Minggu, September 21, 2008

Puasa Mengendalikan Perut dan Seks

Tokoh sosialis-komunis, Karl Marx (1818 – 1883), berpendapat bahwa di antara faktor penyebab munculnya berbagai pertentangan dan kekacauan di antara sesama manusia adalah hal-hal yang berhubungan dengan perut. Lalu psikolog modern yang juga ahli saraf (neurologist) asal Australia, Sigmund Freud (1856 – 1883) dalam versinya mengungkapkan bahwa keberhasilan dan kegagalan yang dialami oleh manusia serta konflik-konflik yang terjadi banyak dipengaruhi oleh persoalan seks. Dari dua pandangan tokoh non-Islam ini, tentang pengaruh perut dan seks begitu berpengaruh terhadap prilaku yang dimunculkan oleh manusia, baik perilaku positif maupun yang negatif.
Jika persoalan ini dilihat dari kaca mata Islam, keduanya memang dapat menimbulkan perilaku positif dan negatif. Hal ini pernah diungkapkan oleh tokoh Islam—jauh sebelum dua tokoh non-Islam di atas—Imam al-Ghazali (w. 1111) dengan merujuk kepada ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an secara proporsional tentang pengaruh perut dan seks dalam pribadi manusia (lihat tulisan M. Jamil tentang Pengendalian Nafsu Perut dan Seks, juga buku kecil Hamka tentang Tarawih dan Puasa).
Adanya keinginan yang muncul dari perut dan seks merupakan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia sekaligus merupakan anugerah yang diberikan Allah SWT. Tetapi potensi ini juga dikaruniakan-Nya kepada makhluk selain manusia yang kedudukannya lebih rendah dari manusia—meskipun kadang kedudukan manusia bisa lebih rendah dari makhluk yang satu ini—yaitu makhluk yang bernama hewan. Dua potensi ini punya dampak positif dalam hal kelangsungan hidup manusia di alam fana ini. Suatu hal yang tidak logis jika ada manusia yang mampu bertahan hidup tanpa memenuhi keinginan perutnya, terutama makan dan minum. Demikian juga tentang seks, mustahil tanpa seks manusia—kecuali mukjizat yang diberikan Allah kepada hamba pilihan-Nya seperti lahirnya Adam dan Isa as—juga hewan, mampu melakukan regenerasi atau reproduksi dengan melahirkan keturunan di muka bumi ini.
Namun jika dua keinginan ini tidak dapat dikendalikan oleh manusia, maka akan dapat menimbulkan kerugian bagi diri dan lingkungannya. Lebih dari itu, persoalan ini dapat menyamakan posisinya dengan hewan, ketika cara pengendaliannya sebagaimana yang dilakukan oleh hewan.
Pada dasarnya, perut hanya menuntut memenuhi kebutuhannya berupa makan dan minum. Namun nafsu yang dimiliki manusia mendorong untuk memenuhinya dengan berbagai jenis makanan yang lezat dan nikmat. Adanya keinginan itu memotivasi manusia untuk berusaha mendapatkan berbagai jenis makanan tersebut. Tetapi kadang usaha untuk memenuhi keinginan itu dilakukan dengan berbagai cara—termasuk menghalalkan segala cara—tanpa memperhatikan aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah. Ada dua bentuk makanan yang diharamkan itu, yaitu: pertama, haram dalam hal cara mendapatkannya; kedua, haram dalam hal zat makanan itu sendiri.
Bentuk pertama biasa dilihat dari fenomena masyarakat di sekeliling kita. Perampokan, berbisnis dengan tipu-muslihat, riba, hingga kepada korupsi dan kolusi merupakan perilaku munkar yang salah satu faktornya ditimbulkan oleh keinginan perut yang berlebihan tadi. Sedangkan haram dalam bentuk zatnya adalah makanan atau minuman yang dapat merusak diri, seperti khamar atau minuman keras, narkoba, makanan yang mengandung racun dan sebagainya.
Mengenai makanan, Allah menegaskan agar memakan makanan yang halal lagi baik (halalan tayyiban) dari apa yang terdapat di bumi (QS. al-Baqarah: 168). Sedangkan mengenai minuman Allah menyuruh “minumlah, tetapi jangan berlebihan” (QS. al-A’raf: 31). Jadi jelaslah makanan dan minuman, sebagai tuntutan keinginan perut, membawa mudarat kepada diri sendiri dan kepada lingkungan sekitar. Kepada diri sendiri adalah melakukan larangan Allah, itu artinya tidak tahu berterima kasih (bersyukur) yang pada gilirannya akan mengundang murka-Nya. Selain itu, makanan dan minuman yang haram, baik cara memperolehnya maupun zatnya, yang dikonsumsi oleh perut, dalam pandangan al-Ghazali akan mendarah daging dalam tubuh manusia lalu merambat ke jaringan otak, sehingga otaknya cenderung berpikir kepada hal-hal yang haram dan menghasailkan keputusan-keputusan yang lebih banyak mengandung mudarat ketimbang manfaat, naudzu billah.
Adapun mudarat terhadap lingkungannya adalah seperti yang diungkapkan di atas, munculnya perilaku negatif berupa cara yang digunakan untuk mendapatkan makanan tersebut, seperti korupsi yang merugikan negara atau instansi tertentu, perampokan yang bisa berakhir dengan pembunuhan, munculnya kecemburuan sosial lalu berakhir dengan peperangan/pemberontakan antara si miskin dengan si kaya atau rakyat jelata dengan pemerintah, dan sebagainya. Agaknya inilah yang dimaksud oleh Karl Marx di atas.
Persoalan kedua yang tidak kalah pentingnya adalah keinginan yang dimunculkan seks. Jika seks tidak dikendalikan secara proporsional, maka dapat merendahkan hakikat manusia itu sendiri, merugikan dirinya juga akan berdampak kepada masyarakatnya. “Lahirnya” kupu-kupu malam dengan kumbang si hidung belang; munculnya perzinahan seorang pemuda terhadap gadis yang dikenal maupun tidak, terhadap pacar sendiri maupun tidak—diperkosa atau sama-sama suka atas nama cinta—atau perkosaan yang dilakukan oleh paman kepada kemanakan, orang tua terhadap anak tirinya, bahkan ada yang dengan anak kandungnya sendiri, naudzu billah tsumma na’udzu billah min dzalika, merupakan penyakit sosial yang kerap di dengar dan saksikan sebagai akibat dari ketidakmampuan mengendalikan seks. Ketidakmampuan mengendalikan seks bagi perempuan yang ditinggal suami, karena ditinggal kerja atau lainnya, juga bisa menimbulkan perselingkuhan sehingga mengakibatkan retaknya rumah tangga dan terbengkalainya pendidikan anak-anak.
Selain itu, nafsu seks dapat menimbulkan pertumpahan darah. Bahkan pertumpahan darah pertama yang dilakukan oleh manusia di muka bumi antara dua putra Adam as, pembunuhan Qabil terhadap Habil, tidak terlepas dari perkara seks (QS. Al-Maidah: 27 – 31). Fitnah yang diterima oleh Nabi Yusuf yang mengakibatkan dirinya mendekam dalam penjara, juga tidak terlepas dari perkara nafsu seks dari seorang perempuan bangsawan Mesir, Zulaikha (QS. Yusuf: 23 – 29).
Keinginan seks juga bisa mendorong manusia over performance dalam hal berpakaian. Tidak sedikit di antara generasi muda yang nota bene-nya muslim/muslimat memakai pakaian yang menjual dengan mempertontonkan auratnya dengan alasan agar terlihat seksi di mata lawan jenisnya. Ini jelas merangsang birahi atau nafsu seks, dari lawan jenis yang memandangnya. Padahal pakaian yang membuka aurat lagi ketat, jelas melanggar adat, terutama syari’at dan hal ini bisa memicu timbulnya pemerkosaan yang pada gilirannya merugikan dan menghinakan mereka sendiri baik di hadapan manusia, terutama di hadapan Allah.
Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi hasrat nafsu seksnya. Bahkan Islam memberikan dukungan dengan memberikan aturan-aturan yang jelas. Agar manusia itu terhormat—jelas hal ini akan membedakannya dengan hewan yang juga punya naluri seks—Allah menyuruh manusia menyalurkan nafsu seksnya melalui pernikahan secara sah. Dalam surat An-Nisa: 3 justru Allah mempersilahkan laki-laki berpoligami dengan syarat bisa berbuat adil—yang menjadi perhatian besar mesti dalam hal kemampuan untuk bersikap adilnya, bukan boleh menikahi beberapa perempuannya—dalam memperlakukan istri-istri tersebut, secara lahiriyah, terutama batiniyah. Pada ayat 22 – 24 di surat yang sama dijelaskan perempuan-perempuan yang haram dinikahi, seperti ibu, nenek, anak, cucu dan sebagainya.
Agar manusia tidak terjerumus pada perzinahan yang membuatnya sederajat dengan hewan, Allah juga dengan tegas memerintahkan “jangan mendekati zina, karena zina adalah perbuatan yang keji” (QS. al-Isra’: 32). Konsekuensinya adalah manusia tidak diperkenankan berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim, sebagaimana lazimnya yang diperbuat oleh muda-mudi, sekarang dikenal dengan istilah ‘pacaran’), menonton film porno, onani dan segala perbuatan yang mengantarkan diri kepada perbuatan zina.
Setiap muslim juga diperintahkan agar bisa menahan pandangan dan kemaluannya, termasuk auratnya. Perhatikanlah ayat ini: Katakanlah kepada laki-laki beriman hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci begi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman hendaklah mereka menahan kemaluan mereka kecuali yang biasa nampak daripadanya dan hendaklah mereka menutupkan kain tudung ke dada mereka… (QS. An-Nur: 30 – 31).
Demikianlah Islam memberikan aturan yang jelas terhadap pengendalian nafsu perut dan seks. Meskipun demikian, diperlukan juga beberapa upaya lain untuk melatih mengendalikan tersebut, salah satu yang terpenting adalah dengan Puasa di bulan Ramadhan. Untuk itu bulan Ramadhan disebut dengan syahr Tarbiyah, bulan pendidikan, atau bulan pelatihan, yaitu mendidik dan melatih manusia untuk mampu mengendalikan diri (nafsu)-nya.
Secara umum, para fuqaha mendifinisikan bahwa puasa adalah kegiatan menahan diri dari makan, minum dan bercampur (jima’) dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Jadi konsep dasar puasa memang dua hal ini, perut dan seks. Bukan berarti mengenyampingkan yang lain, sebab jika dua hal ini tidak bisa dikendalikan, maka nafsu selainnya juga tidak akan terkendali ketika berpuasa. Seperti seseorang yang mampu menahan pandangannya ketika puasa, sementara ia tidak mampu menahan perut dan seksnya seperti makan, minum, dan atau bercampur (jima’), jelas puasanya batal.
Bagaimanapun, selain dari menahan nafsu seks dan perut, segala nafsu duniawi yang melekat pada indera lahiriyah, seperti: mata dari melihat hal-hal yang haram; mulut dari memfitnah, mencela, menggunjing, dan sebagainya; telinga dari mendengar kata-kata kotor, fitnah, dsb; dan indera yang lainnya juga mesti dikendalikan dari hal-hal yang dapat membawa mudarat serta membuatnya tertipu dengan kenikmatan duniawi yang sesaat. Demikian juga hati, sebagai sentral dalam diri manusia, mesti dibersihkan dari segala bentuk kemusyrikan ketika menjalankan ibadah puasa.
Semoga puasa yang kita lakukan dapat memberikan kekuatan kepada kita untuk senantiasa mampu mengendalikan nafsu perut dan seks sesuai dengan perintah Allah, bukan hanya ketika berpuasa tetapi dalam setiap langkah kita menelusuri jalan pendek di dunia ini, sebagai langkah awal untuk senantiasa menyucikan diri. Ingat!, mengendalikan nafsu merupakan perjuangan dan peperangan yang paling besar (jihad akbar). Belajarlah dari perintah Allah yang satu ini!

Tidak ada komentar: