GAGASAN SYEKH SULAIMAN AL-RASULI
TENTANG PENDIDIKAN ISLAM DAN PENERAPANNYA PADA
MADRASAH TARBIYAH ISLAMIYAH DI SUMATERA BARAT
Oleh: Muhammad Kosim
(Terbit Jurnal Pendidikan Islam ”at-Tarbiyah” Volume V Nomor 2, Juli
2014,
PPs. IAIN IB Padang)
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Syekh Sulaiman al-Rasuli, juga dikenal
dengan sebutan Inyiak Canduang, merupakan ulama Minangkabau terkemuka di kalangan kaum tua yang berperan aktif dalam mempertahankan I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah dan
berpegang pada Mazhab Syafi’i; suatu pemahaman yang banyak hal bertentangan
dengan ulama kaum muda. Ketika kaum muda melakukan perubahan sistem pendidikan dari halaqah menjadi klasikal, sementara ulama kaum tua lainnya masih mempertahankan sistem pendidikan
halaqah di surau, Syekh Sulaiman justru merestui perubahan tersebut, atas
dorongan ulama senior yang juga sahabatnya, Syekh Abbas Qadhi Ladang Lawas tahun 1926 (Bahruddin Rusli, 1978: 33).
Dua tahun kemudian, 1928, langkah Syekh Sulaiman al-Rasuli diikuti oleh ulama sepaham dengannya, seperti Syekh Abdul Wahid al-Shalihi Tabek Gadang di
Payakumbuh, Syekh Muhammad Jamil Jaho di Padang Panjang, Syekh Arifin di Batu
Hampar Payakumbuh, dan lain-lain (Chairusdi, 1999: 50-51). Dalam pertemuan di tahun tersebut, lahirlah “Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah” (PMTI) sebagai
organisasi yang bertanggung jawab untuk membina, memperjuangkan, dan
mengembangkan MTI-MTI yang ada. Perkembangan selanjutnya, PMTI tidak hanya sebagai organisasi yang
mengurus madrasah an sich, akan tetapi mampu mempersatukan dan
menghimpun segenap ulama tradisional dan bergerak di bidang sosial lainnya. PMTI pun berubah menjadi PTI (Persatuan Tarbiyah
Islamiyah) di tahun 1930 dan singkatannya diubah lagi menjadi PERTI sekitar tahun 1937 (Majalah Soearti No. 8 Th. I/Januari 1938 M).
Dengan begitu, Syekh Sulaiman al-Rasuli adalah praktisi pendidikan yang
berpengaruh di zamannya, khususnya di kalangan kaum Tua. Tidak saja sebagai
praktisi pendidikan, tetapi ia memiliki beberapa gagasan tentang pendidikan
Islam yang ia tulis di beberapa karyanya. Melakukan kajian terhadap gagasan
pendidikan Islam Syekh Sulaiman al-Rasuli semakin penting dilakukan mengingat
ketokohannya selama ini lebih cenderung dinilai sebagai ahli di bidang fiqh (Bahruddin Rusli, 1972: 3). Apalagi dalam perjalanan hidupnya ia pernah diangkat sebagai Qadhi yang
berwenang mengurusi masalah nikah, talak, dan ruju’ (NTR) sejak tahun 1917.
Bahkan pada tahun 1947-1960 ia menjabat sebagai kepala pertama pada Mahkamah
Syar’iyyah Provinsi Sumatera Tengah (Edwar [ed.],
1981: 82-85).
Menarik
pula untuk diteliti, sebagai tokoh utama pendiri MTI, apakah pemikiran Inyiak
Canduang masih diterapkan oleh MTI yang masih eksis hingga hari ini atau tidak.
Idealnya, ide-ide bernasnya tentang pendidikan Islam itu tetap diterapkan di
MTI sebagai warisan pemikiran dan menjadi tradisi yang terpelihara secara
turun-temurun. Karena itu, penelitian ini berjudul “Gagasan Syekh Sulaiman
al-Rasuli tentang Pendidikan Islam dan Penerapannya pada Madrasah Tarbiyah
Islamiyah di Sumatera Barat.”
Rumusan dan Batasan Masalah
Rumusan masalah: “Bagaimanakah gagasan Syekh Sulaiman al-Rasuli tentang pendidikan Islam dan penerapannya pada Madrasah Tarbiyah
Islamiyah yang ada di Provinsi Sumatera Barat? Batasan masalah: (1) Bagaimanakah gagasan Syekh Sulaiman al-Rasuli tentang pendidikan Islam yang
meliputi: hakikat manusia, tujuan pendidikan, materi, metode, pendidik,peserta didik dan pendidikan informal;
serta (2) Bagaimanakah penerapan gagasan Syekh Sulaiman al-Rasuli terhadap
pelaksanaan pendidikan Islam di Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) yang ada di
Provinsi Sumatera Barat saat ini yang meliputi MTI Canduang, MTI Jaho, dan MTI
Batang Kabung?
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian dalam disertasi ini ada tiga, yaitu: pertama, penelitian
tokoh, dilakukan untuk menemukan biografi Syekh Sulaiman al-Rasuli; kedua, penelitian
kepustakaan (library research), mengkaji gagasan Syekh Sulaiman al-Rasuli dari karya-karyanya tentang
pendidikan Islam; ketiga, penelitian lapangan (field research),
mengkaji penerapan gagasan Syekh Sulaiman al-Rasuli pada Madrasah Tarbiyah Islamiyah
(MTI) dengan tiga lokasi, yaitu MTI Canduang Kab. Agam, MTI Jaho Kab. Tanah
Datar, dan MTI Batang Kabung Kota Padang.
Ketiga
jenis penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan: 1) hermeneutik; 2) teologis; 3) pedagogis; 4) sejarah (historical approach); 5) fenomenologi; dan 6) etnometodologi.
Sumber
data primer adalah karya tulis dari
Syekh Sulaiman al-Rasuli yang tidak kurang dari 15 buku, di antaranya yang paling
menonjol adalah: 1) Pedoman
Hidoep di Alam Minangkabau (Nasihat Siti Boediman) Menoeroet Garisan Adat dan
Sjara’. 2) Jawāhir al-Kalāmiyah fi al-i’tiqād ahl al-Sunnah. 3) Risālah
al-Qaul al-Bayān fī Tafsīr al-Qur'ān. 4) Enam Risalah, 5) Tablīgh al-Amānā. Sedangkan
sumber data sekunder adalah hasil penelitian dan buku-buku yang
mengkaji tentang Syekh Sulaiman al-Rasuli, Madrasah Tarbiyah Islamiyah, dan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Informan dalam penelitian ini adalah unsur pimpinan, guru, santri, dan alumni dari
tiga MTI tersebut. Lalu orang-orang yang pernah bertemu dengan
Syekh Sulaiman, termasuk keluarga, murid, tokoh masyarakat dan orang-orang yang
berseberangan pemikiran dengannya. Teknik sampel yang digunakan: purposive sampling dan snowball sampling. Dalam penelitian ketokohannya, dilakukan melalui tahap orientasi, tahap
eksplorasi, dan tahap studi terfokus. Sedangkan pengumpulan data lapangan dilakukan dengan metode dokumentasi, wawancara dan obeservasi.
HASIL PENELITIAN
Biografi Ringkas Syekh Sulaiman al-Rasuli
Nama
lengkapnya adalah Muhammad Sulaiman bin Muhammad Rasul. Ia lahir pada petang
Ahad malam Senin tanggal 10 Desember 1871 M bertepatan bulan Muharram 1297 H di
Surau Pakan Kamis, Nagari Canduang Koto Laweh, Kabupaten Agam, Provinsi
Sumatera Barat. Di antara gurunya adalah: Syekh Muhammad Arsyad (1899–1924 M), anak dari Syekh Abdurrahman
al-Khalidi (kakek proklamator Moh. Hatta), di Batu
Hampar, Payakumbuh; Syekh Abdussamad Tuanku Samiak Ilmiyah, di suraunya di
Biaro IV Angkat Agam, tahun 1309 H; Syekh Mohammad Ali Tuanku Kolok—kakek pihak
ibu dari Prof. Mahmud Yunus—di Tanjung Sungayang Kab. Tanah Datar; Syekh
Abdussalam, di Lokok Banuhampu; Syekh Muhammad Salim al-Khalidi di Sungai Dareh
Situjuh Payakumbuh; dan Syekh Abdullah di Halaban.
Tahun 1322 H, ia naik haji dan belajar selama 3,5 tahun (1903-1907 M). Di
antara gurunya: 1) Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawy, 2) Syekh Mukhtar
‘Atharad as-Shufy, 3) Syekh Usman al-Sirwaqy, 4) Syekh Muhammad Sa’id Mufty
al-Syafe’i, 5) Syekh Nawawi Banten, 6) Syekh Ali Kutan al-Kelantani, 7) Syekh
Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, 8) Said Ahmad Syatha al-Maky, 9) Said Umar
Bajaned, dan 10) Said Babasil Yaman
(Yusran Ilyas, 195: 5).
Sekembalinya ke tanah air, ia berkiprah di bidang pendidikan, tabligh dan
politik. Dialah tokoh utama dalam pendirian Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI)
Canduang yang kemudian menjadi sentral bagi MTI lain. Ia tidak saja berdakwah
di sekitar Canduang dan Baso, tetapi juga membina masyarakat di Pandai Sikat
Padang Panjang yang nyaris terjerumus kepada kemusyrikan. Pada tahun 1341 H, ia pergi berkhalwat ke Batu Hampar melalui
tarekat Naqsyabandiyah dan setelah itu ia tampil mempertahankan ajaran tarekat
tersebut (Muhammad Rusli Kapau, 1938: 56).
Pada masa Belanda, sejumlah jabatan yang diembannya adalah: sebagai Qadhi
di nagari Canduang dalam Sidang Sabuah Balai tahun 1917-1944; Ketua
Umum Syarikat Islam (SI) untuk daerah Canduang – Baso tahun 1918 M. Bersama
Syekh H. Abbas al-Qadhi Ladang Lawas dan Syekh H. Muhammad Jamil Jaho serta
ulama yang sepaham, ia mendirikan organisasi “Vereeniging Ittihadul Oelama
Sumatera” (VIOS) tahun 1921 M; pendiri utama dan direktur bidang Pendidikan
Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI) yang terbentuk pada tanggal 5 Mei
1928 M/15 Zulkaedah 1346 H. Tahun 1932 M ia menolak ordonansi sekolah liar yang
diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Tahun
1937, ia turut menolak ordonansi kawin bercatat. Ia pernah dikunjungi oleh
utusan Belanda, begitu juga tokoh nasional, Ir. Soekarno sebelum menjadi
presiden RI. Tahun 1939, bersama ulama lain ia membentuk kepanduan al-Anshar, tahun 1942 ia
turut menentang Politik Bumi Hangus Kolonial (Yusran Ilyas, 1955: 8). Pada masa penjajahan Jepang, Ia menjadi Ketua Umum
Majelis Islam Tinggi Minangkabau (MITM). Ia turut mewakili MITM menghadiri Rapat Besar
Ulama Islam Sumatera–Malaya di Singapura (Syonanto).
Masa
Pascakemerdekaan, PERTI menjadi
partai politik Islam, tanggal 22 Nopember 1945, ia ditetapkan sebagai Penasehat
Tertinggi. Tahun 1947 berdirilah Mahkamah Syar’iyah di Sumatera Tengah dan ia
diangkat menjadi Ketua oleh Menteri Agama RI, tanggal 17 Juni 1947 dan berakhir tahun 1960 M. Tahun 1948, ia
diangkat sebagai penasehat Gubernur Militer Sumatera Tengah. Tahun 1956, ia
menghadiri Muktamar Ulama Seluruh Indonesia (MUSI) di Palembang dan ia dipercaya
sebagai ketua salah satu komisi yang membahas upaya untuk menentang komunis. Ia juga menjadi anggota
Konstituante berdasarkan hasil PEMILU pertama tahun 1955, pada sidang pertama dibuka 10
Nopember 1956 di Kota Bandung dan ia terpilih menjadi ketua sidang pertama konstituante tersebut. Dalam
memimpin sidang, ia mengenakan sarung dan sorban, pakaian yang biasa dipakainya
(Hasril Chaniago, 2010: 475).
Ia juga ahli di bidang adat Minangkabau dan menulis
beberapa buku tentang adat Minangkabau. Tahun
1927, ia diundang untuk menjadi nara sumber tentang keterkaitan Islam dengan
adat Minangkabau di daerah raja-raja Gunung Sahilan (Zelf Besturder van Kampar
Kiri), Teluk Kuantan dan Pulau Gadang. Tahun 1954 dilaksanakan “Kongres Segi
Tiga” berdasarkan inisiatifnya dan ia ditetapkan sebagai ketua umum (Bahruddin Rusli, 1978: 69). Bahkan
Gusti Asnan (2003: 308) menyebutkan: “Pada tahun 1950-an, Syekh Sulaiman al-Rasuli sangat bersemangat
menyebarluaskan gagasan tentang keterpaduan adat dan Syarak. Ungkapan Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang dewasa ini populer merupakan
hasil “sosialisasi” dari ulama besar ini dalam berbagai kesempatan sepanjang dasawarsa
1950-an.”
Tepat
pada hari Sabtu, tanggal 28 Rabi’ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, Syekh Sulaiman
al-Rasuli wafat dalam usia 99 tahun. Tidak kurang dari enam ribu pelayat yang
mengantarkan jenazahnya ke pemakaman di halaman madrasah induk yang asli dari
MTI Canduang, termasuk yang hadir
Gubernur Sumatera Barat, Harun Zein. Bahkan Gubernur, memerintahkan agar
pemerintah dan rakyat mengibarkan bendera setengah tiang, sebagai tanda
belasungkawa. Di hari itu, sedang berlangsung seminar sejarah Islam di Minangkabau
yang dihadiri oleh sejumlah cendikiawan, termasuk Buya Hamka. Buya Hamka langsung
menuju Canduang dan shalat jenazah di atas pusara. Dalam pidatonya Hamka
menyebut bahwa Syekh Sulaiman al-Rasuli seperti pohon pisang, sekali dipancung,
ia tidak akan mati tetapi akan tumbuh pohon pisang yang baru ditambah dengan
pisang-pisang yang lain di sekelilingnya. Ungkapan ini menggambarkan bahwa
perjuangan dan ajaran Syekh Sulaiman al-Rasuli tidak akan pernah mati, tetapi
akan dilanjutkan oleh ribuan murid-muridnya (Maruzi Kari Batuah, Wawancara, 8
Juli 2013).
Sekilas tentang MTI Canduang, MTI Jaho dan MTI
Batang Kabung
MTI Canduang
beralamat di Jl. Syekh Sulaiman al-Rasuli, Jorong Lubuk Aur Kenagarian Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam. Berdiri tanggal 15 Zulkaedah 1346 H/5
Mei 1928 M yang langsung dipimpin oleh Syekh Sulaiman al-Rasuli. Di tahun 2013,
MTI ini dipimpin oleh Buya Amhar Zen al-Rasuli. Terdapat tujuh tingkatan kelas
dengan jumlah 811 santri.
MTI Jaho berada di Nagari Jaho Kecamatan X Koto Kabupaten
Tanah Datar. Berdiri tahun 1928 oleh Syekh
Muhammad Jamil Jaho, yang merupakan sahabat dekat Syekh Sulaiman al-Rasuli dan
selama 7,5 tahun belajar di Mekah. Di tahun 2013, MTI Jaho dipimpin oleh Buya
Asmuji Rais al-Jamily. Terdapat enam tingkatan kelas, namun secara kuantitas
jumlah santi megalami penurunan drastis, yaitu hanya 80 santri.
MTI Batang
Kabung terletak di Kelurahan Batang Kabung Ganting, Kec. Koto Tangah, Kota Padang. Berdiri sejak tanggal 13
Januari 1955 M dalam bentuk halaqah yang dipimpin oleh Syekh Angku
Salif. Tahun 1966 berubah menjadi madrasah (klasikal) dan pimpinannya mendapat
ijazah dari Syekh Sulaiman al-Rasuli sebagai salah satu syarat mendirikan
madrasah ketika itu. Di tahun 2013, MTI ini dipimpin oleh Jamaris Tuangku Mudo
sebagai khalifah I, H. Idris Tuanku Mudo sebagai khalifah II, dan Mahyuddin
Salif Tuanku Sutan sebagai khalifah III. Dari tingkat Tsanawiyah dan Aliyah,
terdapat 663 santri. Di samping itu terdapat santri kelas VII dan VIII (ma’had
aly) sekitar 25 santri.
Gagasan Syekh Sulaiman al-Rasuli tentang
Pendidikan Islam
Hakikat Manusia
Hakikat
manusia, dalam pandangan Syekh Sulaiman, dapat dirumuskan pada empat bagian. Pertama,
manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Ketika mengkaji manusia, ia
menyebut manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani, tetapi dimensi rohani
lebih mempengaruhi kepribadian seseorang. Menurutnya, asal mula sekalian
makhluk adalah Nur Muhammad. Nur itu berpindah-pindah dari nabi hingga kepada
orang-orang yang beriman; orang-orang yang memiliki kesucian rohani (Syekh
Suliaman al-Rasuli, selanjutnya disebut SSA, 1923: 5). Ia juga menegaskan, ada
dua penyakit manusia, yaitu bodoh (jāhil) dan lalai (ghāfil). Obat bodoh adalah ilmu, obat
lalai adalah zikir (SSA, 1929: 129-130).
Kedua, manusia sebagai hamba (‘abd) Allah dan
khalīfah-Nya di muka bumi. Ia menulis, “Bermula makna beribadah ialah berhina
diri sampai kepada kesudah-sudahan hina serta membesarkan akan orang yang
disembah yang sampai kepada kesudah-sudahan membesarkan.” (SSA, 1929: 6). Baginya, khalīfah yang paling ideal hanya ada pada diri Nabi
Muhammad SAW, karena terdapat kemampuan untuk memimpin/mengatur dan kemampuan
mendidik umatnya untuk senantiasa mampu menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Jika
tidak ditemukan lagi seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat sebagaimana
layaknya khalīfah yang ideal tersebut, maka penguasa harus bertanya dan
bekerjasama dengan ulama (SSA, 1927: 2)
Ketiga, manusia sebagai makhluk individu dan
sosial. Ia mengklasifikasikan tipe manusia dalam lingkungan
masyarakatnya, seperti yang ia tulis dalam kitabnya “Pedoman Hidoep di Alam
Minangkabau” khususnya pada satu sub bahasan dengan judul “pembagian manusia.” Secara garis besar, manusia itu dikelompokkannya kepada lima
kategori, yaitu penghulu (pemimpin),
ulama, urang mudo (pemuda),
padusi (perempuan), dan urang tuo (orang tua). Setiap komponen masyarakat itu ada yang ideal, ada pula yang tidak.
Pemuda, misalnya, yang ideal disebutnya pemuda pesurau, yaitu pemuda
shaleh yang memakmurkan surau. Tetapi ada pemuda yang buruk, yaitu pemuda palapau
(suka duduk di kedai dan kurang tanggung jawab pada keluarga), pemuda parinsau
(suka mengeluh dan menyia-nyiakan waktu), pemuda pengusu (suka
membuat onar), dan pemuda lingkisau (berpenyakit hati) (SSA, 1930:
59-65). Pengelompokan manusia seperti ini membuktikan bahwa ia juga memahami
karakter manusia yang berbeda antara satu dengan lainnya. Setiap manusia harus
berupaya untuk memposisikan dirinya sesuai dengan peran dan kapasitasnya masing-masing.
Tujuan Pendidikan
Ada empat
tujuan pendidikan dalam pandangan Syekh Sulaiman al-Rasuli. Pertama, memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Orang yang bahagia dunia akhirat adalah: “Orang
yang iman lagi shaleh lagi membayarkan segala hak Allah Ta’ala dan hak segala
makhluk lagi mengikut dari syari’at pada zahir dan batin lagi berpaling dari
pada perhiasan dunia yang lata ini.” (SSA,1346H/1927M:
62). Kedua, menjadi
hamba Allah. Menuntut ilmu
lewat proses pendidikan pada hakikatnya dilakukan agar manusia itu mampu
beribadah kepada-Nya secara benar. Setiap aktivitas yang tidak didasari oleh
ilmu yang benar, maka ia tidak termasuk dalam kategori “amal dalam pandangan
Syarak.” (SSA, 1929: 128). Ketiga, memiliki akhlak mulia. Mendidik akhlak yang baik itu perlu pendidikan di lembaga formal.
Seseorang yang tidak sekolah atau tidak berpendidikan cenderung terpengaruh
dengan lingkungannya (SSA, 1930: 10-11). Keempat, menjadi insan yang cerdas. Dengan belajar
ke sekolah, maka seorang anak akan mampu tulis-baca dan berhitung. Dengan
begitu ia bisa berbuat sesuatu dengan senang hati sehingga memperoleh
keselamatan dan kebahagiaan yang sesungguhnya (SSA, 1930: 12).
Materi
Syekh Sulaiman al-Rasuli memandang bahwa materi pendidikan yang
paling utama adalah ilmu-ilmu yang berorientasi pada tafaqquh fi al-din. Ilmu-ilmu
tersebut dituntut hendaklah atas motivasi keimanan kepada Allah sehingga muncul
sifat ikhlas karena Allah semata, bukan untuk duniawi (SSA, 1930: 26). Ia tidak
menolak ilmu-ilmu dalam kategori umum, tetapi ia mengkritik orang-orang yang
sibuk menuntut ilmu dunia tetapi tidak mengetahui ilmu-ilmu agama. Menurutnya, perkembangan ilmu agama semakin lama semakin
berkurang. Berbeda halnya dengan ilmu umum yang semakin lama semakin
berkembang, apalagi adanya pergaulan dengan budaya
bangsa asing yang banyak hal bertentangan dengan ajaran agama. Tetapi, sulit
melahirkan para mujtahid di bidang agama, karena cahaya nubuwah semakin
lama semakin gelap (SSA, 1346 H/1927 M: 57). Karena itu, kajian ilmu agama menjadi prioritas.
Di antara materi pendidikan yang harus dipelajari, dapat
diklasifikasikan menjadi enam, yaitu: 1) Al-Qur'ān dan Hadis; harus
didukung oleh ilmu-ilmu lain, di antaranya: Ilmu bahasa Arab yang memiliki dua
belas cabang, Ilmu ushul, Ilmu al-Qur'ān, Ilmu Hadis; dan Ilmu-ilmu alat
dalam berijtihad; 2) Bahasa Arab sebagai ilmu alat; 3) Aqidah/Tauhid; 4) Fiqh;
5) Akhlak; dan 6) Keterampilan (SSA, 1930: 29-30).
Metode Pendidikan
Jika ditelaah karya-karya Syekh Sulaiman al-Rasuli, dapat
dirumuskan bahwa terdapat lima metode penting dalam pendidikan. Pertama, metode
keteladanan. Ia menyebutkan bahwa seorang guru harus menjadi “suluah bendang
di nagari, camin taruih dalam suku…(SSA, 1930: 30), yang bermakna bahwa
seorang guru harus seperti cermin. Peserta didik
cenderung meniru perkataan dan perbuatan gurunya. Kedua, metode kisah. Pentingnya metode kisah tampak dalam kitabnya “Pedoman Hidoep di Alam Minangkabau,” yang menjelaskan pola pendidikan Siti Budiman yang menggunakan metode kisah untuk mendidik anaknya (SSA, 1930: 20). Ketiga, metode nasehat. Keempat, metode bertahap (al-tadrīj). Kelima, metode pembiasaan. Pembiasaan sejak usia
dini relevan dengan pepatah Minangkabau yang juga ia kutip: “maso ketek
taranja-ranja, lah gadang tabao-bao, sampai tuo tarubah tido,” (SSA, 1930:
11).
Selain dari
lima metode di atas, dapat pula dirumuskan enam prinsip metode pendidikan Islam
dalam gagasan Syekh Sulaiman. Pertama, prinsip kesesuaian psikologi perkembangan jiwa
anak. Ia menulis, “Hikmah dan gunanya merahasiakan sebahagian dari pada ilmu
kepada setengah manusia ialah karena dada manusia itu belum patut menerima ilmu
yang dirahasiakan itu, seperti kanak-kanak yang belum mempunyai gigi dan
geraman, tidak boleh diberi makanan keras.” (SSA, 1954: 10). Kedua, prinsip
kesesuaian dengan tingkat kecerdasan peserta didik. Ketika menasehati anak yang
masih kecil, ia berpesan: “Kalau ditunjuk-diajari, pemahaman dan daya akalnya belum
sempurna, rasanya tidak akan lekat apa yang disampaikan. Seperti air hujan
jatuh ke pasir, bagaikan sumpit diisi nasi, masuk bisa tapi rasanya tak
ada yang dapat.Kalau sudah masuk dia ke sekolah, sudah berpaham dan berakal
agak sedikit, sudah paham apa yang dikatakan, di situlah baru ditunjuk diajari,
Insya Allah bisa melekat.” (SSA, 1930: 13).
Ketiga, prinsip
kesesuaian dengan lingkungan di mana ilmu tersebut akan disampaikan. Ia menulis, Sungguah pun anak basekolah, salamo
nyawo di kanduang badan, agamo jangan anak gadaikan, adat jangan anak jual. (SSA, 1930: 22). Maka sesuaikan pelaksanaan pendidikan dengan kearifan
lokal. Keempat, prinsip
penyajian materi secara tertib, sesuai alur dan patut. Ia menulis,
“Menuntut ilmu harus tertib, dahulukan yang fardhu baru yang
sunat-sunat” (SSA, 1930: 26). Kelima, prinsip spesifikasi keilmuan. Ia menulis, “Mambali
sabanyak pitih, bababan kiro katajujuang, mamakan kiro katalulua. Jangan bak cando urang kini, sifat rambang dipakainyo, itu taragak
iko katuju, makasuid sagalo pandai,” (SSA,
1930: 26). Nasehat ini mengandung
makna bahwa ilmu yang dituntut itu harus spesifik, jangan
semua bidang keilmuan yang di luar kemampuan ingin dikuasai. Keenam, prinsip
holistik dan terintegrasi dalam penyajian materi. Ia (1930: 30) menulis “Kalau mengaji di sekolah, kajilah
kitab hingga tuntas, dari awal lalu ke akhirnya, dari pangkal hingga ke ujung,
maksud matan pahami betul, yang mutlak ada kaidahnya, yang umum ada
khususnya, letakkan ayat di tempatnya, begitu pula hadis nabi, perkataan ulama
dalam kitab, jangan ditukar maksudnya.”
Pendidik
Syekh Sulaiman
al-Rasuli memahami peran guru sebagai ulama yang tidak saja bertugas untuk
mendidik peserta didiknya di surau atau sekolah, tetapi berperan sebagai orang
yang memiliki ilmu secara mendalam, sebagai pelindung dan pembimbing bagi
masyarakat. Dalam hal ini, istilah yang digunakannya adalah “jadi guru di
nan banyak, suluah bendang di nagari, camin taruih dalam suku, tampek batanyo
di rakyat.” (1930: 30-31). Namun Syekh
Sulaiman (1930: 60) mengkritik ulama dengan membanginya kepada tujuh bagian. Pertama, ulama matahari, yaitu tipe guru yang ideal, profesional dalam menjalankan
tugasnya, mendidik, mencerdaskan, dan mencerahkan peserta didiknya serta
menjadi teladan dan penuh kasih sayang. Kedua, ulama sumbu lampu; yaitu tipe guru yang pandai menyampaikan materi, tetapi tidak menjadi
teladan. Ketiga, ulama nan pamacah, yaitu guru yang
bersifat provokatif, pembela status quo, sulit menerima apalagi melakukan inovasi/perubahan
yang positif. Keempat, ulama banyak lancah (pejalan), yaitu tipe guru yang selalu
meninggalkan tugas pokoknya di sekolah, suka keluar tanpa alasan yang benar. Anehnya, jika ia benar berkunjung ke tempat lain, kunjungannya
tidak meninggalkan pesan positif bagi orang lain. Kelima, ulama bak
kancah yaitu tipe guru yang berpangku tangan, tidak mau tahu tentang program
sekolah. Jika ada inovasi pendidikan yang diterapkan, ia tidak memberi respons;
menolak atau menerima. Keenam, ulama ruok sabun (busa sabun), yaitu tipe guru yang kurang ilmu, hanya pandai berapologi dan banyak
bicara. Kompetensinya rendah, tetapi pandai berkilah. Ketujuh, ulama nan pangkauik, yaitu tipe guru yang
pragmatis dan materialistis.
Selain itu, terdapat pula gagasan Syekh Sulaiman (1930: 30-32) yang dapat
dikategorikan sebagai kode etik pendidik, yaitu: 1) menjadi teladan bagi orang
lain, 2) memiliki jiwa sosial yang tinggi atau pandai bermasyarakat, 3) bekerja
sama dengan umara, 4) bersifat Adil (tagak luruih) kepada peserta didik,
5) penuh kasih sayang kepada peserta didik, 6) memperlakukan peserta didik
seperti anak kandung, 7) memiliki sifat ikhlas, 8) hati-hati dalam berpendapat
dan jangan tergesa-gesa, 9) mengakui kelemahan diri jika tidak mengetahui, dan
10) menghormati orang yang lebih mendalam ilmunya.
Peserta Didik
Syekh Sulaiman
al-Rasuli (1930: 26-30) mengemukakan beberapa sifat dan kode etik yang harus
dimiliki oleh peserta didik, 1) berniat menuntut ilmu karena Allah, ia menulis,
“baikkan niat jo sangajo, menuntut karano Allah;” 2) mengamalkan ilmu yang telah diperoleh
dengan orientasi akhirat, ia menulis, “Apa saja ilmu dan kaji yang sudah
didapat dan sudah terasa matang, harus dipakai diamalkan untuk bekal pulang ke
negeri akhirat;” 3) berperilaku sesuai dengan adat dan ajaran agama, ia
berpesan, “Sungguah pun anak basekolah, salamo nyawo di kanduang badan,
agamo jangan anak gadaikan, adat jangan anak jual, kepandaian buliah kito cari,
asal manfaat pado kito;” 4) berpendirian tetap, ia menulis, “Kepandaian boleh kita cari, asal manfaat pada
kita, tapi pendirian tetap-tetap, jangan berpaham seperti ujung batuang (bambu), kemana angin yang keras ke sana rebah ujungnya;” 5) bersifat
pemalu dan jangan berperilaku sumbang (ganjil); 6) rajin dan bekerja
keras; dan 7) bersifat tawadhu’ dan menghormati orang yang lebih alim.
Di samping itu, ada tiga adab seorang murid kepada gurunya, yaitu: 1)
mematuhi perintah guru selagi tidak bertentangan dengan Syarak; 2) bersalaman
dengan guru jika bertemu, dan 3) berterima kasih kepada guru dan jangan melawan
kepadanya. Ia menulis, “Jasa guru bukan satu, lebih dari ayah kandung, dari
neraka ia hindarkan, dari bodoh ia cerdaskan, wajib sekali berterima kasih
kepadanya, sebagai tanda syukur membalas jasa.”(SSA, 1930: 23 dan 28).
Bapak kandung yang dimaksud di sini tampaknya lebih kepada orang tua
biologis yang lebih bertanggungjawab membesarkan anaknya secara fisik, maka
lebih berjasalah guru yang bertindak sebagai orang tua rohani (abu al-ruh).
Ia (1930: 29) juga menyebut murid yang melawan kepada guru, tidak saja
kehilangan berkah dari ilmunya, tetapi juga bisa mendatangkan mala petaka atau
azab baginya di dunia ini.
Pendidikan Informal
Syekh Sulaiman (1930: 54-55) mencela seorang ayah sebagai kepala keluarga yang tidak bertanggung jawab
terhadap istri dan pendidikan anak-anaknya. Orang tua seperti itu tidak berbeda
dengan hewan yang kawin dan berketurunan tanpa mendidiknya, kelak ia mendapat
azab di neraka. Ia juga menggambarkannya dalam pepatah Minangkabau “Aia
janiah sajak di hulu ka muaro janiah juo, asal jangan kotor di jalan”.
Maknanya, jika orang tua itu memberikan pendidikan yang baik kepada
anak-anaknya, maka kelak anak itu akan menjadi anak yang shaleh hingga akhir
hayatnya. Sedangkan kalimat “asalkan jangan kotor di jalan” bermakna pendidikan
dari orang tua tidak satu-satunya faktor yang mempengaruhi kepribadian
seseorang, tetapi juga ada pengaruh lingkungan yang harus diwaspadai.
Pendidikan dalam keluarga (informal) dilakukan sejak masa
sebelum menikah atau dalam modern
disebut pendidikan prenatal (tarbiyah qabl al-wiladah). Masa ini dimulai dari pemilihan jodoh. Menurutnya,
meskipun keluarga telah sepakat untuk menikahi seorang perempuan, tetapi
laki-laki yang akan menikah tersebut harus mengenal karakter perempuan itu. Pilihlah perempuan yang taat beragama, berakhlak mulia dan bisa
dididik (1930: 58). Pada fase pernikahan, hendaklah seorang suami dan
istri mengetahui akhlaknya masing-masing.
Setelah itu, Syekh Sulaiman (1930:
54-55) juga mengemukakan pendidikan setelah melahirkan atau pascanatal (tarbiyah ba’d al-wiladah). Dalam hal ini, ia menegaskan beberapa kewajiban orang
tua dalam mendidik anaknya setelah lahir, seperti: pada usia tujuh hari,
sembelih hewan akikah, cukur rambut dan beri namanya; pada usia tujuh tahun,
suruh shalat dan membaca al-Qur'ān lalu sekolahkan. Utamakan sekolah agama agar ia kenal ajaran agama.
Penerapan
Gagasan Syekh Sulaiman pada MTI
Sebagian besar gagasan pendidikan Islam Syekh Sulaiman al-Rasuli di atas
masih diterapkan di Sumatera Barat, dalam hal ini di MTI Canduang, MTI Jaho,
dan MTI Batang Kabung, baik pada komponen tujuan, materi, metode, pendidik dan
peserta didik dengan bentuk yang berbeda. Seperti penerapan gagasan tentang
hakikat manusia, sebagai makhluk jasmani, dilakukan pembinaan olahraga. Pendidikan rohani dilaksanakan dengan pembiasaan zikir sesudah shalat, membaca al-Qur'ān,
shalawat, dan tausiyah. Khusus di MTI
Batang Kabung, pendidikan rohani juga dilakukan melalui tarekat Syathāriyah
untuk kelas VII. Pembinaan fungsi manusia sebagai hamba (‘abd)
Allah, di ketiga MTI ini melakukan pembiasaan shalat fardhu berjamaah. Namun, ibadah sunnah, seperti shalat tahajud, dan puasa sunnah belum ditekankan, hanya kemauan dari santri sendiri. Pembinaan khalifah Allah di muka bumi dilakukan melalui
pembinaan kepemimpinan, yaitu membentuk pengurus OSIS. Pembinaan manusia
sebagai makhluk individu dan social, dilakukan dengan membina sikap kemandirian. Di MTI Jaho, pembinaan sosial itu dilakukan
dengan berpartisipasi aktif dalam kegiatan masyarakat, terutama yang terkait
dengan kegiatan keagamaan. Di MTI Batang
Kabung, dibangun pula tradisi mando’a bagi santri yang berkelahi. Kedua
santri yang berkelahi diharuskan menyembelih seekor ayam lalu memakannya secara
bersama santri lain yang dibimbing oleh buya ketika mando’a tersebut.
Biaya penyembelihan ayam itu ditanggung oleh santri yang berkelahi.
Namun ada
hal-hal yang tidak sepenunya diterapkan sebagaimana yang menjadi gagasan Syekh Sulaiman al-Rasuli. Di antara yang
paling menonjol adalah model kurikulum yang diterapkan, khususnya terkait
dengan materi pembelajaran, tidak lagi fokus kepada ilmu-ilmu yang berorientasi
pada tafaqquh fi al-dīn semata, tetapi ketiga MTI yang diteliti telah
menerapkan kurikulum pesantren khalafiyah yang mengkombinasikan antara
kurikulum pondok pesantren dengan kurikulum nasional (seperti SMP dan SMA) dan
kurikulum madarasah Kementerian Agama. Meskipun di satu sisi pola ini
menguntungkan dengan wawasan keilmuan yang lebih komprehensif serta dianggap
terbuka dan respons terhadap perkembangan zaman, akan tetapi alokasi waktu yang
terlalu besar dan jumlah mata pelajaran (materi) yang banyak mengakibatkan pola
pembelajaran kitab kuning sebagai salah satu tradisi MTI kurang optimal. Pola
kurikulum seperti ini tentu tidak sesuai dengan prinsip metode pembelajaran
yang tertib, sesuai dengan alur dan patut seperti yang dikemukakan Syekh
Sulaiman al-Rasuli sendiri.
Begitu pula
pendidik, perannya sebagai ulama seperti yang dikemukakan Inyiak Canduang tentu
tidak sepenuhnya dapat dilakukan oleh semua guru. Peran ini lebih memungkinkan
untuk diterapkan oleh guru-guru kitab kuning, selain memiliki ilmu agama juga berperan aktif di
tengah-tengah masyarakat. Peran pendidik sebagai ulama ini lebih tampak di MTI
Batang Kabung di mana para guru yang bergelar Tuanku umumnya memiliki
jamaah secara khusus di masjid/mushalla dan mereka yang tinggal di sekitar
Batang Kabung tetap mendapat bimbingan dari pimpinan/khalifah MTI. Sementara
MTI Canduang dan Jaho, guru-guru yang menjalankan perannya sebagai ulama di
tengah-tengah masyarakat tidak terorganisir, melainkan diserahkan pada pribadi
masing-masing. Bahkan MTI Canduang saat ini “kehilangan” sosok ulama yang
berperan sebagai “Buya” atau semacam “Kiai” yang tinggal di sekitar MTI,
menjadi figur dan model bagi santri dalam kehidupan sehari-hari dan aktif
mengajar dan mendidik santri baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun di luar
pembelajaran.
Selanjutnya peserta didik atau santri di
ketiga MTI ini memiliki akhlak yang bervariasi. Akhlak peserta didik tersebut
sesungguhnya dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama latar belakang keluarga
dan lingkungan sekitarnya. Namun, MTI sebagai lembaga pendidikan Islam akan
lebih mudah membina akhlak santrinya apabila: 1) santri diasramakan lalu
dilakukan pembinaan yang kontiniu dan terorganisir; 2) santri dikontrol dari
pengaruh negatif kemajuan teknologi informasi; dan 3) dukungan lingkungan
sekitar terhadap pergaulan santri agar tetap sesuai dengan tuntunan agama dan
adat. Ketiga hal ini tampak di MTI Jaho di mana seluruh santri diasramakan,
mereka tidak dibebaskan menggunakan internet, TV, bahkan HP dan kultur
masyarakat sekitar pun masih mendukung keberadaan santri dengan menggap mereka
sebagai anak nagari. Karena itu, santri MTI Jaho, secara umum tampak
lebih santun dan pemalu, meskipun pembinaan di asrama masih belum optimal.
Sedangkan di MTI Canduang dan MTI Batang Kabung, lebih banyak yang tidak
tinggal di asrama dan mereka tidak bisa dikontrol ketika bersentuhan dengan
teknologi informasi seperti internet, sehingga dampak negatif dari kemajuan
tersebut bisa mempengaruhi akhlak mereka. Apalagi santri di MTI Batang Kabung
yang tidak tinggal di asrama dan berada di perkotaan di mana kultur
masyarakatnya tidak lagi kokoh seperti di kanagarian yang ada di Canduang dan
Jaho. Maka perilaku santri yang tidak tinggal di asrama ini tampak beberapa di
antaranya kurang santun dalam berperilaku, termasuk dalam pergaulan antara
laki-laki dan perempuan. Sementara santri yang diasrama lebih terkontrol dalam
beribadah sehari-hari dan belajar di malam hari sehingga kesungguhan mereka
dalam belajar dan adab mereka pada guru masih bisa dirasakan, walau pun di sisi
lain sebagian mereka turut terpengaruh dengan teman-teman sebayanya yang tidak
tinggal di asrama tersebut.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
gagasan Syekh Sulaiman al-Rasuli tentang pendidikan Islam di atas dapat
disimpulkan bahwa ia patut disebut sebagai tokoh pendidikan Islam. Paling tidak
ketokohannya di bidang pendidikan Islam dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama,
ia adalah praktisi pendidikan Islam di mana ia aktif sebagai pendidik dan
pengajar, khususnya di MTI Canduang. Kedua, Ia
adalah tokoh pembaharu pendidikan Islam di masanya, mulai dari penggunaan kitab
yang bervariasi ketika mengajar di Surau Baru pasca-kembali dari Mekah hingga
mengubah sistem halaqah di surau menjadi sistem klasikal pada madrasah
yang kemudian dikenal dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang lalu
perubahan itu diikuti oleh surau-surau lain dari kalangan ulama kaum Tuo. Ketiga, ia termasuk
tokoh yang memiliki gagasan tentang pendidikan Islam, yang ia tulis dari
beberapa kitabnya. Bahkan kemampuan Syekh Sulaiman al-Rasuli
tidak hanya di bidang fiqh saja—seperti yang dipahami banyak orang—tetapi
karya-karya tulisnya menyentuh tiga pokok ajaran dasar Islam itu sendiri, yaitu
di bidang aqidah (seperti al-Aqwālu al-Mardhīyah, Jawāhir al-Kalāmiyah,
Tablīgh al-Amānāt), syari’ah (seperti Kitab Pedoman Puasa), dan
akhlak (seperti Dawa’ul Qulub, Enam Risalahdan sebagainya). Ia juga menulis tentang adat dan budaya Minangkabau yang ia
kombinasikan dengan syari’at Islam (seperti Asal Pangkat Penghulu dan
Pendiriannya dan Pertalian Adat dan Syarak yang Terpakai di Alam
Minangkabau Lareh nan Duo Luhak nan Tigo). Penguasaannya terhadap
ajaran/syariat Islam dengan adat dan budaya Minangkabau tersebut tampak
berpengaruh pada gagasannya tentang pendidikan Islam, terutama dalam kitabnya: Pedoman
Hidoep di Alam Minangkabau (Nasehat Siti Boediman) Menoeroet Garisan Adat dan
Sjara’.
Dengan begitu, gagasan pendidikan Islam Syekh Sulaiman al-Rasuli memiliki
corak tafaqquh di al-dīn bernuansa kultural. Ia mengedapankan kajian terhadap ilmu-ilmu agama, tetapi
tidak tercerabut dari kearifan lokal. Corak pemikiran ini tentu relevan dengan
filosofi Minangkabau yang selalu ia kemukakan, yaitu “Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai.”
Namun tidak semua komponen pendidikan Islam yang ia bahas pada karya-karya
tulisnya. Gagasannya tentang pendidikan Islam yang dapat diterapkan pada
madrasah dalam konteks kekinian hanya meliputi: hakikat manusia, tujuan
pendidikan, materi, metode, kode etik pendidik, sifat dan kode etik peserta
didik serta pendidikan informal.
Penerapan gagasan Syekh Sulaiman al-Rasuli pada MTI di Sumatera Barat,
dalam hal ini MTI Canduang, MTI Jaho, dan MTI Batang Kabung, sebagian besar
masih diterapkan di ketiga MTI ini. Namun ada hal-hal yang tidak sepenunya
diterapkan, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Adanya ketidaksesuaian dengan gagasannya dengan apa yang diterapkan di
MTI saat ini, turut dipengaruhi oleh ketidakpahaman pengelola, pendidik, hingga
santri MTI terhadap gagasan Syekh Sulaiman al-Rasuli. Sebab,
mereka tidak memiliki karya-karya tulis Syekh Sulaiman al-Rasuli, apalagi
memahami pesan-pesan yang dikandungnya. Kecuali itu, hanya kitab al-Aqwāl
al-Mardhiyah yang masih diterapkan oleh MTI Canduang dan Jaho, itu pun berbicara
tentang tauhid tingkat dasar dengan I’tiqad
Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Jadi, jika
ada yang masih relevan dengan gagasan Syekh Sulaiman al-Rasuli di ketiga MTI
ini lebih disebabkan oleh faktor tradisi yang terpelihara sejak awal
berdirinya, bukan sebagai akibat langsung dari gagasannya yang tertulis dalam
karya-karyanya.
Rekomendasi
Bagi pimpinan, guru atau pengelola MTI perlu melakukan: (1) sosialisasi
gagasan pendidikan Islam Syekh Sulaiman al-Rasuli terhadap unsur pimpinan,
pendidik, tenaga kependidikan dan santri MTI sehingga gagasannya tetap menjadi
referensi sekaligus inspirasi untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas
MTI; (2) Melakukan reformulasi kurikulum MTI dalam menghadapi perkembangan
modernisasi. Di satu sisi MTI perlu menerapkan kurikulum mata pelajaran umum
sehingga MTI tetap survive dengan kemajuan sains dan teknologi.
Namun di sisi lain, MTI harus tetap mempertahankan identitas aslinya sebagai
lembaga pendidikan Islam yang melahirkan ulama, atau paling tidak generasi yang
cerdas berpaham Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah dan bermazhab Syafi’i; (3) MTI harus
mengoptimalkan pembinaan santri di asrama. Bahkan MTI seharusnya lebih banyak
menampung santri yang berasrama dari pada tidak sehingga lebih mudah melakukan
pembinaan, baik aspek intelektual maupun moral-spiritualnya; (4) MTI harus
melakukan kaderisasi terhadap ulama yang siap menjadi pendidik dan pemimpin
madrasah sekaligus pendidik umat yang profesional dengan ilmu yang mendalam; dam (5) MTI harus mempertagas ciri khas atau spesifikasi
keilmuan yang dimilikinya sehingga MTI menjadi lebih eksis dan berperan dalam
menyiapkan lulusan yang berilmu pengetahuan.
Peran
Persatuan Tarbiyah Islamiyah atau PERTI harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas
MTI. Sebab kelahiran organisasi ini berawal dari keinginan untuk mengorganisir
MTI itu sendiri agar semakin berkembang dan meningkat kualitasnya. Apalagi
organisasi ini hingga sekarang masih terpecah dua, yang satu lebih dikenal
dengan singkatan “Tarbiyah”, yang lainnya
dengan singkatan PERTI. Seharusnya, keduanya melakukan ishlah dan
kembali kepada khittah-nya sebagai organisasi yang lebih mengedepankan
urusan pendidikan lalu diperkuat dengan dakwah dan sosial.
DAFTAR BACAAN
Asnan, Gusti, Kamus
Sejarah Minangkabau, (Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau
(PPIM), 2003), hlm. 308.
Azra, Azyumardi, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan
Modernisasi, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2003
Chairusdi, Sejarah
Perjuangan dan Kiprah PERTI dalam Dunia Pendidikan Islam di Minangkabau, (Padang:
IAIN Press, 1999
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994, cet.
ke-6
Edwar (ed.), Riwayat
Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang: Islamic Center
Sumatera Barat, 1981.
Furchan, Arief dan Agus
Maimun, Studi Tokoh; Metode Penelitian Mengenai Tokoh, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005
Al-Ghazali, Imam, Ihyā’
Ulūm al-Dīn, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), cet. ke-3
Ilyas, Yusran,
Syekh H. Sulaiman ar-Rasuli; Profil Ulama Pejuang 1871 – 1970, Padang:
t.p., 1955
Kapau, Muhammad Rusli, Khulāsah
Tārīkh al-Maulānā al-Syekh Sulaimān Al-Rasūli, ditulis dalam rangka
peringatan 30 tahun mengajar Syekh Sulaiman ar-Rasuli, tepatnya pada tanggal 1
September 1938.
Koto, Alaiddin, Persatuan
Tarbiyah Islamiyah: Sejarah, Paham Keagamaan, dan Pemikiran Politik 1945-1970, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2012
Latief, M. Sanusi, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau, Disertasi: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
1988
Machudum, Sjarkawi, Perjuangan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah,Ahlussunnah wal Jama’ah Pendiri Republik
Indonesia, Jakarta: Perpustakaan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, 2011
Majalah Soearti No. 8 Tahun I, Dzulkaidah 1356
H/Januari 1938 M
al-Rasuli, Syekh
Sulaiman, al-Aqwālu al-Mardhīyah, Fort de
Kock: Mathba’ah al-Islamiyah, 1933 M/1351 H.
_________, al-Jawāhir
al-Kalāmiyah fi Bayān ‘Aqā’id al-Īmāniyah, Fort de
Kock: Drukkerij Islamijah FDK,
1346 H/1927 M.
_________, Asal
Pangkat Penghulu dan Pendiriannya, Fort de
Kock: Mathba’ah Islamiyah, 1927.
_________, Dawā’
al-Qulūb, Fort de Kock, Maktabah Islamiyah, 1924
_________, Enam
Risalah; Isra’ Mi’raj, Nabi SAW, Kisah Mu’adz r.a. dan
wafatnya Nabi SAW, serta al-Qaul al-Kāsyf fī al-Rad ‘Ala min I’tiradh
‘Ala Akābir al-Mu'allaf,Ibthal Hazhzhi Ahl al-‘Ashībah fī Tahrīm Qirā'at
al-Qur'ān bi al-‘Ajmiyah dan Izalat al-Dhalāl fī Tahrīm al-Īdza' wa
al-Sū'āl, Bukittinggi, Derekrij Agam, 1920.
_________, Keadaan
Minangkabau Dahulu dan Sekarang, Majalah
al-Mizan, Maninjau: Tahun Kesebelas, 26 Maret 1938/15 Muharram 1357 H
_________, Kitab
Pedoman Puasa, Fort de Kock: Bukhandel, Tsamaratul Ikhwan,
t.th., tulisan diselesaikan tahun 1936.Karya ini ditulis pada 27 agustus 1936
M/11 Rajab 1355 H. Kemudian dicetak oleh Bukhandel, Tsamaratul Ikhwan, Fort de
Kock.
_________, Maklumat “Sari Pati Sumpah Satie Bukit
Marapalam” pada tanggal 7 – Juni 1964 M/26 Muharam 1384 Hdi Candung.
_________, Mari Bersatu Dengan Adat dan Syarak, Padang: Syiar Tarbiyah,
Ikatan Pemuda Tarbiyah Islamiyah (IPTI) edisi Pebruari 2013. Tulisan ini
diterbitkan di Harian Haluan yang dimuat pada tanggal 16-19 April 1951 secara
bersambung
_________, Nasihat Maulana Sjeich Soeleiman Ar Rasoeli, Majalah Soearti edisi 22 tahun ke
III Maret 1939 M/Muharram 1358 H
_________, Pedoman
Hidoep di Alam Minangkabau Nasihat Siti Boediman Menoeroet Garisan Adat dan
Syara’, Dicetak atas Nafkah Dt. Mangoelak Basa,
Bukittinggi: Tsamaratoel Ichwan, 1930/1358
_________, Pertalian
Adat dan Syarak yang Terpakai di Alam Minangkabau Lareh nan Duo Luhak nan Tigo,
Fort de Kock: Mathba’ah Islamiyah, 1927.
_________, Risālah
al-Qaul al-Bayān fi Tafsīr al-Qur’ān, Fort de
Kock: Mathba’at Islamiyah, 1929,
_________, Tabligh al-Amanah, Bukittinggi, 1954 M/1373 H
_________, Tsamarat
al-Ihsān fīWalādatSayyid al-Insān, Bukittinggi:
Direkrij, 1923.
Rusli,
Bahruddin, Ayah Kita, (Cetakan pertama yang dicetak stensilan dalam
rangka HUT MTI Canduang ke-50 bulan Mei 1978
Rusli,
Bahruddin, Mengenang Dua Ulama Besar: Inyiak Parabek dan Inyiak Canduang, (Jakarta,
ditulis tanggal 26 Juli 1972
Satori, Djama’an dan Aaan
Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2010,
cet. ke,2
Shamad, Irhash
A. dan Danil M. Chaniago, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau,
(Jakarta: Tintamas Indonesia, 2007
Steenbrink, Karel
A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen, Jakarta:
LP3ES, 1994, cet. ke-2
Suprayogo, Irman dan Tobroni, Metodologi Penelitian
Sosial-Agama, (Bandung:
PT.Remaja Rosdakarya, 2001
PT.Remaja Rosdakarya, 2001
Yunus,
Yulizal, Syekh Sulaiman al-Rasuli (1971-1970) dalam “Beberapa Ulama di
Sumatera Barat”, (Padang, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Dinas Pariwisata
Seni dan Budaya UPTD Museum Adityawarman, 2008)
Zulkifli, Syekh
Sulaiman al-Rasuli; Upaya Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Tesis:
PPs IAIN IB Padang. 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar