Oleh: Muhammad Kosim
(Terbit di Harian Singgalang, 25 April 2014)
Setiap orang tua
yang mukmin pasti menginginkan anak yang saleh. Bahkan khalilullah, Nabi
Ibrahim a.s. sendiri bermunjat kepada Allah SWT: "Ya Tuhanku,
anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh (Qs.
Ash-Shaaffat/37: 100).
Kemampuan orang
tua untuk mendidik anaknya menjadi saleh tentulah terbatas. Karena itu, orang
tua juga memberi amanah kepada guru di sekolah untuk dapat mewujudkan harapan
tersebut. Selaku penerima amanah, guru di sekolah sejatinya memiliki program
yang mendukung untuk terbentuknya kepribadian peserta didik yang saleh.
Di antara program
yang patut dilakukan, dapat merujuk pada surat Ali Imran/3: 113-114. Dalam ayat
ini, disebutkan ada tujuh karakter hamba yang saleh. Ketujuh karakter itu harus
dididik dan dibiasakan oleh orang tua di rumah, termasuk guru di lingkungan
sekolah.
Pertama, berlaku lurus,
atau bahasa sederhananya memiliki karakter istiqamah (ummatun qa'imah). Untuk
mendidik peserta didik menjadi istiqamah, perlu menegakkan disiplin
melalui tata tertib sekolah. Tata tertib harus diterapkan secara konsisten,
baik ketika memberi reward maupun sanksi.
Jangan hanya
menyuruh siswa menjaga kebersihan ketika ada kunjungan tamu, tetapi di hari
biasa mereka dibiarkan membuang sampah sembarangan. Hal ini akan menghambat
terwujudnya pribadi yang istiqamah.
Kedua, yaitu
membaca ayat-ayat Allah di malam hari (yatluna
ayatillah ana allaili).
Anak yang saleh adalah anak yang rajin
membaca ayat-ayat al-Quran. Sekolah perlu membuat program membaca al-Qur’an,
baik di sekolah maupun di rumah. Di sekolah, misalnya, ada program tadarus di
setiap awal pembelajaran, atau membaca beberapa ayat pendek setiap kali membuka
dan memulai pelajaran.
Membaca al-Qur’an
juga perlu diprogramkan sekolah melalui penugasan. Siswa ditugaskan untuk
membaca al-Qur’an setiap usai shalat Maghrib di rumahnya. Penugasan ini
diperkuat dengan adanya buku penghubung antara guru dengan orang tua, di mana
siswa membaca ayat al-Qur'an lalu diketahui dan dikomentari oleh orang tua
sehingga menjadi buku kontrol bagi guru. Buku penghubung itu mesti
ditindaklanjuti oleh guru hingga memberi penilaian dan memberi reward kepada
yang tekun membaca al-Qur’an.
Betapa sejuknya
hati orang tua jika menyaksikan setiap ba’da maghrib anaknya membaca al-Qur’an.
Apalagi jika orang tuanya juga ikut bertadarus dengan anak tersebut.
Kegiatan ini juga
mendukung program yang dicanangkan oleh Kementerian Agama, yaitu Gerakan
Masyarakat Maghrib Mengajari (Gemmar Mengaji). Diharapkan, al-Quran semakin
dicintai, keluarga pun menjadi sakinah, rumah mereka diberkahi dan diterangi
oleh cahaya keimanan.
Ketiga, mereka
senantiasa sujud (wa hum yasjudun). Sujud adalah
simbol ketundukan dan ketaatan dalam beribadah kepada Allah SWT. Salah satu
indikatornya adalah rajin melaksanakan ibadah, baik fardhu maupun sunnat.
Sekolah harus
membuat program melaksanakan shalat zhuhur berjamaah di sekolah. Hal ini akan
efektif dilakukan jika semua guru ikut melaksanakannya. Bahkan ketika adzan
berkumandang, semua aktivitas sekolah mesti dihentikan lalu dialihkan untuk
shalat berjamaah. Kantin sekolah ditutup untuk sementara, begitu pula tamu
dilayani setelah shalat berjamaah.
Jika masjid dan
mushalla tak tersedia di sekolah, maka ruangan kelas bisa dikondisikan untuk
pelaksanaan shalat berjamaah tersebut. Bahkan jika kelas dijadikan tempat
shalat, tentulah kebersihannya akan senantiasa terjaga.
Tidak saja shalat
berjamaah, shalat dhuha pun perlu diprogramkan. Sebab, logikanya jika siswa
terbiasa melaksanakan shalat sunnat, tentu ia tidak akan mengabaikan shalat
fardhu.
Keempat, beriman
kepada Allah (yu’minuna
billah).
Salah satu upaya untuk menanamkan iman
kepada siswa di sekolah adalah membiasakan zikir atau mengucapkan
kalimat-kalimat thayyibah. Ruangan kelas perlu didesain dengan ayat-ayat
Allah atau kalimat-kalimat motivasi untuk senantiasa mengingat Allah SWT.
Setelah shalat
berjamaah, siswa dipandu untuk berzikir. Di awal pembelajaran, siswa bisa
membaca al-ma’tsurat, atau untaian zikir lainnya. Pembiasaan zikir ini
dapat menanamkan keimanan siswa kepada Allah SWT sehingga terbentuk pribadi
yang saleh.
Kelima, beriman
kepada hari akhir (walyaumil
akhir).
Beriman pada hari akhir dapat
ditanamkan melalui zikrul maut atau mengingat kematian. Salah satu
bentuk kegiatan yang dapat dilakukan oleh sekolah adalah melakukan muhasabah.
Melalui muhasabah, siswa diajak untuk merenungkan hakikat kehidupan
sembari menyadari adanya hari pembalasan untuk mempertanggungjawabkan segala
apa yang dilakukan.
Iman kepada hari
akhir juga mengingatkan kita tentang adanya hukuman dan ganjaran. Orang yang
salah dihukum berupa neraka dan yang benar diberi ganjaran berupa surga. Sekolah
harus membuat aturan yang seimbang, ada sanksi dan ada reward lalu
diterapkan secara objektif atau dengan prinsip keadilan.
Selama ini, ada
kecenderungan sekolah hanya membuat sanksi pada bagian akhir tata tertibnya.
Sementara reward sering terabaikan. Sejatinya, reward lebih
dikedepankan dari pada sanksi. Siswa yang bersih, disiplin, sopan berutur kata,
ramah, dan seterusnya, mesti diberi reward.
Jadi, sekolah
tidak hanya memberi penghargaan kepada siswa yang memperoleh rangking satu,
tetapi yang paling bergengsi seyogyanya adalah siswa teladan. Siswa teladan
yang dimaksud lebih mengedepankan hablun minallah dan hablun minannas
wal-‘alam, atau dalam kurikulum 2013 disebut dengan istilah sikap spiritual
dan sosial.
Keenam, mengajak/ merangkul orang lain berbuat baik dan menghindari
kejahatan/kemaksiatan (ya’muruna bilma’ruf wa yanhauna ‘anilmunkar). Siswa
mesti dididik untuk peduli terhadap orang lain. Di sinilah pentingnya kesalehan
sosial, di samping kesalehan ritual.
Untuk membina amar
ma’ruf nahi munkar di antara siswa, sekolah perlu membuat program mentoring.
Melalui mentoring, siswa dikelompokkan antara 10-12 orang lalu dibina oleh
seorang mentor. Mentor tersebut bisa berasal dari guru, atau siswa senior
menjadi mentor bagi siswa yunior.
Dalam kegiatan
mentoring, sesama siswa dibiasakan untuk saling memotivasi, saling menasehati
hingga saling mendoakan agar banyak melakukan kebaikan. Demikian sebaliknya,
mereka saling mencegah sesamanya dari perbuatan-perbuatan yang merugi, termasuk
yang diharamkan oleh agama.
Ketujuh, bersegera
melakukan
kegiatan positif (wasari’una
fil khairat).
Anak
yang saleh senantiasa berlomba-lomba melakukan kebaikan yang dilandasi dengan
keikhlasan karena dan untuk Allah SWT. Karena itu,
sekolah juga dituntut menyusun program yang mendorong siswa untuk berprestasi
secara sportif.
Sekolah dan guru sejatinya
lebih banyak mendedepankan reward dari pada punishment. Bukan
justru “royal memberi hukuman, kikir memberi hadiah/ganjaran.”
Dengan
menerapkan program di atas, diharapkan sekolah memiliki peran penting dalam
mewujudkan anak saleh. Dari kumpulan anak saleh, akan terbentuk masyarakat yang
saleh, dan lahir pula pemimpin-pemimpin yang berkarakter saleh. Kesalehan yang
mereka miliki tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga bersifat sosial. Dua hal
inilah yang menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadaban; baldatun
tayyibatun wa rabbun ghafur. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar