuk menikah dengan orang-orang musyrik, baik bagi mukmin laki-laki maupun perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk membentuk kaluarga bahagia perlu memilih dan menentukan pasangan sebelum menikah. Pilihan pasangan ini juga berkaitan dengan keturunan, yaitu sebagai langkah awal untuk melahirkan anak yang shaleh.

Anak yang shaleh merupakan dambaan setiap orang tua, yaitu anak yang beriman, tekun beribadah, patuh kepada orang tua, dan memiliki akhlakul karimah. Setidaknya kriteria ini ada pada Isma'il, putra Nabi Ibrahim as, dimana sebelumnya nabi Ibrahim bermohon: rabbana hablana minashshalihin, "Ya Allah anugerahkanlah kepada kami anak yang shaleh". Namun untuk melahirkan anak yang shaleh, diperlukan pendidikan dari orang tua. Sebagaimana ayat di atas, maka pendidikan itu dimulai sejak pencarian jodoh.

Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa untuk menikahi perempuan hendaklah mengutamakan agamanya. Sabdanya: Dinikahi perempuan itu karena empat hal, yaitu kekayaan, keturunan, kecantikan, agamanya, maka pilihlah yang mempunyai agama yang kuat, niscaya kamu akan beruntung. (HR. Bukhari dan Muslim).

Agama yang dikemukakan dalam hadis ini bukan hanya sekedar beragama dalam artian formal—sering disebut Islam KTPtetapi lebih dari itu ia komitmen dalam menjalankan ajaran agama tersebut sehingga melahirkan akhlak yang mulia. Dengan sikap keberagamaan yang taat seperti, diharapkan ia mampu melahirkan dan mendidik anak yang shaleh.

Namun, pola hidup materialisme dan pragmatisme kerap kali membuat seseorang mengutamakan kekayaan, keturunan dan kecantikan daripada agama dalam mencari dan menentukan pasangan hidupnya. Cara pandang seperti ini juga turut didorong oleh pandangan masyarakat, dimana ketika pertama kali mendengar seseorang akan menikah, yang ditanyakan adalah "Apa pekerjaannya?", "Siapa dan bagaimana keluarganya?", dan "orangnya cantik/gagah atau tidak?". Sebenarnya, pertanyaan seperti itu tidaklah salah, tetapi hendaknya yang utama dan pertama kali dipertanyakan adalah "Apakah dia taat beribadah atau tidak?", "Akhlaknya baik atau tidak?".

Dengan pasangan yang taat dan berakhlakul karimah besar kemungkinan keluarga ini mampu membina keluarga yang sakinah dan pada gilirannya akan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Sebaliknya, jika hanya harta dan kecantikan yang diutamakan, maka kelak si anak akan mengalami krisis keteladanan. Keluarga semacam ini diperkirakan tidak akan mampu mendidik anaknya menjadi anak yang shaleh.

Di samping itu, dalam proses pencarian jodoh, hendaknya dilakukan dengan cara yang sesuai dengan syari'at Islam. Saat ini, para pemuda biasanya mencari jodoh menjalin hubungan dengan lawan jenisnya, yang dikenal dengan istilah "pacaran". Ironisnya, pacaran dibarengi dengan motivasi nafsu syahwat. Awalnya saling kenal-menganal, lalu berikrar saling mencintai. Ikrar cinta tersebut selanjutnya dibuktikan dengan "kemesraan". Wujud dari kemesraan itu pun beragam, mulai dari duduk berduaan, pegangan tangan, berciuman, berpelukan, bahkan ada yang sampai melakukan hubungan haram, atau "zina".

Anehnya pacaran seperti ini menjadi tren bagi para remaja. Padahal Islam sangat melarang pacaran dalam pengertian di atas. Jangankan berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, apalagi berzina, duduk berduaan dengan lawan jenis yang tidak muhrim saja dilarang oleh Rasulullah SAW. Perhatikanlah sabdanya: Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya, karena sesungguhnya pihak ketiga dari mereka adalah syetan, kecuali bila ia muhrimnya. (HR. Ahmad).

Dalam upaya pencarian jodoh, saling kenal-mengenal (ta'aruf) memang perlu dilakukan. Tetapi ta'aruf tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, yaitu tidak boleh berkhalwat, apalagi bersentuhan mesra sebagaimana yang dipraktekkan oleh orang yang berpacaran di atas. Jika selama ta'aruf tersebut telah membuat hati menjadi yakin bahwa dia pantas dijadikan pasangan hidup, maka hendaklah bermohon kepada Allah SWT agar semakin kuat keyakinan hatinya dengan melakukan shalat istigharah.

Jika telah kuat keyakinannya, maka lakukanlah peminangan (khitbah). Kemudian, bila telah ada kesepakatan antara dua belah pihak, lakukanlah pernihakahan secara sah sebagaimana yang diatur dalam ajaran Islam.

Dalam proses pernikahan, biasanya dilakukan walimah, atau pesta perkawinan, dengan mengundang karib-kerabat untuk memeriahkan pesta tersebut sebagai bentuk "syukuran". Setidaknya ada dua hal yang menjadi tujuan walimah ini, yaitu: pertama, memberitahukan kepada khalayak bahwa kedua mempelai sudah sah menjadi suami istri; kedua, mohon doa restu dari karib kerabat agar kedua mempelai mampu membentuk keluarga yang sakinah dan melahirkan anak-anak yang shaleh.

Karena walimah sebagai bentuk rasa syukur dan do'a, maka acara inimeskipun disesuaikan dengan tradisi atau adat setempatharuslah dilaksanakan secara hak tanpa mencampurnya dengan perbuatan maksiat. Acara walimah yang dibarengi dengan minuman khamar, permainan judi di malam harinya, dan musik seperti organ tunggal dengan artis yang bergoyang seraya memperlihatkan aurat, jelas termasuk perbuatan maksiat. Persoalannya, mungkinkah do'a orang-orang yang bermabukan, orang yang berjudi, dan orang yang berjoged seraya memperlihatkan auratnya di pesta tersebut akan dikabulkan oleh Allah SWT?

Dengan demikian, acara walimah juga mengandung nilai pendidikan untuk melahirkan anak yang shaleh. Di pihak mempelai sendiri, mesti menyadari bahwa acara tersebut mengandung nilai yang sakral. Mereka dituntut untuk berniat melaksanakan pernikahan lebih diutamakan untuk mengharap rahmat dan ridho Allah SWT. Jadi, ketika pelaksanaan pesta tersebut, kedua mempelai diharapkan tetap mengingat dan bersyukur kepada Allah SWT, bukan justru meninggalkan shalat dengan alasan "jika berwudhu' maka dikhawatirkan rusaklah tata rias wajahnya, dan hal ini kan hanya sekali seumur hidup?". Jika alasan ini yang dilakukan, mungkinkah ia akan melahirkan anak yang shaleh di kemudian hari? Mendidik anak yang shaleh sejak pencarian jodoh ini hendaknya menjadi perhatian, baik orang tua maupun para generasi muda sendiri yang sudah memiliki keinginan untuk menikah. Memang tidak ada jaminan ketika pasangan suami istri yang bertakwa akan melahirkan anak yang shaleh, sebab banyak factor yang melatar belakangi berhasil tidaknya mendidik anak yang shaleh. Namun keluarga memiliki peranan yang sangat besar dalam menentukan karakter setiap anak. Kalau kedua orangtuanya tidak beriman, perkembangan sikap keberagamaan si anak jelas akan terhambat. Untuk itu wujudkanlah keluarga yang beriman dengan terlebih dahulu mencari pasangan hidup yang beriman dengan harapan akan melahirkan anak yang beriman pula. Wallahu a'am.

Tidak ada komentar: