Jumat, April 17, 2009

Makalah Tafsir Tarbawy II

PENDIDIKAN KEMASYARAKATAN MENURUT AL-QUR’AN
Oleh: Muhammad Kosim, MA

A. Pendahuluan
Al-Qur’an mengandung ajaran yang komprehensif, universal dan menyentuh kehidupan umat manusia dalam setiap lintasan zaman. Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang hukum-hukum dalam beribadah mahdhah, akan tetapi kandungannya mencakup setiap kebutuhan manusia. Salah satu di antaranya adalah tentang masyarakat sebagai kelompok yang terdiri dari beberapa individu dengan corak budaya yang beraneka ragam.

Dalam konteks pendidikan Islam, pengkajian terhadap masyarakat perlu dilakukan mengingat adanya keterkaitan antara pendidikan dengan masyarakat itu sendiri. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan tatanan kehidupan masyarakat yang memiliki peradaban tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang berperadaban akan menghasilkan pula pendidikan yang berkualitas.

Oleh karena pendidikan Islam berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah, maka perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang masyarakat dalam pandangan al-Qur’an. Dengan memahami konsep masyarakat dalam kitab tersebut, akan dikaji bagaimana peran pendidikan yang ideal dalam mewujudkan masyarakat sebagaimana yang dikehendaki-Nya; sebaliknya, perlu pula melihat peran masyarakat terhadap perwujudan pendidikan yang bermutu.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Makalah ini akan menguraikan beberapa kajian pendidikan kemasyarakatan dalam perspektif al-Qur’an. Adapun masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah: "Bagaimanakah pandangan al-Qur'an tentang pendidikan kemasyarakatan?".
Agar pembahasan makalah ini lebih fokus dan terarah, perlu membuat batasan masalah, yaitu:
1. Bagaimanakah pandangan al-Qur'an tentang masyarakat?
2. Bagaimanakah pandangan al-Qur'an tentang konsep dasar pendidikan kemasyarakatan di bidang tujuan, lembaga pendidikan, dan prinsip-prinsip dasarnya?
Kemudian, penulis menyadari bahwa dari beberapa literatur pendidikan Islam yang ada, kajian dalam makalah ini sulit ditemui. Untuk itu, diskusi yang mendalam, argumentatif dan berkelanjutan sangat diharapkan sehingga ditemukan konsep yang utuh tentang pendidikan kemasyarakatan.

C. Masyarakat dalam Perspektif al-Qur’an
Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu --kecil atau besar-- yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup bersama. Demikian satu dari sekian banyak definisinya. Ada beberapa kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada masyarakat atau kumpulan manusia. Antara lain: qawm, ummah, syu'ub, dan qabail. Di samping itu, Al-Quran juga memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu, seperti al-mala', al-mustak$birun, al-mustadh'afun, dan lain-lain.

Manusia adalah "makhluk sosial". Ayat kedua dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw., dapat dipahami sebagai salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut.
Dalam Qs. al-Alq ayat 2 bukan saja diartikan sebagai "menciptakan manusia dari segumpal darah" atau "sesuatu yang berdempet di dinding rahim", tetapi juga dapat dipahami sebagai "diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri."

Ayat lain dalam konteks ini adalah surat Al-Hujurat ayat 13.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dalam ayat tersebut secara tegas dinyatakan bahwa manusia diciptakan terdiri dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, menurut Al-Quran, manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan satu keniscayaan bagi mereka.

Kemudian, dalam al-Qur'an juga ditemukan beberapa term yang memiliki kesamaan arti dengan masyarakat. Ali Nurdin, dalam bukunya Quranic Society, menyebutkan ada 12 term yang menunjuk pada masyarakat, yaitu: Qaum, Ummah, Sya'b, Qabilah, Firqah, Thaifah, Hizb, Fauj, ungkapan yang diawali dengan Ahl, ungkapa yang diawali dengan Alu, al-Nas, dan Asbath.
Istilah-istilah ini menunjukkan bahwa masyarakat mendapat perhatian khusus dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, setiap individu sebagai anggota masyarakat tertentu harus berupaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik dalam ridha Allah SWT dengan tetap menjalakan perannya sebagai makhluk sosial. Untuk mempertahankan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial ini, diperlukan pendidikan sehingga interaksi antara yang satu dengan lainnya dalam suatu komunitas masyarakat dapat terjalin secara harmonis. Pendidikan kemasyarakatan tersebut dapat dilihat dari isyarat-isyarat yang terdapat dalam al-Qur'an yang akan dijelaskan berikut ini.

D. Konsep Dasar Pendidikan Kemasyarakatan dalam Perspektif al-Qur'an
Istilah pendidikan masyarakat biasanya dikenal juga dengan community education. Pendidikan kemasyarakatan merupakan kepedulian masyarakat terhadap perkembangan dan peningkatan pendidikan. Kepedulian tersebut bisa berupan adanya lembaga-lembaga pendidikan yang didesain sedemikian rupa untuk mendidik kemampuan anggota masyarakatnya sehingga mereka dapat hidup dengan layak dan menghasilkan peradaban yang tinggi, atau juga adanya hukum kemasyarakatan yang bersifat edukatif. Semua ini berangkat dari kesadaran bahwa tanpa pendidikan, masyarakat yang berperadaban tinggi niscaya mustahil diraih.

Seperti yang telah disinggung di bagian pendahuluan, secara eksplisit al-Qur'an memang tidak berbicara tentang pendidikan kemasyarakatan, akan tetapi secara implisit dapat ditemukan beberapa isyarat tentang pendidikan kemasyarakataan. Isyarat pendidikan kemasyarakatan tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

1. Tujuan Pendidikan Kemasyarakatan
Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, al-Qur'an menjadi landasan ideal dan memberikan arahan secara jelas tentang tujuan tersebut, seperti mewujudkan peserta didik yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, mampu menjalankan tugasnya sebagai abd Allah dan khalifah fi al-ard, serta memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, dan sebagainya. Namun, dalam konteks masyarakat, tujuan pendidikan adalah mewujudkan masyarakat yang ideal sebagaimana yang diisyaratkan dalam al-Qur'an. Adapun potret masyarakat ideal yang diinginkan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ummah Wahidah
Secara sederhana ummah wahidah berarti sekelompok manusia atau masyarakat yang satu. Setidaknya istilah ini ditemukan dalam al-Qur'an sebanyak 9 kali , di antaranya surat al-Baqarah/2 ayat 213:
Artinya: Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Ayat ini menjelaskan secara tegas bahwa manusia dari dulu hingga kini adalah satu. Allah menciptakan mereka sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Namun, Allah juga menciptakan mereka dengan beragam perbedaan, baik profesi, karakter, suku, adat, dan sebagainya. Perbedaan itu bisa menimbulkan perpecahan dan permusuhan. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar sesama manusia dapat bersatu, selain kembali kepada fitrah yang hanif, juga bersatu dengan nilai-nilai persaudaraan dalam kebajikan. Dengan demikian, tujuan pendidikan kemasyarakatan adalah mewujudkan persatuan yang didasari oleh paradigma ummah wahidah sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam al-Qur'an.

b. Ummah Wasathan
Ummah wasathan adalah masyarakat yang pertengahan, moderat atau masyarakat yang berkeadilan. Makna ini bisa dilihat dari arti wasath yang terulang sebanyak lima kali dalam al-Qur'an, semuanya menunjuk arti pertengahan. Adapun ayat yang mengungkapkan ummah wasathan ini adalah surat al-Baqarah/2 ayat 143:

Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilih anagar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

Masyarakat yang adil atau pertengahan dalam term ini juga menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat tidak cenderung kepada kehidupan materialisme secara berlebihan, akan tetapi berada pada pertengahan dan seimbang. Begitu pula aktivitas mereka senantiasa seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Bahkan, dalam konteks menghadapi perbedaan dengan umat lain, umat Islam senantiasa terbuka, dapat berdialog dan berinteraksi dengan semua pihak secara adil. Kondisi masyarakat seperti inilah yang menjadi salah satu tujuan pendidikan kemasyarakatan.

c. Ummatun Muqtashidah
Istilah ummatun muqtashidah merupakan masyarakat yang hemat dan tidak berlebih-lebihan. Istilah ini dapat dilihat dalam surat al-Maidah/5 ayat 66:

Artinya: Dan Sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. diantara mereka ada golongan yang pertengahan. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.

Makna masyarakat pertengahan, hemat atau tidak berlebihan dalam ayat di atas adalah segolongan kelompok yang berlaku pertengahan dalam melakukan agamanya, tidak berlebihan juga tidak melalaikan. Mereka senantiasa jujur dan berlaku adil, tidak menyimpang dari ajaran agamanya. Kondisi masyarakat seperti ini merupakan potret masyarakat ideal yang juga menjadi tujuan dari pendidikan kemasyarakatan.

d. Khairu Ummah
Khairu Ummah berarti umat terbaik atau unggul dan termasuk dalam kategori masyarakat ideal. Istilah ini ditemukan dalam surat Ali Imran/3 ayat 10:
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Ali Nurdin menyebutkan bahwa khairu ummah adalah bentuk ideal masyarakat Islam yang identitasnya berupa integritas keimanan, komitmen kontribusi positif kepada kemanusiaan secara universal dan loyalitas pada kebenaran dengan aksi amr ma'ruf nahi munkar. Masyarakat seperti ini juga menjadi tujuan dalam pendidikan kemasyarakatan.

e. Baldatun Thayyibah
Pendidikan kemasyarkatan juga bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Rumusan tujuan pendidikan kemasyarakat yang kelima ini dapat dilihat dalam surat Saba'/34 ayat 15:
Artinya: Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun".

Jika dilihat konteks ayat di atas, negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur terwujud dari masyarakat yang beriman, taat menjalankan perintah Allah SWT dan senantiasa bersyukur kepada-Nya. Negeri yang thayyyib adalah negeri yang aman sentosa, melimpah rezekinya dapat diperoleh secara mudah oleh penduduknya, serta terjalin pula hubungan harmonis kesatuan dan persatuan antar anggota masyarakatnya. Sementara kata wa rabbun ghafur mengisyaratkan bahwa satu masyarakat tidak luput dari dosa dan kedurhakaan , meskipun dalam porsi yang kecil. Namun Allah tetap mengampuni mereka dengan keimanan dan ketaatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat secara umum.

Kondisi masyarakat ini juga bisa disebut dengan masyarakat madani, sebagaimana yang pernah terwujud pad masa Nabi Muhammad SAW saat memipin Madinah al-Munawwarah. Dengan demikian, rumusan tujuan pendidikan kemasyarakatan yang kedua ini erat kaitannya dengan rumusan tujuan pertama.

Kelima tujuan pendidikan kemasyarakatan di atas, haruslah didasari dengan keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Pentingnya masyarakat yang beriman dan bertakwa ini diungkapkan dalam surat al-A'raf/7 ayat 96.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
Artinya: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Dengan keimanan yang kuat, akan menjadikan seseorang selalu merasa aman dan optimis dan hal ini akan mengantarkan seseorang hidup tenang dan dapat berkonsentrasi dalam setiap aktivitasnya. Sedangkan ketakwaan penduduk suatu negeri menjadikan mereka bekerja sama dalam kebajikan—termasuk pendidikan—dan tolong menolong, dalam mengelola bumi serta menikmatinya bersama. Semakin kukuh kerjasama dan semakin tenang jiwa, maka semakin banyak pula yang dapat diraih dari alam raya ini. Oleh karena itu, masyarakat yang beriman dan bertakwa akan memperoleh berkah dari Allah SWT.

Jadi, tujuan pendidikan kemasyarakatan pada akhirnya menginginkan masyarakat yang beriman dan bertakwa. Sengaja atau hanya kebetulan, konsep ini relevan dengan apa yang kemudian dirumuskan oleh Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 berkenaan dengan tujuan pendidikan nasional yaitu:

...bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

2. Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Kemasyarakatan
Jika ditinjau dari makna harfiah, masjid adalah "tempat untuk bersujud". Namun dilihat dari makna terminologi, masjid merupakan tempat khusus untuk melakukan berbagai aktivitas yang bernilai ibadah dalam arti yang luas.

Salah satu bentuk aktivitas ibadah tersebut adalah pendidikan. Hal ini telah dipraktekkan pada era awal perkembangan pendidikan Islam. Bahkan untuk melaksanakan pendidikan Islam, Rasulullah SAW telah membuat kebijakan mendasar dengan membangun masjid Quba, sebuah kota yang terletak dekat dengan Madinah dan dilanjutkan dengan membangun masjid di Madinah. Masjid inilah yang selanjutnya digunakan sebagai pusat kegiatan pendidikan dan dakwah, sejalan dengan dengan berkembangnya Islam di Madinah yang semakin pesat. Melalu masjid Rasulullah SAW melakukan pembinaan moral, spiritual, mengajarkan agama kepada kaum Muhajirin dan Anshar, membina sikap kebangsaan (nation building). Tegasnya, masjid merupakan lembaga pendidikan yang efektif untuk menghimpun potensi ummat.
Masjid sebagai lembaga pendidikan kemasyarakatan tersirat dalam firman Allah SWT surat at-Taubah/9 ayat 18:
Artinya: Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, emnunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Hamka menyebutkan bahwa memakmurkan masjid, atau meramaikan masjid ialah "selalu menghidupkan jamaah di dalamnya, tempat beribadah di dalamnya, berkhidmat kepadanya, memelihara dan mengasuhnya, membersihkannya dan memperbaiki kalai ada yang rusak, mencukupkan mana yang kekuarangan, dan berziarah kepadanya untuk beribadat." Masjid sebagai tempat ibadah yang dimaksud bukan dalam artian sempit, tetapi ibadah dalam artian luas, termasuk menjadikannya sebagai pusat pendidikan atau sebagai lembaga pendidikan untuk membina umat.

Abdurrahman an-Nahlawi menyebutkan bahwa implikasi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam adalah: pertama, mendidik peserta didik untuk tetap beribadah kepada Allah SWT; kedua, menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial dan warga negara; ketiga, memberikan rasa ketentraman, kekuatan, dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabran, perenungan, optimisme, dan mengadakan penelitian.

Untuk itu, diperlukan kreatifitas dan inovasi masyarakat untuk memberdayakan masjid sebagai lembaga pendidikan kemasyarakatan sehingga tujuan pendidikan untuk mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertakwa serta negeri yang tayyibatun wa rabbun ghafur dapat diraih.


3. Prinsip-prinsip Pendidikan Kemasyarakatan
Untuk mewujudkan pendidikan kemasyarakatan yang baik, perlu diperhatikan beberapa prinsip di bawah ini.

a. Setiap Mukmin adalah Saudara
Al-Qur'an menegaskan bahwa setiap mukmin bersaudara. Konsep persaudaran sesama mukmin ini menjadi prinsip utama dalam pendidikan kemasyarakatan. Tanpa persaudaraan, mustahil masyarakat yang berkualitas dapat ditegakkan. Dengan menyadari ikatan persaudaraan yang ada di antara mereka, maka permusuhan harus dihindari. Jika ada pertikaian di antara mereka, maka yang lainnya harus tampil sebagai penengah untuk mendamaikan mereka. Al-Qur'an juga menuntun mereka agar tidak saling menghina dan mencari kesalahan antara yang satu dengan lainnya. Ajaran ini ditegaskan dalam surat al-Hujurat/49 ayat 10-12:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.


b. Setiap Anggota Masyarakat Bertanggungjawab dalam Mewujudkan Masyarakat yang Berperadaban
Prinsip kedua yang perlu diperhatikan dalam pendidikan kemasyarakatan adalah adanya tanggung jawab masing-masing anggota masyarakat sebagai individu untuk mewujudkan masyarakat yang beradaban dalam ridha dan ampunan Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).

Tanggung jawab itu dapat dilihat dari adanya hukum perubahan yang disinggung dalam al-Qur'an surat ar-Ra’du/13 ayat 11:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) satu kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka.

Menurut Quraish Shihab dalam bukunya ”Membumikan al-Qur’an”, perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dalam perspektif al-Qur’an harus memenuhi dua syarat pokok, yaitu: (a) adanya nilai atau ide, dan (b) adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Dalam perspektif Islam, syarat pertama tentu telah diambil alih sendiri oleh Allah SWT melalui petunjuk-petunjuk al-Qur’an serta penjelasan dari Rasulullah SAW, walaupun masih bersifat umum dan memerlukan penjelasan yang lebih rinci dari manusia.

Mengenai dua syarat pokok tersebut, juga tergambar dalam ayat di atas. Lebih lanjut Quraish Shihab menegaskan:
Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah, dan kedua perubahan keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah manusia. Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang ditetapkan-Nya. Hukum-hukum tersebut tidak memilih kasih atau membedakan antara satu masyarakat/kelompok dengan masyarakat/kelompok lain ...

Ma bi anfusihim yang diterjemahkan dengan "apa yang terdapat dalam diri mereka", terdiri dari dua unsur pokok, yaitu nilai-nilai yang dihayati dan iradah (kehendak) manusia. Perpaduan keduanya menciptakan kekuatan pendorong guna melakukan sesuatu. Kemudian ayat di atas berbicara tentang manusia dalam keutuhannya, dan dalam kedudukannya sebagai kelompok/masyarakat, bukan sebagai wujud individual. Dipahami demikian, karena pengganti nama pada kata anfusihim (diri-diri mereka) tertuju kepada qawm (kelompok/masyarakat). Ini berarti bahwa seseorang, betapapun hebatnya, tidak dapat melakukan perubahan, kecuali setelah ia mampu mengalirkan arus perubahan kepada sekian banyak orang, yang pada gilirannya menghasilkan gelombang, atau paling sedikit riak-riak perubahan dalam masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan kemasyarakatan harus bersifat dinamis dan harus melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan itu tentu harus tetap berlandaskan kepada ajaran Islam. Jadi perubahan itu "bukanlah bebas tanpa batas, tetapi bebas terkendali".

Pentingnya keterkaitan antara pribadi dan masyarakat, serta besarnya perhatian Al-Quran terhadap lahirnya perubahan-perubahan positif, mengantarkan kepada berulangnya ayat-ayatnya yang menekankan tanggung jawab perorangan dan tanggung jawab kolektif. Allah SWT berfirman QS. Maryam [19]: 93-95:
إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْداً. لَقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدّاً. وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْداً

Artinya: Tidak ada satu makhluk (berakal) pun di langit dan di bumi kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan gang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri

c. Masyarakat secara Kolektif Bertanggungjawab terhadap Perilaku Anggota Masyarakatnya secara Individual
Jika pada prinsip sebelumnya masing-masing anggota masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban, maka sebaliknya masyarakat secara kolektif juga bertanggung jawab terhadap perilaku anggota masyarakatnya secara individual. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah SWT surat al-Anfal/8 ayat 25:

Artinya: dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.

Ayat ini menunjukkan bahwa ketika masyarakat berdiam diri terhadap perilaku anggota masyarakatnya yang bersifat zhalim, maka Allah akan menimpakan adzab yang bukan hanya kepada anggota masyarakat yang zhalim tersebut, akan tetapi adzab itu ditimpakan kepada masyarakat secara kolektif. Itu artinya perilaku anggota masyarakat secara individu berdampak kepada masyarakat secara kolektif. Oleh karena itu, masyarakat secara kolektif harus bertanggung jawab pula mendidik anggota masyarakatnya secara individual agar tidak melakukan perilaku yang menyimpang atau yang bersifat zhalim sehingga masyarakat tersebut tetap dalam ridha dan ampunan Allah SWT.

Sayyid Qutb menuliskan:
Suatu jamaah (kelompok masyarakat) yang menolerir sebagian dari mereka melakukan kezaliman dalam bentuk apa pun—dan kezaliman yang paling zalim adalah membuang syariat dan manhaj Allah dari kehidupan—dan mereka berdiam saja terhadap orang yang zalim, tidak membendung jalan... adalah kelompok masyarakat yang layak dihukum disebabkan dosa orang-orang zalim dan berbuat kerusakan. Maka, Islam sebagai manhaj kesetiakawanan sosial yang positif, tidak menolerir umatnya untuk membiarkan kezaliman, kerusakan, dan kemungkaran yang merajalela...

Quraish Shihab juga menyebutkan bahwa ayat ini berkenaan dengan pentingnya kontrol sosial. Ia juga mengutip hadis Nabi Muhammad SAW yang memperingatkan: tidak satu masyarakat pun yang melakukan kedurhakaan, sedang ada anggotanya yang mampu menegur/menghalangi mereka, tetapi dia tidak melakukannya, kecuali dekat Allah akan segera menjatuhkan bencana yang menyeluruh atas mereka" (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, dan lain-lain melalui Ibn Jarir)

d. Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Dengan adanya tanggungjawab kolektif yang dijelaskan di atas maka al-Qur’an juga memperkenalkan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Firman-Nya dalam Q.S. Ali Imran/3: 104
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.

Menyeru kepada kebaikan dalam ayat di atas berarti mengikuti al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan konsep amar ma’ruf adalah nilai-nilai universal yang dibentuk dan diyakini oleh kelompok masyarakat tertentu dimana keberadaannya tidak bertentangan dengan ayat-ayat Allah. Nilai-nilai kebenaran yang telah disepakati ini harus diperjuangkan sehingga digunakan kata ”menyuruh” dalam ayat di atas. Begitu pula ”nahi munkar” juga mesti ditegakkan mengingat perbuatan tersebut akan merugikan, tidak hanya bersifat perorangan, akan tetapi dapat merugikan masyarakat sekitar.

Amar ma’ruf nahi munkar bukanlah suatu aktivitas yang anarkis, akan tetapi sebagai upaya untuk menegakkan kebenaran yang pada dasarnya amat dibutuhkan oleh manusia. Amar ma’ruf nahi munkar ini bukan memaksakan ajaran agama, tetapi seperti yang telah disinggung di atas, ia menyangkut dengan kebenaran yang diyakini dan disepakati oleh kelompok masyarakat tersebut.

Dengan demikian, menegakkan amar ma'ruf nahi munkar merupakan salah satu prinsip dalam pendidikan kemasyarakatan. Bahkan prinsip ini tidak hanya masyarakat sesama muslim, akan tetapi masyarakat secara majemuk, terlepas perbedaan etnis, suku, atau agama yang ada di antara mereka. Sebab nilai-nilai kebenaran yang ditegakkan dalam amar ma'ruf tersebut bersifat universal yang dapat diterima oleh seluruh manusia dengan akal sehatnya.
Adapun cara menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tersebut, dapat dilakukan dengan berbagai metode dan pendekatan yang juga beberapa di antaranya disinggung dalam al-Qur’an, seperti bersifat lemah lembut, keteladanan, melalui hikmah, dan sebagainya.

e. Saling Menasehati dan Tolong-menolong
Selain dari prinsip-prinsip di atas, ajaran al-Qur'an tentang pentingnya saling nasehat-menasehati dan saling tolong-menolong juga dapat disebut sebagai prinsip pendidikan kemasyarakatan. Sebab, dalam kehidupan bermasyarakat prinsip ini sangat dibutuhkan, termasuk dalam pelaksanaan pendidikan.
Prinsip saling menasehati dijelaskan dalam surat al-'Ashr ayat 1-3:
وَالْعَصْرِ ١ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ٢ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati (saling berwasiat) supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati (saling berwasiat) supaya menetapi kesabaran.

Menurut Hamka, kata watashaubil haqqi dan watashaibis Shabri dalam akhir ayat di atas lebih tepat diartikan sebagai wasiat mewasiati, bukan nasehat menasehati. Sebab istilah wasiat lebih dalam tanggung jawabnya dari menasehati. Hal ini menunjukkan bahwa antara yang satu dengan lainnya dalam komunitas masyarakat tertentu sangat dibutuhkan perannya dalam mengajak kepada kebenaran dan kesabaran. Pentingnya saling menasehat/mewasiati dalam hal kebenaran dan kesabaran ini juga memperkuat keterangan sebelumnya bahwa sesama anggota masyarakat memiliki tanggung jawab menegakkan kebenaran dan mewujudkan masyarakat yang madani.

Adapun prinsip saling tolong menolong antara satu dengan lainnya dalam hal kebaikan dijelaskan pula dalam surat al-Maidah/5 ayat 2:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

f. Prinsip Musyawarah sebagai Upaya Pemecahan Masalah
Selain itu, prinsip musyawarah (syura) juga menjadi doktrin penting dalam membentuk masyarakat yang berkualitas. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Ali Imran/3: 159.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Musyawarah yang dilakukan tidaklah mengutamakan suara terbanyak semata, akan tetapi musyawarah dilaksanakan dengan hati yang ikhlas serta berlandaskan kepada ajaran Islam. Disinilah perbedaan konsep demokrasi sekuler dengan konsep musyawarah dalam Islam. Dalam demokrasi sekuluer, persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Sebaliknya, dalam syura yang diajarkan dalam Islam, tidak dibenarkan memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Ilahi.

Berbagai persoalan yang menyangkut kebutuhan orang banyak, atau persoalan-persoalan yang bersifat individual tetapi berdampak terhadap lingkungannya, harus dimusyawarahkan dengan bijaksana. Orang-orang yang terlibat dalam musyawarah ini hendaklah mengutamakan orang yang baik akhlaknya serta memiliki keahlian tentang persoalan yang dimusyarahkan. Tanpa akhlak yang baik, maka hasil dari musyawarah tersebut bisa lebih mendatangkan mudharat/azab dari pada manfaat/rahmat.

g. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi juga menjadi salah satu prinsip dalam pendidikan kemasyarakatan. Salah satu ayat yang mengisyaratkan pentingnya toleransi dalam suatu masyarakat adalah surat An-Nisa'/4 ayat 1:

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa sesama manusia harus senantiasa saling menghargai dan menyayangi. Sebab, semua manusia adalah ciptaan Allah yang asal penciptaannya sama. Meskipun terdapat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, Islam mengajarkan agar mereka saling menghormati dan menghargai. Dengan demikian, konsep persaudaraan yang diatur dalam Islam bukan hanya sesama umat Islam, tetapi juga dengan agama lain. Bahkan Islam menegaskan kepada agama lain tidak ada paksaan bagi mereka untuk masuk ke dalam agama Islam. Firman-Nya dalam surat al-Baqarah/2 ayat 256:

Artinya: tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Namun, kerja sama dalam hal aqidah tidak boleh ditoleransi, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Kafirun. Sementara kerja sama di bidang sosial kemasyarakatan, harus dilaksanakan dengan prinsip toleransi tersebut.

Demikianlah beberapa pandangan al-Qur'an yang terkait dengan pendidikan kemasyarakatan. Dalam literatur pendidikan Islam, para pemikir juga mengemukakan tentang pentingnya pendidikan kemasyarakatan ini. Ibn Qayyim, misalnya, mengemukakan istilah tarbiyah ijtimaiyah atau pendidikan kemasyarakatan. Menurutnya tarbiyah ijtimaiyah yang membangun adalah yang mampu menghasilkan individu masyarakat yang saling mencintai sebagian dengan sebagian yang lainnya, dan saling mendoakan walaupun mereka berjauhan. Antara anggota masyarakat harus menjalin persaudaraan. Dalam hal ini, ia mengingatkan dengan perkataan hikmah “orang yang cerdik ialah yang setiap harinya mendapatkan teman dan orang yang dungu ialah yang setiap harinya kehilangan teman”.

Sementara Abdurrahman an-Nahlawi menyebutkan bahwa tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.

Dari pendapat di atas menunjukkan bahwa masyarakat harus aktif dan peduli terhadap pendidikan anggota masyarakatnya. Ketika masyarakat tidak lagi mempedulikan sistem pendidikan yang ada sebagaimana yang ditekankan oleh an-Nahlawi di atas, maka pendidikan anak dalam masyarakat itu akan terganggu. Mengenai hal ini, Ibn Qayyim menyebutkan:
Apabila seorang anak itu sudah mampu untuk berpikir, hendaknya dijauhkan dari tempat-tempat yang tersebar di dalamnya kesia-siaan dan kebatilan, nyanyian kotor, mendengarkan hal-hal yang keji dan bid’ah karena jika semua itu terngiang terus menerus dalam pendengarannya maka akan sulit untuk dilepaskan di masa besarnya dan para orang tuanya akan menemukan kesulitan untuk menyelamatkannya.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan. Pelaksanaan pendidikan itu sendiri akan berdampak pula kepada masyarakat itu sendiri. Dengan begitu terdapat hubungan atau korelasi positif yang bersifat timbal-balik antara masyarakat dan pendidikan. Semakin baik pendidikan yang diterapkan maka semakin berkualitas pula masyarakat yang dihasilkan. Begitu pula sebaliknya, semakin berkualitas masyarakatnya, semakin berkualitas pula pendidikan yang diterapkan. Oleh karenanya, pendidikan kemasyarakatan mesti mendapat perhatian dalam sistem pendidikan Islam.

E. Penutup

Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Bahkan al-Qur'an juga menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia itu bersuku dan berbangsa-bangsa. Oleh karena itu, untuk mempertahankan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, diperlukan pendidikan sehingga interaksi antara yang satu dengan lainnya dalam suatu komunitas masyarakat dapat terjalin secara harmonis. Al-Qur'an juga menyebut beberapa istilah yang menunjuk kepada masyarakat, seperti qaum, ummah, qabilah, ahl, dan sebagainya.

2. Secara eksplisit, al-Qur'an memang tidak berbicara tentang pendidikan kemasyarakatan. Namun jika dikaji lebih mendalam, secara inplisit terdapat beberapa isyarat al-Qur'an tentang pendidikan kemasyarakatan. Hal itu dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:

a. Aspek tujuan pendidikan kemasyarakatan. Dalam konteks masyarakat tujuan pendidikan adalah mewujudkan masyarakat yang ideal sebagaimana yang diisyaratkan dalam al-Qur'an. Masyarakat ideal itu adalah ummah wahidah, ummah washatan, ummatun muqtashidatun, khairu ummah, dan baldatun thayyibah. Semua itu bisa terwujud dengan terbentuknya masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.

b. Aspek lembaga. Al-Qur'an mengajarkan pentingnya memakmurkan masjid. Jika ditinjau dari sejaran perkembangan pendidikan Islam, masjid telah dijadikan sebagai lembaga pendidikan Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW, terutama pada periode Madinah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa salah satu upaya untuk memakmurkan masjid adalah menjadikannya sebagai lembaga pendidikan Islam, khususnya lembaga pendidikan kemasyarakatan, sebab melalui masjid akan dibina kehidupan umat dalam berbagai dimensi kehidupan.

c. Aspek prinsip-prinsip pendidikan kemasyarakatan. Dari beberapa ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan pendidikan kemasyarakatan, dapat dirumuskan beberapa prinsip, di antaranya: pertama, setiap mukmin bersaudara oleh karenanya tidak boleh bermusuhan, akan tetapi saling mendamaikan jika terjadi perselisihan (Q.S. al-Hujurat/49: 10-12); kedua, setiap anggota masyarakat bertanggungjawab dalam mewujudkan masyarakat yang berperadaban, hal ini dapat dilihat dari adanya hukum perubahan (QS Ar-Ra'd [13]: 11); ketiga masyarakat secara kolektif bertanggungjawab pula terhadap perilaku anggota masyarakatnya secara individual (QS. al-Anfal/8 ayat 25); keempat, pentingnya menegakkan amar ma'ruf nahi munkar sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil tetap berada pada kebenaran (Q.S. Ali Imran/3: 104); kelima, prinsip saling menasehati dan tolong menolong (Qs. al-'Ashr ayat 1-3 dan al-Maidah/5: 2); keenam, prinsip musyawarah sebagai upaya pemecahan masalah, teramsuk persoalan pendidikan (Q.S. Ali Imran/3: 159); dan ketujuh, prinsip toleransi yang didasari oleh rasa persamaan dan persaudaraan, tidak hanya kepada sesama muslim, tetapi juga dengan agama lain (QS. al-Baqarah/2: 256).

Demikianlah beberapa pokok pikiran dalam makalah ini tentang pendidikan kemasyarakatan menurut al-Qur'an. Masih banyak komponen pendidikan kemasyarakatan yang belum disinggung dalam makalah ini. Oleh karena itu, kajian terhadap tafsir tarbawy dalam al-Qur'an, termasuk tentang pendidikan kemasyarakatan (tarbiyah al-ijtimaiyyah) haru dilakukan secara intens dan kontiniu sehingga ditemukan formulasi sistem pendidikan Islam yang lebih tepat dalam menjawab tantangan zaman dalam konteks kekinian dan kedisinian.



Baco Tokhus....

Makalah Tafsir Tarbawy II

PENDIDIKAN KEMASYARAKATAN MENURUT AL-QUR’AN
Oleh: Muhammad Kosim, MA

A. Pendahuluan
Al-Qur’an mengandung ajaran yang komprehensif, universal dan menyentuh kehidupan umat manusia dalam setiap lintasan zaman. Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang hukum-hukum dalam beribadah mahdhah, akan tetapi kandungannya mencakup setiap kebutuhan manusia. Salah satu di antaranya adalah tentang masyarakat sebagai kelompok yang terdiri dari beberapa individu dengan corak budaya yang beraneka ragam.

Dalam konteks pendidikan Islam, pengkajian terhadap masyarakat perlu dilakukan mengingat adanya keterkaitan antara pendidikan dengan masyarakat itu sendiri. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan tatanan kehidupan masyarakat yang memiliki peradaban tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang berperadaban akan menghasilkan pula pendidikan yang berkualitas.

Oleh karena pendidikan Islam berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah, maka perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang masyarakat dalam pandangan al-Qur’an. Dengan memahami konsep masyarakat dalam kitab tersebut, akan dikaji bagaimana peran pendidikan yang ideal dalam mewujudkan masyarakat sebagaimana yang dikehendaki-Nya; sebaliknya, perlu pula melihat peran masyarakat terhadap perwujudan pendidikan yang bermutu.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Makalah ini akan menguraikan beberapa kajian pendidikan kemasyarakatan dalam perspektif al-Qur’an. Adapun masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah: "Bagaimanakah pandangan al-Qur'an tentang pendidikan kemasyarakatan?".
Agar pembahasan makalah ini lebih fokus dan terarah, perlu membuat batasan masalah, yaitu:
1. Bagaimanakah pandangan al-Qur'an tentang masyarakat?
2. Bagaimanakah pandangan al-Qur'an tentang konsep dasar pendidikan kemasyarakatan di bidang tujuan, lembaga pendidikan, dan prinsip-prinsip dasarnya?
Kemudian, penulis menyadari bahwa dari beberapa literatur pendidikan Islam yang ada, kajian dalam makalah ini sulit ditemui. Untuk itu, diskusi yang mendalam, argumentatif dan berkelanjutan sangat diharapkan sehingga ditemukan konsep yang utuh tentang pendidikan kemasyarakatan.

C. Masyarakat dalam Perspektif al-Qur’an
Masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu --kecil atau besar-- yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup bersama. Demikian satu dari sekian banyak definisinya. Ada beberapa kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada masyarakat atau kumpulan manusia. Antara lain: qawm, ummah, syu'ub, dan qabail. Di samping itu, Al-Quran juga memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu, seperti al-mala', al-mustak$birun, al-mustadh'afun, dan lain-lain.

Manusia adalah "makhluk sosial". Ayat kedua dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw., dapat dipahami sebagai salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut.
Dalam Qs. al-Alq ayat 2 bukan saja diartikan sebagai "menciptakan manusia dari segumpal darah" atau "sesuatu yang berdempet di dinding rahim", tetapi juga dapat dipahami sebagai "diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri."

Ayat lain dalam konteks ini adalah surat Al-Hujurat ayat 13.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dalam ayat tersebut secara tegas dinyatakan bahwa manusia diciptakan terdiri dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, menurut Al-Quran, manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan satu keniscayaan bagi mereka.

Kemudian, dalam al-Qur'an juga ditemukan beberapa term yang memiliki kesamaan arti dengan masyarakat. Ali Nurdin, dalam bukunya Quranic Society, menyebutkan ada 12 term yang menunjuk pada masyarakat, yaitu: Qaum, Ummah, Sya'b, Qabilah, Firqah, Thaifah, Hizb, Fauj, ungkapan yang diawali dengan Ahl, ungkapa yang diawali dengan Alu, al-Nas, dan Asbath.
Istilah-istilah ini menunjukkan bahwa masyarakat mendapat perhatian khusus dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, setiap individu sebagai anggota masyarakat tertentu harus berupaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik dalam ridha Allah SWT dengan tetap menjalakan perannya sebagai makhluk sosial. Untuk mempertahankan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial ini, diperlukan pendidikan sehingga interaksi antara yang satu dengan lainnya dalam suatu komunitas masyarakat dapat terjalin secara harmonis. Pendidikan kemasyarakatan tersebut dapat dilihat dari isyarat-isyarat yang terdapat dalam al-Qur'an yang akan dijelaskan berikut ini.

D. Konsep Dasar Pendidikan Kemasyarakatan dalam Perspektif al-Qur'an
Istilah pendidikan masyarakat biasanya dikenal juga dengan community education. Pendidikan kemasyarakatan merupakan kepedulian masyarakat terhadap perkembangan dan peningkatan pendidikan. Kepedulian tersebut bisa berupan adanya lembaga-lembaga pendidikan yang didesain sedemikian rupa untuk mendidik kemampuan anggota masyarakatnya sehingga mereka dapat hidup dengan layak dan menghasilkan peradaban yang tinggi, atau juga adanya hukum kemasyarakatan yang bersifat edukatif. Semua ini berangkat dari kesadaran bahwa tanpa pendidikan, masyarakat yang berperadaban tinggi niscaya mustahil diraih.

Seperti yang telah disinggung di bagian pendahuluan, secara eksplisit al-Qur'an memang tidak berbicara tentang pendidikan kemasyarakatan, akan tetapi secara implisit dapat ditemukan beberapa isyarat tentang pendidikan kemasyarakataan. Isyarat pendidikan kemasyarakatan tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

1. Tujuan Pendidikan Kemasyarakatan
Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, al-Qur'an menjadi landasan ideal dan memberikan arahan secara jelas tentang tujuan tersebut, seperti mewujudkan peserta didik yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, mampu menjalankan tugasnya sebagai abd Allah dan khalifah fi al-ard, serta memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, dan sebagainya. Namun, dalam konteks masyarakat, tujuan pendidikan adalah mewujudkan masyarakat yang ideal sebagaimana yang diisyaratkan dalam al-Qur'an. Adapun potret masyarakat ideal yang diinginkan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ummah Wahidah
Secara sederhana ummah wahidah berarti sekelompok manusia atau masyarakat yang satu. Setidaknya istilah ini ditemukan dalam al-Qur'an sebanyak 9 kali , di antaranya surat al-Baqarah/2 ayat 213:
Artinya: Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Ayat ini menjelaskan secara tegas bahwa manusia dari dulu hingga kini adalah satu. Allah menciptakan mereka sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Namun, Allah juga menciptakan mereka dengan beragam perbedaan, baik profesi, karakter, suku, adat, dan sebagainya. Perbedaan itu bisa menimbulkan perpecahan dan permusuhan. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar sesama manusia dapat bersatu, selain kembali kepada fitrah yang hanif, juga bersatu dengan nilai-nilai persaudaraan dalam kebajikan. Dengan demikian, tujuan pendidikan kemasyarakatan adalah mewujudkan persatuan yang didasari oleh paradigma ummah wahidah sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam al-Qur'an.

b. Ummah Wasathan
Ummah wasathan adalah masyarakat yang pertengahan, moderat atau masyarakat yang berkeadilan. Makna ini bisa dilihat dari arti wasath yang terulang sebanyak lima kali dalam al-Qur'an, semuanya menunjuk arti pertengahan. Adapun ayat yang mengungkapkan ummah wasathan ini adalah surat al-Baqarah/2 ayat 143:

Artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilih anagar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

Masyarakat yang adil atau pertengahan dalam term ini juga menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat tidak cenderung kepada kehidupan materialisme secara berlebihan, akan tetapi berada pada pertengahan dan seimbang. Begitu pula aktivitas mereka senantiasa seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Bahkan, dalam konteks menghadapi perbedaan dengan umat lain, umat Islam senantiasa terbuka, dapat berdialog dan berinteraksi dengan semua pihak secara adil. Kondisi masyarakat seperti inilah yang menjadi salah satu tujuan pendidikan kemasyarakatan.

c. Ummatun Muqtashidah
Istilah ummatun muqtashidah merupakan masyarakat yang hemat dan tidak berlebih-lebihan. Istilah ini dapat dilihat dalam surat al-Maidah/5 ayat 66:

Artinya: Dan Sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. diantara mereka ada golongan yang pertengahan. dan Alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.

Makna masyarakat pertengahan, hemat atau tidak berlebihan dalam ayat di atas adalah segolongan kelompok yang berlaku pertengahan dalam melakukan agamanya, tidak berlebihan juga tidak melalaikan. Mereka senantiasa jujur dan berlaku adil, tidak menyimpang dari ajaran agamanya. Kondisi masyarakat seperti ini merupakan potret masyarakat ideal yang juga menjadi tujuan dari pendidikan kemasyarakatan.

d. Khairu Ummah
Khairu Ummah berarti umat terbaik atau unggul dan termasuk dalam kategori masyarakat ideal. Istilah ini ditemukan dalam surat Ali Imran/3 ayat 10:
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Ali Nurdin menyebutkan bahwa khairu ummah adalah bentuk ideal masyarakat Islam yang identitasnya berupa integritas keimanan, komitmen kontribusi positif kepada kemanusiaan secara universal dan loyalitas pada kebenaran dengan aksi amr ma'ruf nahi munkar. Masyarakat seperti ini juga menjadi tujuan dalam pendidikan kemasyarakatan.

e. Baldatun Thayyibah
Pendidikan kemasyarkatan juga bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur. Rumusan tujuan pendidikan kemasyarakat yang kelima ini dapat dilihat dalam surat Saba'/34 ayat 15:
Artinya: Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun".

Jika dilihat konteks ayat di atas, negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur terwujud dari masyarakat yang beriman, taat menjalankan perintah Allah SWT dan senantiasa bersyukur kepada-Nya. Negeri yang thayyyib adalah negeri yang aman sentosa, melimpah rezekinya dapat diperoleh secara mudah oleh penduduknya, serta terjalin pula hubungan harmonis kesatuan dan persatuan antar anggota masyarakatnya. Sementara kata wa rabbun ghafur mengisyaratkan bahwa satu masyarakat tidak luput dari dosa dan kedurhakaan , meskipun dalam porsi yang kecil. Namun Allah tetap mengampuni mereka dengan keimanan dan ketaatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat secara umum.

Kondisi masyarakat ini juga bisa disebut dengan masyarakat madani, sebagaimana yang pernah terwujud pad masa Nabi Muhammad SAW saat memipin Madinah al-Munawwarah. Dengan demikian, rumusan tujuan pendidikan kemasyarakatan yang kedua ini erat kaitannya dengan rumusan tujuan pertama.

Kelima tujuan pendidikan kemasyarakatan di atas, haruslah didasari dengan keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Pentingnya masyarakat yang beriman dan bertakwa ini diungkapkan dalam surat al-A'raf/7 ayat 96.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
Artinya: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Dengan keimanan yang kuat, akan menjadikan seseorang selalu merasa aman dan optimis dan hal ini akan mengantarkan seseorang hidup tenang dan dapat berkonsentrasi dalam setiap aktivitasnya. Sedangkan ketakwaan penduduk suatu negeri menjadikan mereka bekerja sama dalam kebajikan—termasuk pendidikan—dan tolong menolong, dalam mengelola bumi serta menikmatinya bersama. Semakin kukuh kerjasama dan semakin tenang jiwa, maka semakin banyak pula yang dapat diraih dari alam raya ini. Oleh karena itu, masyarakat yang beriman dan bertakwa akan memperoleh berkah dari Allah SWT.

Jadi, tujuan pendidikan kemasyarakatan pada akhirnya menginginkan masyarakat yang beriman dan bertakwa. Sengaja atau hanya kebetulan, konsep ini relevan dengan apa yang kemudian dirumuskan oleh Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 berkenaan dengan tujuan pendidikan nasional yaitu:

...bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

2. Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Kemasyarakatan
Jika ditinjau dari makna harfiah, masjid adalah "tempat untuk bersujud". Namun dilihat dari makna terminologi, masjid merupakan tempat khusus untuk melakukan berbagai aktivitas yang bernilai ibadah dalam arti yang luas.

Salah satu bentuk aktivitas ibadah tersebut adalah pendidikan. Hal ini telah dipraktekkan pada era awal perkembangan pendidikan Islam. Bahkan untuk melaksanakan pendidikan Islam, Rasulullah SAW telah membuat kebijakan mendasar dengan membangun masjid Quba, sebuah kota yang terletak dekat dengan Madinah dan dilanjutkan dengan membangun masjid di Madinah. Masjid inilah yang selanjutnya digunakan sebagai pusat kegiatan pendidikan dan dakwah, sejalan dengan dengan berkembangnya Islam di Madinah yang semakin pesat. Melalu masjid Rasulullah SAW melakukan pembinaan moral, spiritual, mengajarkan agama kepada kaum Muhajirin dan Anshar, membina sikap kebangsaan (nation building). Tegasnya, masjid merupakan lembaga pendidikan yang efektif untuk menghimpun potensi ummat.
Masjid sebagai lembaga pendidikan kemasyarakatan tersirat dalam firman Allah SWT surat at-Taubah/9 ayat 18:
Artinya: Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, emnunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan Termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Hamka menyebutkan bahwa memakmurkan masjid, atau meramaikan masjid ialah "selalu menghidupkan jamaah di dalamnya, tempat beribadah di dalamnya, berkhidmat kepadanya, memelihara dan mengasuhnya, membersihkannya dan memperbaiki kalai ada yang rusak, mencukupkan mana yang kekuarangan, dan berziarah kepadanya untuk beribadat." Masjid sebagai tempat ibadah yang dimaksud bukan dalam artian sempit, tetapi ibadah dalam artian luas, termasuk menjadikannya sebagai pusat pendidikan atau sebagai lembaga pendidikan untuk membina umat.

Abdurrahman an-Nahlawi menyebutkan bahwa implikasi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam adalah: pertama, mendidik peserta didik untuk tetap beribadah kepada Allah SWT; kedua, menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial dan warga negara; ketiga, memberikan rasa ketentraman, kekuatan, dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabran, perenungan, optimisme, dan mengadakan penelitian.

Untuk itu, diperlukan kreatifitas dan inovasi masyarakat untuk memberdayakan masjid sebagai lembaga pendidikan kemasyarakatan sehingga tujuan pendidikan untuk mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertakwa serta negeri yang tayyibatun wa rabbun ghafur dapat diraih.


3. Prinsip-prinsip Pendidikan Kemasyarakatan
Untuk mewujudkan pendidikan kemasyarakatan yang baik, perlu diperhatikan beberapa prinsip di bawah ini.

a. Setiap Mukmin adalah Saudara
Al-Qur'an menegaskan bahwa setiap mukmin bersaudara. Konsep persaudaran sesama mukmin ini menjadi prinsip utama dalam pendidikan kemasyarakatan. Tanpa persaudaraan, mustahil masyarakat yang berkualitas dapat ditegakkan. Dengan menyadari ikatan persaudaraan yang ada di antara mereka, maka permusuhan harus dihindari. Jika ada pertikaian di antara mereka, maka yang lainnya harus tampil sebagai penengah untuk mendamaikan mereka. Al-Qur'an juga menuntun mereka agar tidak saling menghina dan mencari kesalahan antara yang satu dengan lainnya. Ajaran ini ditegaskan dalam surat al-Hujurat/49 ayat 10-12:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.


b. Setiap Anggota Masyarakat Bertanggungjawab dalam Mewujudkan Masyarakat yang Berperadaban
Prinsip kedua yang perlu diperhatikan dalam pendidikan kemasyarakatan adalah adanya tanggung jawab masing-masing anggota masyarakat sebagai individu untuk mewujudkan masyarakat yang beradaban dalam ridha dan ampunan Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).

Tanggung jawab itu dapat dilihat dari adanya hukum perubahan yang disinggung dalam al-Qur'an surat ar-Ra’du/13 ayat 11:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) satu kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka.

Menurut Quraish Shihab dalam bukunya ”Membumikan al-Qur’an”, perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dalam perspektif al-Qur’an harus memenuhi dua syarat pokok, yaitu: (a) adanya nilai atau ide, dan (b) adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Dalam perspektif Islam, syarat pertama tentu telah diambil alih sendiri oleh Allah SWT melalui petunjuk-petunjuk al-Qur’an serta penjelasan dari Rasulullah SAW, walaupun masih bersifat umum dan memerlukan penjelasan yang lebih rinci dari manusia.

Mengenai dua syarat pokok tersebut, juga tergambar dalam ayat di atas. Lebih lanjut Quraish Shihab menegaskan:
Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah, dan kedua perubahan keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah manusia. Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum masyarakat yang ditetapkan-Nya. Hukum-hukum tersebut tidak memilih kasih atau membedakan antara satu masyarakat/kelompok dengan masyarakat/kelompok lain ...

Ma bi anfusihim yang diterjemahkan dengan "apa yang terdapat dalam diri mereka", terdiri dari dua unsur pokok, yaitu nilai-nilai yang dihayati dan iradah (kehendak) manusia. Perpaduan keduanya menciptakan kekuatan pendorong guna melakukan sesuatu. Kemudian ayat di atas berbicara tentang manusia dalam keutuhannya, dan dalam kedudukannya sebagai kelompok/masyarakat, bukan sebagai wujud individual. Dipahami demikian, karena pengganti nama pada kata anfusihim (diri-diri mereka) tertuju kepada qawm (kelompok/masyarakat). Ini berarti bahwa seseorang, betapapun hebatnya, tidak dapat melakukan perubahan, kecuali setelah ia mampu mengalirkan arus perubahan kepada sekian banyak orang, yang pada gilirannya menghasilkan gelombang, atau paling sedikit riak-riak perubahan dalam masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan kemasyarakatan harus bersifat dinamis dan harus melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan itu tentu harus tetap berlandaskan kepada ajaran Islam. Jadi perubahan itu "bukanlah bebas tanpa batas, tetapi bebas terkendali".

Pentingnya keterkaitan antara pribadi dan masyarakat, serta besarnya perhatian Al-Quran terhadap lahirnya perubahan-perubahan positif, mengantarkan kepada berulangnya ayat-ayatnya yang menekankan tanggung jawab perorangan dan tanggung jawab kolektif. Allah SWT berfirman QS. Maryam [19]: 93-95:
إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْداً. لَقَدْ أَحْصَاهُمْ وَعَدَّهُمْ عَدّاً. وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْداً

Artinya: Tidak ada satu makhluk (berakal) pun di langit dan di bumi kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan gang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri

c. Masyarakat secara Kolektif Bertanggungjawab terhadap Perilaku Anggota Masyarakatnya secara Individual
Jika pada prinsip sebelumnya masing-masing anggota masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban, maka sebaliknya masyarakat secara kolektif juga bertanggung jawab terhadap perilaku anggota masyarakatnya secara individual. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah SWT surat al-Anfal/8 ayat 25:

Artinya: dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.

Ayat ini menunjukkan bahwa ketika masyarakat berdiam diri terhadap perilaku anggota masyarakatnya yang bersifat zhalim, maka Allah akan menimpakan adzab yang bukan hanya kepada anggota masyarakat yang zhalim tersebut, akan tetapi adzab itu ditimpakan kepada masyarakat secara kolektif. Itu artinya perilaku anggota masyarakat secara individu berdampak kepada masyarakat secara kolektif. Oleh karena itu, masyarakat secara kolektif harus bertanggung jawab pula mendidik anggota masyarakatnya secara individual agar tidak melakukan perilaku yang menyimpang atau yang bersifat zhalim sehingga masyarakat tersebut tetap dalam ridha dan ampunan Allah SWT.

Sayyid Qutb menuliskan:
Suatu jamaah (kelompok masyarakat) yang menolerir sebagian dari mereka melakukan kezaliman dalam bentuk apa pun—dan kezaliman yang paling zalim adalah membuang syariat dan manhaj Allah dari kehidupan—dan mereka berdiam saja terhadap orang yang zalim, tidak membendung jalan... adalah kelompok masyarakat yang layak dihukum disebabkan dosa orang-orang zalim dan berbuat kerusakan. Maka, Islam sebagai manhaj kesetiakawanan sosial yang positif, tidak menolerir umatnya untuk membiarkan kezaliman, kerusakan, dan kemungkaran yang merajalela...

Quraish Shihab juga menyebutkan bahwa ayat ini berkenaan dengan pentingnya kontrol sosial. Ia juga mengutip hadis Nabi Muhammad SAW yang memperingatkan: tidak satu masyarakat pun yang melakukan kedurhakaan, sedang ada anggotanya yang mampu menegur/menghalangi mereka, tetapi dia tidak melakukannya, kecuali dekat Allah akan segera menjatuhkan bencana yang menyeluruh atas mereka" (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, dan lain-lain melalui Ibn Jarir)

d. Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Dengan adanya tanggungjawab kolektif yang dijelaskan di atas maka al-Qur’an juga memperkenalkan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Firman-Nya dalam Q.S. Ali Imran/3: 104
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.

Menyeru kepada kebaikan dalam ayat di atas berarti mengikuti al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan konsep amar ma’ruf adalah nilai-nilai universal yang dibentuk dan diyakini oleh kelompok masyarakat tertentu dimana keberadaannya tidak bertentangan dengan ayat-ayat Allah. Nilai-nilai kebenaran yang telah disepakati ini harus diperjuangkan sehingga digunakan kata ”menyuruh” dalam ayat di atas. Begitu pula ”nahi munkar” juga mesti ditegakkan mengingat perbuatan tersebut akan merugikan, tidak hanya bersifat perorangan, akan tetapi dapat merugikan masyarakat sekitar.

Amar ma’ruf nahi munkar bukanlah suatu aktivitas yang anarkis, akan tetapi sebagai upaya untuk menegakkan kebenaran yang pada dasarnya amat dibutuhkan oleh manusia. Amar ma’ruf nahi munkar ini bukan memaksakan ajaran agama, tetapi seperti yang telah disinggung di atas, ia menyangkut dengan kebenaran yang diyakini dan disepakati oleh kelompok masyarakat tersebut.

Dengan demikian, menegakkan amar ma'ruf nahi munkar merupakan salah satu prinsip dalam pendidikan kemasyarakatan. Bahkan prinsip ini tidak hanya masyarakat sesama muslim, akan tetapi masyarakat secara majemuk, terlepas perbedaan etnis, suku, atau agama yang ada di antara mereka. Sebab nilai-nilai kebenaran yang ditegakkan dalam amar ma'ruf tersebut bersifat universal yang dapat diterima oleh seluruh manusia dengan akal sehatnya.
Adapun cara menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tersebut, dapat dilakukan dengan berbagai metode dan pendekatan yang juga beberapa di antaranya disinggung dalam al-Qur’an, seperti bersifat lemah lembut, keteladanan, melalui hikmah, dan sebagainya.

e. Saling Menasehati dan Tolong-menolong
Selain dari prinsip-prinsip di atas, ajaran al-Qur'an tentang pentingnya saling nasehat-menasehati dan saling tolong-menolong juga dapat disebut sebagai prinsip pendidikan kemasyarakatan. Sebab, dalam kehidupan bermasyarakat prinsip ini sangat dibutuhkan, termasuk dalam pelaksanaan pendidikan.
Prinsip saling menasehati dijelaskan dalam surat al-'Ashr ayat 1-3:
وَالْعَصْرِ ١ إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ ٢ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati (saling berwasiat) supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati (saling berwasiat) supaya menetapi kesabaran.

Menurut Hamka, kata watashaubil haqqi dan watashaibis Shabri dalam akhir ayat di atas lebih tepat diartikan sebagai wasiat mewasiati, bukan nasehat menasehati. Sebab istilah wasiat lebih dalam tanggung jawabnya dari menasehati. Hal ini menunjukkan bahwa antara yang satu dengan lainnya dalam komunitas masyarakat tertentu sangat dibutuhkan perannya dalam mengajak kepada kebenaran dan kesabaran. Pentingnya saling menasehat/mewasiati dalam hal kebenaran dan kesabaran ini juga memperkuat keterangan sebelumnya bahwa sesama anggota masyarakat memiliki tanggung jawab menegakkan kebenaran dan mewujudkan masyarakat yang madani.

Adapun prinsip saling tolong menolong antara satu dengan lainnya dalam hal kebaikan dijelaskan pula dalam surat al-Maidah/5 ayat 2:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

f. Prinsip Musyawarah sebagai Upaya Pemecahan Masalah
Selain itu, prinsip musyawarah (syura) juga menjadi doktrin penting dalam membentuk masyarakat yang berkualitas. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Ali Imran/3: 159.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Musyawarah yang dilakukan tidaklah mengutamakan suara terbanyak semata, akan tetapi musyawarah dilaksanakan dengan hati yang ikhlas serta berlandaskan kepada ajaran Islam. Disinilah perbedaan konsep demokrasi sekuler dengan konsep musyawarah dalam Islam. Dalam demokrasi sekuluer, persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Sebaliknya, dalam syura yang diajarkan dalam Islam, tidak dibenarkan memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Ilahi.

Berbagai persoalan yang menyangkut kebutuhan orang banyak, atau persoalan-persoalan yang bersifat individual tetapi berdampak terhadap lingkungannya, harus dimusyawarahkan dengan bijaksana. Orang-orang yang terlibat dalam musyawarah ini hendaklah mengutamakan orang yang baik akhlaknya serta memiliki keahlian tentang persoalan yang dimusyarahkan. Tanpa akhlak yang baik, maka hasil dari musyawarah tersebut bisa lebih mendatangkan mudharat/azab dari pada manfaat/rahmat.

g. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi juga menjadi salah satu prinsip dalam pendidikan kemasyarakatan. Salah satu ayat yang mengisyaratkan pentingnya toleransi dalam suatu masyarakat adalah surat An-Nisa'/4 ayat 1:

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa sesama manusia harus senantiasa saling menghargai dan menyayangi. Sebab, semua manusia adalah ciptaan Allah yang asal penciptaannya sama. Meskipun terdapat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, Islam mengajarkan agar mereka saling menghormati dan menghargai. Dengan demikian, konsep persaudaraan yang diatur dalam Islam bukan hanya sesama umat Islam, tetapi juga dengan agama lain. Bahkan Islam menegaskan kepada agama lain tidak ada paksaan bagi mereka untuk masuk ke dalam agama Islam. Firman-Nya dalam surat al-Baqarah/2 ayat 256:

Artinya: tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Namun, kerja sama dalam hal aqidah tidak boleh ditoleransi, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-Kafirun. Sementara kerja sama di bidang sosial kemasyarakatan, harus dilaksanakan dengan prinsip toleransi tersebut.

Demikianlah beberapa pandangan al-Qur'an yang terkait dengan pendidikan kemasyarakatan. Dalam literatur pendidikan Islam, para pemikir juga mengemukakan tentang pentingnya pendidikan kemasyarakatan ini. Ibn Qayyim, misalnya, mengemukakan istilah tarbiyah ijtimaiyah atau pendidikan kemasyarakatan. Menurutnya tarbiyah ijtimaiyah yang membangun adalah yang mampu menghasilkan individu masyarakat yang saling mencintai sebagian dengan sebagian yang lainnya, dan saling mendoakan walaupun mereka berjauhan. Antara anggota masyarakat harus menjalin persaudaraan. Dalam hal ini, ia mengingatkan dengan perkataan hikmah “orang yang cerdik ialah yang setiap harinya mendapatkan teman dan orang yang dungu ialah yang setiap harinya kehilangan teman”.

Sementara Abdurrahman an-Nahlawi menyebutkan bahwa tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan tersebut hendaknya melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, menyadari bahwa Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran/amar ma’ruf nahi munkar (Qs. Ali Imran/3: 104); kedua, dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya sehingga di antara saling perhatian dalam mendidik anak-anak yang ada di lingkungan mereka sebagaimana mereka mendidik anak sendiri; ketiga, jika ada orang yang berbuat jahat, maka masyarakat turut menghadapinya dengan menegakkan hukum yang berlaku, termasuk adanya ancaman, hukuman, dan kekerasan lain dengan cara yang terdidik; keempat, masyarakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Nabi; dan kelima, pendidikan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui kerja sama yang utuh karena masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu.

Dari pendapat di atas menunjukkan bahwa masyarakat harus aktif dan peduli terhadap pendidikan anggota masyarakatnya. Ketika masyarakat tidak lagi mempedulikan sistem pendidikan yang ada sebagaimana yang ditekankan oleh an-Nahlawi di atas, maka pendidikan anak dalam masyarakat itu akan terganggu. Mengenai hal ini, Ibn Qayyim menyebutkan:
Apabila seorang anak itu sudah mampu untuk berpikir, hendaknya dijauhkan dari tempat-tempat yang tersebar di dalamnya kesia-siaan dan kebatilan, nyanyian kotor, mendengarkan hal-hal yang keji dan bid’ah karena jika semua itu terngiang terus menerus dalam pendengarannya maka akan sulit untuk dilepaskan di masa besarnya dan para orang tuanya akan menemukan kesulitan untuk menyelamatkannya.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang lebih luas turut berperan dalam terselenggaranya proses pendidikan. Pelaksanaan pendidikan itu sendiri akan berdampak pula kepada masyarakat itu sendiri. Dengan begitu terdapat hubungan atau korelasi positif yang bersifat timbal-balik antara masyarakat dan pendidikan. Semakin baik pendidikan yang diterapkan maka semakin berkualitas pula masyarakat yang dihasilkan. Begitu pula sebaliknya, semakin berkualitas masyarakatnya, semakin berkualitas pula pendidikan yang diterapkan. Oleh karenanya, pendidikan kemasyarakatan mesti mendapat perhatian dalam sistem pendidikan Islam.

E. Penutup

Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Bahkan al-Qur'an juga menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia itu bersuku dan berbangsa-bangsa. Oleh karena itu, untuk mempertahankan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, diperlukan pendidikan sehingga interaksi antara yang satu dengan lainnya dalam suatu komunitas masyarakat dapat terjalin secara harmonis. Al-Qur'an juga menyebut beberapa istilah yang menunjuk kepada masyarakat, seperti qaum, ummah, qabilah, ahl, dan sebagainya.

2. Secara eksplisit, al-Qur'an memang tidak berbicara tentang pendidikan kemasyarakatan. Namun jika dikaji lebih mendalam, secara inplisit terdapat beberapa isyarat al-Qur'an tentang pendidikan kemasyarakatan. Hal itu dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu:

a. Aspek tujuan pendidikan kemasyarakatan. Dalam konteks masyarakat tujuan pendidikan adalah mewujudkan masyarakat yang ideal sebagaimana yang diisyaratkan dalam al-Qur'an. Masyarakat ideal itu adalah ummah wahidah, ummah washatan, ummatun muqtashidatun, khairu ummah, dan baldatun thayyibah. Semua itu bisa terwujud dengan terbentuknya masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.

b. Aspek lembaga. Al-Qur'an mengajarkan pentingnya memakmurkan masjid. Jika ditinjau dari sejaran perkembangan pendidikan Islam, masjid telah dijadikan sebagai lembaga pendidikan Islam sejak masa Nabi Muhammad SAW, terutama pada periode Madinah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa salah satu upaya untuk memakmurkan masjid adalah menjadikannya sebagai lembaga pendidikan Islam, khususnya lembaga pendidikan kemasyarakatan, sebab melalui masjid akan dibina kehidupan umat dalam berbagai dimensi kehidupan.

c. Aspek prinsip-prinsip pendidikan kemasyarakatan. Dari beberapa ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan pendidikan kemasyarakatan, dapat dirumuskan beberapa prinsip, di antaranya: pertama, setiap mukmin bersaudara oleh karenanya tidak boleh bermusuhan, akan tetapi saling mendamaikan jika terjadi perselisihan (Q.S. al-Hujurat/49: 10-12); kedua, setiap anggota masyarakat bertanggungjawab dalam mewujudkan masyarakat yang berperadaban, hal ini dapat dilihat dari adanya hukum perubahan (QS Ar-Ra'd [13]: 11); ketiga masyarakat secara kolektif bertanggungjawab pula terhadap perilaku anggota masyarakatnya secara individual (QS. al-Anfal/8 ayat 25); keempat, pentingnya menegakkan amar ma'ruf nahi munkar sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat yang adil tetap berada pada kebenaran (Q.S. Ali Imran/3: 104); kelima, prinsip saling menasehati dan tolong menolong (Qs. al-'Ashr ayat 1-3 dan al-Maidah/5: 2); keenam, prinsip musyawarah sebagai upaya pemecahan masalah, teramsuk persoalan pendidikan (Q.S. Ali Imran/3: 159); dan ketujuh, prinsip toleransi yang didasari oleh rasa persamaan dan persaudaraan, tidak hanya kepada sesama muslim, tetapi juga dengan agama lain (QS. al-Baqarah/2: 256).

Demikianlah beberapa pokok pikiran dalam makalah ini tentang pendidikan kemasyarakatan menurut al-Qur'an. Masih banyak komponen pendidikan kemasyarakatan yang belum disinggung dalam makalah ini. Oleh karena itu, kajian terhadap tafsir tarbawy dalam al-Qur'an, termasuk tentang pendidikan kemasyarakatan (tarbiyah al-ijtimaiyyah) haru dilakukan secara intens dan kontiniu sehingga ditemukan formulasi sistem pendidikan Islam yang lebih tepat dalam menjawab tantangan zaman dalam konteks kekinian dan kedisinian.



Baco Tokhus....

Jumat, Maret 13, 2009

Mempertegas Peran PAI di Sekolah

Oleh: Muhammad Kosim, MA

Salah satu ungkapan fisikawan terkenal, Albert Einstein adalah: ”science without religion is blind, religion without science is lame” (ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh). Seorang Einstein menyadari bahwa antara ilmu dan agama memiliki kaitan yang erat sekali dan amat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Jauh sebelum Einstein, agama Islam juga memandang penting antara ilmu dan agama. Bahkan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW justru mengandung perintah untuk menguasai ilmu dengan landasan iman (Qs. al-'Alaq/96: 1-5).

Pentingnya ilmu dan agama juga terlihat jelas dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 3 UU Sisdiknas tahun 2003 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Kriteria pertama dan utama dalam rumusan tujuan tersebut adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada TYME serta berakhlak mulia. Rumusan ini menunjukkan sistem pendidikan kita justru meletakkan agama lebih dahulu dari pada ilmu pengetahun.

Penempatan ilmu sesudah agama sesungguhnya logis dan relevan dengan karakter bangsa yang berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ketika ilmu yang lebih diutamakan akan dikhawatirkan lahirnya orang-orang pintar tetapi tidak beriman. Akibatnya, kepintaran mereka bisa menghasilkan mudharat yang lebih besar dari pada manfaat. Oleh karena itu, Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan rumusan tujuan pendidikan di atas.

Namun dalam kenyataannya, pendidikan kita masih sulit untuk mewujudkan tujuan tersebut. Munculnya berbagai kasus tindakan amoral yang tidak mencerminkan kepribadian yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia masih kerap ditemukan di negeri ini. Bahkan prilaku tersebut tidak hanya dilakukan oleh kalangan awam yang berpendidikan rendah, akan tetapi kalangan elit dan berpendidikan tinggi pun tidak luput darinya. Sebut saja seperti tindakan korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai bentuk manipulasi lainnya yang merugikan orang banyak masih menjadi kasus yang memprihatinkan. Lain lagi dengan kasus tindak kriminal seperti pembunuhan serta perdagangan perempuan dan bayi juga menjadi catatan serius yang belum tertuntaskan. Lebih ironis lagi, banyak pula ditemukan perilaku amoral yang justru dilakukan oleh generasi muda yang masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa, seperti kekerasan, seks bebas (free sex), aborsi, dan penyalahgunaan narkoba.

Munculnya fenomena di atas acap kali melahirkan imej negatif terhadap pendidikan agama. Pendidikan agama, termasuk PAI, dinilai gagal mewujudkan kepribadian peserta didik yang religius dengan karakter iman, ilmu, dan amal secara integral. Terutama di sekolah, dengan tatap muka yang relatif terbatas, PAI dianggap kurang berperan mewujudkan tujuan pendidikan yang religius. Padahal, minat masyarakat terhadap sekolah umum jauh lebih besar, karena dianggap lebih menjanjikan peluang kerja dan kesuksesan di masa mendatang.

Oleh karena itu, PAI harus memperpertegas perannya di Sekolah, terutama mewujudkan rumusan tujuan pendidikan di atas. Jika tidak, bisa jadi PAI dianggap tidak perlu, bahkan tidak menutup kemungkinan dihapuskan. Untuk mempertegas peran PAI tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, PAI bukanlah mata pelajaran tambahan (suplement), akan tetapi sebagai mata pelajaran inti. Selama ini ada kesan bahwa PAI hanyalah mata pelajaran tambahan, apalagi ketika PAI tidak masuk dalam Ujian Nasional (UN). Akibatnya, peserta didik kurang termotivasi untuk mengikuti pembelaran PAI dengan baik. Padahal PAI merupakan mata pelajaran inti. Sebagai mata pelajaran inti, pihak sekolah diharapkan memberi perhatian lebih terhadap PAI. Perhatian itu dapat diwujudkan dengan merumuskan dan menetapkan bebarapa aturan (regulasi) yang mendukung penerapan PAI, sehingga sekolah tersebut bernuansa agamis, bukan saja dalam bentuk formal, akan tetapi terjadinya proses penanaman nilai-nilai keberagamaan dalam perilaku dan kepribadian peserta didik. Selain itu, sekolah juga diharapkan menjadikan pendidikan agama sebagai bagian dari visi misi sekolah sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan tidak terlepas dari nilai-nilai agama.

Kedua, PAI harus lebih berorientasi kepada pengamalan dari pada pengetahuan dan pemahaman. Selama ini, pembelajaran PAI lebih berorientasi kepada aspek kognitif sehingga peserta didik mengetahui tentang benar dan salah, perintah dan larangan, akan tetapi tidak dapat menerapkannya dalam tindakan yang nyata. Untuk itu pembelajaran PAI harus berorientasi kepada pengamalan dan tindakan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, diperlukan pembiasaan, keteladanan, dan perubahan mindset peserta didik tentang pentingnya agama dalam kehidupan ini. Karenanya guru PAI mesti berupaya seoptimal mungkin untuk menjadi teladan (figur-central) bagi peserta didiknya dalam bersikap dan menerapkan agama di setiap tindakannya. Selain itu, guru dituntut pula mengembangkan pendekatan dan metodologi pembelajaran yang dapat merubah mindset peserta didik. Inovasi dan kreatifitas guru PAI tentu sangat diperlukan.

Ketiga, PAI diharapkan mampu bekerja sama dengan seluruh komponen sekolah, baik dengan unsur pimpinan maupun dengan sesama guru bidang studi lain. Kerja sama ini penting dilakukan, khususnya dalam upaya penerapan sikap keberagamaan yang baik. Bentuk kerja sama itu dapat diwujudkan dengan kepedulian dan keikutsertaan guru lain untuk menerapkan ajaran agama di sekolah, seperti pelaksanaan shalat zhuhur berjamaah di sekolah, menegakkan disiplin, membudayakan senyum, sapa dan salam, membudayakan kebersihan, dan sebagainya. Artinya, setiap guru dan komponen sekolah harus berupaya menjadi teladan bagi peserta didik dalam hal pengamalan ajaran agama. Selain itu, kerja sama juga diperlukan dalam menerapkan regulasi/aturan-aturan yang telah dibuat sebagaimana yang telah disinggung di atas. Dengan demikian, mengamalkan ajaran agama sejatinya tidak hanya tugas dan tanggung jawab guru agama an sich, akan tetapi tanggung jawab bersama guru-guru, pegawai serta komponen lainnya yang terlibat langsung di sekolah, khususnya yang beragama Islam dalam menerapkan ajaran Islam.

Keempat, PAI harus mampu mewarnai mata pelajaran lain. Kemampuan PAI dalam mewarnai mata pelajaran lain diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berbasiskan agama, tentu dilakukan oleh guru yang beragama Islam. Artinya setiap guru yang beragama Islam, meskipun mengasuh mata pelajaran selain PAI, seperti Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, dan sebagainya diharapkan mampu mengajarkannya dengan pendekatan agama. Hal ini bisa dilakukan, mengingat seluruh mata pelajaran yang diajarkan di sekolah pada dasarnya termasuk dalam kategori pendidikan Islam. Bahkan al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam, mengandung isyarat-isyarat ilmiah serta beragam ilmu pengetahuan, termasuk berbagai ilmu yang berkembang dewasa ini. Karenanya, guru mata pelajaran selain PAI tersebut diharapkan mampu menggali isyarat-isyarat al-Qur'an tersebut lalu mengintegrasikannya dalam pembelajaran materi yang dibimbingnya. Kemudian guru-guru yang beragama Islam itu pun pada dasarnya telah mengetahui konsep-konsep ajaran Islam, meskipun dalam bentuk ilmu dasar.

Kelima, partisipasi perguruan tinggi umum (PTU) dalam mempersiapkan guru berwawasan agama sesuai dengan spesifikasi keilmuan yang dimilikinya. Selama ini, PAI di PTU hanya dalam bentuk Mata Kuliah Umum (MKU) dengan materi-materi dasar keislaman. Sebaiknya, di samping PAI sebagai MKU, materi PAI yang berkenaan dengan spesifikasi keilmuan masing-masing fakultas/jurusan juga patut diberikan. Khususnya fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, masing-masing jurusan diberikan pula mata kuliah PAI yang sesuai dengan materi jurusannya masing-masing. Dengan begitu, diharapkan mereka memiliki wawasan ilmu keislaman sesuai dengan spesifikasi keilmuan yang dimilikinya sehingga kelak menjadi bekal baginya sebagai guru mata pelajaran di sekolah untuk menerapkan pembelajaran berbasis agama. Partisipasi PTU seperti ini sangat diharapkan untuk memenuhi upaya keempat di atas.

Dengan upaya seperti ini, peran PAI di sekolah umum di harapkan semakin jelas dan tegas dalam mewujudkan peserta didik yang mampu menerapkan ajaran agama dengan baik serta memiliki ilmu pengetahuan. Agama tidak hanya dipahami sebagai ajaran yang menentramkan dimensi spiritualitas manusia, akan tetapi agama (baca: Islam) sejatinya menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, holistik, dan universal, termasuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ketika ilmu dimiliki dan dikembangkan berlandaskan kepada ajaran agama Islam, niscaya ilmu itu akan mendatangkan manfaat dan terhindar dari mudharat. Akhirnya bangsa ini pun dapat tampil lebih terhormat dan bermartabat serta mampu tampil terdepan, paling tidak sejajar dengan negera-negara maju lainnya. Insya' Allah.

Baco Tokhus....

Sabtu, Februari 07, 2009

Refleksi 62 Tahun HMI Mengabdi

Membangun Bangsa dengan Spirit Agama

Oleh: Muhammad Kosim, MA
(Mantan Pengurus HMI Cabang Padang Tahun 2004)

Tepat pada tanggal 5 Februari 1947, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta, Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dari segi internal, setidaknya ada dua hal yang memotivasi Lafran Pane mendirikan organisasi tersebut, pertama, untuk mempertahankan kemerdekaan di mana penjajah Belanda masih bertahan di tanah air dan kedua, keinginan untuk memurnikan ajaran Islam dimana masyarakat muslim sangat rentan terserang virus TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat). Salah satu fenomena yang berkenaan dengan virus tersebut justru mewabah hingga ke kampus di mana muncul pameo “Bukan mahasiswa jika tidak pandai berdansa”, padahal mereka menganut agama Islam. Dengan kegigihan dan perjuangan yang ikhlas, Lafran Pane beserta kawan-kawan melakukan berbagai aktivitas demi agama dan bangsa sehingga HMI menjadi organisasi yang besar dan melahirkan para aktivis yang kritis dan idealis. Bahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman pernah mengakatan HMI adalah "Harapan Masyarakat Indonesia".

Berangkat dari dua latar belakang di atas, membuktikan bahwa HMI sebagai organisasi kader sangat intens terhadap persoalan-persoalan bangsa dan agama. Bahkan tidak berlebihan jika disebut bahwa kader HMI memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan bangsa yang "religius" ini. Namun di sisi lain, HMI bukanlah "organisasi malaikat", sehingga di antara alumni HMI ada juga yang terlibat sebagai "oknum perusak" bangsa ini dengan berbagai kasus merugikan kepentingan rakyat.

Meskipun demikian, misi ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an yang mengakar dalam setiap gerakan kader HMI telah mengantarkan organisasi ini banyak diterima dan diminati oleh kaum intelektual muda. Betapa tidak, dengan kedua misi tersebut, para kader akan terhindar dari fanatisme agama yang berlebihan atau sebaliknya yang cenderung mempertentangkan (dichotomy) antara kehidupan berbangsa dan beragama.

Diskursus Agama dan Negara
Persoalan agama dengan negara memang menjadi diskursus yang tidak pernah lekang dari sejarah bangsa Indonesia. Bahkan di awal kemerdekaan Republik Indonesia telah muncul perdebatan hubungan agama (baca: Islam) dengan negara, khususnya tentang tujuh kata yang hilang dalam rumusan Piagam Jakarta. Hingga saat ini, wacana itu masih belum padam. Satu pihak berpendapat bahwa bangsa Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini harus mendirikan negara Islam. Mendirikan syariat Islam dalam konteks bernegara dianggap satu-satunya solusi yang tepat untuk menghadapi berbagai persoalan bangsa. Namun di pihak lain, negara Indonesia tidak perlu mendirikan negara Islam secara formal di tengah bangsa yang majemuk dengan beragam agama ini. Bagi mereka, yang terpenting adalah membangun bangsa dengan prinsip keadilan, mampu mensejahterakan rakyat dan terjaganya keutuhan NKRI.

Terlepas perlu tidaknya menegakkan negara/syariat Islam di Indonesia, HMI memang tidak menetapkan satu pandangan yang seragam. HMI justru memberikan kebebasan berpikir dan berwacana bagi kadernya. Akan tetapi kebebasan itu tentunya tetap dalam aturan. Yang jelasnya, misi ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an membuktikan bahwa HMI tidak memisahkan antara negara dan agama. Para kader HMI yang idealis dan konsisten terhadap misi HMI akan tetap berjuang membangun bangsa ini dengan spirit agama Islam. Dengan demikian, politik bernegara yang ingin dikembangkan dalam HMI adalah bercorak teo-antroposentris, yaitu membangun bangsa dan negara dengan berlandaskan kepada ajaran agama tanpa adanya keharusan menegakkan negara Islam secara formal.

Membangun bangsa dengan spirit agama bisa dilakukan oleh setiap orang sesuai dengan profesi dan kapasitasnya masing-masing sebagai warga negara Indonesia. Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin sejatinya menjadi landasan moral setiap aktivitas umatnya sehingga tetap berada pada garis kebenaran. Jika saja setiap umat komitmen dan konsisten menerapkan agama dalam hidupnya, maka tindakan korupsi, kolusi, nepotisme, serta berbagai tindakan manipulasi dan amoral lainnya tidak akan pernah terjadi.
Tidak saja Islam, setiap agama juga memiliki nilai-nilai kebenaran yang jika diterapkan oleh setiap umatnya tidak akan menimbulkan gejolak sosial dan perilaku amoral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika saja ada ajaran agama yang menimbulkan gejolak sosial, ketidakadilan dan perilaku amoral, tentulah agama itu dipertanyakan, bahkan ditinggalkan, oleh pemeluknya sendiri yang mau berpikir rasional. Dengan demikian, setiap agama seyogiyanya menjadi spirit yang melekat dalam setiap pribadi pemeluknya untuk membangun bangsa ini.

HMI sebagai organisasi intelektual muda muslim, tentunya memiliki tanggung jawab moral yang lebih tinggi untuk membangun bangsa ini dengan spirit agama Islam. Terlebih lagi ketika Islam diyakini sebagai agama yang memiliki ajaran yang menyentuh berbagai aspek dan dimensi kehidupan manusia. Maka setiap kader HMI dituntut untuk mampu mengaktualisasikan ajaran Islam tersebut sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. Dalam hal ini, Islam yang ditampilkan lebih bersikap moderat, pertengahan, bukan ekstrim kiri dan bukan pula ekstrim kanan, tidak bergaya fundamentalis dan bukan pula liberalis yang berlebihan. Agaknya pandangan seperti ini pula yang juga turut menjadikan HMI tetap eksis hingga saat ini.

Eksistensi HMI dan Pemilu 2009

Meskipun kontribusi kader HMI diakui dalam membangun bangsa ini, namun kejayaan dan kebesaran HMI lebih dirasakan oleh kader di era awal dan pertengahan yang kini telah menjadi alumni. Akibatnya, kader HMI saat ini tidak jarang mengalami romantisme sejarah masa lalu. Sebagai bagian dari agent of change dan social of control, HMI seharusnya menunjukkan peran yang lebih tegas dan jelas dalam menyoroti berbagai persoalan bangsa. HMI juga dituntut untuk mampu menonjolkan karakternya—dengan misi ke-Islaman dan ke-Indonesiaan serta kader yang intelektual dan mampu menampilkan Islam secara moderat—di antara organisasi kemahasiswaan yang semakin banyak tumbuh dan berkembang di era yang serba terbuka ini.

Oleh karena itu, diusia yang keenam puluh dua tahun ini, HMI mesti mengaca diri serta menyatukan visi dan misi untuk mempertegas kiprahnya dalam menerapkan agama dan bangsa. Selain itu, pesta demokrasi yang akan segera digelar di tahun ini bisa menjadi momen untuk mempertegas eksistensi HMI.

Seperti yang diketahui, Pemilu tahun 2009 yang akan memilih calon legislatif dan presiden RI turut menentukan nasib bangsa ke depan. Dari sekian banyak partai politik yang akan bertarung, terdapat partai yang bercorak nasionalis, dan ada pula yang berazas Islam. Sementara calon pemimpin yang muncul dari dua bentuk partai tersebut tidak sedikit yang pernah berproses di HMI.

HMI yang masih memiliki ikatan emosional yang kuat dengan alumni, seyogiyanya menjadikan Pemilu 2009 sebagai momen untuk mengaktualisasikan misi ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an secara integral, bukan malah turut berkiprah merusak bangsa yang cukup menderita ini. Tidak hanya dalam diri kader HMI, lebih dari itu para kader harus mampu mewarnai dan mengubah paradigma dan mindset para pemimpin bangsa untuk membangun bangsa dengan spirit agama, terlepas apakah dia berasal dari partai nosianalis atau Islam. Dengan begitu, negara ini akan tampil lebih bermartabat dan terhormat.

Baco Tokhus....