Oleh: Muhammad Kosim
Kolumnis, tinggal di Padang-(Terbit di Padang Ekspres, 18 April 2014)
Setiap kalian adalah pemimpin dan tiap kalian mempunyai tanggung jawab terhadap yang di pimpinnya (HR. Abu Daud).
Pemilu calon legislatif telah usai. Meskipun hasilya belum diumumkan
secara resmi oleh KPU, akan tetapi wajah para calon legislatif mulai
tampak; ada yang bersedih ada pula berseri-seri.
Bagi yang merasa kalah, tentulah memberi pengaruh pada psikologinya.
Ada yang mampu mengendalikan diri sehingga tidak tampak perubahan
negatif. Bahkan bagi mereka, “kekalahan adalah keberhasilan yang
tertunda.” Kekalahan adalah pil pahit yang bisa diolah menjadi obat
berupa motivasi untuk berbuat yang lebih baik. Ia pelajari titik
kelemahannya lalu bertekad bangkit untuk menggapai kesuksesan di masa
mendatang.
Sementara yang tidak memiliki kepribadian yang kuat,
kekalahan itu akan mengakibatkan guncangan batin. Sikapnya tidak
terkontrol. Membenci diri sendiri juga orang lain. Ada yang malu dan
takut secara berlebihan sehingga cenderung mengasingkan diri. Ada pula
yang kehilangan rasa malu sehingga perilakunya menimbulkan keresahan
bagi banyak orang. Pendeknya, mereka mengalami gangguan jiwa (neurosis),
bahkan bisa mengidap penyakit jiwa (psikosis).
Bagi mereka yang
memperhitungkan akan menjadi pemenang, juga memberi efek beragam. Ada
yang bersuka cita secara tak wajar. Mereka berpesta pora. Yang terbayang
dibenaknya adalah kekuasaan, dihormati dan dipuji orang, memperoleh
banyak fasilitas dan berbagai kemudahan, sementara tugas dan
tanggungjawab tak lagi dipertimbangkan.
Namun, di antara mereka ada
pula yang seperti berduka. Ia meyakini bahwa jabatan adalah amanah.
Ketika amanah tak mampu diemban, maka tak ada yang patut dibanggakan.
Tangis Umar bin Abdul Aziz
Beduka menerima amanah sebagai pemimpin dan penguasa, dialami oleh
khalifah Umar bin Abdul Aziz (682-720 M). Ketika ia terpilih dan
diangkat menjadi pemimpin (khalifah) menggantikan khalifah Sulaiman bin
Abdul Malik, ia justru mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un) seraya menangis sambil memasukkan kepalanya di
antara dua lututnya.
Dalam tangisnya ia berucap: “Demi Allah,
sungguh aku tidak meminta urusan ini sedikit pun, baik sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan.” Ia termenung memikirkan nasib para fakir
miskin sedang kelaparan yang tidak mendapat perhatian dari pemimpinnya.
Ia juga terpaku mengingat orang-orang sakit, tidak mendapati obat yang
memadai. Ia takut jika menjadi pemimpin tidak mampu membela kepentingan
orang-orang lemah (mustadh’afin) dan orang-orang teraniaya.
Ia
berkata: “Aku sadar sepenuh hati, bahwa Allah SWT pasti akan meminta
pertanggungjawabanku, sebab ini adalah amanah yang terpikul di pundakku.
Namun aku bimbang dan ragu, apakah aku mampu dan sanggup membuktikan
kepada Allah SWT, bahwa aku telah melaksanakan amanah itu dengan baik
dan benar sesuai dengan tuntunan Tuhanku. Atas dasar itulah, wahai istri
dan anakku, aku menangis”.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun
membaca Firman Allah SWT, “Sesungguhnya aku benar-benar takut akan azab
hari yang besar (kiamat) jika mendurhakai Tuhanku” (Qs. Yunus10: 15).
Dalam Islam, manusia dipandang memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai
hamba Allah (abdullah) dan khalifah-Nya di muka bumi. Manusia tidak
saja dituntut untuk beribadah secara khusus kepada-Nya, tetapi diberi
amanah untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi.
Sebagai
khalifah-Nya, maka manusia dituntut untuk mampu memelihara dan
melestarikan lingkungan, menjaga keseimbangan serta mewujudkan
kemaslahatan. Semua itu akan efektif dilakukan melalui kekuasaan.
Karena itu, Allah membekali manusia dengan berbagai potensi untuk
memimpin dan menguasai. Tidak sedikit manusia yang memiliki hasrat ingin
menguasai, ada yang ingin berkuasa untuk menegakkan kebenaran, ada pula
yang berhasrat ingin memenuhi keinginan hawa nafsunya sendiri.
Sejatinya, potensi dan kemampuan untuk memimpin dan menguasai itu
terikat dengan aturan yang digariskan-Nya. Kepemimpinan dan kekuasaan
adalah amanah yang harus dijalankan dengan prinsip keadilan dan
kebenaran. Semuanya akan dipertanggungjawabkan.
Keadilan vs Hawa Nafsu
Allah SWT mengingatkan kepada Nabi Daud a.s. ketika ditakdirkan menjadi
penguasa: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil (al-haq) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat,
karena mereka melupakan hari perhitungan (Qs. Shaad/38: 26).
Ayat di
atas sesungguhnya menjadi pesan bagi para penguasa dewasa ini. Mereka
dituntut untuk menjadi orang yang adil dan berlaku benar. Kebenaran itu
tentulah bersumber dari Allah SWT (Qs. al-Baqarah/2: 147).
Di sisi
lain, Allah melarang keras mereka berkuasa dengan mengikuti hawa nafsu.
Memimpin dengan hawa nafsu akan melahirkan kebijakan yang hanya
berorientasi pada duniawi, mengedepankan materi, memilih kenikmatan
sesaat, mementingkan diri dan golongan, cenderung menghalalkan segala
cara. Hukum mereka rekayasa, korupsi menjadi budaya, agama hanya pemanis
kata.
Jika hawa nafsu menjadi ikutan, maka sang pemimpin itu telah
berada dalam kesesatan. Akibatnya, Allah akan menimpakan azab yang berat
baginya. Azab itu bisa saja ditunjukkan Allah sebagiannya di dunia, dan
pasti mereka rasakan di akhirat.
Tidak sedikit di antara pemimpin
yang memperturutkan hawa nafsunya itu berakhir dengan su’ul khatimah
(akhir yang buruk) di penghujung kepemimpinannya. Kebaikan yang selama
ini dielu-elukan terkubur dan berganti dengan bau busuk yang menyengat.
Allah bukakan aibnya di antara sesamanya.
Namun, bagi mereka yang
konsisten menegakkan amanah, tentulah akan dimuliakan. Nama khalifah
Umar bin Abdul Aziz, misalnya, tetap harum dikenang dan dirindukan.
Tetapi tidak ada pula jaminan orang yang berjuang menegakkan kebanaran
itu akan dipuji dan dihormati orang dalam kehidupannya. Adakalanya
kebijakan yang mengedepankan keadilan dan kebenaran itu tidak populer
bagi rakyatnya. Ia pun dihina dan direndahkan. Tentu hal itu tidaklah
akhir yang buruk (su’ul khatimah) baginya. Tak heran, ada pemimpin yang
masa hidupnya dihina, tapi setelah ia tiada baru dipuji dan disayangi.
Kita berharap, siapa pun yang terpilih menjadi pemimpin di negeri ini,
baik mereka yang duduk di legislatif maupun eksekutif, meyakini bahwa
jabatan yang diberikan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan,
tidak saja kepada manusia, yang terpenting adalah di hadapan Allah SWT.
Kepemimpinan dan kekuasaan mesti dijalankan dengan adil dan benar.
Kesadaran itu sejatinya diaplikasikan dalam tindakan dan kebijakan.
Bagi mereka yang selama ini berniat hanya untuk kepentingan pribadi,
berimam kepada nafsu syahwat, maka masih ada waktu untuk memperbaharui
niat. Jika niat telah diluruskan, maka perlu konsistensi atau sikap
istiqamah.
Maka tak patut bersuka cita secara berlebihan menerima
jabatan, apalagi sampai melupakan hakikat kepemimpinan sebagai amanah.
Begitu pula tak layak berduka cita ketika jabatan tak diperoleh, apalagi
hingga lupa diri, stres dan depresi. Wallahu a’lam.
Sabtu, April 26, 2014
Sikap Menerima Jabatan; Antara Suka dan Duka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar