Sabtu, Februari 07, 2009

Refleksi 62 Tahun HMI Mengabdi

Membangun Bangsa dengan Spirit Agama

Oleh: Muhammad Kosim, MA
(Mantan Pengurus HMI Cabang Padang Tahun 2004)

Tepat pada tanggal 5 Februari 1947, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta, Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dari segi internal, setidaknya ada dua hal yang memotivasi Lafran Pane mendirikan organisasi tersebut, pertama, untuk mempertahankan kemerdekaan di mana penjajah Belanda masih bertahan di tanah air dan kedua, keinginan untuk memurnikan ajaran Islam dimana masyarakat muslim sangat rentan terserang virus TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat). Salah satu fenomena yang berkenaan dengan virus tersebut justru mewabah hingga ke kampus di mana muncul pameo “Bukan mahasiswa jika tidak pandai berdansa”, padahal mereka menganut agama Islam. Dengan kegigihan dan perjuangan yang ikhlas, Lafran Pane beserta kawan-kawan melakukan berbagai aktivitas demi agama dan bangsa sehingga HMI menjadi organisasi yang besar dan melahirkan para aktivis yang kritis dan idealis. Bahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman pernah mengakatan HMI adalah "Harapan Masyarakat Indonesia".

Berangkat dari dua latar belakang di atas, membuktikan bahwa HMI sebagai organisasi kader sangat intens terhadap persoalan-persoalan bangsa dan agama. Bahkan tidak berlebihan jika disebut bahwa kader HMI memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan bangsa yang "religius" ini. Namun di sisi lain, HMI bukanlah "organisasi malaikat", sehingga di antara alumni HMI ada juga yang terlibat sebagai "oknum perusak" bangsa ini dengan berbagai kasus merugikan kepentingan rakyat.

Meskipun demikian, misi ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an yang mengakar dalam setiap gerakan kader HMI telah mengantarkan organisasi ini banyak diterima dan diminati oleh kaum intelektual muda. Betapa tidak, dengan kedua misi tersebut, para kader akan terhindar dari fanatisme agama yang berlebihan atau sebaliknya yang cenderung mempertentangkan (dichotomy) antara kehidupan berbangsa dan beragama.

Diskursus Agama dan Negara
Persoalan agama dengan negara memang menjadi diskursus yang tidak pernah lekang dari sejarah bangsa Indonesia. Bahkan di awal kemerdekaan Republik Indonesia telah muncul perdebatan hubungan agama (baca: Islam) dengan negara, khususnya tentang tujuh kata yang hilang dalam rumusan Piagam Jakarta. Hingga saat ini, wacana itu masih belum padam. Satu pihak berpendapat bahwa bangsa Indonesia yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini harus mendirikan negara Islam. Mendirikan syariat Islam dalam konteks bernegara dianggap satu-satunya solusi yang tepat untuk menghadapi berbagai persoalan bangsa. Namun di pihak lain, negara Indonesia tidak perlu mendirikan negara Islam secara formal di tengah bangsa yang majemuk dengan beragam agama ini. Bagi mereka, yang terpenting adalah membangun bangsa dengan prinsip keadilan, mampu mensejahterakan rakyat dan terjaganya keutuhan NKRI.

Terlepas perlu tidaknya menegakkan negara/syariat Islam di Indonesia, HMI memang tidak menetapkan satu pandangan yang seragam. HMI justru memberikan kebebasan berpikir dan berwacana bagi kadernya. Akan tetapi kebebasan itu tentunya tetap dalam aturan. Yang jelasnya, misi ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an membuktikan bahwa HMI tidak memisahkan antara negara dan agama. Para kader HMI yang idealis dan konsisten terhadap misi HMI akan tetap berjuang membangun bangsa ini dengan spirit agama Islam. Dengan demikian, politik bernegara yang ingin dikembangkan dalam HMI adalah bercorak teo-antroposentris, yaitu membangun bangsa dan negara dengan berlandaskan kepada ajaran agama tanpa adanya keharusan menegakkan negara Islam secara formal.

Membangun bangsa dengan spirit agama bisa dilakukan oleh setiap orang sesuai dengan profesi dan kapasitasnya masing-masing sebagai warga negara Indonesia. Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin sejatinya menjadi landasan moral setiap aktivitas umatnya sehingga tetap berada pada garis kebenaran. Jika saja setiap umat komitmen dan konsisten menerapkan agama dalam hidupnya, maka tindakan korupsi, kolusi, nepotisme, serta berbagai tindakan manipulasi dan amoral lainnya tidak akan pernah terjadi.
Tidak saja Islam, setiap agama juga memiliki nilai-nilai kebenaran yang jika diterapkan oleh setiap umatnya tidak akan menimbulkan gejolak sosial dan perilaku amoral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika saja ada ajaran agama yang menimbulkan gejolak sosial, ketidakadilan dan perilaku amoral, tentulah agama itu dipertanyakan, bahkan ditinggalkan, oleh pemeluknya sendiri yang mau berpikir rasional. Dengan demikian, setiap agama seyogiyanya menjadi spirit yang melekat dalam setiap pribadi pemeluknya untuk membangun bangsa ini.

HMI sebagai organisasi intelektual muda muslim, tentunya memiliki tanggung jawab moral yang lebih tinggi untuk membangun bangsa ini dengan spirit agama Islam. Terlebih lagi ketika Islam diyakini sebagai agama yang memiliki ajaran yang menyentuh berbagai aspek dan dimensi kehidupan manusia. Maka setiap kader HMI dituntut untuk mampu mengaktualisasikan ajaran Islam tersebut sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. Dalam hal ini, Islam yang ditampilkan lebih bersikap moderat, pertengahan, bukan ekstrim kiri dan bukan pula ekstrim kanan, tidak bergaya fundamentalis dan bukan pula liberalis yang berlebihan. Agaknya pandangan seperti ini pula yang juga turut menjadikan HMI tetap eksis hingga saat ini.

Eksistensi HMI dan Pemilu 2009

Meskipun kontribusi kader HMI diakui dalam membangun bangsa ini, namun kejayaan dan kebesaran HMI lebih dirasakan oleh kader di era awal dan pertengahan yang kini telah menjadi alumni. Akibatnya, kader HMI saat ini tidak jarang mengalami romantisme sejarah masa lalu. Sebagai bagian dari agent of change dan social of control, HMI seharusnya menunjukkan peran yang lebih tegas dan jelas dalam menyoroti berbagai persoalan bangsa. HMI juga dituntut untuk mampu menonjolkan karakternya—dengan misi ke-Islaman dan ke-Indonesiaan serta kader yang intelektual dan mampu menampilkan Islam secara moderat—di antara organisasi kemahasiswaan yang semakin banyak tumbuh dan berkembang di era yang serba terbuka ini.

Oleh karena itu, diusia yang keenam puluh dua tahun ini, HMI mesti mengaca diri serta menyatukan visi dan misi untuk mempertegas kiprahnya dalam menerapkan agama dan bangsa. Selain itu, pesta demokrasi yang akan segera digelar di tahun ini bisa menjadi momen untuk mempertegas eksistensi HMI.

Seperti yang diketahui, Pemilu tahun 2009 yang akan memilih calon legislatif dan presiden RI turut menentukan nasib bangsa ke depan. Dari sekian banyak partai politik yang akan bertarung, terdapat partai yang bercorak nasionalis, dan ada pula yang berazas Islam. Sementara calon pemimpin yang muncul dari dua bentuk partai tersebut tidak sedikit yang pernah berproses di HMI.

HMI yang masih memiliki ikatan emosional yang kuat dengan alumni, seyogiyanya menjadikan Pemilu 2009 sebagai momen untuk mengaktualisasikan misi ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an secara integral, bukan malah turut berkiprah merusak bangsa yang cukup menderita ini. Tidak hanya dalam diri kader HMI, lebih dari itu para kader harus mampu mewarnai dan mengubah paradigma dan mindset para pemimpin bangsa untuk membangun bangsa dengan spirit agama, terlepas apakah dia berasal dari partai nosianalis atau Islam. Dengan begitu, negara ini akan tampil lebih bermartabat dan terhormat.

Tidak ada komentar: