Minggu, September 21, 2008

Tradisi “Balimau”; Mensucikan atau Mengotori Diri?

Ketika bulan suci Ramadhan yang penuh berkah dan mengandung berbagai kemuliaan tiba, umat Islam menyambutnya dengan rasa gembira. Kegembiraan ini pun akan bernilai ibadah, sebagaimana dalam salah satu sabda Rasul: ”Barang siapa yang gembira menyambut Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya ke Neraka”. Namun, kerapkali kegembiraan itu terefleksi dalam kegiatan-kegiatan yang justru menjerumuskan ke api Neraka. Salah satu kegiatan yang biasa digelar dan kadang kegiatan yang sudah mengkultur ini, turut mengantarkan ke api neraka adalah ”tradisi Balimau”.

Tradisi ini biasanya dilakukan sehari menjelang masuknya bulan Ramadhan, di sore hari dengan melakukan mandi, layaknya seperti mandi wajib dengan membersihkan najis, hadas dan segala kotoran serta meratakan air ke seluruh tubuh. Tetapi air tersebut ditambah dengan air asam limau dan dedaunan yang harum lainnya sebagai alat penyuci. Karena itu, masyarakat di Sumatera Barat menyebut mandi ini dengan sebutan Balimau, sementara masyarakat Sumatera Utara mengenalnya dengan sebutan barpangir. Kemudian tempat yang digunakan dalam tradisi ini bisa di kamar mandi saja, atau di sungai-sungai yang dapat digunakan untuk mandi. Kini, tradisi ini justru berkembang di kalangan kaula muda dengan balimau ke tempat-tempat rekreasi seperti di sepanjang pantai atau tempat terbuka lainnya lalu menggelar ”mandi balimau berjamaah” tanpa adanya hijab antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim, bahkan kadang balimau ini memang dilakukan mereka secara berpasangan, atau sekarang dikenal dengan istilah pacaran.

Di antara alasan yang sering dikemukakan kenapa tradisi ini dilakukan adalah sebagai upaya penyucian diri. Ramadhan adalah bulan yang suci di mana segala aktifitas yang bernilai ibadah akan dilipatgandakan, segala doa dikabulkan, dan segala dosa diampunkan, sehingga bulan ini dikenal dengan bulan maghfirah. Maka sebelum bulan yang suci dan maghfirah ini tiba, dianggap perlu mensucikan diri (tazkiyah al-nafs), baik secara bathin (tazkiyah al-ruhaniah), seperti beristighfar, bersalaman dan saling maaf memaafkan sesama muslim; maupun secara zhahir (tazkiyah al-jasadiyah), termasuk membersihkan tubuh dari segala kotoran. Selain itu, sering didengar dari orang yang mengemukakan alasan ini menganalogikan dengan orang yang akan menyambut hari penuh gembira, sebut saja ketika seseorang menggelar acara pesta perkawinan. Sebelum hari H acara tersebut, tuan rumah (ahl bait) tentu terlebih dahulu membersikan rumah serta pekarangannya. Taman pun ditata rapi, ru¬mah dihiasi dengan berbagai bunga dan ukiran dinding nan elok dan segala kotoran, termasuk debu-debu yang menempel di sudut ruangan pun akan disingkirkan. Semuanya dilakukan se¬bagai refleksi dari kebahagiaan untuk menyambut acara yang penuh bahagia sekaligus persiapan untuk menyambut para tamu terhormat, yang tentunya disambut dengan rasa bahagia pula. Demikianlah Ramadhan sebagai tamu agung yang dihormati dan senantiasa diharapkan kehadirannya, disambut dengan penyucian diri.

Secara eksplisit (tekstual), kegiatan balimau tidak ditemukan di dalam al-Quran dan Hadis. Tetapi al-Quran mengajak agar orang-orang beriman senantiasa hidup bersih dan mensu¬cikan dirinya. Firman-Nya: Sesungguhnya Allah mencintai/menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqa rah/2: 222). Agaknya inilah salah satu landasan orang-orang yang senantiasa mengamalkan tradisi ini, sebagai upaya untuk mensucikan diri.

Namun ada juga yang berpendapat bahwa tradisi ini tidak ada hubungannya dengan Islam, melainkan hanya sebagai warisan dari agama Hindu, lalu kemudian di-Islamisasikan. Sebelum Islam masuk ke wilayah Nusantara, agama Hindu diperkirakan lebih dahulu berkembang di kepulauan nusantara, termasuk di pulau Sumatera. Berdasarkan anggapan ini, maka ada sebagian yang menilai bahwa perbuatan ini adalah bid’ah.

Terlepas dari adanya kontroversi mengenai hukum melakukan balimau ini, atau asal munculnya tradisi ini, apakah sebagai warisan dari agama Hindu, atau sebagai hasil interpretasi mereka terhadap ayat-ayat Allah, tetapi yang berkem¬bang dewasa ini pada umumnya mere¬ka tetap menjawab kalau tradisi ini dilakukan sebagai upaya untuk menyucikan diri. Namun yang menjadi persoalan adalah terjadinya pergeseran ke arah yang negatif, di mana generasi muda muslim melakukannya di tem¬pat-tempat terbuka sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya.

Ironis memang, atas nama Islam, atas nama bulan suci Ramadhan, mere¬ka menjustifikasi dan melegalisasi tra¬disi balimau dengan cara mandi berja¬maah antara laki-laki dengan perempuan tanpa hijab. Bisa dibayangkan, pemandangan apa yang terlihat di tem¬pat seperti itu. Mereka memang berpakaian, tetapi hakikatnya tidak berbusana. Apalagi perempuan, tentu ia akan membasahi rambutnya, dan bagi mere¬ka yang berjilbab, akan melepas jilbab tersebut.

Lain lagi dengan air yang mem¬basahi sekujur tubuh mereka, maaf, bentuk lekuk tubuhnya akan terlihat sangat jelas. Bahkan tak jarang di antara mereka mengenakan pakaian yang relatif tipis, sekali lagi maaf, sehingga pakaian dalam mereka pun jelas menerawang. Pemandangan inilah yang disaksikan oleh kaum pria. Sanggupkah mereka—kaum laki-laki—melenyapkan gairah dan nafsu syahwatnya tanpa muncul sedikit pun di benak mereka? Bukankah cara ini sama dengan mempertontonkan auratnya di hadapan khalayak ramai? Sudah tak bernilai lagikah aurat perempuan di mata dirinya, orang tua, dan masyarakat di sekitarnya? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini tidak akan dijawab dalam halaman terbatas ini, silahkan dijawab secara pribadi saja.

Yang lebih ironis lagi, ada yang sengaja pergi berpasangan laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim lalu mandi pun secara berpasangan dan sesekali tubuh mereka bersentuhan, pulang pun dengan kondisi basah bergandengan tangan. Sungguh prilaku yang jauh menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Bukankah Allah memerintahkan agar kaum perempuan menutup auratnya dengan menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan, (lihat QS. AI-Ahzab: 59 dan An-Nur: 31) agar mere¬ka dikenal identitasnya sebagai muslimah dan terjaga dari gangguan para lelaki yang tidak bertanggung jawab? Bukankah Rasul dengan tegas bersabda: Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berdua-duaan) dengan seo¬rang wanita yang tidak halal baginya, karena sesungguhnya pihak ketiga dari mereka adalah syetan, kecuali bila ia muhrimnya. (HR. Ahmad).

Jika tradisi semacam ini (baca: mandi balimau berjamaah) tetap dikembangkan dan dipertahankan, balimau jelas bukan mensucikan diri, melainkan mengotori dirinya, bahkan mengotori Islam itu sendiri. Kalangan non-Islam yang menonton kegiatan ini jelas akan menimbulkan imej negatif di benak mereka terhadap Islam yang biasanya mereka dengar menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan menentang pergaulan bebas serta mempertontonkan aurat di khalayak ramai, justru membiarkan, tanpa ada gerakan kongkrit melarang dan mencegah budaya ini berkembang.

Melihat dari dampak yang ditimbulkannya, maka persoalan ini perlu disikapi dengan serius. Diruntut peran aktif dari seluruh komponen masyarakat untuk angkat tangan mencegah kemungkaran ini. Tokoh masyarakat dan orang tua diharapkan mampu membimbing anak dan kamanakannya secara logis dan bijaksana untuk tidak melakukan perbuatan yang merugikan itu. Para ulama juga mesti melakukan gerakan, setidaknya mensosialisasikan kepada jamaahnya, bahwa tradisi ini mengandung mudhrat yang akan mengundang murka Allah SWT. Demikian juga pihak pimpinan/pemerintah, diharapkan berperan dengan menutup tempat-tempat rekreasi yang dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan balimau ber¬jamaah tanpa hijab, apalagi bercampur antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim. Terutama kepada generasi muslim, sebagai pelaku utama, diharapkan sadar akan kegiatan yang menyimpang ini.

Jangan kotori Islam dengan ulah tangan kita sendiri. Jika balimau memang dianggap sebagai tradisi dan kekayaan budaya yang seharusnya dipertahankan, maka lakukanlah sesuai dengan ajaran Islam, bukan justru menentang ajaran Islam itu sendiri. Kemudian balimau bisa dipahami sebagai upaya untuk mensu¬cikan diri (tazkiyah nafs), bukan secara formalitas semata (tazkiyah al-jasadiyah), tetapi yang terpenting adalah melakukan penyucian ruhani (tazkiyah al-ruhaniyah) dan mampu memetik pesan yang terkandung di dalamnya. Untuk menghadap Allah Yang Maha Suci, tentunya diri kita mesti suci. Lihat saja bagaimana Nabi Muhammad SAW, sebelum ia diberangkatkan menuju Sidratul Muntaha dalam peristiwa Israk Mikraj, suatu riwayat diterangkan bahwa Nabi disucikan dulu qalbunya dengan cara malaikat membelah dadanya lalu membersihkannya dari segala sifat-sifat tercela serta mengisinya dengan iman, hikmah dan ilmu. Artinya untuk menemui Yang Maha Suci, sebaiknya diri kita juga disucikan terlebih dahulu. Maka kedatangan Ramadhan bisa dijadikan seba¬gai momentum untuk mensucikan diri dengan memuhasabah diri, atas kesalahan dan kekhilafan yang sudah tertoreh dalam kanvas kehidupan kita.

Dengan kesadaran itu, kita sucikan diri ini dengan kembali beristighfar meskipun sebenamya kita dianjurkan setiap saat untuk beristighfar dari segala dosa yang dilakukan, tetapi sekali lagi, menyambut Ramadhan jadikan sebagai momen lalu persiapkan diri, baik dari segi kesiapan mental, kesehatan fisik, maupun dari kesiapan ekonomi untuk melakukan berbagai kegiatan yang bernilai ibadah di bulan yang penuh berkah tersebut. Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu memetik pelajaran dan mampu mensucikan diri, baik lahir maupun bathin. Amin.

1 komentar:

makjam chaniago mengatakan...

assamualaikum
saya juga org sungai cubadak baso yg merantau di bontang kaltim ..salam kenal dari saya