Minggu, Desember 27, 2009

Semangat Hijrah Mempererat Ukhuwah

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Secara bahasa hijrah berasal dari kata hajara yang artinya berpaling, pindah, atau memutuskan sesuatu. Dalam tarikh perjuangan Nabi Muhamamd SAW, hijrah merupakan salah satu peristiwa penting yang diartikan sebagai pindahnya Nabi Muhammad SAW bersama sahabat dari Mekah ke Habsy, Tha’if dan Madinah. Hijrah ke Madinah—hijrah terbesar sekaligus yang terakhir—merupakan peristiwa yang terpenting dimana peristiwa tersebut dijadikan sebagai awal tahun dalam sistem penanggalan (kalender) umat Islam yang ditetapkan pada kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 17 H/638 M. Tahun ini kemudian dikenal dengan istilah tahun hijriyah yang berpedoman kepada perputaran bulan.

Selain itu, peristiwa hijrah menjadi momen yang penting dalam perjuangan Nabi Muhammad SAW beserta sahabat untuk menyebarkan Islam sehingga mampu membalikkan keseluruhan perjalanan sejarah perjuangan Rasulullah dalam memperoleh kesuksesan yang spektakuler. Salah satu kunci keberhasilan perjuangan Islam dalam peristiwa hijrah adalah kemampuan Rasulullah SAW dalam mempererat persaudaraan umat.

Adapun yang melatarbelakangi Nabi Muhammad SAW beserta sahabat hijrah ke Yatsrib (Madinah) adalah adanya kepercayaan yang diberikan oleh penduduk Yatsrib untuk memimpin mereka dan mendamaikan antara kaum Aus dan Khazraj yang telah bertahun-tahun berselisih, bahkan berperang. Selain itu, Nabi pun menginginkan tempat yang aman untuk memperjuangkan Islam setelah bertahun-tahun berada dalam tekanan, teror, dan permusuhan dari kafir Quraisy.

Meskipun demikian, Yatsrib bukanlah daerah yang berpenduduk homogen, melainkan plural dengan berbagai suku dan kepercayaan. Setidaknya ada tiga kelompok masyarakat yang mendominasi, yaitu penduduk yang telah memeluk agama Islam dengan tulus baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, penduduk yang masih musyrik, serta orang-orang Yahudi yang sangat membenci Nabi dan para sahabat. Menghadapi keberagaman itu, Nabi terlebih dahulu membawa misi persaudaraan yang begitu kuat sehingga mampu menata konflik, mengendalikan permusuhan dan perpecahan.

Oleh karena itu, sesampainya di Yatsrib, hal yang pertama dilakukan oleh Nabi adalah membangun masjid di tempat berhenti onta yang beliau naiki, tepatnya di hamparan tanah di depan rumah Abu Ayyub. Fungsi masjid tidak hanya sebagai tempat beribadah secara mahdhah, akan tetapi masjid juga sarana mempersatukan umat. Kemudian beliau pun mempersatukan antara kaum Muhajirin (sahabat yang hijrah dari Mekah) dengan Anshar (sahabat yang menolong Muhajirin di Madinah) di rumah Anas bin Malik. Dengan mempererat persaudaraan ini, maka mereka diharapkan saling tolong-menolong, bahkan saling mewarisi harta jika ada yang meninggal dunia di samping kerabatnya. Waris-mewarisi ini berlaku hingga perang Badr disertai dengan turunnya Qs. Al-Anfal ayat 75 sehingga hak waris-mewarisi itu gugur, tetapi ikatan persaudaraan masih tetap berlaku.

Upaya mempererat persaudaraan itu pun disambut dengan baik oleh kedua belah pihak. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa tatkala mereka (Muhajirin) tiba di Madinah, maka Rasulullah SAW mempersaudarakan Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin ar-Rab’. Sa’ad berkata pada Abdurrahman, “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separoh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua istri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka kawinilah ia!”.

Abdurrahman berkata, “Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian?” Maka orang-orang pun menunjukkan pasar Qainuqa’. Tak berapa lama kemudian ia pun memiliki harta dan menikah (H.R. Bukhari, 1/553).
Dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa suatu ketika orang-orang Anshar ingin memberikan kebun korma kepada Nabi dan sahabat Muhajirin. Namun Nabi berkata: “tidak perlu, cukuplah kalian memberikan bahan makanan pokok saja, dan kami bisa bergabung dengan kalian dalam memaneh buah”.

Sungguh besar pengorbanan kaum Anshar, mereka lebih mementingkan kepentingan saudaranya serta mencintai dan menyayangi. Sebaliknya, sungguh besar pula kehormatan yang dirasakan orang-orang Muhajirin, akan tetapi mereka tidak menerima dari saudaranya Anshar kecuali sekedar makan yang bisa menegakkan tulang punggungnya. Hal ini menunjukkan persaudaraan didasari dengan iman yang kuat sehingga antara yang satu dengan yang lain saling menolong dan meringankan, bukan membebani dan menyusahkan dengan bermalas-malasan.
Upaya mempersaudarakan umat pun tidak sebatas itu saja. Nabi juga membuat perjanjian antar sesama muslim, baik yang berasal dari Quraisy, Yatsrib dan siapa saja yang mengikut mereka. Di antara isi perjanjian itu adalah mereka merupakan umat yang satu, sama-sama melawan orang yang berbuat zalim, tidak boleh saling membunuh karena membela orang kafir, dan sebagainya. Kemudian Nabi juga membuat perjanjian dengan orang-orang Yahudi, di antaranya adalah orang-orang Yahudi merupakan satu umat dengan orang-orang mukmin, namun bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi orang Muslim agama mereka; mereka harus saling menasehati, berbuat baik dan tidak boleh berbuat jahat; mereka harus saling bahu-membahu dalam menghadapi musuh yang membatalkan perjanjian itu, dan sebagainya. Perjanjian itu kemudian dikenal dengan ”piagam Madinah”.

Upaya Nabi SAW dalam mempersatukan sesama muslim dan antara muslim dengan Yahudi akhirnya membuahkan hasil gemilang. Yatsrib yang kemudian dikenal dengan Madinah al-Munawwarah itu menjadi model masyarakat ideal hingga akhir zaman. Di kota ini, Nabi tidak hanya bertindak sebagai pemimpin agama/spiritual (Nabi dan Rasul) seperti di Mekah, akan tetapi beliau juga bertindak sebagai pemimpin politik/negara yang adil, diakui dan diterima oleh semua masyarakat.

Berkaca dari peristiwa tersebut, peringatan tahun baru hijriyah yang selalu dilakukan oleh umat Islam setiap tahun sejatinya mampu mengimplementasikan semangat hijrah tersebut dalam mempererat ukhuwah, baik persaudaraan seiman, maupun persaudaraan sebangsa dan bernegara. Lebih-lebih umat Islam di Indonesia ini, jalinan persaudaraan yang erat antar sesama umat menjadi syarat mutlak untuk membangun bangsa Indonesia agar lebih terhormat dan bermartabat.

Sebagaimana yang kita sadari, akhir-akhir ini benih-benih perpecahan dan permusuhan, rasa saling curiga, serta saling menyalahkan semakin merebak di tengah-tengah masyarakat. Kondisi ini bisa terjadi antara rakyat dengan penguasa, antara rakyat dengan penegak hukum, bahkan antar sesama penguasa dan antar sesama rakyat. Banyak hal yang memicu terjadinya perpecahan tersebut: perbedaan partai/golongan, suku, agama, dan status sosial adalah di antara beberapa alasan.

Demikian pula perilaku amoral, seperti korupsi yang masih kerap terjadi dan disepakati sebagai virus masyarakat yang menghambat kemajuan negara yang subur ini. Terjadinya korupsi sesungguhnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki rasa empati, rasa persaudaraan dan kesatuan serta keengganan dalam berkorban. Mereka tidak memperdulikan rakyat kecil yang kelaparan, bergelimang dalam kemiskinan dan kebodohan sebagai akibat dari perilaku korupsi tersebut. Bukankah persaudaraan antara sahabat Anshar dan Muhajirin tercipta dalam bentuk tolong menolong dan pendestribusian harta secara adil?

Oleh karena itu, hijrah tidak hanya dipahami secara tekstual atau fisik saja, akan tetapi substansi hijrah dapat dipahami dari dimensi spiritual dimana hijrah menghasilkan keimanan umat Islam yang semakin kokoh dan ikatan persaudaraan yang semakin erat sehingga terbentuk tatanan masyarakat yang madany.

Ikatan persaudaraan itu terwujud dalam bentuk rasa empati dan kepedulian yang tinggi terhadap kaum mustadh’afin (lemah), berjihad secara bersama melawan kezaliman, kemiskinan dan kebodohan yang terjadi di kalangan umat, serta menghapus paradigma berpikir yang primordialis, rasis, dan fanatisme terhadap suku atau kelompok tertentu. Prinsip persaudaraan dalam Islam menekankan pada aspek kedamaian, keamanan dan saling tolong-menolong dengan tetap menegakkan nilai-nilai ajaran Islam yang universal sehingga Islam tampil sebagai rahmatan lil-’alamin. Hal ini yang dipraktikkan nabi ketika hijrah ke Madinah dimana kehadiran Islam dapat diterima oleh semua kalangan.

Kondisi ini mengisyaratkan bahwa makna hijrah dalam konteks kekinian dapat dipahami sebagai upaya untuk berpindahnya kondisi mental dan perilaku dari yang angkuh menjadi tawadhu’, dari berpikir yang primordial menjadi universal, dari yang kasar menjadi lembut, dari pola pikir yang su’uzhzhan ke pola pikir yang husnuzhzhan, dari perilaku namimah menjadi perilaku pendamai, dan dari yang ingkar menjadi taat. Semangat itulah yang harus ditumbuhkembangkan.

Tidak ada komentar: