Selasa, April 16, 2013

Malu kepada Allah

Oleh: Muhammad Kosim


“Malu merupakan salah satu sifat yang membedakan manusia dengan hewan”, demikian yang selalu ditanamkan oleh orang-orang tua terdahulu agar anaknya memiliki sifat tersebut. Adanya rasa malu akan membentengi seseorang untuk tidak melakukan perbuatan yang memalukan.
Secara etimologi, bahasa Arab malu adalah al-Hayā’ diambil dari kata al-Hayāh yang berarti kehidupan. Jadi tidak ada kehidupan tanpa rasa malu. Bahkan Ibn Qayyim berkata: “Barang siapa yang tidak memiliki malu dalam dirinya maka dia adalah mayat di dunia dan kesengsaraan di akhirat.”
Sayid Sabiq menegaskan bahwa orang yang tidak memiliki rasa malu, terutama kepada Allah, kepada sesama manusia, ia tidak segan melakukan kemaksiatan, kemungkaran dan melanggar segala etika dan moral yang berlaku dalam masyarakat karena kulitnya sudah menebal dan mata hatinya yang sudah menjadi buta. Dengan begitu, sifat malu akan mendorong seseorang berbuat kebaikan dan menghalangi untuk berbuat dosa, rendah lagi hina.
Namun rasa malu yang ada pada seseorang bisa pula bertentangan dengan fitrahnya. Malu diremehkan orang karena tidak punya atau turun dari jabatan, malu dikatakan “sok suci”, bahkan malu menunjukkan identitas keislamannya.
Malu yang sesungguhnya adalah malu kepada Allah SWT. Jika rasa malu pada Allah tertanam dalam jiwa manusia, maka dengan sendirinya ia juga malu kepada sesamanya jika melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan bertentangan dengan hati nurani manusia.
Karena itu, Rasulullah SAW menyeru para sahabat “Hendaklah kamu benar-benar merasa malu terhadap Allah”. Ia menegaskan bahwa malu kepada Allah itu meliputi tiga perkara. Pertama, “Engkau menjaga kepala dan apa yang dikumpulkannya.” Maksudnya apa yang ada di kepala harus dijaga dari hal-hal yang dimurkai Allah.
Gunakan kemampuan akal untuk berfikir dan bertadabbur agar kian dekat kepada Allah (Qs. Ali Imran/3: 191). Jangan gunakan kemampuan akal untuk berpikir negatif: berprasangka buruk, berpikiran cabul, merekayasa kebenaran, termasuk mengaburkan hakikat perintah (agama) Allah.
Di kepala juga terdapat mata, telinga dan lidah. Orang yang malu kepada Allah tidak akan menggunakan matanya untuk memandang sesuatu yang dilarang-Nya. Telinganya lebih digunakan untuk mendengar perkataan berhikmah dari pada perkataan yang mengandung kebencian, cercaan, makian, termasuk dari perkara ghibah dan fitnah.
Begitu pula lisannya ia gunakan hanya berbicara yang baik, sebab lisan seorang mukmin terhadap orang lain hanya ada dua pilihan: berkata baik atau diam saja. Sementara kepada Allah, lisannya senantiasa berzikir kepada Allah dengan kalimat tahmid, tasbih, tahlil, takbir dan kalimat tayyibah lainnya.
Kepala beserta apa yang dikandungnya harus malu kepada Allah dengan cara tunduk pada aturan-aturan-Nya. Akal pikiran, penglihatan, pendengaran dan perkataan yang dianugerahkan-Nya harus dipelihara dari sesuatu yang diharamkan dan dapat merusak alam sekitarnya.
Tidak pula layak kepala ini tunduk kepada seseorang dengan berharap penuh kepadanya lalu melupakan Allah SWT sebagai Maha Penolong. Orang yang menundukkan kepalanya (berharap sepenuhnya) kepada orang lain maka besar kemungkinan akan menuruti keinginan orang tersebut sebagai balas budi dan semacamnya, meskipun dengan cara melanggar hukum.
Kedua, “menjaga perut dan apa yang dikandungnya.” Keinginan perut yang tidak terkendali sangat rentan membuat seseorang melakukan hal-hal yang memalukan. Demi memenuhi kebutuhan perut, seseorang bisa menghalalkan segala cara untuk memperoleh kebutuhan itu. Korupsi, menipu, curang dalam timbangan, praktik riba, dan sejenisnya dilakukan oleh seseorang karena dorongan syahwat perutnya.
Sejatinya, seorang mukmin harus malu kepada Allah ketika memenuhi kebutuhan perutnya dengan cara yang halal. Jangan sekali-kali mengonsumi makanan yang haram, baik zat maupun cara memperolehnya. Bisa jadi makanan itu bergizi, tetapi ketika ia diperoleh dengan cara yang haram akan menjadi racun bagi perkembangan ruhaniahnya. Sebab makanan yang haram bisa menyebabkan pikirannya cenderung pada hal-hal yang haram.
Tidak itu saja, makanan yang diperoleh dengan cara haram itu bisa ditolak oleh sel-sel darah yang ada dalam tubuh kita sehingga bisa pula menimbulkan ragam penyakit. Sebab, seluruh apa yang ada di langit dan di bumi senantiasa tunduk, bertasbih kepada Allah (Qs. al-Isra’/17: 44). Termasuk jasad manusia, taat kepada sunnatullah. Bisakah kita memerintahkan agar detak jantung dan nafas ini berhenti? Begitu pula sel-sel darah yang mengalir di tubuh ini, senantiasa tunduk dan taat pada sunnatullah sehingga fitrahnya cenderung menolak asupan makanan yang diharamkan.
Karena itu, ingatlah bahwa segala rezeki yang diperoleh di muka bumi ini hanya semata-mata berasal dari Allah. firman-Nya: Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)? (Qs.. Fathir/35: 3).
Ketiga, “mengingat kematian dan kebinasaan.” Orang yang sebenar-benar malu kepada Allah akan senantiasa ingat mati (dzikrul maut). Dalam hadis lain, Rasulullah SAW menegaskan bahwa orang yang paling cerdas adalah mereka yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak mempersiapkan bekal untuk mati (H.R. Thabrani).
Dengan mati, maka cara berpikirnya jangka panjang, berorientasi akhirat. Setiap aktivitasnya di muka bumi ini harus bernilai ibadah sehingga menjadi investasi bagi kehidupan akhirat.
Mengingat mati bukan membunuh daya kreatifitas, sebaliknya dengan mengingat mati akan menjadikan kinerja seseorang lebih berkualitas; bukan menjadikannya statis melainkan dinamis. Sebab setiap yang dilakukan akan diminta pertanggungjawabannya (Qs. al-Isra’/17: 36). Jika ia melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak berkualitas, apalagi menimbulkan kerusakan terhadap keseimbangan alam, melanggar hukum-hukum Tuhan, maka kelak ia akan menuai kesengsaraan di hari pembalasan. Karena itu, ingat mati akan mendorongnya untuk melakukan suatu aktivitas yang berkualitas.
Setelah mengemukakan tiga bentuk malu yang sebenarnya kepada Allah, maka Rasulullah SAW pun bersabda: Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia akan meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa telah melakukan ini, maka dia telah malu terhadap Allah SWT dengan sebenar-benarnya (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Meninggalkan perhiasan dunia bukan berarti tidak peduli terhadap kebahagiaan dunia. Sebab dunia adalah lahan menanam amal. Kebahagiaan dunia yang mengakibatkan kesengsaraan akhirat mesti ditinggalkan. Sebaliknya kebahagiaan dunia yang mendatangkan keselamatan akhirat perlu didapatkan (Qs. al-Qashash/28: 77).
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda: “Sesunggunya sesuatu yang dapat dijumpai oleh manusia dari ucapan para Nabi terdahulu adalah: ‘Bila engkau tidak memiliki rasa malu, lakukan segala sesuatu menurut keinginanmu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibn Majah).
Amru Khalid dalam kitan Akhlaq al-Mu’min menyebutkan ada dua makna hadis di atas. Makna pertama, jika seseorang tidak lagi merasa malu melanggar perintah Allah atau berbuat kerusakan maka berbuatlah sesukamu, tetapi semuanya kelak akan diminta pertanggungjawabannya.
Makna kedua, jika suatu pekerjaan itu benar menurut syara’, sesuai dengan hati nurani dan fitrah manusia, maka lakukanlah perbuatan itu tanpa harus merasa malu terhadap cemoohan dan hinaan dari orang lain. Sebab tidak selamanya kebaikan itu mendapat pujian dan penghargaan dari semua orang.
Sifat malu akan dapat dimiliki seseorang jika dilandasi dengan iman yang kuat. Sebab Rasul bersabda: “Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.” (HR. Hakim dan Ath-Thabrani).
Semoga Allah menuntun kita untuk tetap memiliki rasa malu sehingga perbuatan maksiat yang melanggar hukum, menyakiti sesama insan, dan merusak keseimbangan alam dapat kita hindarkan. Kiranya malu menjadi benteng bagi ruhaniah kita untuk tidak tergoda akan kenikmatan duniawi yang mendatangkan murka Ilahi. Amin.

Tidak ada komentar: