Jumat, April 19, 2013

Konsepsi Masyarakat dalam al-Qur’an

Oleh: Muhammad Kosim

Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Bahkan al-Qur'an juga menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia itu bersuku dan berbangsa-bangsa. Dalam rangka mempertahankan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, diperlukan upaya untuk mewujudkan masyarakat ideal dalam ridha Allah SWT.
Potret masyarakat yang ideal yang diisyaratkan dalam al-Qur'an dapat dilihat dari beberapa istilah yang digunakannya, seperti ummah wahidah, ummah wasathan, ummah muqtashidah, khairu ummah, dan baldatun thayyibah.
Ummah wahidah, secara sederhana berarti sekelompok manusia atau masyarakat yang satu (Qs. al-Baqarah/2: 213). Manusia dari dulu hingga kini adalah satu. Allah menciptakan mereka sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan lainnya.
Namun, Allah juga menciptakan mereka dengan beragam perbedaan, baik profesi, karakter, suku, adat, dan sebagainya. Perbedaan itu bisa menimbulkan perpecahan dan permusuhan. Karenanya, Islam mengajarkan agar sesama manusia dapat bersatu, selain kembali kepada fitrah yang hanif, juga bersatu dengan nilai-nilai persaudaraan dan kebaikan.
Ummah wasathan, yaitu masyarakat yang pertengahan, moderat atau masyarakat yang berkeadilan (seperti Qs. al-Baqarah/2: 143). Masyarakat yang adil atau pertengahan dalam term ini menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat tidak cenderung kepada kehidupan materialisme secara berlebihan, akan tetapi berada pada pertengahan dan seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Bahkan, dalam konteks menghadapi perbedaan dengan umat lain, umat Islam senantiasa terbuka, dapat berdialog dan berinteraksi dengan semua pihak secara adil.
Ummah muqtashidah, yaitu masyarakat yang hemat dan tidak berlebih-lebihan (Qs. al-Maidah/5: 66). Mereka adalah segolongan kelompok yang berlaku pertengahan dalam melakukan agamanya, tidak berlebihan juga tidak melalaikan. Mereka senantiasa jujur dan berlaku adil, tidak menyimpang dari ajaran agamanya.
Khairu ummah, berarti umat terbaik atau unggul dan termasuk dalam kategori masyarakat ideal (Qs. Ali Imran/3: 10). Ali Nurdin (2006) menyebutkan bahwa khairu ummah adalah bentuk ideal masyarakat Islam yang identitasnya berupa integritas keimanan, komitmen kontribusi positif kepada kemanusiaan secara universal dan loyalitas pada kebenaran dengan aksi amr ma'ruf nahi munkar.
Baldatun thayyibah yaitu negeri yang berkualitas (Qs. Saba'/34: 15). Jika dilihat konteks ayat di atas, negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur terwujud dari masyarakat yang beriman, taat menjalankan perintah Allah SWT dan senantiasa bersyukur kepada-Nya.
Negeri yang thayyyib adalah negeri yang aman sentosa, melimpah rezekinya dapat diperoleh secara mudah oleh penduduknya, serta terjalin pula hubungan harmonis kesatuan dan persatuan antar anggota masyarakatnya. Pendeknya, inilah masyarakat yang berkualitas.
Sementara kata wa rabbun ghafur mengisyaratkan bahwa satu masyarakat tidak luput dari dosa dan kedurhakaan, meskipun dalam porsi yang kecil. Namun Allah tetap mengampuni mereka dengan keimanan dan ketaatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat secara umum.
Kondisi masyarakat ini juga bisa disebut dengan masyarakat madani, sebagaimana yang pernah terwujud pad masa Nabi Muhammad SAW saat memimpin Madinah al-Munawwarah. Mereka membangun negeri dengan dasar keimanan dan ketakwaan sehingga berkah Allah senantiasa dilimpahkan (Qs. al-A'raf/7: 96).
Potret masyarakat ideal yang digambarkan al-Qur’an itu akan dapat terbentuk dengan upaya berikut. Pertama, setiap mukmin adalah saudara. Tanpa persaudaraan, mustahil masyarakat yang berkualitas dapat ditegakkan. Dengan menyadari ikatan persaudaraan yang ada di antara mereka, maka permusuhan harus dihindari.
Jika ada pertikaian di antara mereka, maka yang lainnya harus tampil sebagai penengah untuk mendamaikan mereka. Al-Qur'an juga menuntun mereka agar tidak saling menghina dan mencari kesalahan antara yang satu dengan lainnya (Qs. al-Hujurat/49: 10-12).
Kedua, setiap anggota masyarakat bertanggungjawab dalam mewujudkan masyarakat yang berperadaban (Qs. ar-Ra’du/13: 11). Dengan kemauan untuk berubah lalu komitmen dan konsisten melakukan perubahan itu, maka perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik akan terwujud.
Ketiga, masyarakat secara kolektif bertanggungjawab terhadap perilaku anggota masyarakatnya secara individual. Jika pada prinsip sebelumnya masing-masing anggota masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban, maka sebaliknya masyarakat secara kolektif juga bertanggung jawab terhadap perilaku anggota masyarakatnya secara individual.
Ketika masyarakat berdiam diri terhadap perilaku anggota masyarakatnya yang bersifat zhalim, maka Allah akan menimpakan adzab yang bukan hanya kepada anggota masyarakat yang zhalim tersebut, akan tetapi adzab itu ditimpakan kepada masyarakat secara kolektif (Qs. al-Anfal/8: 25).
Itu artinya perilaku anggota masyarakat secara individu berdampak kepada masyarakat secara kolektif. Karenanya, masyarakat secara kolektif harus bertanggung jawab pula mendidik anggota masyarakatnya secara individual agar tidak melakukan perilaku yang menyimpang atau yang bersifat zhalim sehingga masyarakat tersebut tetap dalam ridha dan ampunan Allah SWT.
Keempat, menegakkan amar ma'ruf nahi munkar. Dengan adanya tanggungjawab kolektif yang dijelaskan di atas maka al-Qur’an juga memperkenalkan konsep amar ma’ruf nahi munkar (Q.S. Ali Imran/3: 104).
Konsep amar ma’ruf adalah nilai-nilai universal yang dibentuk dan diyakini oleh kelompok masyarakat tertentu dimana keberadaannya tidak bertentangan dengan ayat-ayat Allah. Nilai-nilai kebenaran yang telah disepakati ini harus diperjuangkan sehingga digunakan kata ”menyuruh” dalam ayat di atas. Begitu pula ”nahi munkar” juga mesti ditegakkan mengingat perbuatan tersebut akan merugikan, tidak hanya bersifat perorangan, akan tetapi dapat merugikan masyarakat sekitar.
Amar ma’ruf nahi munkar bukanlah suatu aktivitas yang anarkis, akan tetapi sebagai upaya untuk menegakkan kebenaran yang pada dasarnya amat dibutuhkan oleh manusia. Amar ma’ruf nahi munkar ini bukan memaksakan ajaran agama, tetapi seperti yang telah disinggung di atas, ia menyangkut dengan kebenaran yang diyakini dan disepakati oleh kelompok masyarakat tersebut.
Kelima, saling menasehati dan tolong-menolong (Qs. al-'Ashr ayat 1-3 dan al-Maidah/5: 2). Menurut Hamka, kata watashaubil haqqi dan watashaibis Shabri dalam akhir ayat al-Ashar lebih tepat diartikan sebagai wasiat mewasiati, bukan nasehat menasehati. Sebab istilah wasiat lebih dalam tanggung jawabnya dari menasehati.
Hal ini menunjukkan bahwa antara yang satu dengan lainnya dalam komunitas masyarakat tertentu sangat dibutuhkan perannya dalam mengajak kepada kebenaran dan kesabaran. Pentingnya saling menasehat/mewasiati dalam hal kebenaran dan kesabaran ini juga memperkuat keterangan sebelumnya bahwa sesama anggota masyarakat memiliki tanggung jawab menegakkan kebenaran dan mewujudkan masyarakat yang madani.
Keenam, prinsip musyawarah sebagai upaya pemecahan masalah (Q.S. Ali Imran/3: 159). Musyawarah yang dilakukan tidaklah mengutamakan suara terbanyak semata, akan tetapi musyawarah dilaksanakan dengan hati yang ikhlas serta berlandaskan kepada ajaran Islam.
Disinilah perbedaan konsep demokrasi sekuler dengan konsep musyawarah dalam Islam. Dalam demokrasi sekuluer, persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Sebaliknya, dalam syura yang diajarkan dalam Islam, tidak dibenarkan memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Ilahi.
Berbagai persoalan yang menyangkut kebutuhan orang banyak, atau persoalan-persoalan yang bersifat individual tetapi berdampak terhadap lingkungannya, harus dimusyawarahkan dengan bijaksana. Orang-orang yang terlibat dalam musyawarah ini hendaklah mengutamakan orang yang baik akhlaknya serta memiliki keahlian tentang persoalan yang dimusyarahkan. Tanpa akhlak yang baik, maka hasil dari musyawarah tersebut bisa lebih mendatangkan mudharat/azab dari pada manfaat/rahmat.
Ketujuh, prinsip toleransi (Qs. An-Nisa'/4: 1). Sesama manusia, meski berbeda suku, bangsa dan agama, harus senantiasa saling menghargai dan menyayangi. Sebab, semua manusia adalah ciptaan Allah yang asal penciptaannya sama.
Dengan demikian, konsep persaudaraan yang diatur dalam Islam bukan hanya sesama umat Islam, tetapi juga dengan agama lain. Bahkan Islam menegaskan kepada agama lain tidak ada paksaan bagi mereka untuk masuk ke dalam agama Islam (Qs. al-Baqarah/2: 256).
Namun, kerja sama dalam hal aqidah tidak boleh ditoleransi, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Kafirun. Sementara kerja sama di bidang sosial kemasyarakatan, harus dilaksanakan dengan prinsip toleransi tersebut.
Demikianlah beberapa pandangan al-Qur'an yang terkait dengan masyarakat. Jika prinsip-prinsip dasar yang telah dijelaskannya dikaji dan diaplikasikan dalam kehidupan ini, maka terbentuklah masyarakat yang berperadaban tinggi dalam ridha Allah SWT. Maka baca, renungkan dan berjuanglah untuk mengaplikasikannya mulai dari diri sendiri dan keluarga masing-masing. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: