Senin, Desember 29, 2025

Bencana Alam dan Bencana Moral

oleh Muhammad Kosim

Ketika Allah Swt hendak menjadikan manusia (Nabi Adam as) sebagai khalifah di muka bumi, para malaikat sempat “mempertanyakan”. Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan di sana orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” (QS. al-Baqarah: 30).

Tampaknya malaikat memiliki pembacaan tajam tentang hakikat manusia: diciptakan dari tanah, diberi ruh dan jasad; dibekali akal, namun juga memiliki nafsu. Manusia bisa menjadi pemakmur bumi, tetapi juga berpotensi menjadi perusaknya.

Allah Swt menjawab keraguan itu dengan pembuktian. Adam as diajari al-asma’ (nama-nama), lalu diminta menjelaskannya. Adam as mampu menyebutkan dan memahami, sedangkan para malaikat tidak mengetahuinya karena memang tidak ditakdirkan memiliki ilmu tersebut (QS. al-Baqarah: 31–33). Dengan bekal ilmu itu, Adam as dinyatakan layak memikul amanah kekhalifahan. Bahkan malaikat diperintahkan bersujud kepadanya—kecuali Iblis yang menolak karena sombong.

Kisah ini menegaskan pesan penting: manusia layak menjadi khalifah selama ia berilmu. Namun ketika manusia hidup tanpa ilmu atau mengabaikan ilmu dalam keputusan-keputusannya, kekhawatiran malaikat bisa menjadi kenyataan: kerusakan merajalela, darah tertumpah, dan bencana demi bencana lahir dari tangan manusia sendiri.

Ilmu yang dimaksud tentu bukan sekadar keterampilan teknis atau gelar akademik. Yang dibutuhkan adalah al-ilm al-nafi’, ilmu yang bermanfaat, itulah ilmu yang berbasis tauhid. Ilmu yang menumbuhkan kesadaran bahwa manusia bertanggung jawab kepada Allah Swt, berakhlak kepada sesama, dan arif terhadap alam semesta. Semakin berilmu seseorang seharusnya semakin dekat kepada Allah Swt, semakin peduli kepada manusia, dan semakin bijak memperlakukan alam.

Di penghujung 2025, ketika bencana alam melanda Sumatera, kita kembali diingatkan: hubungan manusia dengan lingkungan bukan perkara sepele. Mengelola alam menuntut manusia agar memiliki ilmu dan bersikap amanah. Hutan mana yang boleh dibuka dan mana yang wajib dilindungi; bagaimana reboisasi dilakukan dengan benar; pohon apa yang layak ditebang dan kapan waktunya; bagaimana tata kelola kota dan permukiman agar aman dari banjir dan longsor. Semua itu tidak boleh diserahkan pada keserakahan nafsu, tetapi harus ditopang ilmu dan tanggung jawab moral.

Namun, ilmu saja tidak cukup bila tidak diamalkan. Apa arti seorang sarjana kehutanan, akademisi, atau praktisi lingkungan, jika ilmunya tidak digunakan untuk merawat bumi? Atau mengaku beriman tetapi tidak beramal shaleh: menyebar kebaikan bagi alam semesta?. Saat ilmu berhenti di kepala dan tidak turun ke tangan, nafsu kembali mengambil alih. Dan ketika nafsu berkuasa, kerusakan di muka bumi menjadi keniscayaan.

Di tengah duka bencana alam, kita patut berdoa agar saudara-saudara kita yang wafat diberi pahala syahid, diampuni dosa-dosanya, dan ditempatkan di taman-taman surga-Nya. Kepada mereka yang kehilangan keluarga, rumah, dan mata pencaharian, kita perlu membuktikan empati dan solidaritas sosial sebagai bukti bahwa nurani kekhalifahan belum mati. Ini ujian bersama: ujian bagi korban agar tetap tabah, dan ujian bagi yang selamat agar mau berbagi dan menolong.

Sayangnya, pada saat bencana alam menampar kesadaran kita, publik justru dikejutkan oleh kabar tertangkapnya oknum guru yang diduga melakukan hubungan sejenis dengan mantan murid di toilet salah satu masjid di Kota Padang. Ini jelas bencana moral. Bencana yang terjadi di ruang pendidikan, tempat seharusnya nilai dan akhlak ditanamkan. Peristiwa ini boleh jadi hanya puncak gunung es dari krisis moral yang lebih dalam.

Belum lagi fenomena politik yang terus memprihatinkan. Kasus korupsi seperti tidak pernah selesai. Kepala daerah tertangkap tangan KPK tampaknya tidak membuat jera. Ironisnya, sebagian masyarakat mulai “memaklumi”. Ada mantan pidana yang kembali terpilih menjadi wakil rakyat atau pejabat, begitu juga keluarganya tetap mendapat suara rakyat.

Korupsi kerap dianggap “wajar” karena ongkos politik mahal. Jika hanya mengandalkan gaji resmi, modal tak kembali. Maka jabatan pun diperlakukan seperti investasi—dan negara menjadi ladang balik modal. Lebih celakanya lagi, para pembuat aturan seakan membiarkan demokrasi komersial ini terus berjalan. Mahar politik tak lagi tabu diperlihatkan, padahal semua orang mengakui dampaknya. Bukankah ini bencana moral: transaksi kekuasaan dipertontonkan secara vulgar? 

Sungguh, bencana moral tidak kalah berbahaya dari bencana alam. Bahkan, bencana moral sering menjadi pemicu datangnya bencana yang lebih besar. Allah Swt mengingatkan, “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu.” (QS. al-Anfal: 25). 

Dalam tafsir al-Munir, Syekh Wahbah Zuhaili menjelaskan, “waspadailah sebuah fitnah yang apabila menimpa kalian, ia tidak menimpa orang-orang yang zalim semata, tetapi ia akan menimpa kalian semua dan ia akan sampai kepada orang yang saleh dan yang tidak saleh”. Nabi SAW bersabda:  "Tidaklah suatu kaum mengerjakan maksiat sementara di antara mereka ada orang yang lebih mulia dari mereka dan memiliki kekuatan tapi ia tidak mengubahnya, melainkan Allah akan timpakan siksaan pada mereka secara rata." (HARI Imam Ahmad dan Abu Dawud).

Karena itu, introspeksi diri adalah keharusan. Kita perlu kembali membangun peradaban dengan ilmu berbasis tauhid: ilmu yang menundukkan nafsu dan melahirkan akhlak. Sebab ketika nafsu menguasai manusia, kerusakan akan lahir dalam dua wajah sekaligus: kerusakan alam dan kerusakan moral. Dan di situlah amanah kekhalifahan kehilangan maknanya.

Ke depan, upaya preventif harus dilakukan agar bencana alam dan bencana moral dapat dihindari. Dua jalur paling menentukan adalah politik dan pendidikan. Politisi semestinya menjadi pejuang kebenaran, berjihad menegakkan politik berbasis teo-antropocentris: nilai tauhid yang berdampak positif bagi kemanusiaan dan alam semesta.

Demikian halnya pendidikan sebagai mesin rekayasa peradaban. Di sanalah akhlak mulia disemai agar bencana moral dicegah, dan kesadaran ekologis ditanamkan agar bencana alam diantisipasi. Pendidikan harus holistik—mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat—dengan dukungan nyata dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Sekali lagi, pendidikan berbasis tauhid wajib dihidupkan oleh setiap umat beriman. 

Semua pihak mesti berkontribusi untuk mencegah bencana moral dan bencana alam. Utamanya politisi dan praktisi pendidikan, jika masih mengabaikan pesan Ilahi, hanya berorientasi materi serta kepentingan pribadi dan kelompok, maka bencana demi bencana akan terus menghampiri negeri ini. Wallahu al-musta’an.

Tidak ada komentar: