Sabtu, Desember 12, 2009

TEOLOGI ANTIKORUPSI

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Korupsi (berasal dari bahasa latin: corruptio dari kata kerja corrumpere, artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, atau menyogok) merupakan penyakit kronis yang berperan besar menggerogoti kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Berbagai upaya dilakukan untuk memberantas korupsi tersebut, mulai dari usaha mewujudkan pemerintah bersih, optimalisasi penegakan supremasi hukum, hingga kepada kutukan rakyat terhadap para koruptor, seperti yang dilakukan para demonstran pada tanggal 9 Desember lalu dalam rangka peringatan hari antikorupsi sedunia.

Upaya pemberantasan korupsi sejatinya dilakukan dari berbagai aspek kehidupan, tidak hanya dari segi politik dan hukum, tetapi dari aspek agama juga patut dikedepankan. Apalagi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius dan mengakui bangsanya dimerdekakan atas rahmat Allah yang Mahakuasa. Maka berbagai persoalan yang menghambat terwujudnya kemerdekaan sejati seyogyanya memotivasi kita untuk berdialog dengan Allah melalui pemahaman terhadap ajaran-Nya.

Setiap agama pasti anti terhadap korupsi, sebab esensi agama adalah mewujudkan kebenaran yang hakiki. Dari perspektif Islam, misalnya, terdapat banyak ajaran yang melarang umatnya melakukan tindak korupsi. Di antara ajaran itu dapat dilihat dari hadis Nabi saw. yang menegaskan: “Barang siapa yang merampok dan merampas, atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami (bukan dari umat Muhammad saw.)” (HR Thabrani dan al- Hakim). Dalam hal ini, korupsi merupakan bagian dari bentuk perampokan dan perampasan.

Lebih tegas lagi, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari ‘Addiy bin ‘Umairah al-Kindy yang bunyinya, “Hai kaum muslim, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti… Siapa yang kami beri tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak diberikan janganlah diambil.” Sabdanya lagi, “Siapa saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga.” Seorang sahabat bertanya,“Wahai Rasul, bagaimana kalau hanya sedikit saja?’ Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun sekecil kayu siwak” (HR Muslim, an-Nasai, dan Imam Malik dalam al-Muwwatha).

Islam juga melarang praktik pemberian hadiah kepada pejabat sebagai upaya preventif terjadinya kasus korupsi. Dalam sebuah hadis dijelaskan: Abu Humaid Assa'id r.a. berkata: Rasulullah SAW mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah selesai ia datang kepada Nabi SAW dan berkata: "Ini untukmu dan ini untuk hadiah yang diberikan orang kepadaku." Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, "Mengapakah Anda tidak duduk saja di rumah ayah atau ibu Anda untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak (oleh orang)?" Kemudian sesudah shalat, Nabi SAW berdiri, setelah tasyahud memuji Allah selayaknya, lalu bersabda, "Amma ba'du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, Ini hasil untuk kamu dan ini aku diberi hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak. Demi Allah! Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tiada seseorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya, jika berupa onta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan." Abu Humaid berkata, 'Kemudian Nabi SAW, mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya." (HR. al-Bukhari dalam kitab "Imam dan Nadzar" bab "Bagaimana cara Nabi SAW Bersumpah.)

Bahkan seseorang yang dianggap oleh pahlawan, jika pernah melakukan korupsi terselubung, kelak Allah akan membuka aibnya sehingga ia tidak lagi memiliki nama baik di hadapan manusia, apalagi di hadapan Allah. Perhatikanlah hadis berikut: Ketika seorang sahabat bernama Kirkirah mati di medan perang, Rasulullah saw. bersabda: “dia masuk neraka”. Para sahabat pun bergegas pergi menyelidiki perbekalan perangnya. Mereka mendapatkan mantel yang ia korup dari harta rampasan perang. (H.R Bukhari dalam kitab Jihad wa al-sair). Demikian kerasnya kecaman Islam terhadap para koruptor.

Selain itu, korupsi juga terjadi akibat dari sebuah pengkhianatan, ketidakjujuran dan kecurangan. Sifat ini disebut sebagai karakter munafik: apabila berbicara bohong, berjanji ingkar, dan diberi kepercayaan berkhianat (HR. Bukhari). Karakter munafiq menunjukkan kepribadian yang inkonsisten, tidak beriman dan bermuka dua. Bisa saja seseorang meneriakkan janji-janji ketika kampanye politik, bersumpah atas nama Tuhan tatkala dilantik, namun setelah memperoleh kursi hanya tinggal janji dan ketika ditagih beribu dalih. Ending-nya, mereka yang munafiq akan kekal dalam api neraka tanpa memperoleh pertolongan sedikit pun (Qs. An-Nisa/4: 145).

Untuk itu, menegakkan hukum secara adil merupakan suatu keniscayaan dalam mewujudkan masyarakat antikorupsi. Rasulullah SAW bersabda: "Sungguh, orang-orang dahulu sebelum kamu telah dihancurkan oleh Allah karena jika ada bangsawan di antara mereka yang mencuri, mereka membiarkannya, tetapi jika orang lemah mencuri, mereka menegakkan had (hukuman) atas orang itu. Demi Allah! Andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Jika dilihat dari beberapa dalil di atas, dapat dipahami bahwa pelaku korupsi sangat dikecam dan pelakunya diancam masuk ke dalam api neraka. Dengan demikian, secara teologis, perlawanan terhadap korupsi membutuhkan keimanan yang kokoh, sebab ancaman terhadap api neraka yang merupakan alam akhirat dan bersifat gaib tersebut sesungguhnya hanya berlaku kepada orang-orang yang beriman.

Selain itu, ancaman terhadapa api neraka diharapkan mampu menjadi sock terapy bagi setiap umat agar benar-benar menjauhi perilaku korupsi. Sebab adzab apa lagi yang lebih tinggi dari neraka? Rusaknya tatanan sosial kehidupan masyarakat sebagai dampak negatif korupsi sesungguhnya masih termasuk adzab yang kecil jika dibandingkan adzab neraka kelak. Firman-Nya: Dan Sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar). (Qs. As-Sajadah/32: 21).

Dengan keimanan yang kokoh dan semangat keberagamaan yang antikorupsi tersebut, diharapkan kita mampu melawan korupsi tersebut mulai dari diri sendiri (ibda’ bi nafsy) dan melawannya dari hal-hal yang terkecil, walaupun sebesar dzarrah. Kita memang benci dan mengecam para koruptor yang menghabiskan uang rakyat ratusan juta, bahkan milyaran rupiah. Akan tetapi kita juga patut benci terhadap perilaku diri kita sendiri yang terkadang terjebak pada tindakan korupsi. Ingat, korupsi tidak hanya menyangkut dengan penyelewengan keuangan negara (material benefit), tetapi korupsi mencakup beberapa penyimpangan perilaku, seperti perilaku yang terkait dengan pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), serta semua bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang mendatangkan keuntungan (material benefit) baik untuk dirinya, keluarga, institusi, klan, dan primodial tertentu.

Seorang mahasiswa, misalnya, berorasi dengan lantang mengutuk para koruptor, sementara dirinya bermalas-malasan mengikuti perkuliahan, padahal orang tuanya bersusahpayah mencari biaya kuliah. Bukankah ia telah korup terhadap orang tuanya sendiri?

Seorang pegawai, misalnya, harus disiplin dalam menjalankan tugas, termasuk dalam memanfaatkan waktu. Jika saja gajinya 1,5 juta dalam sebulan, lima hari kerja dalam seminggu dengan delapan jam satu hari, maka setiap menit gajinya Rp 156,25. Jika saja ia terlambat 10 menit setiap hari, maka dia sudah korupsi sekitar Rp 1.500, jika dikalikan 20 hari (dalam sebulan) maka ia telah korupsi 15.000 per bulan. Lalu bagaimana jika berjam-jam tidak melakukan pekerjaan? Jika diperhitungkan bisa jutaan rupiah dalam beberapa tahun akibat korupsi waktu yang ia lakukan.

Dua contoh terakhir memang akan luput dari jeratan hukum manusia, akan tetapi pasti dilihat oleh Allah SWT. Oleh karena itu, peningkatan spiritualitas keagamaan dengan merasakan pengawasan Allah terhadap segala aktivitas kita akan sangat membantu diri ini bersifat jujur dan terjauh dari tindakan korupsi. Bukankah kita semua berasal dari Allah, hidup dalam genggaman dan pengawasan-Nya, serta akan kembali kepada-Nya dengan mempertanggungjawabkan segala apa yang kita lakukan? Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: