Oleh: Muhammad Kosim, MA
(Terbit di Harian Republika, 29 September 2011)
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Qs. Al-Mujadilah/58: 11).
Ilmu pengetahuan sangat menentukan kesuksesan dan kebahagiaan seseorang. Dengan ilmu, harkat dan martabat seseorang bisa terangkat. Dan dengan ilmu pula seseorang mudah melakukan perubahan hidupnya ke arah yang lebih baik. Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa ilmu menjadi syarat utama untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hanya saja tidak semua orang yang telah memperoleh ilmu mampu memeliharanya. Akibatnya ia termasuk kepada kelompok orang-orang yang lupa (ghafilun). Lupa yang dimaksud bisa dalam dua hal; pertama, lupa dalam bentuk ingatan sehingga apa yang telah ia ketahui dan pelajari tidak mampu ia kemukakan. Lupa jenis ini biasa terjadi pada seorang pelajar. Ia telah belajar di sekolah hingga di bangku kuliah, namun tidak semua ilmu yang ia peroleh dapat bertahan dalam ingatannya. Akibatnya, ia sulit mengembangkan dirinya di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan ilmu yang telah dipelajari.
Kedua, lupa dalam bentuk perilaku, yaitu tidak sesuai antara apa yang ia ketahui dengan apa yang ia lakukan. Singkatnya, ia menjadi lupa diri. Berilmu tapi tak beramal. Ilmu yang dimiliki tidak menjadi muatan nurani. Dan ia mengalami split personality (kepribadian yang terpecah). Bisa jadi seseorang menguasai berbagai cabang keilmuan, memiliki sederatan gelar akademik, tetapi berindak kriminal, korup, dan tampil sebagai penentang ayat-ayat Tuhan.
Kedua bentuk lupa akibat tidak terpeliharanya ilmu di atas menunjukkan bahwa ilmu yang dimiliki tidak memperoleh keberkahan. Karena itu perlu dilakukan berbagai upaya agar ilmu itu tetap terpelihara dan menjadi sikap batin yang mempengaruhi perbuatan seseorang.
Rasulullah SAW pernah mengemukakan ada lima kiat yang harus dibiasakan seseorang agar ilmunya tetap terpelihara. Pertama, shalat malam walau hanya dua rakaat (shalatullaili walau rak’ataini). Daya ingat sangat dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi seseorang ketika menerima dan menyerap ilmu pengatahuan. Jika tingkat konsentrasinya tinggi, maka ia akan mudah menyerap suatu ilmu. Konsentrasi itu perlu dilatih. Salah satu cara yang ditempuh untuk melatihnya adalah dengan membiasakan shalat malam pada waktu sepertiga akhir malam, sebab shalat membutuhkan kekhusyukan.
Selain itu, shalat malam udara demikian segar dan baik untuk kesehatan. Ketika seseorang sujud di waktu tahajud, maka darah yang mengandung oksigen dari udara yang segar itu akan mengalir ke sel-sel syaraf otak. Hal ini akan berdampak positif terhadap kecerdasan otak itu sendiri. Tidak saja otak, qalbu pun memperoleh ketenangan dan terhindar dari penyakit-penyakiti hati. Semua ini akan mendorong seseorang untuk mampu memelihara ilmunya; untuk diingat dan diamalkan.
Kedua, senantiasa dalam keadaan berwudhu’ (dawamul wudhu’). Setiap kali wudhu-nya batal, maka ia segera memperbaharuinya. Intinya, ia selalu memelihara kesucian dirinya, baik secara lahiriyah maupun batiniyah. Secara lahiriyah, kebersihan dan kesucian jasmani akan menambah kebugaran dan kesehatan fisik. Kesehatan ini menjadi modal utama untuk mudah menerima dan memelihara ilmu.
Demikian pula kesucian rohani sangat mempengaruhi ingatan seseorang. Hal ini pernah dialami oleh Imam Syafi’i. ketika ia masih menjadi seorang pelajar, ia pernah mengeluh soal penyakit lupa ini kepada gurunya imam waqi'. Katanya dalam satu syair, "aku mengeluh kepada guruku (imam waqi) akan jeleknya hafalanku, maka guruku menasehati untuk meninggalkan maksiat. karena sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya Allah dan cahaya itu tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat".
Ketiga, senantiasa bertakwa baik dalam keadaan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi (at-taqwa fissirri wal ‘alaniyah). Takwa berarti tidak bermaksiat. Maksiat akan menutup hidayah Allah sehingga ilmu yang ia pelajari tidak terpelihara, sebagaimana yang dijelaskan imam Waqi di atas. Takwa juga berarti sikap berhati-hati. Seorang pelajar yang menuntut ilmu harus teliti dan berhati-hati dalam membaca, menelaah dan memperoleh ilmu pengetahuan.
Sikap takwa itu juga mesti dilakukan secara konsisten, baik di hadapan orang ramai, maupun dalam keadaan sunyi. Begitu pula sikap belajar, jika seseorang hanya tekun menuntut ilmu di saat banyak yang menyaksikan, maka ilmu yang ia pelajari tidak akan melekat dalam ingatannya.
Keempat, memakan makanan yang bernilai takwa, bukan memenuhi keinginan syahwat (an ya’kula littaqwa la lisysyahawat). Makanan yang bernilai takwa adalah makanan yang halalan tayyiban. Halal berarti tidak dilarang secara syariat, sedangkan tayyib berarti baik untuk kesehatan sesuai dengan kondisi seseorang.
Jika makanan yang dikonsumsi haram, baik zat atau cara memperolehnya, akan mengakibatkan rohaniah seseorang kotor dan berpenyakit. Itu sama artinya dengan bermaksiat, sebagaimana yang dijelaskan di atas. Imam al-Ghazali pun pernah berkata bahwa sesuap makanan yang haram dikonsumsi seseorang akan menjadi darah yang mengalir ke otaknya sehingga otaknya cenderung berpikir kepada hal-hal yang diharamkan. Akibatnya, ilmu yang merupakan cahaya Allah (nur Allah) akan terhijab karena haramnya makanan tersebut. Sebaliknya, jika makanan itu tidak bergizi, maka daya tahan tubuhnya akan mudah terserang penyakit.
Kelima, bersiwak. Siwak artinya menggosok gigi, sehingga mulutnya bersih, sehat dan segar. Mulut menjadi organ tubuh yang turut terlibat dalam proses pencarian dan pengembangan ilmu. Bahkan transfer ilmu yang dilakukan dalam proses pembelajaran masih banyak yang menggunakan cara lisan di samping tulisan.
Namun, siwak yang dimaksud tidak saja dalam artian fisik. Tetapi yang lebih penting lagi adalah membersihkan lidah dari perkataan-perkataan yang kotor, menyakitkan orang lain dan tidak berfaedah. Tegasnya, orang yang berilmu akan semakin bertambah ilmunya jika ia mampu berkomunikasi dengan baik. Tanpa komunikasi yang baik maka ilmu pengetahuan akan sulit diperoleh dan dikembangkan.
Kelima kiat di atas mesti dibiasakan oleh setiap orang yang menginginkan ilmunya terpelihara sehingga Allah mengangkat derajatnya. Tentu semua itu mesti dilandasi oleh iman yang kuat lagi mantap. Dengan begitu, maka terjadi sinergisitas antara iman, ilmu dan amal. Wallahu a’lam.
Minggu, Oktober 02, 2011
Kiat Memelihara Ilmu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar