Minggu, September 21, 2008

Tradisi “Balimau”; Mensucikan atau Mengotori Diri?

Ketika bulan suci Ramadhan yang penuh berkah dan mengandung berbagai kemuliaan tiba, umat Islam menyambutnya dengan rasa gembira. Kegembiraan ini pun akan bernilai ibadah, sebagaimana dalam salah satu sabda Rasul: ”Barang siapa yang gembira menyambut Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya ke Neraka”. Namun, kerapkali kegembiraan itu terefleksi dalam kegiatan-kegiatan yang justru menjerumuskan ke api Neraka. Salah satu kegiatan yang biasa digelar dan kadang kegiatan yang sudah mengkultur ini, turut mengantarkan ke api neraka adalah ”tradisi Balimau”.

Tradisi ini biasanya dilakukan sehari menjelang masuknya bulan Ramadhan, di sore hari dengan melakukan mandi, layaknya seperti mandi wajib dengan membersihkan najis, hadas dan segala kotoran serta meratakan air ke seluruh tubuh. Tetapi air tersebut ditambah dengan air asam limau dan dedaunan yang harum lainnya sebagai alat penyuci. Karena itu, masyarakat di Sumatera Barat menyebut mandi ini dengan sebutan Balimau, sementara masyarakat Sumatera Utara mengenalnya dengan sebutan barpangir. Kemudian tempat yang digunakan dalam tradisi ini bisa di kamar mandi saja, atau di sungai-sungai yang dapat digunakan untuk mandi. Kini, tradisi ini justru berkembang di kalangan kaula muda dengan balimau ke tempat-tempat rekreasi seperti di sepanjang pantai atau tempat terbuka lainnya lalu menggelar ”mandi balimau berjamaah” tanpa adanya hijab antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim, bahkan kadang balimau ini memang dilakukan mereka secara berpasangan, atau sekarang dikenal dengan istilah pacaran.

Di antara alasan yang sering dikemukakan kenapa tradisi ini dilakukan adalah sebagai upaya penyucian diri. Ramadhan adalah bulan yang suci di mana segala aktifitas yang bernilai ibadah akan dilipatgandakan, segala doa dikabulkan, dan segala dosa diampunkan, sehingga bulan ini dikenal dengan bulan maghfirah. Maka sebelum bulan yang suci dan maghfirah ini tiba, dianggap perlu mensucikan diri (tazkiyah al-nafs), baik secara bathin (tazkiyah al-ruhaniah), seperti beristighfar, bersalaman dan saling maaf memaafkan sesama muslim; maupun secara zhahir (tazkiyah al-jasadiyah), termasuk membersihkan tubuh dari segala kotoran. Selain itu, sering didengar dari orang yang mengemukakan alasan ini menganalogikan dengan orang yang akan menyambut hari penuh gembira, sebut saja ketika seseorang menggelar acara pesta perkawinan. Sebelum hari H acara tersebut, tuan rumah (ahl bait) tentu terlebih dahulu membersikan rumah serta pekarangannya. Taman pun ditata rapi, ru¬mah dihiasi dengan berbagai bunga dan ukiran dinding nan elok dan segala kotoran, termasuk debu-debu yang menempel di sudut ruangan pun akan disingkirkan. Semuanya dilakukan se¬bagai refleksi dari kebahagiaan untuk menyambut acara yang penuh bahagia sekaligus persiapan untuk menyambut para tamu terhormat, yang tentunya disambut dengan rasa bahagia pula. Demikianlah Ramadhan sebagai tamu agung yang dihormati dan senantiasa diharapkan kehadirannya, disambut dengan penyucian diri.

Secara eksplisit (tekstual), kegiatan balimau tidak ditemukan di dalam al-Quran dan Hadis. Tetapi al-Quran mengajak agar orang-orang beriman senantiasa hidup bersih dan mensu¬cikan dirinya. Firman-Nya: Sesungguhnya Allah mencintai/menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqa rah/2: 222). Agaknya inilah salah satu landasan orang-orang yang senantiasa mengamalkan tradisi ini, sebagai upaya untuk mensucikan diri.

Namun ada juga yang berpendapat bahwa tradisi ini tidak ada hubungannya dengan Islam, melainkan hanya sebagai warisan dari agama Hindu, lalu kemudian di-Islamisasikan. Sebelum Islam masuk ke wilayah Nusantara, agama Hindu diperkirakan lebih dahulu berkembang di kepulauan nusantara, termasuk di pulau Sumatera. Berdasarkan anggapan ini, maka ada sebagian yang menilai bahwa perbuatan ini adalah bid’ah.

Terlepas dari adanya kontroversi mengenai hukum melakukan balimau ini, atau asal munculnya tradisi ini, apakah sebagai warisan dari agama Hindu, atau sebagai hasil interpretasi mereka terhadap ayat-ayat Allah, tetapi yang berkem¬bang dewasa ini pada umumnya mere¬ka tetap menjawab kalau tradisi ini dilakukan sebagai upaya untuk menyucikan diri. Namun yang menjadi persoalan adalah terjadinya pergeseran ke arah yang negatif, di mana generasi muda muslim melakukannya di tem¬pat-tempat terbuka sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya.

Ironis memang, atas nama Islam, atas nama bulan suci Ramadhan, mere¬ka menjustifikasi dan melegalisasi tra¬disi balimau dengan cara mandi berja¬maah antara laki-laki dengan perempuan tanpa hijab. Bisa dibayangkan, pemandangan apa yang terlihat di tem¬pat seperti itu. Mereka memang berpakaian, tetapi hakikatnya tidak berbusana. Apalagi perempuan, tentu ia akan membasahi rambutnya, dan bagi mere¬ka yang berjilbab, akan melepas jilbab tersebut.

Lain lagi dengan air yang mem¬basahi sekujur tubuh mereka, maaf, bentuk lekuk tubuhnya akan terlihat sangat jelas. Bahkan tak jarang di antara mereka mengenakan pakaian yang relatif tipis, sekali lagi maaf, sehingga pakaian dalam mereka pun jelas menerawang. Pemandangan inilah yang disaksikan oleh kaum pria. Sanggupkah mereka—kaum laki-laki—melenyapkan gairah dan nafsu syahwatnya tanpa muncul sedikit pun di benak mereka? Bukankah cara ini sama dengan mempertontonkan auratnya di hadapan khalayak ramai? Sudah tak bernilai lagikah aurat perempuan di mata dirinya, orang tua, dan masyarakat di sekitarnya? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini tidak akan dijawab dalam halaman terbatas ini, silahkan dijawab secara pribadi saja.

Yang lebih ironis lagi, ada yang sengaja pergi berpasangan laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim lalu mandi pun secara berpasangan dan sesekali tubuh mereka bersentuhan, pulang pun dengan kondisi basah bergandengan tangan. Sungguh prilaku yang jauh menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Bukankah Allah memerintahkan agar kaum perempuan menutup auratnya dengan menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan, (lihat QS. AI-Ahzab: 59 dan An-Nur: 31) agar mere¬ka dikenal identitasnya sebagai muslimah dan terjaga dari gangguan para lelaki yang tidak bertanggung jawab? Bukankah Rasul dengan tegas bersabda: Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (berdua-duaan) dengan seo¬rang wanita yang tidak halal baginya, karena sesungguhnya pihak ketiga dari mereka adalah syetan, kecuali bila ia muhrimnya. (HR. Ahmad).

Jika tradisi semacam ini (baca: mandi balimau berjamaah) tetap dikembangkan dan dipertahankan, balimau jelas bukan mensucikan diri, melainkan mengotori dirinya, bahkan mengotori Islam itu sendiri. Kalangan non-Islam yang menonton kegiatan ini jelas akan menimbulkan imej negatif di benak mereka terhadap Islam yang biasanya mereka dengar menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan menentang pergaulan bebas serta mempertontonkan aurat di khalayak ramai, justru membiarkan, tanpa ada gerakan kongkrit melarang dan mencegah budaya ini berkembang.

Melihat dari dampak yang ditimbulkannya, maka persoalan ini perlu disikapi dengan serius. Diruntut peran aktif dari seluruh komponen masyarakat untuk angkat tangan mencegah kemungkaran ini. Tokoh masyarakat dan orang tua diharapkan mampu membimbing anak dan kamanakannya secara logis dan bijaksana untuk tidak melakukan perbuatan yang merugikan itu. Para ulama juga mesti melakukan gerakan, setidaknya mensosialisasikan kepada jamaahnya, bahwa tradisi ini mengandung mudhrat yang akan mengundang murka Allah SWT. Demikian juga pihak pimpinan/pemerintah, diharapkan berperan dengan menutup tempat-tempat rekreasi yang dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan balimau ber¬jamaah tanpa hijab, apalagi bercampur antara laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim. Terutama kepada generasi muslim, sebagai pelaku utama, diharapkan sadar akan kegiatan yang menyimpang ini.

Jangan kotori Islam dengan ulah tangan kita sendiri. Jika balimau memang dianggap sebagai tradisi dan kekayaan budaya yang seharusnya dipertahankan, maka lakukanlah sesuai dengan ajaran Islam, bukan justru menentang ajaran Islam itu sendiri. Kemudian balimau bisa dipahami sebagai upaya untuk mensu¬cikan diri (tazkiyah nafs), bukan secara formalitas semata (tazkiyah al-jasadiyah), tetapi yang terpenting adalah melakukan penyucian ruhani (tazkiyah al-ruhaniyah) dan mampu memetik pesan yang terkandung di dalamnya. Untuk menghadap Allah Yang Maha Suci, tentunya diri kita mesti suci. Lihat saja bagaimana Nabi Muhammad SAW, sebelum ia diberangkatkan menuju Sidratul Muntaha dalam peristiwa Israk Mikraj, suatu riwayat diterangkan bahwa Nabi disucikan dulu qalbunya dengan cara malaikat membelah dadanya lalu membersihkannya dari segala sifat-sifat tercela serta mengisinya dengan iman, hikmah dan ilmu. Artinya untuk menemui Yang Maha Suci, sebaiknya diri kita juga disucikan terlebih dahulu. Maka kedatangan Ramadhan bisa dijadikan seba¬gai momentum untuk mensucikan diri dengan memuhasabah diri, atas kesalahan dan kekhilafan yang sudah tertoreh dalam kanvas kehidupan kita.

Dengan kesadaran itu, kita sucikan diri ini dengan kembali beristighfar meskipun sebenamya kita dianjurkan setiap saat untuk beristighfar dari segala dosa yang dilakukan, tetapi sekali lagi, menyambut Ramadhan jadikan sebagai momen lalu persiapkan diri, baik dari segi kesiapan mental, kesehatan fisik, maupun dari kesiapan ekonomi untuk melakukan berbagai kegiatan yang bernilai ibadah di bulan yang penuh berkah tersebut. Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu memetik pelajaran dan mampu mensucikan diri, baik lahir maupun bathin. Amin.

Baco Tokhus....

Puasa Mengendalikan Perut dan Seks

Tokoh sosialis-komunis, Karl Marx (1818 – 1883), berpendapat bahwa di antara faktor penyebab munculnya berbagai pertentangan dan kekacauan di antara sesama manusia adalah hal-hal yang berhubungan dengan perut. Lalu psikolog modern yang juga ahli saraf (neurologist) asal Australia, Sigmund Freud (1856 – 1883) dalam versinya mengungkapkan bahwa keberhasilan dan kegagalan yang dialami oleh manusia serta konflik-konflik yang terjadi banyak dipengaruhi oleh persoalan seks. Dari dua pandangan tokoh non-Islam ini, tentang pengaruh perut dan seks begitu berpengaruh terhadap prilaku yang dimunculkan oleh manusia, baik perilaku positif maupun yang negatif.
Jika persoalan ini dilihat dari kaca mata Islam, keduanya memang dapat menimbulkan perilaku positif dan negatif. Hal ini pernah diungkapkan oleh tokoh Islam—jauh sebelum dua tokoh non-Islam di atas—Imam al-Ghazali (w. 1111) dengan merujuk kepada ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an secara proporsional tentang pengaruh perut dan seks dalam pribadi manusia (lihat tulisan M. Jamil tentang Pengendalian Nafsu Perut dan Seks, juga buku kecil Hamka tentang Tarawih dan Puasa).
Adanya keinginan yang muncul dari perut dan seks merupakan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia sekaligus merupakan anugerah yang diberikan Allah SWT. Tetapi potensi ini juga dikaruniakan-Nya kepada makhluk selain manusia yang kedudukannya lebih rendah dari manusia—meskipun kadang kedudukan manusia bisa lebih rendah dari makhluk yang satu ini—yaitu makhluk yang bernama hewan. Dua potensi ini punya dampak positif dalam hal kelangsungan hidup manusia di alam fana ini. Suatu hal yang tidak logis jika ada manusia yang mampu bertahan hidup tanpa memenuhi keinginan perutnya, terutama makan dan minum. Demikian juga tentang seks, mustahil tanpa seks manusia—kecuali mukjizat yang diberikan Allah kepada hamba pilihan-Nya seperti lahirnya Adam dan Isa as—juga hewan, mampu melakukan regenerasi atau reproduksi dengan melahirkan keturunan di muka bumi ini.
Namun jika dua keinginan ini tidak dapat dikendalikan oleh manusia, maka akan dapat menimbulkan kerugian bagi diri dan lingkungannya. Lebih dari itu, persoalan ini dapat menyamakan posisinya dengan hewan, ketika cara pengendaliannya sebagaimana yang dilakukan oleh hewan.
Pada dasarnya, perut hanya menuntut memenuhi kebutuhannya berupa makan dan minum. Namun nafsu yang dimiliki manusia mendorong untuk memenuhinya dengan berbagai jenis makanan yang lezat dan nikmat. Adanya keinginan itu memotivasi manusia untuk berusaha mendapatkan berbagai jenis makanan tersebut. Tetapi kadang usaha untuk memenuhi keinginan itu dilakukan dengan berbagai cara—termasuk menghalalkan segala cara—tanpa memperhatikan aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah. Ada dua bentuk makanan yang diharamkan itu, yaitu: pertama, haram dalam hal cara mendapatkannya; kedua, haram dalam hal zat makanan itu sendiri.
Bentuk pertama biasa dilihat dari fenomena masyarakat di sekeliling kita. Perampokan, berbisnis dengan tipu-muslihat, riba, hingga kepada korupsi dan kolusi merupakan perilaku munkar yang salah satu faktornya ditimbulkan oleh keinginan perut yang berlebihan tadi. Sedangkan haram dalam bentuk zatnya adalah makanan atau minuman yang dapat merusak diri, seperti khamar atau minuman keras, narkoba, makanan yang mengandung racun dan sebagainya.
Mengenai makanan, Allah menegaskan agar memakan makanan yang halal lagi baik (halalan tayyiban) dari apa yang terdapat di bumi (QS. al-Baqarah: 168). Sedangkan mengenai minuman Allah menyuruh “minumlah, tetapi jangan berlebihan” (QS. al-A’raf: 31). Jadi jelaslah makanan dan minuman, sebagai tuntutan keinginan perut, membawa mudarat kepada diri sendiri dan kepada lingkungan sekitar. Kepada diri sendiri adalah melakukan larangan Allah, itu artinya tidak tahu berterima kasih (bersyukur) yang pada gilirannya akan mengundang murka-Nya. Selain itu, makanan dan minuman yang haram, baik cara memperolehnya maupun zatnya, yang dikonsumsi oleh perut, dalam pandangan al-Ghazali akan mendarah daging dalam tubuh manusia lalu merambat ke jaringan otak, sehingga otaknya cenderung berpikir kepada hal-hal yang haram dan menghasailkan keputusan-keputusan yang lebih banyak mengandung mudarat ketimbang manfaat, naudzu billah.
Adapun mudarat terhadap lingkungannya adalah seperti yang diungkapkan di atas, munculnya perilaku negatif berupa cara yang digunakan untuk mendapatkan makanan tersebut, seperti korupsi yang merugikan negara atau instansi tertentu, perampokan yang bisa berakhir dengan pembunuhan, munculnya kecemburuan sosial lalu berakhir dengan peperangan/pemberontakan antara si miskin dengan si kaya atau rakyat jelata dengan pemerintah, dan sebagainya. Agaknya inilah yang dimaksud oleh Karl Marx di atas.
Persoalan kedua yang tidak kalah pentingnya adalah keinginan yang dimunculkan seks. Jika seks tidak dikendalikan secara proporsional, maka dapat merendahkan hakikat manusia itu sendiri, merugikan dirinya juga akan berdampak kepada masyarakatnya. “Lahirnya” kupu-kupu malam dengan kumbang si hidung belang; munculnya perzinahan seorang pemuda terhadap gadis yang dikenal maupun tidak, terhadap pacar sendiri maupun tidak—diperkosa atau sama-sama suka atas nama cinta—atau perkosaan yang dilakukan oleh paman kepada kemanakan, orang tua terhadap anak tirinya, bahkan ada yang dengan anak kandungnya sendiri, naudzu billah tsumma na’udzu billah min dzalika, merupakan penyakit sosial yang kerap di dengar dan saksikan sebagai akibat dari ketidakmampuan mengendalikan seks. Ketidakmampuan mengendalikan seks bagi perempuan yang ditinggal suami, karena ditinggal kerja atau lainnya, juga bisa menimbulkan perselingkuhan sehingga mengakibatkan retaknya rumah tangga dan terbengkalainya pendidikan anak-anak.
Selain itu, nafsu seks dapat menimbulkan pertumpahan darah. Bahkan pertumpahan darah pertama yang dilakukan oleh manusia di muka bumi antara dua putra Adam as, pembunuhan Qabil terhadap Habil, tidak terlepas dari perkara seks (QS. Al-Maidah: 27 – 31). Fitnah yang diterima oleh Nabi Yusuf yang mengakibatkan dirinya mendekam dalam penjara, juga tidak terlepas dari perkara nafsu seks dari seorang perempuan bangsawan Mesir, Zulaikha (QS. Yusuf: 23 – 29).
Keinginan seks juga bisa mendorong manusia over performance dalam hal berpakaian. Tidak sedikit di antara generasi muda yang nota bene-nya muslim/muslimat memakai pakaian yang menjual dengan mempertontonkan auratnya dengan alasan agar terlihat seksi di mata lawan jenisnya. Ini jelas merangsang birahi atau nafsu seks, dari lawan jenis yang memandangnya. Padahal pakaian yang membuka aurat lagi ketat, jelas melanggar adat, terutama syari’at dan hal ini bisa memicu timbulnya pemerkosaan yang pada gilirannya merugikan dan menghinakan mereka sendiri baik di hadapan manusia, terutama di hadapan Allah.
Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi hasrat nafsu seksnya. Bahkan Islam memberikan dukungan dengan memberikan aturan-aturan yang jelas. Agar manusia itu terhormat—jelas hal ini akan membedakannya dengan hewan yang juga punya naluri seks—Allah menyuruh manusia menyalurkan nafsu seksnya melalui pernikahan secara sah. Dalam surat An-Nisa: 3 justru Allah mempersilahkan laki-laki berpoligami dengan syarat bisa berbuat adil—yang menjadi perhatian besar mesti dalam hal kemampuan untuk bersikap adilnya, bukan boleh menikahi beberapa perempuannya—dalam memperlakukan istri-istri tersebut, secara lahiriyah, terutama batiniyah. Pada ayat 22 – 24 di surat yang sama dijelaskan perempuan-perempuan yang haram dinikahi, seperti ibu, nenek, anak, cucu dan sebagainya.
Agar manusia tidak terjerumus pada perzinahan yang membuatnya sederajat dengan hewan, Allah juga dengan tegas memerintahkan “jangan mendekati zina, karena zina adalah perbuatan yang keji” (QS. al-Isra’: 32). Konsekuensinya adalah manusia tidak diperkenankan berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim, sebagaimana lazimnya yang diperbuat oleh muda-mudi, sekarang dikenal dengan istilah ‘pacaran’), menonton film porno, onani dan segala perbuatan yang mengantarkan diri kepada perbuatan zina.
Setiap muslim juga diperintahkan agar bisa menahan pandangan dan kemaluannya, termasuk auratnya. Perhatikanlah ayat ini: Katakanlah kepada laki-laki beriman hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu adalah lebih suci begi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman hendaklah mereka menahan kemaluan mereka kecuali yang biasa nampak daripadanya dan hendaklah mereka menutupkan kain tudung ke dada mereka… (QS. An-Nur: 30 – 31).
Demikianlah Islam memberikan aturan yang jelas terhadap pengendalian nafsu perut dan seks. Meskipun demikian, diperlukan juga beberapa upaya lain untuk melatih mengendalikan tersebut, salah satu yang terpenting adalah dengan Puasa di bulan Ramadhan. Untuk itu bulan Ramadhan disebut dengan syahr Tarbiyah, bulan pendidikan, atau bulan pelatihan, yaitu mendidik dan melatih manusia untuk mampu mengendalikan diri (nafsu)-nya.
Secara umum, para fuqaha mendifinisikan bahwa puasa adalah kegiatan menahan diri dari makan, minum dan bercampur (jima’) dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Jadi konsep dasar puasa memang dua hal ini, perut dan seks. Bukan berarti mengenyampingkan yang lain, sebab jika dua hal ini tidak bisa dikendalikan, maka nafsu selainnya juga tidak akan terkendali ketika berpuasa. Seperti seseorang yang mampu menahan pandangannya ketika puasa, sementara ia tidak mampu menahan perut dan seksnya seperti makan, minum, dan atau bercampur (jima’), jelas puasanya batal.
Bagaimanapun, selain dari menahan nafsu seks dan perut, segala nafsu duniawi yang melekat pada indera lahiriyah, seperti: mata dari melihat hal-hal yang haram; mulut dari memfitnah, mencela, menggunjing, dan sebagainya; telinga dari mendengar kata-kata kotor, fitnah, dsb; dan indera yang lainnya juga mesti dikendalikan dari hal-hal yang dapat membawa mudarat serta membuatnya tertipu dengan kenikmatan duniawi yang sesaat. Demikian juga hati, sebagai sentral dalam diri manusia, mesti dibersihkan dari segala bentuk kemusyrikan ketika menjalankan ibadah puasa.
Semoga puasa yang kita lakukan dapat memberikan kekuatan kepada kita untuk senantiasa mampu mengendalikan nafsu perut dan seks sesuai dengan perintah Allah, bukan hanya ketika berpuasa tetapi dalam setiap langkah kita menelusuri jalan pendek di dunia ini, sebagai langkah awal untuk senantiasa menyucikan diri. Ingat!, mengendalikan nafsu merupakan perjuangan dan peperangan yang paling besar (jihad akbar). Belajarlah dari perintah Allah yang satu ini!

Baco Tokhus....

Ramadhan Mendidik Manusia Menjadi Manusia

Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan lebih sempurna di antara makhluk lainnya (QS. Al-Tin: 4). Terbukti bahwa manusia diciptakan bukan saja sebagai hamba yang mesti beribadah kepada-Nya (QS. Al-Dzariyat: 56), tetapi juga diangkat sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini (QS. Al-Baqarah: 30). Hal ini tidak terlepas dari berbagai kelebihan yang dikaruniakan Allah kepada manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Di antara kelebihan itu adalah manusia dibekali dengan potensi akal, qalbu dan nafsu yang terintegrasi dalam kepribadian manusia itu sendiri. Ketika potensi itu dapat dikendalikan dan digunakan untuk mengabdikan diri kepada-Nya secara optimal, maka akan dapat mengantarkan manusia kepada posisi insan kamil (manusia sempurna). Dengan begitu, tugasnya sebagai abdi Allah dan khalifah fi al-ardhi niscaya akan dapat terlaksana sebagaimana mestinya.

Itulah manusia yang sesungguhnya. Dan demikianlah seharusnya manusia sebagaimana yang diinginkan Allah. Namun tidak semua manusia mampu menjadikan dirinya sebagai manusia yang sesungguhnya. Tidak sedikit yang berwujud manusia tetapi berperilaku tidak manusiawi, bahkan kadang seperti makhluk Allah yang bernama “al-an’am” atau binatang ternak. Fenomena ini dapat kita tengok dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia pada masa lalu, baik kehidupan para penguasa atau bangsa tertentu yang terekam dalam catatan sejarah yang ditulis oleh manusia sendiri, maupun yang dikisahkan Allah dalam al-Qur’an. Pembunuhan, perzinahan, dan perampasan hak-hak orang lain adalah bentuk kezaliman yang mereka lakukan, layaknya seperti binatang.
Hingga saat ini fenomena itu pun acapkali kita saksikan. Setiap hari kita dapat menyaksikan di media massa, baik cetak maupun elektronik, beragam bentuk kekerasan dan kezaliman yang dilakukan oleh manusia. Ada manusia yang tega merenggut nyawa saudaranya sendiri hanya karena persoalan sepele. Ada yang merampas hak-hak orang lain hanya karena kepentingan pribadi dan kelompok. Bahkan ada orang tua memperkosa anak kandungnya, paman menggagahi kemanakannya. Dan yang terparah lagi adalah ada anak membunuh orang tua kandungnya, atau orang tua membunuh anak yang dilahirkannya sendiri. Ada pula yang melakukan pembunuhan massal, atas nama “keamanan” atau pamer kekuatan. Genderang perang pun ditabuh sehingga ratusan bahkan ribuan rakyat yang tidak berdosa menjadi mayat-mayat yang bergelimpangan. Yang terakhir ini, bisa dikatakan kekejamannya melebihi binatang, sebab binatang tidak akan membunuh mangsanya dalam jumlah yang begitu banyak.
Masih banyak bentuk kekerasan dan kezaliman yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Begitu juga kelalaian dalam diri manusia yang enggan berbuat dan beribadah dalam meningkatkan kualitas dirinya baik sebagai hamba maupun khalifah Allah di muka bumi. Akibatnya, hilanglah kemanusiaannya sehingga posisinya disamakan oleh Allah seperti “al-an’am” atau malah lebih sesat darinya. Firman-Nya dalam surat al-A’raf ayat 179: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam itu kebanyakan dari jin dan manusia, yaitu mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti “al-an’am” (binatang ternak), behkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.
Sebenarnya Allah menciptakan manusia itu pada awalnya dalam keadaan suci (fitrah). Namun, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, manusia juga dibekali dengan nafsu sehingga membuatnya dinamis, kreatif, dan inovatif dalam berkarya di muka bumi ini. Dengan nafsu itu pula yang membedakannya dengan malaikat yang senantiasa taat kepada perintah Allah SWT. Tetapi nafsu itu sendiri bermuatan negatif dan positif. Dalam hal ini, Allah juga mengemukakan dalam firman-Nya: Maka Allah mengilhamkan kepada nafs (jiwa) itu (jalan/potensi) kefasikan (keburukan) dan ketakwaan (kebaikan)-nya. (QS. Al-Syams: 8).
Oleh karenanya, sebagian ulama, sebagaimana yang juga dikemukakan oleh Jalaluddin Rakhmat (2005: 233), menyebutkan bahwa manusia mempunyai dua dimensi kepribadian. Pertama, disebut dengan al-bu’dul malakut, atau dimensi kemalaikatan yang berasal dari alam malakut. Ada satu bagian dalam diri manusia yang membawa ke arah kesucian sebagaimana asal penciptaannya sehingga dimensi ini akan membawanya untuk dekat kepada Allah. Dimensi ini pula yang membuat manusia tetap pada kemanusiaanya yang gemar membantu, bersilaturrahim dan melakukan berbagai bentuk kebaikan lainnya.
Kedua, dimensi yang disebut dengan al-bu’dul bahimi atau dimensi kebinatangan. Dimensi inilah yang merubah posisi manusia dari manusia yang sesungguhnya. Dimensi ini mendorong manusia untuk melakukan kejahatan, iri kepada orang lain, tega menzalimi orang lain dan dendam kepada orang lain. Inilah sisi buruk manusia yang jika tidak dikendalikan maka dapat mengantarkannya pada posisi yang sama dengan binatang, atau malah melebihi kesesatan binatang.
Ketika manusia berada pada dimensi malakutnya, maka di saat itu dia telah menghambakan dirinya hanya kepada Allah. Sebaliknya, ketika dimensi bahimi yang menyelimutinya, maka dia telah menjadi budak setan yang selalu menjerumuskannya ke jalan kegelapan dan kesesatan.
Untuk itu manusia mesti mengendalikian nafsunya sehingga ia tetap manjadi makhluk Allah yang paling mulia. Pengendalian nafsu itu memerlukan perjuangan yang besar, dimana Rasulullah menyebutnya sebagai jihad al-akbar, perjuangan yang lebih besar dari pada perjuangan para sahabat dalam peperangan Badr atau Uhud sekalipun.
Meskipun demikian, Allah tidaklah membiarkan begitu saja hamba-Nya dalam kesesatan. Dia tetap mendidik hamba-Nya agar tetap pada posisi yang mulia. Hanya Dia-lah yang Maha Pendidik. Dia disebut sebagai Rabb, yang artinya Maha Pemelihara atau Maha Pendidik. Kata rabb ini juga yang kemudian mengalami perkembangan kata menjadi tarbiyah, atau pendidikan. Artinya, Allah SWT sebagai khaliq atau pencipta tidaklah hanya menciptakan manusia begitu saja, tetapi Dia memelihara makhluk-Nya dan mendidiknya agar tetap pada kebaikan dan keselamatan.
Salah satu bentuk pendidikan yang diberikan Allah kepada manusia agar dapat mengendalikan nafsunya adalah dengan menetapkan bulan Ramadhan sebagai bulan untuk melakukan ibadah puasa khusus bagi umat Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian salah satu hikmah Ramadhan adalah sebagai lembaga pendidikan ruhaniyah bagi manusia sehingga kita dapat mengendalikan diri (jihad al-nafs atau selfrestrain) agar tetap pada posisi makhluk Allah yang mulia. Isma'il al-Faruqi, sebagaimana yang pernah dikutip oleh Azyumardi Azra (2005: 25) menyebutkan bahwa puasa merupakan "latihan terbaik dalam seni pengendalian diri" (the art of self mastery). Itu sebabnya bulan ini juga disebut dengan Syahr al-Tarbiyah (bulan pendidikan), atau madrasah ruhaniyah.
Banyak hal yang menunjukkan bahwa ibadah puasa yang dilakukan di bulan Ramadhan ini mendidik manusia agar tetap menjadi manusia yang sesungguhnya. Diantaranya adalah, pertama, puasa mendidik manusia untuk jujur dan merasakan kedekatan dengan Allah SWT. Ibadah puasa memiliki perbedaan dengan ibadah lainnya. Perbedaan yang paling siginifikan adalah tentang kerahasiaannya. Hanya Allah lah yang tahu pasti apakah seseorang itu puasa atau tidak. Dengan demikian, orang yang berpuasa akan senantiasa merasakan bahwa dirinya dalam pengawasaan Allah SWT. Jika seseorang telah sadar bahwa dirinya berada dalam pengawasaan Allah, mustahil baginya untuk berbuat sesuatu yang diyakininya sebagai perbuatan yang mengundang murka Allah.
Kedua, puasa mendidik manusia untuk meningkatkan kesalehan social. Dengan berpuasa, ia akan menyadari apa yang dirasakan oleh si miskin yang selalu lapar. Dengan begitu, ia akan santun dan kasih kepada si miskin. Setidaknya, hal itu akan dibuktikan dengan mengeluarkan zakat fitrah kepada si miskin menjelang datangnya Hari Raya Idul Fitri. Puasa juga meningkatkan persaudaraan, sehingga ia akan selalu menghindari diri dari hal-hal yang dapat mengundang pertengkaran antara sesamanya. Hal ini mesti dilakukan oleh setiap orang yang berpuasa, sebab Rasulullah SAW bersabda: Puasa itu ibarat benteng. Oleh karena itu seorang yang berpuasa seharusnya meninggalkan berbicara tanpa manfaat atau melakukan perbuatan yang tidak berguna. Jika ada orang yang berselisih pendapat denganmu atau menyumpahimu, maka katakanlah, 'Aku sedang berpuasa, sungguh, aku sedang berpuasa.'" Puasa juga dapat mengikis rasa kesombongan, dimana kesombongan acapkali merusak persaudaraan. Puasa tidak membedakan antara pejabat dengan rakyat, pengusaha dengan pekerja, kaya dengan miskin, dan berbagai bentuk kelebihan-kelebihan lainnya. Semuanya sama-sama diwajibkan untuk berpuasa dan mesti menahan rasa dahaga dan lapar serta hal-hal yang dapat merusak nilai ibadah puasa. Lalu, ketika semuanya mendapatkan kewajiban yang sama, apa lagi yang pantas untuk disombongkan?
Ketiga, puasa mendidik agar manusia senantiasa menyucikan jiwanya. Bulan Ramadhan mendidik manusia untuk memperbanyak zikir baik siang maupun di malam hari. Mereka dimotivasi Allah dengan kehadiran lailatul qadar, malam seribu bulan, sehingga mereka memperbanyak zikirnya kepada Allah dan siap mendirikan shalat di setiap malam (qiyam al-lail). Lalu Allah pun menjanjikan bahwa bulan ini penuh dengan ampunan bagi mereka yang tetap berjuang dan mengakui akan segala dosa yang pernah dilakukan. Dengan demikian, dirinya akan tetap suci dari noda-noda dosa yang menutupi qalbunya dari hidayah Allah. Jika dirinya suci, maka Allah Yang Maha Suci dengan sendirinya akan mencintai sang hamba dan mengangkat kedudukannya menjadi makhluk yang mulia lagi sempurna.
Puasa yang dilakukan selama bulan Ramadhan diharapkan akan menyuci segala kesalahan dan dosa yang pernah kita dikakukan sehingga kita keluar dari Ramadhan dalam keadaan suci atau fitrah, dan bergembira merayakan idul fitri. Tidak ada dendam, tidak ada peperangan, tidak ada kedengkian, tidak perampasan, dan tidak akan ada keserakahan antara sesama manusia. Yang ada hanya ketenangan dan kedamaian dalam keridhaan-Nya. Itulah manusia yang sesungguhnya di hadapan makhluk lain, terutama di hadapan Allah azza wa jalla.
Wallahu a'lam.

Baco Tokhus....