Sabtu, April 26, 2014

Sikap Menerima Jabatan; Antara Suka dan Duka

Oleh: Muhammad Kosim
Kolumnis, tinggal di Padang-(Terbit di Padang Ekspres, 18 April 2014)

Setiap kalian adalah pemimpin dan tiap kalian mempunyai tanggung jawab terhadap yang di pimpinnya (HR. Abu Daud).

Pemilu calon legislatif telah usai. Meskipun hasilya belum diumumkan secara resmi oleh KPU, akan tetapi wajah para calon legislatif mulai tampak; ada yang bersedih ada pula berseri-seri.
Bagi yang merasa kalah, tentulah memberi pengaruh pada psikologinya. Ada yang mampu mengendalikan diri sehingga tidak tampak perubahan negatif. Bahkan bagi mereka, “kekalahan adalah keberhasilan yang tertunda.” Kekalahan adalah pil pahit yang bisa diolah menjadi obat berupa motivasi untuk berbuat yang lebih baik. Ia pelajari titik kelemahannya lalu bertekad bangkit untuk menggapai kesuksesan di masa mendatang.


Sementara yang tidak memiliki kepribadian yang kuat, kekalahan itu akan mengakibatkan guncangan batin. Sikapnya tidak terkontrol. Membenci diri sendiri juga orang lain. Ada yang malu dan takut secara berlebihan sehingga cenderung mengasingkan diri. Ada pula yang kehilangan rasa malu sehingga perilakunya menimbulkan keresahan bagi banyak orang. Pendeknya, mereka mengalami gangguan jiwa (neurosis), bahkan bisa mengidap penyakit jiwa (psikosis).



Bagi mereka yang memperhitungkan akan menjadi pemenang, juga memberi efek beragam. Ada yang bersuka cita secara tak wajar. Mereka berpesta pora. Yang terbayang dibenaknya adalah kekuasaan, dihormati dan dipuji orang, memperoleh banyak fasilitas dan berbagai kemudahan, sementara tugas dan tanggungjawab tak lagi dipertimbangkan.
 

Namun, di antara mereka ada pula yang seperti berduka. Ia meyakini bahwa jabatan adalah amanah. Ketika amanah tak mampu diemban, maka tak ada yang patut dibanggakan.

Tangis Umar bin Abdul Aziz
Beduka menerima amanah sebagai pemimpin dan penguasa, dialami oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz (682-720 M). Ketika ia terpilih dan diangkat menjadi pemimpin (khalifah) menggantikan khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, ia justru mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) seraya menangis sambil memasukkan kepalanya di antara dua lututnya.
 

Dalam tangisnya ia berucap: “Demi Allah, sungguh aku tidak meminta urusan ini sedikit pun, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.” Ia termenung memikirkan nasib para fakir miskin sedang kelaparan yang tidak mendapat perhatian dari pemimpinnya. Ia juga terpaku mengingat orang-orang sakit, tidak mendapati obat yang memadai. Ia takut jika menjadi pemimpin tidak mampu membela kepentingan orang-orang lemah (mustadh’afin) dan orang-orang teraniaya.
 

Ia berkata: “Aku sadar sepenuh hati, bahwa Allah SWT pasti akan meminta pertanggungjawabanku, sebab ini adalah amanah yang terpikul di pundakku. Namun aku bimbang dan ragu, apakah aku mampu dan sanggup membuktikan kepada Allah SWT, bahwa aku telah melaksanakan amanah itu dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Tuhanku. Atas dasar itulah, wahai istri dan anakku, aku menangis”.
 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun membaca Firman Allah SWT, “Sesungguhnya aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (kiamat) jika mendurhakai Tuhanku” (Qs. Yunus10: 15).
Dalam Islam, manusia dipandang memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai hamba Allah (abdullah) dan khalifah-Nya di muka bumi. Manusia tidak saja dituntut untuk beribadah secara khusus kepada-Nya, tetapi diberi amanah untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi.
 

Sebagai khalifah-Nya, maka manusia dituntut untuk mampu memelihara dan melestarikan lingkungan, menjaga keseimbangan serta mewujudkan kemaslahatan. Semua itu akan efektif dilakukan melalui kekuasaan.
 

Karena itu, Allah membekali manusia dengan berbagai potensi untuk memimpin dan menguasai. Tidak sedikit manusia yang memiliki hasrat ingin menguasai, ada yang ingin berkuasa untuk menegakkan kebenaran, ada pula yang berhasrat ingin memenuhi keinginan hawa nafsunya sendiri.
Sejatinya, potensi dan kemampuan untuk memimpin dan menguasai itu terikat dengan aturan yang digariskan-Nya. Kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan dengan prinsip keadilan dan kebenaran. Semuanya akan dipertanggungjawabkan.

Keadilan vs Hawa Nafsu
 

Allah SWT mengingatkan kepada Nabi Daud a.s. ketika ditakdirkan menjadi penguasa: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil (al-haq) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan (Qs. Shaad/38: 26).
 

Ayat di atas sesungguhnya menjadi pesan bagi para penguasa dewasa ini. Mereka dituntut untuk menjadi orang yang adil dan berlaku benar. Kebenaran itu tentulah bersumber dari Allah SWT (Qs. al-Baqarah/2: 147).
 

Di sisi lain, Allah melarang keras mereka berkuasa dengan mengikuti hawa nafsu. Memimpin dengan hawa nafsu akan melahirkan kebijakan yang hanya berorientasi pada duniawi, mengedepankan materi, memilih kenikmatan sesaat, mementingkan diri dan golongan, cenderung menghalalkan segala cara. Hukum mereka rekayasa, korupsi menjadi budaya, agama hanya pemanis kata.
Jika hawa nafsu menjadi ikutan, maka sang pemimpin itu telah berada dalam kesesatan. Akibatnya, Allah akan menimpakan azab yang berat baginya. Azab itu bisa saja ditunjukkan Allah sebagiannya di dunia, dan pasti mereka rasakan di akhirat.
 

Tidak sedikit di antara pemimpin yang memperturutkan hawa nafsunya itu berakhir dengan su’ul khatimah (akhir yang buruk) di penghujung kepemimpinannya. Kebaikan yang selama ini dielu-elukan terkubur dan berganti dengan bau busuk yang menyengat. Allah bukakan aibnya di antara sesamanya.
 

Namun, bagi mereka yang konsisten menegakkan amanah, tentulah akan dimuliakan. Nama khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, tetap harum dikenang dan dirindukan.
 

Tetapi tidak ada pula jaminan orang yang berjuang menegakkan kebanaran itu akan dipuji dan dihormati orang dalam kehidupannya. Adakalanya kebijakan yang mengedepankan keadilan dan kebenaran itu tidak populer bagi rakyatnya. Ia pun dihina dan direndahkan. Tentu hal itu tidaklah akhir yang buruk (su’ul khatimah) baginya. Tak heran, ada pemimpin yang masa hidupnya dihina, tapi setelah ia tiada baru dipuji dan disayangi.
 

Kita berharap, siapa pun yang terpilih menjadi pemimpin di negeri ini, baik mereka yang duduk di legislatif maupun eksekutif, meyakini bahwa jabatan yang diberikan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, tidak saja kepada manusia, yang terpenting adalah di hadapan Allah SWT. Kepemimpinan dan kekuasaan mesti dijalankan dengan adil dan benar. Kesadaran itu sejatinya diaplikasikan dalam tindakan dan kebijakan.
 

Bagi mereka yang selama ini berniat hanya untuk kepentingan pribadi, berimam kepada nafsu syahwat, maka masih ada waktu untuk memperbaharui niat. Jika niat telah diluruskan, maka perlu konsistensi atau sikap istiqamah.
 

Maka tak patut bersuka cita secara berlebihan menerima jabatan, apalagi sampai melupakan hakikat kepemimpinan sebagai amanah. Begitu pula tak layak berduka cita ketika jabatan tak diperoleh, apalagi hingga lupa diri, stres dan depresi. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: