Selasa, Februari 27, 2018

Pendidikan yang Memanusiakan

Oleh: Muhammad Kosim

Terbit di Koran Singgalang, 5 Mei 2015

Berbagi kasus penyimpangan moral, tindak kriminal bahkan perilaku yang mengancam integritas bangsa senantiasa mengancam dan menghambat kemajuan negeri ini. Kasus korupsi masih belum berhenti. Narkoba merenggut masa depan remaja. Etos kerja lemah, daya saing rendah, tetapi caci maki di sana sini. Fenomena masyarakat yang tak mencerminkan sebagai manusia beragama (religius) dan berbudaya Pancasila.

Masalah ini sudah lama disadari oleh banyak pihak, terutama Presiden RI, Ir. Joko Widodo. Di awal kampanye-nya, ia memomulerkan istilah “revolusi mental.” Istilah ini muncul sebagai reaksi terhadap fenomena masyarakat yang mengalami gangguan bahkan penyakit mental. Ini menunjukkan bahwa banyak di antara manusia yang kehilangan esensi dan jati dirinya.  

Sayang, lebih enam bulan kepemimpinnya, belum jelas bentuk penerapan dari revolusi mental yang ia dengungkan. Malah Kurikulum 2013 yang berorientasi pada pembinaan mental justru dihentikan oleh Menteri Dikbud Dikdasmen yang sekaligus mantan tim suksesnya, Anies Baswedan.


Padahal, gagasan pendidikan yang berorientasi pada aspek rohani itu begitu terasa kuat dalam Kurikulum 2013. Setiap mata pelajaran diikat dengan kompetensi inti, tidak saja terkait dengan aspek kognitif dan psikomotor, tetapi yang terpenting adalah sikap spiritual dan sosial. Kini, publik masih menunggu gebrakan Kabinet Kerja Jokowi terkait dengan Pendidikan “Revolusi Mental.” Apakah lebih baik dari kabinet sebelumnya, atau justru kehilangan arah dan memperparah kondisi pendidikan nasional.

Tampaknya, praktik pendidikan di negeri ini nyaris gagal mengenal dan memahami hakikat manusia. Pendidikan kita selama ini lebih cenderung pada pola pendidikan yang materialis dan pragmatis. Tidak sedikit di antara orang tua memotivasi anak-anaknya mengenyam pendidikan agar kelak sukses. Ukuran sukses pun dinilai secara materi: menjadi manusia yang berlimpah harta, punya jabatan tinggi, dihargai dan dihormati banyak orang.

Akibatnya, banyak orang yang terdidik dengan sederet gelar akademik menjelma menjadi manusia tanpa hati nurani. Kepintaran yang ia peroleh selama mengikuti proses pendidikan justru digunakan untuk berbuat kerusakan dan kezaliman di muka bumi ini.

Sejatinya, pendidikan adalah upaya sadar untuk “memanusiakan manusia.” Meski kita ditakdirkan sebagai makhluk bernama “manusia” dan dibekali dengan beragam potensi, tetapi jika potensi tersebut tidak dikembangkan maka perkembangannya bisa menyimpang dari hakikatnya sebagai manusia.

Dalam al-Quran, banyak penjelasan tentang manusia. Di satu sisi, Allah menempatkan manusia ke tempat yang sangat mulia. Hakikat penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah (Qs. Ad-Dzariyat: 56). Manusia ditakdirkan sebagai penciptaan terbaik dan dimuliakan dari makhluk lain (Qs. At-Tin: 4 dan al-Israk: 70), diberi amanah sebagai khalifah (al-Baqarah: 30), diberi alat indera, hati dan akal (an-Nahl: 78), bahkan alam ditundukkan kepadanya (Qs. An-Nahl: 11-16).

Namun di sisi lain, al-Quran juga menerangkan bahwa manusia juga memiliki kekurangan. Manusia adalah makhluk yang lemah (Qs. An-Nisa’: 28), bisa menjadi makhluk yang nakal (Yunus: 10), sombong, putus asa dan tidak berterima kasih (Qs. Al-Israk: 67 dan Hud: 9), suka membantah (an-Nahl: 4), tergesa-gesa (al-Anbiya’: 37), bersifat kikir (al-Israk: 100), suka mengeluh (al-Ma’arij: 20), serta bermaksiat dan melampaui batas (Qiyamah: 5).

Selain dari kekurangan di atas, ketika manusia keluar dari jalan yang benar, mengingkari fitrahnya sebagai manusia yang dimuliakan Allah, maka ia diumpamakan Allah sepert hewan dan benda tertentu.

Ada manusia an’am (seperti binatang ternak), yaitu mereka yang tidak memanfaatkan hati, mata, dan telinganya untuk mengenal tanda-tanda kekuasaan Allah (QS al-A’raaf/179). Kondisi mereka lebih sesat dari hewan ternak yang memang tidak dibekali akal seperti manusia. Manusia yang memperturutkan hawa nafsunya dan mendustakan ayat-ayat Allah disebut sebagai manusia kalb, yaitu seperti anjing (QS al-A’raaf/7:  176). Mereka yang fasik, mengetahui tetapi tidak berperilaku seperti apa yang diketahuinya diumpamakan seperti qird atau kera, bahkan seperti khinzir, atau babi (QS al-Maidah/5: 60). Manusia yang angkuh, merasakan kelebihan yang ia miliki semata-mata hasil kinerjanya atau ia bergantung dan berlindung kepada selain Allah diumpamakan pula sebagai manusia ankabut atau laba-laba (QS al-Ankabut/29: 41).  Sementera mereka yang diberi petunjuk berupa kitab Alquran, tetapi tidak dijadikannya sebagai pedoman hidup sehingga kita tersebut tidak memberi efek positif baginya, maka ia seperti himar atau keledai (QS al-Jumu’ah/62: 5).

Manusia juga diumpamakan seperti benda berupa batu dan kayu. Manusia yang menolak dinasehati dan tidak menerima kebenaran Ilahi, hatinya keras, diumpamakan sebagai manusia hijarah atau berhati batu  (QS al-Baqarah/2: 74). Ada pula manusia seperti kayu yang tersandar (khasyb musannadah) yang lebih mengedepankan penampilan, keelokan tubuh, dan kemewahan dunia tetapi ruhani dan otaknya kosong dari kebenaran, hanya pandai berbicara dan bersilat lidah (QS al-Munafiqun/63: 4).

Dengan demikian, meskipun kita telah ditakdirkan sebagai manusia, tetapi jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mendidiknya, maka predikat “manusia” itu bisa kehilangan esensinya. Pendeknya, hanya bentuk dan penampilannya saja yang terlihat sebagai manusia, namun jiwanya dan kepribadiannya tak pantas disebut sebagai manusia.

Upaya untuk menjadikan manusia sebagai manusia yang sesungguhnya itu mesti dilakukan lewat pendidikan. Pendidikan mesti dirancang secara sadar, rasional, sistematis dan bersungguh-sungguh untuk memanusiakan manusia.

Esensi atau inti dari manusia itu adalah aspek ruhaninya. Namun aspek ruhani itulah yang selama ini kurang mendapat perhatian. Pendidikan kita selama ini lebih berorientasi kepada kognitif dan psikomotor.

Hal ini penting dilakukan mengingat manusia memang diciptakan dari unsur jasmani dan ruhani. Jasmani itu bersifat materi sehingga manusia memiliki kecenderungan untuk memperoleh hal-hal yang bersifat materi pula, seperti harta, tempat tinggal, kenderaan mewah, pasangan, keturunan, hingga sejumlah jabatan. Namun manusia juga memiliki dimensi ruhani yang abstrak, nonmateri, sehingga ia cenderung kepada hal-hal yang mengandung nilai kebenaran, kedamaian, kebahagiaan, keadilan, dan sebagainya.

Dalam Islam, asal ruhani itu sendiri ruh yang diciptakan langsung oleh Allah (as-Sajadah/32: 9); tidak seperti jasmani yang terdiri dari unsur tanah, lalu mengalami proses dari sperma, menjadi zygot, daging, tulang, daging pembungkus tulang hingga menjadi jasad yang utuh. Maka untuk mendidik aspek ruhani manusia mesti dilakukan melalui pendidikan tauhid sehingga manusia itu kenal dan senantiasa patuh, tunduk dan taat kepada Tuhannya.

Jika manusia tidak taat kepada Tuhan, maka ia mengingkari fitrahnya sebagai manusia beragama. Bisa saja ia tampil sebagai sosok manusia yang bermoral, punya kepeduliaan terhadap sesama, tidak merusak lingkungan dan alam sekitar, akan tetapi hakikatnya sebagai makhluk pengabdi akan menampilkan dirinya sebagai pemuja syahwat, materi atau hal-hal yang bersifat duniawi lainnya.

Maka tidak heran jika ada manusia yang tertarik atau mengidolakan secara berlebihan kepada manusia (seperti selebritis, tokoh pemimpin, tokoh pejuang, olahragawan, dan sebagainya) atau kepada benda (perhiasan, barang atau hasil karya seni, batu, kayu, dan sejenisnya). Manusia atau benda itu bisa mereka puja, menghabiskan waktu bersamanya, dan tak jaranga mereka menangis dan histeris bertemu sang idola. Hal ini terjadi karena hakikatnya sebagai manusia pengabdi tidak tersalurkan secara tepat, yaitu menyembah Allah, lalu diaplikasikan dalam bentuk pemujaan atau ketertarikan secara berlebihan kepada manusia dan benda-benda tersebut.

Untuk itu, pendidikan harus dikembalikan kepada hakikatnya semula sebagai upaya memanusiakan manusia. Pendidikan harus mampu menjadikan seseorang bertuhan, bukan hanya mengetahui tentang Tuhan. Jika ia telah meyakini dan menjalankan perintah Tuhan, maka hidupnya pun akan banyak memberi manfaat bagi orang lain dan alam sekitarnya. Sebab Allah memerintahkan manusia untuk senantiasa berbuat baik kepada sesama, memelihara kelestarian dan keseimbangan alam semesta.

Penerapan pemikiran di atas relevan dengan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pendidikan nasional sesungguhnya berlandaskan kepada Pancasila. Hakikat Pancasila adalah membentuk manusia yang ber-Tuhan, memiliki jiwa sosial dan nasionalis. Namun intisari dari Pancasila adalah sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama akan menjiwai empat sila lainnya.

Demikian pula dalam UU Sisdiknas, ditegaska bahwa indikator pertama dan utama dari tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia yang beriman dan bertakwa, serta berakhlak mulia. Hakikat iman dan takwa adalah mendidik ruhaniah manusia agar tetap konsisten mengoptimalkan fitrahnya sebagai manusia mulia.

Mendidik iman dan takwa, atau mendidik ruhaniah seseorang tidak bisa dilakukan oleh satu atau dua orang guru. Akan tetapi semua guru mesti terlibat. Tidak cukup dengan pengajaran, mesti mengedepankan keteladanan dan pembiasaan.

Guru yang bodoh tidak mungkin bisa mencerdaskan peserta didiknya. Begitu pula guru yang bergelimang maksiat mustahil mampu menyucikan ruhaniah siswanya. Guru mengingkari agama pasti tak sanggup mendidik siswa beriman dan bertakwa. Maka setiap guru dituntut memiliki kesucian ruhani.

Demikian halnya pengelola pendidikan di negeri ini. Jika pendidikan dikelola di atas prinsip kepentingan pribadi dan golongan, lebih ingin dilayani dari pada melayani, dipimpin oleh manusia bermental zalim, maka pendidikan akan sangat sulit untuk memanusiakan manusia. Tegasnya, pendidikan mesti mengedepankan keteladanan tidak saja dari guru, tetapi juga dari pengelola pendidikan itu sendiri.  Wallahu a’lam

Tidak ada komentar: