Oleh : Muhammad Kosim
Guru MTsN di Padang
Padang Ekspres • Jumat, 29/03/2013
”Pendidikan Karakter Hanya Slogan”, demikian berita Padang Ekspres, Rabu (27/3). Hal ini be-rangkat dari beragam kasus pelajar yang melanggar hukum sehingga disimpulkan bahwa kenalan pelajar kian meningkat. Berita itu sejatinya bahan renungan bagi pemikir dan praktisi pendidikan yang selama ini mendengungkan pentingnya pen¬didikan karakter di sekolah.
Apalagi bagi pemegang kebijakan di Sumatera Barat, Pendidikan Karak¬ter telah menghabiskan dana miliaran rupiah. Pemerintah Daerah Sumatera Barat telah menetapkan Pergub No. 73 Tahun 2012 tentang “Pendidikan Karakter pada Sekolah/Madrasah di Sumatera Barat”. Bahkan Pemprov Sumbar telah menetapkan satu SMP tiap kabupan/kota sebagai sekolah piloting dengan anggaran fantastis, 300 juta rupiah. Di tahun ini, rencananya dana tersebut akan ditambah 125 juta rupiah untuk tingkat SMP dan 75 juta rupiah untuk SD.
Namun, setelah satu tahun berja¬lan, apa yang diperoleh dari program tersebut?
Jika mengukur keberhasilan pen¬di¬dikan karakter yang masih “seumur jagung” itu dengan fenomena kenalan remaja yang kian meningkat, seperti yang diberitakan Padek, tentulah kurang adil. Sebab, untuk mem¬bangun karakter peserta didik tidak semudah membalik telapak tangan.
Tetapi perlu mengevaluasi dan melihat beragam persoalan yang ada sehingga dibutuhkan upaya serius untuk mengatasinya. Banyak persoa¬lan yang melatarbelakangi fenomena tersebut, seperti kurangnya pendidi¬kan dan perhatian orangtua, pudarnya peran dan tanggung jawab ninik-mamak, ketidakpedulian masyarakat sekitar, kinerja guru di sekolah yang tidak optimal, hingga kebijakan peme¬rintah yang kadang bertentangan antara konsepsi dan aplikasi.
Namun, tanpa mencari “kambing hitam”, paling tidak sekolah sebagai lembaga pendidikan yang diberi amanah oleh orangtua, melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dilakukan dalam mendidik karakter siswa.
Di antara persoalan yang harus menjadi perhatian pengelola pendi¬dikan, khususnya di Sumatera Barat, dalam pelaksanaan pendidikan karak¬ter adalah: pertama, kurangnya kesia¬pan guru menjadi model atau teladan bagi peserta didik. Selama ini, guru lebih dibebani untuk melaksanaan pendidikan yang berorientasi pada kognitif. Sementara aspek afektif nyaris diabaikan.
Hal itu terjadi secara sistemik. Sejak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, mahasiswa yang kuliah di jurusan keguruan lebih dipersiapkan untuk menguasai materi dan terampil mengajar. Sementara sisi afektif mahasiswa yang akan menjadi calon guru tersebut kurang mendapat perhatian dan pembinaan.
Ketika dilakukan rekruitmen guru, termasuk penerimaan CPNS, yang diuji lebih kepada kognitifnya, bahkan banyak fakta yang menunjukkan tes CPNS tersebut tidak menyentuh aspek kepribadian sama sekali.
Di saat menjadi guru, lalu dila¬kukan pembinaan dengan berbagai training, workshop, lokakarya, dan sejenisnya. Lagi-lagi, materi yang diajarkan tetap berorientasi pada kognitif dan psikomotor/skill guru untuk menyusun perangkat pem¬belajaran. Bahkan ketika guru me¬ngikuti Pendidikan dan Latihan Pro¬fesi Guru (PLPG) untuk memperoleh Sertifikasi Guru, materi yang di¬ajarkan tidak jauh berbeda dengan pola training di atas.
Akibatnya, ketika di lapangan, guru lebih disibukkan dengan pe¬nyam¬paian materi yang bersifat kog¬nitif (transfer of knowledge), se¬mentara proses pendidikan karakter yang berorientasi pada afektif (internalization of values) kurang men¬dapat perhatian.
Lain lagi dengan aturan bagi guru yang diwajibkan harus memenuhi 24 jam sebagai salah satu syarat mem¬peroleh tunjangan sertifikasi, mereka justru disibukkan dengan tugas ter¬sebut. Ada yang berpindah-pindah di beberapa sekolah untuk memenuhi tugas wajib 24 jam, ada pula yang disibukkan dengan seonggok pe¬rangkat pembelajaran.
Ketika diminta melakukan pem¬binaan karakter siswa di luar PBM dan tidak dihitung sebagai jam tatap muka, maka banyak yang enggan. Maka berbagai program pengembangan diri yang sarat akan pendidikan karakter, seperti pramuka, kesenian, olah raga, ROHIS, dan sebagainya kurang ber¬jalan dengan optimal karena tidak diakui sebagai jam tatap muka. Ironis memang.
Begitu juga memberi penghargaan pada siswa, yang diumumkan sebagai juara hanyalah mereka yang mengum¬pulkan angka-angka kognitif, semen¬tara siswa yang berbudi luhur, tetapi kemampuan kognitifnya tergolong menengah tidak mendapat peng¬har¬gaan dan tempat istimewa.
Maka bagi sebagian siswa—bah¬kan sekolah—menghalalkan segala cara agar nilai ujian akhir (seperti Ujian Sekolah dan Ujian Nasional) mendapat angka-angka yang tinggi. Dengan begitu mereka akan dihargai oleh kepada dinas bahkan masyarakat, karena dianggap berhasil meluluskan siswa 100% dengan nilai rata-rata yang tinggi.
Dalam perspektif pendidikan Islam, tanggung jawab pendidikan akhlak anak sepenuhnya ada pada orangtuanya. Namun, orangtua sadar akan keterbatasannya sehingga ia menyerahkan anaknya kepada guru di sekolah. Guru menerima amanah mulia dari orangtua. Hukum me¬ngem-ban amanah adalah wajib. Kare¬na itu, guru disebut sebagai orang tua ruhani (abu al-ruh/spiritual father).
Untuk itu, setiap guru harus ber¬upaya semaksimal mungkin untuk terlibat aktif membina dan mendidik ranah afektif siswa, di samping ranah kognitif dan psikomotornya.
Kedua,bergesernya paradigma tentang agama. Di satu sisi, banyak pakar yang menyebut bahwa agama memiliki peran yang signifikan dalam mendidik karakter setiap manusia. Sebab agama sarat akan nilai-nilai karakter. Apalagi di Sumatera Barat, kultur masyarakatnya demikian kental dengan nuansa agama sehingga di¬kenal filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Namun di sisi lain, agama mulai dipandang sebagai urusan pirvasi seseorang. Negara tidak boleh banyak campur tangan terhadap agama. Misalnya, penulis mendengar per¬nyataan beberapa orang mengkritik Pergub No. 73 Tahun 2012 tentang Pendidikan Karakter Sumbar itu “tidak netral”, lebih cenderung pada tataran agama. Bukankah bangsa ini dibangun atas dasar Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa? Bukankah paradigma pendidi¬kan yang dikembangkan sesuai de¬ngan kearifan lokal, tanpa melakukan deskriminasi terhadap kelompok lain?
Tidak itu saja, program-program yang telah disusun dan difasilitasi oleh pemerintah daerah Sumbar terkait dengan agama juga tidak sepenuhnya mendapat dukungan. Misalnya, satu-satunya propinsi yang membuat Perda (Perda No. 3 Tahun 2007) dan Pergub (Pergub No. 70 dan 71 Tahun 2010) tentang Muatan Lokal Pendidikan Alquran adalah Sumatera Barat.
Muatan lokal ini dirasa sangat penting mengingat masyarakat di wilayah ini mayoritas muslim dan dikenal sangat dekat dengan al-Qur’an (ABS-SBK). Nyatanya, seiring kelang¬kaan surau sebagai lembaga pendi¬dikan, banyak fakta yang menun¬jukkan bahwa remaja muslim tidak lagi fasih membaca Al-Quran, apalagi memahami dan mengamalkannya. Padahal Mulok ini diyakini menjadi salah satu upaya yang efektif untuk mendidik karakter siswa.
Coba terapkan, seluruh siswa mus¬lim dibimbing membaca Al-Quran, lalu mengartikan memahami dan berupaya mengamalkannya. Begitu pula di dalam tas mereka ada al-Qur’an, apakah mereka berani juga mencuri, tawuran, atau berbuat onar, paling tidak ketika memakai seragam sekolah?
Akan tetapi, berapa banyak seko¬lah yang tak kunjung ridho menerap¬kan Pendidikan Alquran sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal di sekolahnya. Apalagi pada kurikulum 2013, kedudukan Mulok itu akan semakin terancam karena Mulok lebih diintegrasikan pada Olahraga, Kese¬nian, dan Prakarya.
Ketiga, kurangnya ketegasan dan kerjasama kepala daerah, khususnya tingkat kota/kabupaten dalam mene¬rapkan, mengawal, mengevaluasi, dan menindaklanjuti program pendidikan karakter. Program pendidikan karak¬ter kadang dianggap hanya sebatas proyek, kebijakan dari atasan, dan tentu akan bertahan selagi dana proyek yang tersedia masih ada.
Seperti yang telah disebutkan di muka, setiap kota/kabupaten di Sum¬bar terdapat sekolah piloting. Akan tetapi sumber dana yang diberikan hanya dari APBD Propinsi, sementara APBD tingkat Kota/Kabupaten ku¬rang mendapat perhatian di beberapa tempat.
Seharusnya, pelaksanaan pendi¬dikan karakter tidak saja di sekolah piloting, tetapi seiring dengan itu dikembangkan oleh sekolah-sekolah lain. Maka untuk mendukung program tersebut, butuh dukungan dan ketegasan kepala daerah.
Ketegasan dan kerjasama yang dimaksud tidak sekedar meminta guru buat perangkat pembelajaran dengan nilai-nilai karakter, tetapi memberi perhatian dan penghargaan kepada sekolah yang mengedepankan pen¬didikan akhlak.
Selama ini, masih saja terdengar suara sumbang, kepala sekolah dimin¬ta untuk pandai-pandai meningkatkan hasil UN siswa-siswanya. Kepala sekolah yang diberi amanah bukan karena kompetensinya, tetapi karena masuk dalam jajaran tim sukses kepala daerah yang berkuasa.
Ketika pendidikan dipolitisir demi kepentingan sekelompok orang, maka hal inilah yang menjadi penyebab utama gagalnya pelaksanaan pen¬didikan karakter. Jika di hulu telah keruh, maka sangat sulit untuk me¬nyaringnya agar jernih di hilir.
Masih banyak persoalan-persoalan lain yang perlu dievaluasi dan ditin¬daklanjuti. Tentu butuh keseriusan dan kesungguhan hati. Jika tidak, maka jelaslah pendidikan karakter hanya setengah hati, atau malah hanya slogan. Maka bagi pemegang ke¬bijakan, pengelola dan praktisi pen-didikan, sejatinya konsisten antara kata dan perbuatan; antara konsepsi dan aplikasi. Semoga Allah memberi kita pertolongan. Amin.
Selasa, April 16, 2013
Pendidikan Karakter Setengah Hati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar