Sabtu, April 26, 2014

Pendidikan Anak Saleh di Sekolah

 

Oleh: Muhammad Kosim
(Terbit di Harian Singgalang, 25 April 2014)

Setiap orang tua yang mukmin pasti menginginkan anak yang saleh. Bahkan khalilullah, Nabi Ibrahim a.s. sendiri bermunjat kepada Allah SWT: "Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh (Qs. Ash-Shaaffat/37: 100).
Kemampuan orang tua untuk mendidik anaknya menjadi saleh tentulah terbatas. Karena itu, orang tua juga memberi amanah kepada guru di sekolah untuk dapat mewujudkan harapan tersebut. Selaku penerima amanah, guru di sekolah sejatinya memiliki program yang mendukung untuk terbentuknya kepribadian peserta didik yang saleh.
Di antara program yang patut dilakukan, dapat merujuk pada surat Ali Imran/3: 113-114. Dalam ayat ini, disebutkan ada tujuh karakter hamba yang saleh. Ketujuh karakter itu harus dididik dan dibiasakan oleh orang tua di rumah, termasuk guru di lingkungan sekolah.

Pertama, berlaku lurus, atau bahasa sederhananya memiliki karakter istiqamah (ummatun qa'imah). Untuk mendidik peserta didik menjadi istiqamah, perlu menegakkan disiplin melalui tata tertib sekolah. Tata tertib harus diterapkan secara konsisten, baik ketika memberi reward maupun sanksi.
Jangan hanya menyuruh siswa menjaga kebersihan ketika ada kunjungan tamu, tetapi di hari biasa mereka dibiarkan membuang sampah sembarangan. Hal ini akan menghambat terwujudnya pribadi yang istiqamah.
Kedua, yaitu membaca ayat-ayat Allah di malam hari (yatluna ayatillah ana allaili). Anak yang saleh adalah anak yang rajin membaca ayat-ayat al-Quran. Sekolah perlu membuat program membaca al-Qur’an, baik di sekolah maupun di rumah. Di sekolah, misalnya, ada program tadarus di setiap awal pembelajaran, atau membaca beberapa ayat pendek setiap kali membuka dan memulai pelajaran.
Membaca al-Qur’an juga perlu diprogramkan sekolah melalui penugasan. Siswa ditugaskan untuk membaca al-Qur’an setiap usai shalat Maghrib di rumahnya. Penugasan ini diperkuat dengan adanya buku penghubung antara guru dengan orang tua, di mana siswa membaca ayat al-Qur'an lalu diketahui dan dikomentari oleh orang tua sehingga menjadi buku kontrol bagi guru. Buku penghubung itu mesti ditindaklanjuti oleh guru hingga memberi penilaian dan memberi reward kepada yang tekun membaca al-Qur’an.
Betapa sejuknya hati orang tua jika menyaksikan setiap ba’da maghrib anaknya membaca al-Qur’an. Apalagi jika orang tuanya juga ikut bertadarus dengan anak tersebut.
Kegiatan ini juga mendukung program yang dicanangkan oleh Kementerian Agama, yaitu Gerakan Masyarakat Maghrib Mengajari (Gemmar Mengaji). Diharapkan, al-Quran semakin dicintai, keluarga pun menjadi sakinah, rumah mereka diberkahi dan diterangi oleh cahaya keimanan.
Ketiga, mereka senantiasa sujud (wa hum yasjudun). Sujud adalah simbol ketundukan dan ketaatan dalam beribadah kepada Allah SWT. Salah satu indikatornya adalah rajin melaksanakan ibadah, baik fardhu maupun sunnat.
Sekolah harus membuat program melaksanakan shalat zhuhur berjamaah di sekolah. Hal ini akan efektif dilakukan jika semua guru ikut melaksanakannya. Bahkan ketika adzan berkumandang, semua aktivitas sekolah mesti dihentikan lalu dialihkan untuk shalat berjamaah. Kantin sekolah ditutup untuk sementara, begitu pula tamu dilayani setelah shalat berjamaah.
Jika masjid dan mushalla tak tersedia di sekolah, maka ruangan kelas bisa dikondisikan untuk pelaksanaan shalat berjamaah tersebut. Bahkan jika kelas dijadikan tempat shalat, tentulah kebersihannya akan senantiasa terjaga.
Tidak saja shalat berjamaah, shalat dhuha pun perlu diprogramkan. Sebab, logikanya jika siswa terbiasa melaksanakan shalat sunnat, tentu ia tidak akan mengabaikan shalat fardhu.
Keempat, beriman kepada Allah (yu’minuna billah). Salah satu upaya untuk menanamkan iman kepada siswa di sekolah adalah membiasakan zikir atau mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah. Ruangan kelas perlu didesain dengan ayat-ayat Allah atau kalimat-kalimat motivasi untuk senantiasa mengingat Allah SWT.
Setelah shalat berjamaah, siswa dipandu untuk berzikir. Di awal pembelajaran, siswa bisa membaca al-ma’tsurat, atau untaian zikir lainnya. Pembiasaan zikir ini dapat menanamkan keimanan siswa kepada Allah SWT sehingga terbentuk pribadi yang saleh.
Kelima, beriman kepada hari akhir (walyaumil akhir). Beriman pada hari akhir dapat ditanamkan melalui zikrul maut atau mengingat kematian. Salah satu bentuk kegiatan yang dapat dilakukan oleh sekolah adalah melakukan muhasabah. Melalui muhasabah, siswa diajak untuk merenungkan hakikat kehidupan sembari menyadari adanya hari pembalasan untuk mempertanggungjawabkan segala apa yang dilakukan.
Iman kepada hari akhir juga mengingatkan kita tentang adanya hukuman dan ganjaran. Orang yang salah dihukum berupa neraka dan yang benar diberi ganjaran berupa surga. Sekolah harus membuat aturan yang seimbang, ada sanksi dan ada reward lalu diterapkan secara objektif atau dengan prinsip keadilan.
Selama ini, ada kecenderungan sekolah hanya membuat sanksi pada bagian akhir tata tertibnya. Sementara reward sering terabaikan. Sejatinya, reward lebih dikedepankan dari pada sanksi. Siswa yang bersih, disiplin, sopan berutur kata, ramah, dan seterusnya, mesti diberi reward.
Jadi, sekolah tidak hanya memberi penghargaan kepada siswa yang memperoleh rangking satu, tetapi yang paling bergengsi seyogyanya adalah siswa teladan. Siswa teladan yang dimaksud lebih mengedepankan hablun minallah dan hablun minannas wal-‘alam, atau dalam kurikulum 2013 disebut dengan istilah sikap spiritual dan sosial.
Keenam, mengajak/ merangkul orang lain berbuat baik dan menghindari kejahatan/kemaksiatan (ya’muruna bilma’ruf wa yanhauna ‘anilmunkar). Siswa mesti dididik untuk peduli terhadap orang lain. Di sinilah pentingnya kesalehan sosial, di samping kesalehan ritual.
Untuk membina amar ma’ruf nahi munkar di antara siswa, sekolah perlu membuat program mentoring. Melalui mentoring, siswa dikelompokkan antara 10-12 orang lalu dibina oleh seorang mentor. Mentor tersebut bisa berasal dari guru, atau siswa senior menjadi mentor bagi siswa yunior.
Dalam kegiatan mentoring, sesama siswa dibiasakan untuk saling memotivasi, saling menasehati hingga saling mendoakan agar banyak melakukan kebaikan. Demikian sebaliknya, mereka saling mencegah sesamanya dari perbuatan-perbuatan yang merugi, termasuk yang diharamkan oleh agama.
Ketujuh, bersegera melakukan kegiatan positif (wasari’una fil khairat). Anak yang saleh senantiasa berlomba-lomba melakukan kebaikan yang dilandasi dengan keikhlasan karena dan untuk Allah SWT. Karena itu, sekolah juga dituntut menyusun program yang mendorong siswa untuk berprestasi secara sportif.
Sekolah dan guru sejatinya lebih banyak mendedepankan reward dari pada punishment. Bukan justru “royal memberi hukuman, kikir memberi hadiah/ganjaran.” 
Dengan menerapkan program di atas, diharapkan sekolah memiliki peran penting dalam mewujudkan anak saleh. Dari kumpulan anak saleh, akan terbentuk masyarakat yang saleh, dan lahir pula pemimpin-pemimpin yang berkarakter saleh. Kesalehan yang mereka miliki tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga bersifat sosial. Dua hal inilah yang menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadaban; baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: