Senin, Mei 26, 2014

Hentikan Kekerasan pada Anak

Oleh: Muhammad Kosim

(Terbit di Harian Singgalang, 23 Mei 2014)

Firman Allah SWT: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu... (Qs. Ali Imran/3: 159)

Islam mengajarkan agar bersifat lemah lembut kepada siapa saja, termasuk terhadap anak sendiri. Akan tetapi, berbagai kasus kekerasan terhadap anak masih saja kerap terdengar di media massa. Entah bagaimana potret generasi muda bangsa ini di hari mendatang jika kekerasan terhadap anak tak dihentikan. Sebab, anak adalah amanah, generasi penerus dan penentu wajah peradaban bangsa di hari esok.

Salah satu alasan melakukan kekerasan yang sering dikemukakan adalah demi kebaikan si anak. Bahkan bagi sebagian orang, kekerasan menjadi salah satu metode dalam pendidikan anak.
Jika telusuri pola pendidikan Nabi SAW, tak satu pun hadis yang ditemukan tentang dibolehkannya kekerasan terhadap anak. Justru sebaliknya, Nabi SAW mencontohkan kasih sayang yang demikian mendalam kepada anak-anak.



Ketika cucu Nabi SAW, Hasan bin Ali datang, Nabi SAW menyambutnya dengan gembira lalu memeluk dan menciumnya. Melihat peristiwa itu, Aqra bin Habis berkata: “Aku punya sepuluh anak, namun satu anak pun di antara mereka tidak pernah aku cium.” Rasulullah SAW menoleh kepadanya seraya berkata: “Siapa pun yang tidak menyayangi, ia tidak disayangi.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW ingin memperpanjang shalatnya, tetapi ia mempercepatnya karena mendengar tangisan anak kecil. Setelah shalat ia bersabda: “Aku mendengar suara tangisan seorang anak, lalu aku mempercepat shalatku.”

Hadis lain menceritakan ada seorang anak yang sedang digendong, kemudian pipis membasahi pakaian Nabi. Ibunya merenggut bayi tersebut dengan kasar. Namun Nabi menegurnya dengan bersabda, “Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan kasar)?”
Quraish Shihab dalam “Wawasan al-Qur’an” mengomentari hadis ini dengan menulis: “Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, sebagian kompleks kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui penyebab utamanya pada perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa.”
Jadi kekerasan yang diterima seorang anak dari orang tua atau orang-orang di sekitarnya kelak akan mempengaruhi kondisi kejiwaannya pada masa dewasa. Sensitif, mudah marah, brutal, dendam, kasar, hingga tindakan kriminal lainnya, salah satu penyebabnya adalah kekerasan yang diperoleh seseorang ketika ia kecil.

Kecuali itu, ditemukan satu hadis Nabi SAW yang seolah-olah membenarkan bahwa kekerasan merupakan metode dalam mendidik anak. Hadis itu adalah: ”Ajarilah anak shalat oleh kalian sejak usia 7 tahun dan pukullah dia karena meninggalkannya bila telah berusia 10 tahun.” (H.R. Tirmidzi dan Abu Daud).

Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam IAIN Imam Bonjol Padang, Ramayulis, dalam kuliahnya sering mengingatkan agar para guru dan orang tua hati-hati memahami hadis ini. Hadis ini menunjukkan bahwa ada waktu tiga tahun untuk mendidik anak mendirikan shalat.

Menurutnya, jika anak dididik shalat selama tiga tahun dengan keteladanan, pembiasaan, lemah lembut, tanpa kekerasan, maka tidak mungkin si anak akan meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun. Maka perintah memukul anak di saat berusia 10 tahun batal dengan sendirinya, jika orang tua mendidiknya selama tiga tahun tersebut secara kontiniu.

Karena itu, orang tua tidak boleh berlaku kasar, berbuat buruk, termasuk berbuat kekerasan kepada si anak; sebab hal itu akan membentuk mereka kelak memperlakukan hal yang sama kepada orang tuanya.

Nasih Ulwan, dalam kitab Tarbiyah al-Awlad fi al-Islam, mengisahkan bahwa suatu ketika seorang laki-laki mengadukan kepada Umar bin Khattab bahwa anaknya telah durhaka kepadanya. Namun setelah si anak dikonfirmasi, justru anak tersebut mengaku sang ayah tidak mendidiknya dengan baik, seperti: memberi nama yang baik dan mengajarkan kebaikan melalui ayat-ayat al-Qur’an.

Umar pun berkata kepada lelaki itu: “Engkau telah datang kepadaku untuk mengadukan bahwa anakmu telah berbuat durhaka kepadamu, padahal engkau telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakai kamu, dan engkau telah berbuat buruk keapdanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Dengan demikian, Islam menolak kekerasan terhadap anak. Ajaran Islam terlihat keras dan tegas hanya kepada pelaku kriminal atau kejahatan. Dalam kajian fiqh dikenal istilah Hudud, yaitu hukuman yang telah ditentukan oleh syariat dan dilaksanakan karena perintah Allah SWT; seperti: had murtad tak mau bertaubat adalah dibunuh, had pembunuh adalah dibunuh (qishash), had pencuri adalah dipotong tangannya, had menuduh orang berzina adalah dicambuk 80 kali dan tak diterima persaksiannya, had zina adalah dicambuk seratus kali jika belum menikah dan jika sudah menikah dirajam, dan lain-lain.

Kekerasan dan ketegasan ini hanyalah menegakkan hukum sehingga memberi efek jera bagi yang lain untuk tidak melakukan kejahatan.

Sedangkan dalam pendidikan, tidaklah demikian. Baik orang tua maupun guru, jangan menjadikan kekerasan sebagai metode dalam mendidik anak.

Dalam dunia pendidikan, memang ada sebagian orang yang menjadikan kekerasan sebagai metode mendidik anak. Pandangan itu turut mereka legitimasi dengan tradisi pembelajaran di surau masa lalu, di mana orang tua yang menyerahkan anaknya kepada guru menyertakan cambuk yang terbuat dari lidi.

Menurut mereka, anak-anak di surau pada masa lalu lebih mudah dididik akhlaknya karena si guru bisa memukul anak tersebut jika nakal, tanpa harus takut dengan pelanggaran HAM, apalagi mendapat restu dari orang tuanya.

Hemat penulis, bagi guru yang bijak tidaklah memahami bahwa cambuk itu sebagai alat untuk melakukan kekerasan. Guru yang bijak akan memahami bahwa cambuk lidi adalah simbol kepercayaan orang tua kepada guru untuk mendidik anaknya agar berilmu dan berakhlak mulia. Karena itu, anak didik adalah amanah dari orang tua yang dititipkan kepada guru.

Dalam tradisi pesantren dan surau, kepatuhan murid kepada guru memang cukup menonjol. Sering kali disampaikan pernyataan Ali bin Abi Thalib: “Aku adalah hamba orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepadaku, terserah dia jika mau menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku.”

Tetapi, sekali lagi, guru yang bijak tidak akan memperlakukan anak didiknya sebagai budak yang harus siap kapan saja untuk disiksa dan dizalimi. Seperti kata penyair: “Budak diperingatkan dengan tongkat, orang merdeka, cukuplah dengan isyarat.”

Namun banyak pula kasus guru harus berurusan dengan pihak yang berwajib karena melakukan kekerasan dalam mendidik. Kesabaran guru “habis” ketika berhadapan dengan anak didik yang tidak sopan, membangkang, bahkan melawan. Bagi mereka, murid seperti pernyataan Ali bin Abi Thalib di atas, adalah sesuatu yang amat langka.

Menyikapi persoalan itu, guru harus memiliki metode yang tepat untuk mengubah sifat buruk anak didik. Semua guru harus memiliki visi yang sama untuk mendidik anak, dari bodoh menjadi cerdas, dari buruk laku menjadi elok laku, dari maksiat menjadi taat. Tentu tidak cukup diserahkan kepada guru agama an sich, tetapi menjadi komitmen bersama.

Tidak saja sesama guru, perlu pula membangun komunikasi dan komitmen bersama dengan orang tua, hingga masyarakat sekitar. Komunikasi, kerjasama, dan komitmen bersama menjadi syarat penting untuk mewujudkan pendidikan yang santun, penuh kasih sayang tanpa kekerasan.

Dalam pandangan sebagian pakar pendidikan Islam, memang dikenal adanya metode hukuman. Seperti Ibn Sina, Ibn Khaldun, dan Imam al-Ghazali. Tetapi bagi mereka, hukuman adalah cara terakhir, setelah berbagai cara ditempuh untuk mendidik perilaku anak.

Perlu pula dipahami bahwa metode hukuman tidak dipahami sebagai kekerasan. Hukuman yang diberikan harus bertahap dan bersifat edukatif. Dalam praktiknya, hukuman yang diterapkan di sekolah harus disosialikasikan kepada orang tua dan mendapat kesepakatan dari mereka sehingga hukuman yang diberikan tidak menimbulkan rasa dendam dan kebencian, atau gangguan mental/jiwa si anak di kemudian hari.

Sekali lagi, hentikan kekerasan terhadap anak, karena kelak membuat mereka berhati kasar, tidak peka terhadap penderitaan di sekitarnya. Sebaliknya, perlakukan mereka dengan penuh kasih sayang. Dengan kasih sayang, diharapkan akan lahir generasi yang penyantun, melahirkan pemimpin-pemimpin yang penyayang.

Negeri ini butuh orang-orang yang santun. Negeri ini butuh pemimpin penyayang; pemimpin yang menjerit hatinya melihat penderitaan rakyat, lebih mementingkan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya dari pada diri dan kelompoknya. Tentu pemimpin seperti ini tidak lahir dari perlakuan yang buruk dan kasar. Wallahu a’lam.

1 komentar:

junaidi678 mengatakan...

Sepakat dengan opini ini, namun permasalahn yg paling urgen adalah tidak berfungsinya dengan baik peran mendidik dri orang tua dan masyarakat, kondisi ini memberikan dampak pada munculnya pribadi anak didik yg tidak mampu mencontoh kebaikan, tentu pada gilirannya menguji kesabaran, pars pendidik.