Oleh: Muhammad Kosim
–(Kasi PAI pada Pendidikan Menengah Bidang PAKIS Kanwil Kemenag Sumbar)–
Terbit Harian Singgalang, 21 Maret 2014
Mungkinkah seseorang dikatakan taat beragama jika ia tidak dekat dengan kitab sucinya? Layakkah seorang peserta didik disebut beriman dan bertakwa jika tidak mengenal ajaran kitab suci agamanya?Hanya orang yang berpegang teguh pada kitab sucinyalah yang akan mampu mengantarkan seseorang menjadi pribadi yang taat beragama. Dengan berpedoman pada kitab suci maka akan menuntunnya taat menjalankan agama dan merekalah yang disebut sebagai manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.
Rumusan kalimat orang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia sesungguhnya menjadi indikator utama dalam tujuan pendidikan nasional (pasal 3 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003).
Hal ini juga relevan dengan kompetensi setiap lulusan yang diinginkan baik di tingkat dasar maupun menengah, pada aspek sikap, memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam. (Permendikbud No. 54 Tahun 2013 tentang SKL Pendidikan Dasar dan Menengah).
Tujuan Sisdiknas ibarat gelas kosong yang bisa dimuat dengan nilai-nilai luhur, termasuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa. Maka setiap agama di Indonesia, mengisi gelas kosong itu sesuai ajaran masing-masing sehingga terisi penuh sesuai corak dan warna agama itu sendiri.
Dalam Islam, seorang pemeluknya tidaklah dikatakan bisa taat beragama jika tidak memahami dan mengamalkan Alquran. Mengamalkan Alquran tentu tidak hanya terbatas belajar membacanya saja. Akan tetapi, aktivitas membaca hanyalah tahap awal untuk mengamalkan Alquran.
Setelah membaca, setiap Muslim harus berupaya untuk memahami lalu mengamalkannya. Di antaranya mesti ada ayat-ayat yang dihafal. Di samping itu, ada proses penerjemahan untuk memahaminya serta menghayati makna yang terkandung untuk memotivasi diri mengamalkannya.
Tahap tertinggi adalah mengajarkan Alquran tersebut kepada orang lain. Karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan: “Sebaik-baik di antara kamu adalah orang yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya.”
Karena itu, perlu membumikan Alquran di sekolah; khususnya bagi peserta didik yang berama Islam. Membumikan Alquran yang dimaksud adalah menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai bagian yang integral dalam proses pendidikan, baik diwujudkan dalam kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler, maupun kultur sekolah.
Siswa Muslim harus didekatkan dengan kitab sucinya sehingga mereka cinta dan gemar mempelajari dan mengamalkannya.
Selama ini ada kesan orang tua dan sekolah hanya mengajarkan anak-anaknya membaca Alquran.
Mulai di Taman Pendidikan Alquran (TPQ) atau di sekolah digalakkan Tulis Baca Alquran (BTQ). Orang tua dan sekolah lebih memotivasi anak didiknya untuk memahami berbagai ilmu pengetahuan, tetapi pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran nyaris diabaikan.
Anehnya, kegiatan itu pun lebih didominasi oleh siswa tingkat SD dimana TPQ dan MDTA (Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah) masih banyak diminati. Tetapi ketika mereka sudah menjadi siswa SMP dan SMA, mereka tak lagi ke surau belajar di TPQ atau MDTW (wustha) dan MDTU (ulya).
Perda dan Pergub PQ Diabaikan
Di Sumatera Barat sendiri, ada kesadaran tinggi dari pemerintah daerah agar siswa di sekolah mempelajari Alquran secara khusus dan lebih mendalam. Apalagi kultur masyararakat Minangkabau memiliki falsafat adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK).
Maka lahirlah Peraturan Daerah Sumatera Barat No. 3/2007 tentang Pendidikan Alquran (PQ). Perda itu pun ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Sumatera Barat No. 70 Tahun 2010 tentang Kurikulum Pendidikan al Quran pada SD, SMP, SMA/SMK dan Pergub No. 71/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaannya.
Dalam Perda dan Pergub tersebut, diinginkan agar PQ dijadikan sebagai mata pelajaran muatan lokal yang diajarkan dua jam tatap muka setiap minggu baik di SD, SMP, maupun SMA/SMK. Namun setelah lebih lima tahun berjalan, perda dan pergub tersebut hari ini seakan mandul, karena beberapa sekolah mulai meninggalkannya.
Pemerintah daerah pun terkesan mengabaikannya karena belum ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menerapkanya. Berbagai alasan pun muncul. Ada yang menyebut muatan lokal ini tak lagi bisa diterapkan pada kurikulum 2013.
Padahal, dalam Permendikbud No. 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum disebutkan muatan lokal yang berlaku untuk seluruh wilayah provinsi ditetapkan dengan peraturan gubernur. Begitu pula halnya, apabila muatan lokal yang berlaku untuk seluruh wilayah kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.
Hingga saat ini, satu-satunya muatan lokal yang memiliki Pergub adalah Pendidikan Alquran.
Dalam kurikulum 2013, memang ada muatan lokal yang sifatnya terintegrasi pada mata pelajaran pendidikan jasmani dan rohani, seni bvudaya dan prakarya; sebagian konten/materinya disusun oleh pusat dan sebagiannya disusun daerah masing-masing.
Akan tetapi ada muatan lokal yang berdiri sendiri, dilaksanakan dua jam setiap minggu, seperti yang dijelaskan dalam Lampiran II, Permendikbud No. 81A/2010.
Hanya saja harus memiliki peraturan gubernur jika diterapkan di tingkat wilayah provinsi, dan peraturan bupati/walikota. Selain itu, biaya pelaksanaannya harus ditanggung daerah.
Sejatinya, pemprov, pemkab serta pemko, konsisten menerapkan perda dan pergub tentang pendidikan Alquran tersebut sebagai upaya membumikan Alquran di sekolah sehingga terbentuk peserta didik yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia (baca: taat beragama).
Begitu juga dewan legislatif, turut bertanggungjawab mengawasi jalan tidaknya pergub dan perda tersebut.
Pergub yang ada harusnya direvisi sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013, sebab Pergub yang lama masih memiliki pola standar kompetensi (SK) dan kompetensi sasar (KD) karena disusun tahun 2010.
Adapun sertifikasi guru, seharusnya bisa dikoordinasikan dengan Kementerian Agama karena pendidikan Alquran adalah bagian dari aspek Pendidikan Agama Islam sehingga bisa diajarkan oleh guru agama.
Mendidik peserta didik memahami dan mengamalkan Alquran, tentu tidaklah memadai dengan pendidikan Alquran yang diajarkan sebagai mata pelajaran muatan lokal saja daam bentuk kegiatan intrakurikuler. Tetapi perlu dilakukan kegiatan-kegiatan lain yang dapat mendidik peserta didik cinta dengan Alquran.
Dalam kegiatan ekstrakurikuler, misalnya, sekolah bisa melakukan kegiatan Tahfizh Alquran lalu memberi reward kepada peserta didik yang hafal sesuai target minimal yang dilakukan sekolah.
Pemerintah Kota Padang, misalnya, di tahun ini akan memberi reward kepada siswa SD yang hafal tiga juz, boleh memilih SMP favorit di Padang tanpa tes. Siswa SMP yang hafal 4 juz, bebas memilih SMA, dan siswa SMA/SMK hafal lima juz masuk perguruan tinggi tertentu (yang telah bekerjasama) tanpa tes pula.
Reward kepada siswa yang hafal beberapa surat Alquran sesuai yang ditargetkan sekolah juga bisa dilakukan dengan cara mengadakan wisuda tahfizh Alquran.
Di akhir tahun kelulusan, siswa yang hafal Alquran itu diwisuda dan disaksikan orang tuanya. Tentu suatu kebanggaan tersendiri sekaligus motivasi bagi siswa-siswa lain.
Untuk membumikan Alquran di sekolah, tidak cukup hanya sekedar menghafal, tetapi perlu pula pemahaman yang benar. Maka sekolah juga bisa membentuk kelompok studi kajian Alquran sesuai dengan tingkat perkembangan pemikiran peserta didik.
Kelompok ini bisa difasilitas dalam kegiatan rohis (rohani Islam) dengan membentuk mentoring lalu materi/tema yang diajarkan berdasarkan pada ayat-ayat tertentu. Semacam kajian tafsir maudhu’iy.
Masih banyak ide kreatif lainnya yang patut dilakukan di sekolah dalam rangka membumikan Alquran. Hal ini sangat relevan dilakukan mengingat kewajiban setiap satuan pendidikan untuk melahirkan peserta didik yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia. (*)
Senin, April 07, 2014
Membumikan al-Qur'an di Sekolah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
السلام عليكم و رحمة الله وبركاته pak, bisa minta pengumuman/ info untuk lomba model pembelajaran untuk guru PAI SD tahun 2014 ? Syukron
Posting Komentar