Minggu, September 21, 2008

Ramadhan Mendidik Manusia Menjadi Manusia

Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan lebih sempurna di antara makhluk lainnya (QS. Al-Tin: 4). Terbukti bahwa manusia diciptakan bukan saja sebagai hamba yang mesti beribadah kepada-Nya (QS. Al-Dzariyat: 56), tetapi juga diangkat sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini (QS. Al-Baqarah: 30). Hal ini tidak terlepas dari berbagai kelebihan yang dikaruniakan Allah kepada manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Di antara kelebihan itu adalah manusia dibekali dengan potensi akal, qalbu dan nafsu yang terintegrasi dalam kepribadian manusia itu sendiri. Ketika potensi itu dapat dikendalikan dan digunakan untuk mengabdikan diri kepada-Nya secara optimal, maka akan dapat mengantarkan manusia kepada posisi insan kamil (manusia sempurna). Dengan begitu, tugasnya sebagai abdi Allah dan khalifah fi al-ardhi niscaya akan dapat terlaksana sebagaimana mestinya.

Itulah manusia yang sesungguhnya. Dan demikianlah seharusnya manusia sebagaimana yang diinginkan Allah. Namun tidak semua manusia mampu menjadikan dirinya sebagai manusia yang sesungguhnya. Tidak sedikit yang berwujud manusia tetapi berperilaku tidak manusiawi, bahkan kadang seperti makhluk Allah yang bernama “al-an’am” atau binatang ternak. Fenomena ini dapat kita tengok dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia pada masa lalu, baik kehidupan para penguasa atau bangsa tertentu yang terekam dalam catatan sejarah yang ditulis oleh manusia sendiri, maupun yang dikisahkan Allah dalam al-Qur’an. Pembunuhan, perzinahan, dan perampasan hak-hak orang lain adalah bentuk kezaliman yang mereka lakukan, layaknya seperti binatang.
Hingga saat ini fenomena itu pun acapkali kita saksikan. Setiap hari kita dapat menyaksikan di media massa, baik cetak maupun elektronik, beragam bentuk kekerasan dan kezaliman yang dilakukan oleh manusia. Ada manusia yang tega merenggut nyawa saudaranya sendiri hanya karena persoalan sepele. Ada yang merampas hak-hak orang lain hanya karena kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan ada orang tua memperkosa anak kandungnya, paman menggagahi kemanakannya. Dan yang terparah lagi adalah ada anak membunuh orang tua kandungnya, atau orang tua membunuh anak yang dilahirkannya sendiri. Ada pula yang melakukan pembunuhan massal, atas nama “keamanan” atau pamer kekuatan. Genderang perang pun ditabuh sehingga ratusan bahkan ribuan rakyat yang tidak berdosa menjadi mayat-mayat yang bergelimpangan. Yang terakhir ini, bisa dikatakan kekejamannya melebihi binatang, sebab binatang tidak akan membunuh mangsanya dalam jumlah yang begitu banyak.
Masih banyak bentuk kekerasan dan kezaliman yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Begitu juga kelalaian dalam diri manusia yang enggan berbuat dan beribadah dalam meningkatkan kualitas dirinya baik sebagai hamba maupun khalifah Allah di muka bumi. Akibatnya, hilanglah kemanusiaannya sehingga posisinya disamakan oleh Allah seperti “al-an’am” atau malah lebih sesat darinya. Firman-Nya dalam surat al-A’raf ayat 179: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam itu kebanyakan dari jin dan manusia, yaitu mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti “al-an’am” (binatang ternak), behkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
Sebenarnya Allah menciptakan manusia itu pada awalnya dalam keadaan suci (fitrah). Namun, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, manusia juga dibekali dengan nafsu sehingga membuatnya dinamis, kreatif, dan inovatif dalam berkarya di muka bumi ini. Dengan nafsu itu pula yang membedakannya dengan malaikat yang senantiasa taat kepada perintah Allah SWT. Tetapi nafsu itu sendiri bermuatan negatif dan positif. Dalam hal ini, Allah juga mengemukakan dalam firman-Nya: Maka Allah mengilhamkan kepada nafs (jiwa) itu (jalan/potensi) kefasikan (keburukan) dan ketakwaan (kebaikan)-nya. (QS. Al-Syams: 8).
Oleh karenanya, sebagian ulama, sebagaimana yang juga dikemukakan oleh Jalaluddin Rakhmat (2005: 233), menyebutkan bahwa manusia mempunyai dua dimensi kepribadian. Pertama, disebut dengan al-bu’dul malakut, atau dimensi kemalaikatan yang berasal dari alam malakut. Ada satu bagian dalam diri manusia yang membawa ke arah kesucian sebagaimana asal penciptaannya sehingga dimensi ini akan membawanya untuk dekat kepada Allah. Dimensi ini pula yang membuat manusia tetap pada kemanusiaanya yang gemar membantu, bersilaturrahim dan melakukan berbagai bentuk kebaikan lainnya.
Kedua, dimensi yang disebut dengan al-bu’dul bahimi atau dimensi kebinatangan. Dimensi inilah yang merubah posisi manusia dari manusia yang sesungguhnya. Dimensi ini mendorong manusia untuk melakukan kejahatan, iri kepada orang lain, tega menzalimi orang lain dan dendam kepada orang lain. Inilah sisi buruk manusia yang jika tidak dikendalikan maka dapat mengantarkannya pada posisi yang sama dengan binatang, atau malah melebihi kesesatan binatang.
Ketika manusia berada pada dimensi malakutnya, maka di saat itu dia telah menghambakan dirinya hanya kepada Allah. Sebaliknya, ketika dimensi bahimi yang menyelimutinya, maka dia telah menjadi budak setan yang selalu menjerumuskannya ke jalan kegelapan dan kesesatan.
Untuk itu manusia mesti mengendalikian nafsunya sehingga ia tetap manjadi makhluk Allah yang paling mulia. Pengendalian nafsu itu memerlukan perjuangan yang besar, dimana Rasulullah menyebutnya sebagai jihad al-akbar, perjuangan yang lebih besar dari pada perjuangan para sahabat dalam peperangan Badr atau Uhud sekalipun.
Meskipun demikian, Allah tidaklah membiarkan begitu saja hamba-Nya dalam kesesatan. Dia tetap mendidik hamba-Nya agar tetap pada posisi yang mulia. Hanya Dia-lah yang Maha Pendidik. Dia disebut sebagai Rabb, yang artinya Maha Pemelihara atau Maha Pendidik. Kata rabb ini juga yang kemudian mengalami perkembangan kata menjadi tarbiyah, atau pendidikan. Artinya, Allah SWT sebagai khaliq atau pencipta tidaklah hanya menciptakan manusia begitu saja, tetapi Dia memelihara makhluk-Nya dan mendidiknya agar tetap pada kebaikan dan keselamatan.
Salah satu bentuk pendidikan yang diberikan Allah kepada manusia agar dapat mengendalikan nafsunya adalah dengan menetapkan bulan Ramadhan sebagai bulan untuk melakukan ibadah puasa khusus bagi umat Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian salah satu hikmah Ramadhan adalah sebagai lembaga pendidikan ruhaniyah bagi manusia sehingga kita dapat mengendalikan diri (jihad al-nafs atau selfrestrain) agar tetap pada posisi makhluk Allah yang mulia. Isma'il al-Faruqi, sebagaimana yang pernah dikutip oleh Azyumardi Azra (2005: 25) menyebutkan bahwa puasa merupakan "latihan terbaik dalam seni pengendalian diri" (the art of self mastery). Itu sebabnya bulan ini juga disebut dengan Syahr al-Tarbiyah (bulan pendidikan), atau madrasah ruhaniyah.
Banyak hal yang menunjukkan bahwa ibadah puasa yang dilakukan di bulan Ramadhan ini mendidik manusia agar tetap menjadi manusia yang sesungguhnya. Diantaranya adalah, pertama, puasa mendidik manusia untuk jujur dan merasakan kedekatan dengan Allah SWT. Ibadah puasa memiliki perbedaan dengan ibadah lainnya. Perbedaan yang paling siginifikan adalah tentang kerahasiaannya. Hanya Allah lah yang tahu pasti apakah seseorang itu puasa atau tidak. Dengan demikian, orang yang berpuasa akan senantiasa merasakan bahwa dirinya dalam pengawasaan Allah SWT. Jika seseorang telah sadar bahwa dirinya berada dalam pengawasaan Allah, mustahil baginya untuk berbuat sesuatu yang diyakininya sebagai perbuatan yang mengundang murka Allah.
Kedua, puasa mendidik manusia untuk meningkatkan kesalehan social. Dengan berpuasa, ia akan menyadari apa yang dirasakan oleh si miskin yang selalu lapar. Dengan begitu, ia akan santun dan kasih kepada si miskin. Setidaknya, hal itu akan dibuktikan dengan mengeluarkan zakat fitrah kepada si miskin menjelang datangnya Hari Raya Idul Fitri. Puasa juga meningkatkan persaudaraan, sehingga ia akan selalu menghindari diri dari hal-hal yang dapat mengundang pertengkaran antara sesamanya. Hal ini mesti dilakukan oleh setiap orang yang berpuasa, sebab Rasulullah SAW bersabda: Puasa itu ibarat benteng. Oleh karena itu seorang yang berpuasa seharusnya meninggalkan berbicara tanpa manfaat atau melakukan perbuatan yang tidak berguna. Jika ada orang yang berselisih pendapat denganmu atau menyumpahimu, maka katakanlah, 'Aku sedang berpuasa, sungguh, aku sedang berpuasa.'" Puasa juga dapat mengikis rasa kesombongan, dimana kesombongan acapkali merusak persaudaraan. Puasa tidak membedakan antara pejabat dengan rakyat, pengusaha dengan pekerja, kaya dengan miskin, dan berbagai bentuk kelebihan-kelebihan lainnya. Semuanya sama-sama diwajibkan untuk berpuasa dan mesti menahan rasa dahaga dan lapar serta hal-hal yang dapat merusak nilai ibadah puasa. Lalu, ketika semuanya mendapatkan kewajiban yang sama, apa lagi yang pantas untuk disombongkan?
Ketiga, puasa mendidik agar manusia senantiasa menyucikan jiwanya. Bulan Ramadhan mendidik manusia untuk memperbanyak zikir baik siang maupun di malam hari. Mereka dimotivasi Allah dengan kehadiran lailatul qadar, malam seribu bulan, sehingga mereka memperbanyak zikirnya kepada Allah dan siap mendirikan shalat di setiap malam (qiyam al-lail). Lalu Allah pun menjanjikan bahwa bulan ini penuh dengan ampunan bagi mereka yang tetap berjuang dan mengakui akan segala dosa yang pernah dilakukan. Dengan demikian, dirinya akan tetap suci dari noda-noda dosa yang menutupi qalbunya dari hidayah Allah. Jika dirinya suci, maka Allah Yang Maha Suci dengan sendirinya akan mencintai sang hamba dan mengangkat kedudukannya menjadi makhluk yang mulia lagi sempurna.
Puasa yang dilakukan selama bulan Ramadhan diharapkan akan menyuci segala kesalahan dan dosa yang pernah kita dikakukan sehingga kita keluar dari Ramadhan dalam keadaan suci atau fitrah, dan bergembira merayakan idul fitri. Tidak ada dendam, tidak ada peperangan, tidak ada kedengkian, tidak perampasan, dan tidak akan ada keserakahan antara sesama manusia. Yang ada hanya ketenangan dan kedamaian dalam keridhaan-Nya. Itulah manusia yang sesungguhnya di hadapan makhluk lain, terutama di hadapan Allah azza wa jalla.
Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar: