Kamis, Agustus 28, 2008

Belajar dari “Pidato Iftitah” Abu Bakar Shiddiq

Oleh: Muhammad Kosim LA, MA

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah kalian angkat untuk memegang urusan kalian ini, padahal aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Oleh karena itu, jika aku berjalan di atas kebenaran/kebaikan maka dukunglah aku. Sebaliknya, jika aku menyimpang maka luruskanlah aku. Berlaku jujur adalah amanah, sedangkan berlaku dusta adalah pengkhianatan. Siapa saja yang lemah di antaramu akan kuat bagiku sampai saya dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat di antaramu akan lemah berhadapan denganku sampai saya kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, bila aku melanggar perintah-Nya dan tidak melaksanakan sunnahnya, maka janganlah kalian mengikuti aku. Semoga keselamatan dan rahmat Allah dilimpahkan kepada kamu sekalian.

Begitulah nukilan pidato pembuka (iftitah) Abu Bakar as-Shiddiq (573 – 624 M) di hadapan kaum Muslimin, sesaat setelah ia diangkat menjadi khalifah pertama dalam sejarah kepemimpinan umat Islam. Pidato tersebut bisa dijadikan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan umat Islam sekaligus memberikan landasan teologis yang sarat nilai untuk masa selanjutnya, termasuk dalam konteks kekinian.




Latar Belakang Pengangkatan Khalifah Pertama

Sebelum Abu Bakar as-Shiddiq terpilih menjadi khalifah, proses suksesi kepemimpinan pasca-wafatnya nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat (kepala pemerintahan), sempat menjadi perdebatan di kalangan umat. Hal itu turut disebabkan karena sang nabi tidak meninggalkan wasiat siapa orang yang pantas menggantikan beliau. Setidaknya ada tiga golongan umat Islam yang berbeda pendapat dan masing-masing merasa berhak bahwa dari golongan merekalah yang pantas sebagai pengganti nabi Muhammad. Ketiga golongan itu adalah Muhajirin, Anshar, dan Ahlul Bait.

Maka diadakanlah pertemuan di Tsaqifah Bani Sa’idah. Di antara tiga golongan di atas, golongan Anshar dan Muhajirinlah yang lebih banyak berdebat. Keduanya saling mengemukakan kelebihan masing-masing. Golongan Anshar menganggap bahwa merekalah yang menolong kaum Muhajirin ketika hijrah ke Madinah. Selain itu, kejayaan dan kemenangan umat Islam justru diraih ketika periode Madinah. Sebaliknya, kaum Muhajirin juga menganggap bahwa mereka adalah kelompok pertama yang masuk Islam serta mengalami banyak penderitaan dan siksaan ketika mempertahankan aqidah Islam. Sementara Ahlul Bait juga merasa berhak karena mereka adalah keluarga dekat nabi. Tokoh yang dianggap tepat dari Ahlul Bait adalah Ali bin Abi Thalib, selain termasuk sahabat pertama masuk Islam dari kalangan pemuda, Ali juga sepupu dan menantu nabi Muhammad. Namun golongan ketiga ini tidak ikut dalam perdebatan di Tsaqifah Bani Sa’idah karena mereka menunggu jenazah sang nabi yang belum dimakamkan.

Tatkala terjadi diskusi yang cukup menegangkan antara golongan Anshar dan Muhajirin siapa yang lebih pantas pengganti kepemimpinan nabi, tiba-tiba Abu Bakar langsung memusatkan perhatian dan mencalonkan dua tokoh sahabat, Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Mendengar pencalonan itu, Basyir bin Saad dan Abu Ubaidah bin Jarrah langsung berteriak bahwa tidak mungkin mereka yang dipilih sementara ada Abu Bakar yang mereka nilai sebagai tokoh termulia dan pantas sebagai pemimpin. Bahkan Umar pun langsung menyebutkan keutamaan yang dimiliki Abu Bakar dan tidak dimiliki oleh sahabat yang lain, di antaranya: Abu Bakar adalah lelaki dewasa pertama yang masuk Islam, dia pula yang dipercaya nabi sebagai imam shalat ketika nabi sedang sakit. Dengan segera, Umar pun mengangkat tangan Abu Bakar dan membai’atnya. Tindakan Umar itu pun diikuti oleh para sahabat lain yang hadir di Tsaqifah Bani Sa’idah tersebut.

Dengan demikian, Abu Bakar bukan mencalonkan diri, apalagi ambisius menjadi pemimpin. Ia malah mencalonkan sahabat lain, namun dengan pertimbangan para sahabat yang lain, karena ”kesenioran” dan kemampuan (ability) yang ia miliki, akhirnya amanah itu pun ia terima. Sikapnya yang tawadhu’ dan kejeniusannya pun terlihat dalam pidato iftitah yang telah dijelaskan di atas. Apa yang ia sampaikan, akhirnya terbukti dengan kepemimpinannya yang berjalan baik, meskipun hanya dalam waktu relatif singkat, sekitar dua tahun. Beliau telah berjuang mengawal aqidah umat dengan memberangus para nabi palsu dan orang-orang murtad. Ia juga memperjuangkan kesejahteraan rakyat dengan memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat serta mendirikan baitul mal, semacam kas negara atau lembaga keuangan. Masa beliau pula dilakukan kompilasi al-Qur’an yang pertama. Dari segi dakwah, beliau pun menyebarkan dakwah Islam hingga ke Irak dan Suriah.


Meneladani Kepemimpinan Abu Bakar

Sebagai sahabat dekat Rasulullah dan khalifah pertama, banyak hal yang patut diteladani dari Abu Bakar as-Shiddiq. Beliau adalah manusia biasa, bukan seorang nabi, tetapi dengan kearifan dan kemuliaan akhlaknya telah membuktikan kepada kita bahwa akhlak sang nabi dan manusia terpilih, yakni Rasulullah Muhammad SAW itu memang dapat diteladani dan diterapkan dalam kehidupan nyata. Salah satu yang patut diteladani dari Abu Bakar adalah akhlak kepemimpinannya.

Akhlak kempimpinan tersebut dapat dilihat dari pidato iftitah Abu Bakar as-Shiddiq sebagaimana yang tertulis di awal tulisan ini. Dalam pidato itu, terlihat bahwa Abu Bakar memperlihatkan sikap yang tawadhu’. Dia tidak sombong dengan mengemukakan kelebihan-kelebihan yang ia miliki. Tanpa disebutkan pun, track-record Abu Bakar sebagai tokoh umat jelas telah diketahui banyak orang. Namun, terlepas dari kelebihan dan kemuliaan akhlak yang dimilikinya, ia tetap mengakui bahwa dia bukanlah yang terbaik di antara rakyatnya. Itu berarti ia mengakui dan menghargai kelebihan orang lain secara terbuka.

Ia tidak butuh popularitas dan sanjungan banyak orang, sebab sadar bahwa jabatan adalah amanah yang berat. Jika mengingkari amanah berarti itu khianat. Karena itu ia tidak terlalu ambisi, apalagi harus mengorbankan harta yang banyak untuk meraih jabatan.

Abu bakar juga menyadari akan pentingnya kerja sama. Sehebat apapun pemimpin yang berkuasa, tanpa kerja sama yang baik mustahil akan mampu mewujudkan good goverment. Namun kerja sama akan tetap dilaksanakan selagi organisasi itu masih tetap berjalan di atas kebenaran. Jika tidak, maka kebersamaan bisa dipertahankan selagi kesalahan itu memungkinkan untuk diluruskan. Dengan begitu, Abu Bakar bersifat terbuka, bahkan mengharapkan dikritik oleh rakyatnya ketika melakukan suatu kesalahan. Ketika ia benar, maka secara bersama harus komitmen dan konsisten memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya, ketika ia salah maka seyogiyanya rakyat bukan mencerca, apalagi menikam sang pemimpin dari belakang; tetapi dengan cara yang santun lagi bijak harus diluruskan, diperingatkan dan diberikan solusi.

Abu Bakar pun menegaskan bahwa ia akan memperjuangkan kebenaran dan memenuhi hak rakyatnya. Siapa saja yang dianggap kuat lalu tidak peduli terhadap saudaranya yang lain akan dipandang orang yang lemah sehingga dari mereka akan diambil hak orang yang membutuhkan. Sebaliknya bagi siapa yang merasa lemah akan dibantu dan diperjuangkan haknya sehingga mereka menjadi kelompok yang kuat dan memperoleh penghidupan yang layak.

Hal yang paling menarik lagi dalam isi pidato itu ialah pernyataan bahwa rakyat boleh mengikuti kepemimpinan dan kebijakannya sebagai pemimpin selagi ia tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Pernyataan terakhir ini menjadi landasan kepemimpinan yang ideal dalam Islam. Paradigma semacam ini, membuat kepemimpinan yang ia jalankan akan tetap berlandaskan kepada aturan-aturan Allah. Dengan begitu, kebijakan yang ia ambil sarat dengan etika keislaman sehingga terhindar dari politik praktis-pragmatis yang hanya mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok. Keimanan dan ketaatan seorang pemimpin inilah yang sangat diperlukan dan seharusnya menjadi syarat yang tidak bisa ditawarkan dalam kepemimpinan Islam pada masa selanjutnya.

Dari isi pidato iftitah Abu Bakar tersebut dapat disimpulkan bahwa corak kepemimpinan yang diterapkan beliau bersifat teo-antroposentris. Artinya, kepemimpinan yang ia jalankan berlandaskan atau tidak bertentangan dengan aturan-aturan Tuhan serta mempertimbangkan kebutuhan fitrah manusia. Dengan corak kepemimpinan seperti itu akan berimpilikasi terhadap kebijakan yang tetap memperjuangkan dan menyelamatkan umat dari kekafiran, kemiskinan, dan kebodohan. Kekafiran ia lawan dengan memerangi nabi palsu dan para murtadin; kemiskinan ia perjuangkan dengan melawan kaum yang enggan membayar zakat serta menegakkan baitul mal; dan kebodohan ia hapuskan dengan menuntaskan kompilasi al-Qur’an yang pertama dengan bantuan sahabat-sahabat lainnya.


Sikap Menjelang Pemilu 2009

Oleh karena itu, umat Islam saat ini sejatinya mampu meneladani kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq. Menjelang pemilu 2009 ini, para calon pemimpin yang maju harus berani tampil memperjuangan kepentingan umat berlandaskan kepada nilai-nilai yang diatur oleh Allah sehingga tetap berada di atas jalur kebenaran. Jadilah pemimpin yang amanah, tawadhu’, siap bekerja sama dan dikritik, serta landasi kebijakan dengan tidak melanggar aturan Allah. Ingatlah bahwa jabatan bukan sekedar popularitas atau lahan ”bisnis” untuk meraup keuntungan duniawi. Bukan pula sarana untuk menunjukkan kepongahan diri agar disanjung dan dihormati banyak orang. Namun jabatan seharusnya disadari sebagai amanah dan salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan memperjuangkan kebenaran dan menolong kaum mustadh’afin dari kemiskinan dan kebodohan. Siapkan diri untuk memberikan kontribusi yang berharga untuk bangsa dan negara ini, bukan berharap agar tertulis dengan tinta emas sejarah bangsa, tetapi berharap tertulis dalam catatan amal kebaikan di hadapan Allah SWT.

Sebaliknya, sebagai rakyat yang beriman, mestinya tidak terbuai dengan janji palsu tanpa mengenal kepribadian calon pemimpin. Saatnya rakyat berpikir objektif seraya memohon hidayah Allah agar kita dituntun untuk memilih pemimpin yang tepat. Kita juga harus siap menerima konsekuensi dari apa yang dipilih, jika kebijakannya benar maka kita harus konsisten dan komitmen untuk menegakkan dan mengikutinya, meskipun terasa pahit. Jika keputusan yang ia ambil salah, maka kita juga harus siap menegur dan melawan kebatilan tersebut. Semoga pidato iftitah kekhalifahan Abu Bakar as-Shiddiq bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk membangun bangsa ini ke posisi yang lebih bermartabat. Amin...

3 komentar:

Riwayat Attubani mengatakan...

seharusnya pemimpin bangsa ini lebih peduli kepda rakyat, bukan peduli semu, peduli hanya pada saat kampanye, peduli semu utnuk menyapu suara. kita memnag butuh pemimpin yang tahu akan penderitaan rakyat, tahu bahwa memimpin adalah amanah dari Allah yang harus dipertangungjawabkan. kita memang rindu pemimpin yang mempunyai kepribadian Abu Bakar, Umar dan Ali.

Muhammad Nasir mengatakan...

Cara Membuat Read More / Baca Selengkapnya di Blogger

http://trik-tips.blogspot.com/2007/12/cara-membuat-read-more-baca.html

Elmo Juanara mengatakan...

mas.... hebat artikelnya. kunjungi blog saya dong.
www.elmojuanara.blogspot.com