Kamis, Februari 04, 2010

Syekh Burhanuddin dan Pemberdayaan Surau

Oleh: Muhammad Kosim

Sebagaimana yang telah disebutkan Koran ini Rabu kemarin (Padang Ekspres, 3/2) Syekh Burhanuddin (satu sumber menyebutkan lahirnya 1066 H/1646 M dan wafat 1111 H/1691 M) adalah sosok ulama yang masih misterius karena sulit melacak profilnya; baik biografi hidupnya, kepribadiannya sehari-hari maupun bentuk-bentuk usaha yang ia lakukan dalam menyebarkan Islam, khususnya di Minangkabau. Yang jelasnya, ia memainkan peranan menentukan dalam menguatkan Islamisasi di Minangkabau.


Setidaknya ada dua bentuk upaya Islamisasi yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin di Minangkabau yang banyak mendapat pengakuan dari para ahli dan hingga kini masih bisa dilacak keberadaannya. Pertama, pemberdayaan surau sebagai lembaga pendidikan Islam, dan kedua, mengajarkan ajaran tasawuf melalui tariqat Syattariyah.



Surau sebagai Lembaga Pendidikan Islam

Prof. Mahmud Yunus (1993: 8), dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia menegaskan bahwa Syekh Burhanuddin adalah seorang anak Minangkabau asli (Pariaman) sekaligus orang yang mula-mula mendirikan surau—sebagai madrasah—untuk menyiarkan pendidikan Islam secara sistematis sesuai dengan system Syekh Abdurrauf, gurunya di Aceh. Namun, beliau mengakui tidak menemukan bukti sejarah bagaimana cara dan system pendidikan Islam ketika itu; kitab apa saja yang digunakan dan metode apa yang diterapkan.

Istilah Surau—kadang-kadang dibaca singkat suro—sebenarnya telah ada di tengah-tengah masyarakat Minangkabau pra-Islam. Ketika itu, surau merupakan sebuah bangunan kecil yang aslinya dibangun untuk menyembah nenek moyang kuno. Karena alasan ini, surau paling awal biasanya didirikan di atas tempat yang paling tinggi atau setidaknya lebih tinggi dari bangunan lain. Dalam sejarah Minangkabau dipercayai bahwa surau besar pertama didirikan raja Adityawarman tahun 1356 di kawasan Bukit Gombak. Surau yang selain berfungsi sebagai pusat peribadatan Hindu-Buddha ini juga menjadi tempat pertemuan anak-anak muda untuk mempelajari berbagai pengetahuan dan keterampilan sebagai persiapan menempuh kehidupan. (Azyumardi Azra, 2003: 47).

Menurut adat, struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, juga membuktikan bahwa surau telah dikenal sebelum masuknya Islam ke Minangkabau. Dalam sistem matrilineal, kaum lelaki tidak memiliki kamar tidur di rumah orang tuanya. Karenanya mereka akan menempati surau di malam hari sebagai tempat tidur. Ketika mereka nikah, ia hanya tamu "yang berkunjung" di rumah istri-istrinya, dan bahkan di rumah asalnya. Pada masa tua, jika istrinya meninggal atau cerai, maka ia—yang telah berstatus duda—kembali tinggal di surau. Dengan demikian, surau dijadikan sebagai tempat berkumpulnya laki-laki lajang yang sudah baligh, laki-laki duda, serta tempat persinggahan laki-laki perantau. Jadi, surau memiliki fungsi sosial-budaya, yaitu sebagai tempat pertemuan para pemuda dalam upaya mensosialisasikan diri mereka.

Fungsi surau yang bernuansa ritual keagamaan kuno dan tempat tidur laki-laki (remaja dan duda/orang tua) tersebut diberdayakan oleh Syekh Burhanuddin sebagai lembaga pendidikan Islam. Surau memang tetap mempertahankan fungsinya sebagai tempat ritual keagamaan dan tempat tidur, akan tetapi mendapat sentuhan Islamisasi. Di surau, masyarakat setempat mendirikan shalat berjamaah, mengikuti pengajian, belajar membaca al-Qur’an, membentuk jamaah zikir, dan belajar adat-istiadat, termasuk belajar silat sebagai bagian dari adat-istiadat tersebut.

Prototype surau yang dikembangkan oleh Syekh Burhanuddin tersebut merupakan komplek bangunan yang terdiri dari masjid, bangunan-bangunan untuk tempat belajar, dan suaru-surau kecil yang sekaligus menjadi pemondokan murid-murid yang belajar di surau. Bahkan hingga kini surau yang didirikan sebagai lembaga pendidikan Islam tersebut masih ditemukan, tepatnya di Tanjungmedan, Ulakan Pariaman. Kini, di komplek surau tersebut sedang dibangun Masjid Luhur Syekh Burhanuddin yang dikerjakan oleh Riau Pos.

Meskipun tidak ditemukan secara pasti model pendidikan Islam yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin di surau tersebut, akan tetapi pengaruhnya terhadap perkembangan surau sebagai lembaga pendidikan Islam di Minangkabau sangatlah besar. Pada periode selanjutnya, ditemukan beberapa surau yang berperangaruh terhadap pengembangan Islam di Minangkabau, sekaligus melahirkan para ulama yang kharismatik. Bahkan masing-masing surau tersebut memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan surau-surau lain; tetap tetap mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam. Seperti Surau Koto Tuo (Tuanku Nan Tuo) Agam yang memiliki distingsi dalam bidang tafsir; Surau Kotogadang yang terkenal sebagai pusat ilmu mantiq dan ma'ani; Surau Sumanik, tersohor kuat dalam tafsir dan fara'id; Surau Kamang, terkenal karena kuat dalam ilmu-ilmu bahasa Arab; Surau Talang, dan Surau Salayo, yang keduanya terkenal dalam bidang Nahu-Sharaf. Keseluruhan surau ini mencapai puncak kejayaannya dalam masa pra-Padri. Sekali lagi, keberadaan surau-surau tersebut tentu tidak terlepas dari perjuangan Syekh Burhanuddin dalam memberdayakan Surau sebagai peninggalan tradisi lokal menjadi lembaga pendidikan Islam.

Kemudian, melalui surau ini Syekh Burhanuddin juga mengajarkan tareqat Syattariyah kepada murid-muridnya, sehingga ia dikenal sebagai mursyid Syattariyah paling berpengaruh di Sumatera Barat. Tareqat Syattariyah semacam organisasi pengamal ajaran tasawuf yang inti ajarannya adalah mendekatkan diri kepada Allah. Tegasnya, melalui tareqat ini, Syekh Burhanuddin mengedepankan pendidikan spiritual atau pendidikan ruhaniah kepada murid-muridnya. Pada perkembangan selanjutnya, tareqat tersebut tidak saja ditemukan di sekitar Pariaman, tetapi menyebar luas ke berbagai daerah Minangkabau, termasuk ke daerah darek, seperti Agam, Tanah Datar hingga ke Lima Puluh Kota. Bahkan hingga kini pengamal tareqat syattariyah masih ditemukan di daerah-daerah tersebut. Kenyataan ini pula membuat sebagian ahli memaknai ”syara’ mandaki, adat manurun” sebagai pepatah yang menerangkan pengaruh Syekh Burhanuddin menyiarkan Islam dari pantai menyebar hingga ke daerah darek (daratan).



Reaktualisasi Perjuangan Syekh Burhanuddin

Kini, ketokohan Syekh Burhanuddin masih terasa. Bahkan setiap hari Rabu akhir bulan Safar, makamnya yang berada di Ulakang ramai dikunjungi oleh peziarah; mulai dari masyarakat awam hingga para pejabat dan alim-ulama. Kegiatan itu biasanya dikenal dengan basafa gadang yang pada tahun ini dilaksanakan Rabu kemarin (3/2). Namun menghargai dan menghormati perjuangan Syekh Burhanuddin sejatinya tidak hanya membaca atau mengikuti kegiatan basafa dan menjadikannya sebagai tradisi lokal yang patut diapresiasi. Yang terpenting adalah melakukan reaktualisasi terhadap usaha-usaha yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin dalam menyiarkan ajaran Islam tersebut dalam konteks kekinian dan kedisinian.

Jika ia telah mampu meberdayakan surau yang dulunya tidak Islami menjadi lembaga pendidikan Islam sekaligus sebagai tempat ibadah, lalu bagaimana dengan perjuangan kita hari ini? Sehatinya, kegiatan basafa menjadi momentum bagi masyarakat Minangkabau untuk mengaca diri seberapa besar perjuangan kita dalam mensyiarkan ajaran Islam, khususnya dalam melanjutkan perjuangan Syekh Burhanuddin.

Setidaknya ada tiga hal yang patut dilakukan, yaitu: Pertama, memakmurkan masjid. Kita menyadari bahwa hingga hari ini jumlah masjid banyak berdiri, tetapi jamaah sunyi-sepi. Apalagi di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, masjid merupakan karakter utama dalam bermasyarakat. Hamka pernah menyebutkan, sebuah nagari baru sah dinamai nagari bilamamna di sana berdiri: masjid nan sebuah, balairung nan seruang, tepian tempat mandi yang terpisah di antara laki-laki dengan perempuan, dan pandam-pekuburan. (Hamka dalam Ayahku, 1958: 22-23). Oleh karena, memakmurkan masjid tidak hanya sekedar meramaikannya dengan shalat berjamaah, tetapi lebih dari itu mengoptimalkannya fungsinya sebagai tempat ibadah, tempat menuntut ilmu dan sarana mempersatukan umat.

Ironis jika masyarakat berlomba-lomba membangun masjid secara fisik dengan dana yang relative mahal, tetapi tidak melakukan upaya apa-apa dalam mempersiapkan generasi untuk mengisi masjid tersebut di masa akan datang. Untuk itu, TPA/MDA mesti dioptimalkan, pengajian-pengajian masjid harus digalakkan, majlis ta’lim diberdayakan, bahkan persoalan ekonomi dan kehidupan social budaya umat pun patut diorganisir melalui masjid. Dengan demikian, jika Syekh Burhanuddin berjuang mengubah surau dari non-Islam menjadi Islami, maka kita dituntut untuk memberdayakan surau—dalam hal ini masjid/mushalla—sebagai tempat ibadah ,lembaga pendidikan dan sarana pemberdayaan umat.

Kedua, mengedepankan pendidikan ruhaniah. Kita harus menyadari bahwa masyarakat modern di era globalisasi ini sangat rentan dengan pola hidup materislitis, hedonis, dan liberalis. Mereka mengalami kehampaan spiritual sehingga persaudaraan tidak lagi menjadi perhatian, ketenangan batin tidak lagi dirasakan. hidup laksana robot yang kehilangan hati nurani. Maka para ulama mesti mengubah pola dakwahnya yang berorientasi terhadap pendidikan ruhaniyah. Jika Syekh Burhanuddin memilih jalan tareqat Syattariyah sebagai jalan pendidikan ruhani, maka dalam konteks kekinian kita bisa menggunakan metode lain yang bernuansa pendidikan ruhani tersebut.

Ketiga, mempertegas peran pendidikan Islam di sekolah. Sesungguhnya system pendidikan nasional kita memberikan perhatian terhadap pendidikan agama. Hal ini relevan dengan tujuan pendidikan nasional yang menghendaki terwujudnya pribadi yang beriman dan bertakwa. Namun, upaya untuk mewujudkan cita-cita tersebut kerapkali tidak sesuai dengan yang diharapkan. Berapa banyak sekolah yang siswanya mayoritas muslim tetapi tidak memiliki sarana ibadah (mushalla)? Berapa banyak pula sekolah yang ada mushallanya, tetapi tidak mengorganisir siswanya untuk shalat zhuhur berjamaah di sekolah tersebut?

Demikian pula halnya tentang pendidikan spiritual di sekolah; nyaris terabaikan. Padahal sekolah (khususnya SD, SMP, dan SMA) adalah asset terbesar umat Islam, karena jumlah generasi muslim yang banyak mengenyam pendidikan adalah di sekolah tersebut. Namun, pendidikan yang diterapkan masih lebih bersifat kognitif, guru hanya bertanggungjawab dalam melakukan transfer of knowledge, tetapi melalaikan penanaman nilai-nilai Islami. Sekolah akan lebih dihargai jika siswanya memperoleh nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi. Lalu masih wajarkah guru-guru muslim yang menjalankan tugas mulianya patut disebut—meminjam istilah Prof. Ahmad Tafsir—kelompok ulama sebagai pewaris para Nabi? Atau profesi guru hanya sekedar profesi duniawi untuk memenuhi kebutuhan ekonomis belaka?

Untuk itu, para pemikir dan praktisi pendidikan serta para ulama mesti menemukan dan menerapkan formulasi pendidikan ruhani untuk menjawab tantangan globalisasi dan modernisasi yang nyaris menggerogoti dimensi spiritual manusia, baik di tengah masyarakat maupun di kalangan generasi muda melalui lembaga pendidikan sekolah. Kisah perjuangan Syekh Burhanuddin diharapkan bisa menjadi inspirasi, Insya Allah.

Tidak ada komentar: